Jangan lupa tinggalkan jejak ya sahabat :)
Happy Reading
***
Entakan sepasang kaki yang dilapisi sepatu kulit mengkilap beradu dengan ubin dari marmer asli menjadi awal cerita ini dimulai. Seorang pria dengan setelan jas abu rokok berkelas dari salah satu brand fashion tersohor dunia mamasuki perumahan elit di kawasan Concord Pacific Place, Toronto, Canada.
“Selamat siang, Mister Daffin. How was your job today?” tanya seorang asisten rumah tangga menghampiri pria yang baru saja melewati pintu kondominium.
“Seperti biasa, tidak ada yang spesial,” jawab Daffin dengan nada santai.
Daffin, pria yang tadi disebutkan namanya berjalan menghampiri sofa di bagian tengah kondominium, mendudukkan diri dengan santai disana. Pria dengan rambut disisir rapi itu mendunga menatap sang asisten yang sudah berdiri di sampingnya.
“Apa aku kedatangan tamu hari ini?” Daffin bertanya pada sang asisten. Dia Jack, pria berdarah asli Amerika yang Daffin jadikan sebagai orang kepercayaannya mengurus kondominium dan beberapa jadwal pentingnya.
“Tidak ada Mister, hanya ada undangan makan malam dari duta besar negara tetangga nanti malam,” ungkap Jack sambil menyodorkan satu lembar kertas tebal warna coklat.
Menatap sejenak, Daffin sama sekali tidak berminat untuk membaca isi dari undangan tersebut. Seperti undangan makan malam biasa, pasti hanya akan membahas masalah politik negara yang berujung memamerkan kekayaan dan keunggulan masing-masing. Daffin sangat muak menghadiri acara makan malam seperti itu.
“Kirimkan saja bunga sebagai ucapan terimakasih atas undangan itu, aku sedang malas menghadiri acara apa pun malam ini.”
Daffin berdiri dari duduknya, melewati Jack yang mengangguk mengiyakan ucapannya.
Tap.
Langkah Daffin terhenti, dia baru ingat jika ada yang dikatakan pada Jack. Mamutar tubuh dan menatap sang sekretaris yang masih diam ditempat semula.
“Jika ada yang bertamu siang ini bilang saja aku tidak ingin diganggu,” hanya itu yang Daffin ucapkan setelah itu kembali berjalan, menaiki tangga menuju lantai dua dimana letak kamarnya berada.
Maaf-maaf saja, Daffin bukan bermaksud bersikap tidak sopan pada tamu yang akan datang mengunjunginya, hanya saja hari ini dia sedang malas bertemu dengan siapa pun. Daffin hanya ingin istirahat siang sebentar sebelum nanti sore melakukan olahraga seperti yang biasa dilakukan ketika dia tengah senggang.
Cklek.
Kamar dengan nuansa warna gelap mendominasi langsung tersajikan saat pintu kamar terbuka. Daffin berjalan ke arah ranjang king size miliknya.
Bugh!
Merebahkan tubuh gagahnya diatas ranjang dengan kedua mata terpejam, merilekskan pikiran setelah seharian berurusan dengan berbagai macam pekerjaan di kedutaan.
“Setidaknya aku masih bisa memejamkan mata untuk istirahat,” bisik Daffin. Meletakkan tangan kanan diatas kening. Daffin mencoba untuk masuk dalam lelapnya tidur, dia hanya butuh satu jam untuk memberi istirahat pada tubuhnya sebelum kembali bergulat dengan beberapa berkas negara.
Sebelum cerita berlanjut kita perlu tahu siapa pemeran utama dalam cerita ini bukan? Nama panggilan Daffin tentu tidak cukup, jadi ayo kita berkenalan. Perkenalkan dia Euan Daffin Adelard, pria asli keturunan Australia yang sekarang bekerja di kedutaan besar Australia untuk negara Canada. Jabatan? Oh jangan ditanya lagi, dari penampilan dan rumah elit yang sering disebut kondominium ini saja kita bisa menebak apa pekerjaan Daffin. Yap benar sekali, Duta Besar Australia. Perkenalan lebih dalamnya simak saja ya isi cerita ini, yuk lanjut.
***
Bugh!
“Aish! Bisa tidak hari ini jangan menyebalkan?”
Seorang gadis dengan pakaian santai menatap datar jalan setepak di depannya. Kalau boleh menyumpah mungkin bibir gadis ini sudah mengeluarkan kata makian sejak tadi.
“Ck! Aku bersumpah akan memaki pria itu setelah sampai.” Gadis itu menggerutu pelan, mencoba untuk bangun dari posisi tidak baik dilihat mata.
Gadis dengan kaus putih polos dan rok merah muda di atas paha ini berdiri setelah jatuh tersungkur karena tidak melihat ada pembatas trotoar di depannya. Membersihkan rok yang terkena debu setelahnya kembali berjalan, tidak lupa menarik koper milikinya. Gadis yang terlihat tidak mengenal tempatnya berdiri sekarang ini menatap kesana kemari, sambil sesekali memperhatikan beberapa orang sekitar yang berjalan melewatinya. Benar sekali, gadis itu bisa kita katakan sebagai pendatang. Dia Aluna Grazella Xavier, gadis berumur 21 tahun dengan mata tajam menatap beberapa tembok rumah sekelilingnya kesal.
“Oh ayolah, tidak mungkin aku akan memencet bel rumah orang satu-persatu,” rutuk Aluna setelah tahu kalau di komplek perumahan tempat dia berdiri ada begitu banyak rumah.
“Kenapa juga dompet dan tasku harus pakai hilang segala?” lebih tepatnya hilang karena di copet oleh orang saat dia baru saja turun dari taksi di depan pintu masuk komplek.
Dengan semua sisa kesabaran miliknya, gadis yang biasa dipanggil Aluna ini berjalan menuju salah satu gerbang hitam di seberang jalan. Menarik koper dengan wajah tertekuk, sungguh dia muak dengan semua kesialan hari ini. Apalagi sekarang harus menanggung malu kalau dia sampai salah memencet bel rumah orang.
Ting. Tong.
“Bodo amat, aku hanya ingin istirahat.” Aluna sudah membulatkan tekad, mau malu sampai jungkir balik juga dia tidak peduli.
Ting. Tong.
Kembali menekan bel rumah karena tidak mendapat balasan apa pun dari dalam. Aluna terdiam, dia masih menunggu karena siapa tahu pemilik rumah ini sedang mengalami tuli sesaat.
“Ada orang tidak sih! Atau memang benar-benar tuli?” cetus Aluna dengan kedua tangan di pinggang. Gadis satu ini benar-benar ya sikapnya, dia sama sekali tidak takut berbicara di depan layar intercorm rumah orang.
Ting. Tong. Ting. Tong. Ting. Tong.
Fix! Aluna mencari ribut, dengan seenak jidat gadis ini menekan bel rumah berkali-kali tanpa takut pemilik rumah marah. Aluna sudah tidak bisa berpikir logis, kakinya sudah pegal sedari tadi berdiri ditambah berjalan tidak tentu arah dari depan pintu masuk komplek, belum lagi dengan kesialan yang dialami.
“YA! Kau sengaja atau benar-benar tuli!” Aluna berteriak sampai urat di lehernya terlihat jelas. Astaga gadis ini, anak siapa sebenarnya? Kenapa sikapnya tidak ada sopan sama sekali.
“Kamu yang tidak ada sopan santun.”
Shap.
Aluna memutar tubuh saat mendengar suara dari belakang punggungnya, matanya menatap aneh pria yang berdiri dengan setelan olahraga di depannya. Kening Aluna mengernyit saat melihat beberapa bulir keringat mengalir dari kening pria didepannya, sudah seperti terkena air hujan.
“Tampan.”
Pria didepan Aluna memasang wajah tidak paha, setelah mendengar pujian secara tidak langsung. Melipat kedua tangan di depan perut, menatap Aluna dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“Minggir.”
“Eh?” Aluna yang tadi sempat terdiam karena melihat ketampanan pria di depannya langsung sadar, mengedipkan kelopak mata beberapa kali setelahnya menyengir tak enak. Boleh dia tebak pria tampan di depannya ini adalah pemilik rumah yang baru saja dia tekan belnya? Jelas iya, karena pria itu meminta kamu untuk minggir ke kamu Aluna.
“Aku bilang minggir, kamu dengar atau sengaja tuli?” tanya pria itu dengan nada tidak ramah.
Shit! Pria itu mengatakan kalimat seperti yang Aluna ucapkan tadi, bedanya dengan nada datar dan wajah tanpa ekspresi.
“Ini rumah kamu? Mau masuk ke dalam?” oh Aluna apa sekarang itu penting? Jelas itu penting untuk Aluna. Kenapa? Ya karena pria tampan itu tidak boleh dilewatkan.
Belum saja lima menit setelah bertanya, kedua mata Aluna malah melotot karena pria yang dia ajak bicara malah berlalu begitu saja dari hadapannya, berjalan menuju gerbang kecil di samping gerbang utama tempatnya berdiri sekarang. Aluna dengan cepat berlari dan menghampiri si pria, dia tidak suka diabaikan begitu saja.
Tap.
“Aku tadi bertanya jadi tolong dijawab,” ujar Aluna dengan nada sedikit tidak enak untuk didengar. Gadis satu ini memang tidak ada rasa takut sama sekali, Aluna malah menghalangi pria didepannya, menutup kembali gerbang kecil yang sudah terbuka.
“Tidak penting,” jawab singkat pria itu.
“Penting, siapa tahu kan aku butuh bantuan kamu.”
“Dan aku tidak mau membantu,” skak mat! Kalimat sarkas dari pria itu sukses membuat Aluna melongo di tempat.
Menghembuskan nafas kesal, Aluna melipat kedua tangan di depan perut, memajukan satu langkah kaki kanan mendekati si pria. Aluna benar-benar menghadang pria di depannya agar tidak masuk ke dalam rumah.
“Bisa tidak kalau orang mengajak bicara itu dibalas juga? Muka kamu juga jangan datar begitu, ramah sedikit.” Aluna sepertinya sudah lupa dengan rasa lelahnya.
“Tidak bisa, dan tolong minggir, kamu mengganggu jalan saya,” pria ini membalas dengan tangan kanan yang memberi kode Aluna untuk pergi dari hadapannya.
“Kalau aku tidak mau bagaimana?” jawab Aluna dengan acungan dagu. Lah malah menantang, ayolah Aluna jangan membuat keributan di depan rumah orang.
“Kita kenalan saja yuk. Aluna Grazella Xavier, panggil saja Aluna.”
Astaga gadis satu ini benar-benar kebal muka, bukannya malu setelah diperlakukan begitu datar dan dingin sekarang malah mengajak berkenalan, menyodorkan kedua tangan dengan senyum lebar. Aluna tolong ya jangan buat malu, pergi saja yuk, kenalannya lain kali saja.
“Nama kamu siapa?” tanya Aluna dengan senyum lebar. Sudahlah lupakan tentang rasa malu, Aluna memang selalu melakukan sesuka hatinya.
Pria itu hanya diam saja, tidak berniat sama sekali membalas jabat tangan Aluna, hanya menatap. Kalau saja Aluna itu pria mungkin saja sudah mendapat tonjokan karena membuat mood pria di depannya tidak baik.
“Mister Daffin.”
Aluna langsung menoleh saat satu suara terdengar di telinganya. Menatap ke arah pria yang baru saja membuka gerbang utama dari dalam. Wajah Aluna langsung berubah datar, sedari tadi dia menekan bel tidak ada yang membuka, kenapa sekarang malah ada pria muncul dari dalam. Fix mereka tuli, sesuai dengan apa yang Aluna katakan.
“Tolong usir orang gila ini, dia sangat menganggu,” ucapan pria di depannya membuat Aluna menatap.
What! Apa katanya? Orang gila? Wah benar-benar.
“Hey! Aku bukan orang gila ya!”
Teriakan Aluna diabaikan oleh pria yang ternyata adalah Daffin, dia berlalu begitu saja ke dalam rumah, tidak peduli dengan Aluna yang berkacak pinggang karena kesal dikatai orang gila olehnya.
“Hah!” Aluna menghembuskan nafas kasar. Untuk pertama kalinya selama dia hidup dikatai orang gila. Pria itu sehat atau tidak? Jelas-jelas dia cantik dan berpakaian modis begini, tidak ada unsur orang gila sama sekali.
“Maaf jika saya lancang, nona ada keperluan apa?”
Tatapan Aluna beralih ke arah pria yang tadi membuka pintu gerbang. Menatap sejenak pria yang juga membuat dia kesal karena tidak mau membuka gerbang rumah walau sudah menekan bel berkali-kali.
Aluna menghembuskan napas jengkel, dia sudah malas mencari masalah jadi berusaha untuk mencoba meredakan rasa kesalnya.
“Apa kamu tahu di mana rumah Dareen Adnan Xavier?” jadilah Aluna bertanya alamat rumah yang sedari tadi dia cari. Alamat rumah yang membuat dia harus seperti orang kesetanan menekan tombol rumah Daffin.
Bukannya menjawab, pria satu ini justru malah menatap Aluna dari atas sampai bawah.
“Ck! Dia kakak saya,” kekesalan Aluna benar-benar akan meledak kalau pria di depannya itu akan bersikap seperti pria bernama Daffin tadi.
Tapi tunggu…
“Eh sebentar, jadi pria tampan tadi bernama Daffin?” tanya Aluna. Dia baru sadar kalau nama panggilan pria yang membuat dia terpesona tadi sempat disebutkan.
“Benar,” jawab pria didepan Aluna dengan nada ramah, beda dengan Daffin yang sudah datar berwajah jutek.
“Ah oke, akan aku ingat. Jadi kamu tahu di mana rumah Dareen Adnan Xavier?” tanya Aluna sekali lagi. Gadis ini benar-benar sudah hilang urat malu. Sudah bertanya pada orang yang tidak dikenal, ditambah lagi dengan kata tidak formal.
“Nona bisa lihat gerbang hitam di dekat pohon besar di ujung jalan komplek sebelum belokan?”
Aluna menganggukkan kepala setelah melihat kemana arah tangan pria di sampingnya menunjuk salah satu gerbang rumah. Ah… jadi jarak rumah kakaknya dan rumah Daffin hanya dua rumah, bedanya di seberang jalan saja atau bisa dikatakan berhadapan dari gerbang rumah Daffin.
“Oke, oh ya bilang sama Daffin kalau besok aku akan berkunjung kesini,” bisik Aluna pelan pada pria yang memberikan petunjuk padanya. Setelah mengucapkan hal itu Aluna berlalu begitu saja meninggalkan pria yang adalah Jack asisten pribadi Daffin.
Berjalan menarik kopernya menuju rumah sang kakak dengan senyum lebar yang tiba-tiba terbit.
“Siap-siap saja tampan,” ucap Aluna pelan. Kedua bola mata Aluna kembali melirik sekilas kearah salah satu jendela rumah Daffin. Senyum Aluna semakin mengembang, dia berjalan dengan kaki yang terhentak senang, hal ini karena Daffin sudah masuk dalam kategori incarannya
“Kamu masuk dalam list aku.”
Dan cerita ini dimulai.
.
To be continued
***
Terbit : 09/01/22
Jangan lupa tinggalkan jejak ya sahabatHappy Reading***“Kamu kenapa tidak menelpon kalau mau datang? Tiba-tiba muncul di depan rumah dan ngomel tidak jelas begini.” Perkenalkan dia adalah Dareen Adnan Xavier, kakak dari Aluna.“Kan sudah aku bilang kak, aku ini datang mau beri kejutan tapi ya… apesnya saja dompet dan tas berisi barang-barang penting kecopetan,” cetus Aluna. Sekarang dia sudah bisa duduk nyaman di rumah sang kakak, menyandarkan punggung pada kepala sofa. Sungguh tubuhnya sangat dimanja setelah mengalami kesialan bertubi-tubi.“Makanya kamu sebelum datang kemari beritahu kakak dulu, masih mending kecopetan kalau kamu sampai kesasar bagaimana?”Merolingkan mata malas, Aluna menutup telinga dan memejamkan kedua mata, ini kakaknya pasti akan ceramah panjang lebar. Aluna malas mendengar omelan kakaknya, dia lelah dan butuh istirahar.“Hah… yasudah kamu i
Jangan lupa tinggalkan jejak ya sahabatHappy reading***Aluna memang luar biasa, tidak ada takut-takutnya walau sudah ditatap tajam oleh Daffin, bahkan diusir pun gadis ini masih betah diam enggan beranjak walau satu langkah. Sekarang, Aluna malah dengan santai duduk pada salah satu sofa di dekat jendela, menatap Daffin yang siap meledak dengan sikapnya.“Apa tujuan kamu?” tanya Daffin, dia mencoba untuk lunak sedikit. Daffin tahu gadis modelan Aluna memang akan menganggu dan dia sangat ingin gadis penganggu itu cepat-cepat pergi.“Kenalan sama kamu, tadi belum sempat karena ucapan aku dipotong oleh si tampan satuan,” sahut Aluna dengan nada santai. Oh iya dia lupa mengatakan kalau pria yang membuka gerbang tadi juga tampan, tapi tidak melebihi ketampanan Daffin karena Daffin itu apa ya sebutannya, ah iya perfect, hihi...“Daffin, jadi sekarang keluar!”Haa?Aluna menatap bingung Daff
Jangan lupa tinggalkan jejak ya sahabatHappy reading***“Good morning semua!!!” Seperti biasa, jika Aluna ada maka tidak akan pernah sunyi.Tap.“Selamat pagi juga,” balas Alisia dengan senyum lebar. Istri Adnan meletakkan sarapan mereka di atas meja makan, memberi kode pada Aluna untuk duduk didekatnya.Tapi bukannya menurut Aluna malah memilih duduk di samping Adnan yang tengah fokus pada ipadnya. Menopang dagu dengan tatapan aneh pada sang kakak, Aluna menggerakkan jari mengetok-ngetok meja.“Suami lihat adik kamu sebentar,” pinta Alisia, dia mengerti dengan sikap adik iparnya membuat Alisa langsung merebut ipad Adnan. Dia tahu kalau Aluna sudah memasang tampang aneh dengan senyum misterius pasti ada maunya dan kalau tidak dituruti pasti akan panjang masalah.“Jadi kapan kakak mau menemani aku?”Seperti dugaan Alisia, tanpa banyak kata Aluna langsung to the point
Jangan lupa tinggalkan jejak ya sahabatHappy reading***Harus kita mulai dengan apa cerita ini? Kebar-baran Aluna kah? Atau ingin membahas sitampan Daffin? Ah agaknya lebih seru kalau membahas sitampan, karena pasti kaum hawa suka dengan kaum Adam yang tampan, dingin, dan jangan lupa dompet tebal penjamin masa depan.“Kesepakatan ini sangat penting untuk negara kita.”Seperti biasa suara berat Daffin selalu sukses membuat gendang telinga orang yang lewat di sampingnya merinding suka.“Jelas sangat penting karena bisa membuka era baru dalam hubungan ekonomi antara Canada dan Australia,” lagi Daffin bersuara.“Hah… hah… hah…”Kalimat yang setelahnya dilanjutkan dengan nafas terengah-engah, udara sejuk dipagi hari sangat bagus bukan dilengkapi dengan lari pagi seperti yang Daffin lakukan sekarang. Dengan setelah traning hitam, kaus oblong hitam, dan pelengkap topi hitam. S
Jangan lupa tinggalkan jejak ya sahabatHappy Reading***Musik klasik terputar jelas di kediaman Adnan pagi ini, penghantar sejuknya udara pagi serta teman untuk sarapan.“Pudingnya dimakan Aluna bukan dipelototi.”Shap.Kepala Aluna yang sedari tadi menunduk mendunga menatap Alisia. Kakak iparnya itu berdiri dengan tangan terlipat di depan perut, menatapnya dengan penuh tanya.“Tidak enak ya pudding buatan kakak?” Alisia meraih pudding buatannya yang sedari tadi didiami. Mengambil suapan pertama dan langsung menatap Aluna.“Enak kok,” bisik Alisia setelah merasakan pudding buatannya.“Ya memang enak,” timpal Aluna.“Terus kenapa kamu tatap terus dari tadi?” Alis kanan Alisia terangkat, tumben-tumben adik iparnya yang notaben seribut pasar dan seperti ulat pagi ini jadi pendiam. Tidak biasanya Aluna bersikap seperti sekarang, ya walau pun baru meni
Jangan lupa tinggalkan jejak ya sahabat Happy Reading *** Bugh. Bugh. Tap. “Kamu mau merusak semua sayur yang saya beli?” Daffin menahan tangan Aluna dengan tatapan tajam. “Hehe… maaf,” balas Aluna dengan cengiran tanpa ada rasa bersalah. Bugh. Memejamkan kedua mata kesal, sungguh Daffin benar-benar akan meledak jika gadis bernama Aluna dibiarkan lebih lama didekatnya. Bagaimana tidak, sehabis mereka berbelanja Aluna memaksa ikut pulang dengan mobilnya, berceloteh sepanjang jalan seperti petasan seribuan. Sekarang sampai di rumah, gadis itu dengan seenak jidatnya meletakkan kantong kresek belanjaan dengan keras keatas meja pantry. “Sudah selesai? Kalau begitu silahkan pulang,” ujar Daffin dengan nada pelan yang menyiratkan makna begitu dalam. Lebih tepatnya pria ini tengah mengusir Aluna dengan cara halus. “Kamu ngusir aku?” tanya Alana menatap Daffin, bibirnya mencebik dengan kedua tangan sengaj
Jangan lupa tinggalkan jejak ya sahabatHappy reading***“Pacarnya Daffin ya?” tanya wanita paruh baya yang membuat mulut Daffin diam ini menatap Aluna dengan senyum lebar.Fine! Sepertinya Daffin harus mengusir Aluna terlebih dahulu sebelum menghadapi sang mama yang sebelas dua belas suka merepotkan dirinya seperti gadis disampingnya.Tap.“Ih apasih?” Aluna langsung menepis tangan Daffin yang ingin menyeretnya keluar rumah. Tentu saja Aluna tidak mau meninggalkan kesempatan ini.“Halo tante, perkenalkan saya Aluna tetangga Daffin,” senyum yang dibuat semanis mungkin, Aluna menjulurkan tangan untuk berkenalan dengan Mama pria disampingnya.Mama Daffin tersenyum dan membalas uluran tangan Aluna, melihat penampilan Aluna semakin membuat senyum Mama melebar.“Aluna umur berapa?”Strike! Tahan Aluna untuk tidak melompat girang, huhu… sudah menuju awal baik pende
Jangan lupa tinggalkan jejak ya sahabat Happy Reading *** Malam sudah menampakkan wujudnya, terbukti dengan cahaya matahari yang telah hilang tergantikan dengan warna gelap dari pekatnya langit. Untung saja masih ada lampu jalan yang mau berbaik hati memberikan penerangan disunyinya komplek perumahan elit ini. Ya tapi tetap saja, walau pun sudah ada penarangan hawa dingin masih terasa. “Ya Tuhan yang benar saja kak Alisia memberikan ide.” Jika hawa dingin masih terasa, sangat berbeda dengan tubuh gadis yang saat ini berdiri di depan pintu hitam menjulang tinggi. Seolah dingin tidak ada artinya pada tubuh Aluna yang berdiri dengan tangan penuh tentengan, “Aku mana tahu cara beramah tamah dengan benar.” Aluna menghembuskan napas pelan, tidak habis pikir dengan ide Alisia yang sukses membuat dia berdiri di depan gerbang rumah Daffin. Habis sudah Aluna, menyesal penuh dia tadi sudah menceritakan kejadian di rumah Daffin pada