Share

BAB 4. Warga sudah lama curiga.

🌸🌸🌸

"Bu, kami memergoki mereka sedang berbuat mesum, kami sebelumnya sudah mengintai dan mendapati Pak  Eko sering kali ke rumah Bu Rara, maka malam ini kami tidak mau kecolongan kami harus mengamankan mereka, kami tidak mau perumahan kita tercemar dan terkutuk. Bisa-bisa seperti yang di  berita satu perumahan tertelan bumi gara-gara penghuninya banyak yang bermaksiat! Mereka ini berbuat mesum!" jelas Pak Sobri dengan semangat '45, beliau memang warga yang paling kepo di sini.

"Bapak-bapak harap tenang, biar saya yang menjelaskannya pada Bu Lisa," sela Pak RT.

"Eghem! Terima kasih Bapak-bapak sudah sangat baik menertibkan peraturan di kompleks kita .... " jawabku.

"Kami tidak berbuat mesum! Aku ini istri Mas Eko juga!" teriak Rara menyela ucapanku. Dia berbicara pada semua orang, tapi matanya selalu menatapku penuh angkuh. Nyeri itu masih ada, mendengar Rara berkata demikian, dan luka itu kembali menganga seperti tersiram air garam. Sakit sekali, meski ini memang kenyataan yang harus aku hadapi.

Mas Eko, tentu saja dia diam. Malu atau malahan bangga bisa beristri dua.

Kutatap balik perempuan itu dengan segenap kekuatan. Kasak-kusuk warga mulai riuh mereka semua kaget.

 "Dasar Kodok! Istri cantik begitu masih juga selingkuh!"

"Pisah aja Pak Eko, biar Bu Lisanya sama saya!" seru yang lain.  Mereka semua mengumpat Mas Eko, Pak RT sampai kewalahan menertibkan mereka.

"Begini Bapak-bapak karena Bu Rara sudah mengakui sebagai istri ke dua Pak Eko, maka kita serahkan masalah ini pada keluarganya saja. Lebih baik kita kembali ke pos Ronda. Bu Lisa, kami mohon maaf atas kejadian ini," ucap Pak RT.

"Pak RT, tidak perlu minta maaf karena memang Pak RT dan juga warga tidak tahu, jangankan Bapak dan para tetangga, saya sendiri sebagai istri sahnya saja tidak tahu. Jadi sudah sepatutnya mereka diarak begini. Andai tadi Bapak dan warga membawa mereka ke kantor desa pun saya rela dan tidak perlu melaporkan pada saya terlebih dahulu." Aku berucap setenang mungkin dan kutatap mata para pengkhianat itu satu persatu.

"Dik, Mas, minta maaf," ucap Mas Eko lirih.

"Baiklah, Bapak-bapak mari kita kembali ke pos ronda!" ajak Pak RT. Mereka bubar setelah berpamitan padaku.

"Dik, tunggu!" Mas Eko mencekal lenganku saat aku hendak menutup pintu.

"Ada apa lagi Mas? Aku ngantuk mau tidur lihat ini sudah tengah malam!" kataku kesal.

"Mas, minta maaf. Mas mau masuk Dik, dingin. Kenapa kamu tutup pintunya Ibu dan Salsa juga belum masuk." Protes Mas Eko.

"Aku harus tutup pintu Mas, aku tidak mau rumahku di masuki pencuri dan pengkhianat." jawabku santai.

"Maksudnya apa?" tanya Mas Eko pura-pura bod*h.

"Sudah malam, aku capek mau tidur." Brak! Pintu kututup dengan kuat, baik Mas Eko maupun ibu dan Salsa menggedor-gedor pintu berteriak-teriak tidak jelas.

"Mbok, kembali tidur, jangan buka pintu  sebelum aku memerintahkan." Mbok Darmi mengangguk lalu masuk kamar.

Aku memang bukan wanita kaya raya dan suamiku beristri dua juga bukan karena bergelimpangan harta, kami berkecukupan status kami juga bukan sultan. Aku sendiri masih bingung apa motifnya apalagi setelah mendengar obrolan Mas Eko dan Salsa semalam bahwa mereka sudah merencanakannya.

🌸🌸🌸🌸

"Mbok, masak apa pagi ini?" tanyaku pada Mbok yang sedang sibuk masak di dapur. Aku menggendong Fia yang hendak aku suapi.

"Ayam goreng sama cah kangkung kesukaan Non, tadi adanya di kulkas itu. Kan, Non, sendiri yang enggak bolehin Mbok buka pintu, jadi ya, enggak belanja," jawab Mbok tangannya sigap menyiapkan sarapanku.

"Kalau mereka enggak ada ya buka aja, Mbok," jawabku sambil menikmati sarapan.

"Ooh, iya Non, ya sudah Mbok, belanja sayur dulu ya mumpung Fia anteng." Mbok Darmi berlalu mengambil keranjang belanja.

"Eh .. eh. Enggak boleh masuk! Nona Lisa, melarang kalian masuk!" teriak Mbok. Aku tidak kaget pasti mereka memaksa masuk.

"Apaan sih, kamu cuma pembantu di sini enggak usah ngelarang-ngelarang!" sahut Rara. Sekejab saja mereka sudah sampai ruang tengah yang menghubungkan langsung dengan ruang makan dan dapur.

"Berhenti di sana!" titahku. Mereka hendak ikut sarapan bersamaku, bahkan Salsa dan Ibu sudah duduk manis di ujung meja.

"Kamu Mas, sekali ke luar dari rumah ini, maka aku izinkan kamu keluar selamanya dari sini!"

"Kamu mengusir aku, Dik?"

"Tidak! Aku hanya mengabulkan keinginanmu. Kan, kamu sendiri yang ingin pergi dari sini, dari hidupku, jadi dengan senang hati aku mempersilakan," ucapanku setenang mungkin, Mas Eko melongo tidak percaya dengan yang aku ucapkan.

"Lisa, kamu mau jadi istri durhaka! Ingat suami itu boleh menikah sampai empat kali jika mampu. Eko mampu makanya dia beristri dua. Sudahlah jangan ribut pagi-pagi. Jalani saja nanti juga lama-lama terbiasa," sahut ibu enteng, Rara tersenyum puas mendapat pembelaan dari ibu.

"Iya, memang teorinya begitu Bu, dan aku paham. Masalahnya adalah Mas Eko itu tidak mampu, dia kere! Ibu lupa siapa yang bekerja keras di rumah ini!" ucapku tak mau kalah. Mas Eko terlihat sangat marah, tapi diam saja tidak berani berkutik.

"Lancang kamu ya! Kalau tidak karena izin dari suamimu mana mungkin kamu akan jadi begini!" kata ibu lagi, Kini amarah menguasai dirinya dadanya naik turun napasnya menggebu.

"Oh, iya, tapi bukan berarti kalian seenak sendiri bisa menyetirku! Sudahlah aku mau sarapan sebaiknya kalian pergi!" usirku.

"Tidak! Mas, tidak akan pernah pergi dari sini apalagi meninggalkan kamu!" ucap Mas Eko, dia menarik kursi hendak ikut sarapan.

"Mbok, sini duduk sebelahku, ikut sarapan, lebih baik sayur dan nasi ini Mbok yang makan dari pada mereka yang makan, dan kalian jika ingin makan sebaiknya masak sendiri, karena Mbok Darmi, aku yang gaji, dan jangan lupa bahan pokoknya juga kalian beli sendiri." Mbok Darmi tampak takut-takut mendekatiku. Aku makan dengan tenang, mereka hanya menonton tanpa berani duduk.

"Hallo, Ka, ada apa?" Aku menjawab telepon dari Mirna bagian admin.

"Bu, mobil yang jalan ke Lampung Utara di rampok, supir Sukri dibuang di sawitan, ini dia baru saja menelepon!" Lapor Mirna.

"Baik, aku segera ke sana!" Aku menutup telepon dan bergegas merampungkan sarapan.

"Kamu mau ke mana, Dik?" tanya Mas Eko sepertinya dia hendak bertanya dari tadi, tapi takut padaku.

"Mau ke kantor Mas, ada masalah ...."

"Jadi, benar dugaanku kamu berpakaian rapi begini mau kerja? Tidak! Aku tidak mengizinkan kamu kerja nanti kamu capek, Dik. Biarkan Mas saja yang bekerja," ucapnya tak terima.

"Kamu izinkan atau tidak aku tetap pergi, ini usaha milikku jadi aku wajib tahu dan mulai hari ini aku akan pergi ke kantor!" jelasku. Aku berpamitan pada Mbok dan Menitipkan Fia.

"Lisa! Sudah kubilang aku tidak mengizinkanmu!" teriak Mas Eko murka, tapi aku tidak peduli.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status