🌸🌸🌸
"Bu, kami memergoki mereka sedang berbuat mesum, kami sebelumnya sudah mengintai dan mendapati Pak Eko sering kali ke rumah Bu Rara, maka malam ini kami tidak mau kecolongan kami harus mengamankan mereka, kami tidak mau perumahan kita tercemar dan terkutuk. Bisa-bisa seperti yang di berita satu perumahan tertelan bumi gara-gara penghuninya banyak yang bermaksiat! Mereka ini berbuat mesum!" jelas Pak Sobri dengan semangat '45, beliau memang warga yang paling kepo di sini.
"Bapak-bapak harap tenang, biar saya yang menjelaskannya pada Bu Lisa," sela Pak RT.
"Eghem! Terima kasih Bapak-bapak sudah sangat baik menertibkan peraturan di kompleks kita .... " jawabku.
"Kami tidak berbuat mesum! Aku ini istri Mas Eko juga!" teriak Rara menyela ucapanku. Dia berbicara pada semua orang, tapi matanya selalu menatapku penuh angkuh. Nyeri itu masih ada, mendengar Rara berkata demikian, dan luka itu kembali menganga seperti tersiram air garam. Sakit sekali, meski ini memang kenyataan yang harus aku hadapi.
Mas Eko, tentu saja dia diam. Malu atau malahan bangga bisa beristri dua.
Kutatap balik perempuan itu dengan segenap kekuatan. Kasak-kusuk warga mulai riuh mereka semua kaget.
"Dasar Kodok! Istri cantik begitu masih juga selingkuh!"
"Pisah aja Pak Eko, biar Bu Lisanya sama saya!" seru yang lain. Mereka semua mengumpat Mas Eko, Pak RT sampai kewalahan menertibkan mereka.
"Begini Bapak-bapak karena Bu Rara sudah mengakui sebagai istri ke dua Pak Eko, maka kita serahkan masalah ini pada keluarganya saja. Lebih baik kita kembali ke pos Ronda. Bu Lisa, kami mohon maaf atas kejadian ini," ucap Pak RT.
"Pak RT, tidak perlu minta maaf karena memang Pak RT dan juga warga tidak tahu, jangankan Bapak dan para tetangga, saya sendiri sebagai istri sahnya saja tidak tahu. Jadi sudah sepatutnya mereka diarak begini. Andai tadi Bapak dan warga membawa mereka ke kantor desa pun saya rela dan tidak perlu melaporkan pada saya terlebih dahulu." Aku berucap setenang mungkin dan kutatap mata para pengkhianat itu satu persatu.
"Dik, Mas, minta maaf," ucap Mas Eko lirih.
"Baiklah, Bapak-bapak mari kita kembali ke pos ronda!" ajak Pak RT. Mereka bubar setelah berpamitan padaku.
"Dik, tunggu!" Mas Eko mencekal lenganku saat aku hendak menutup pintu.
"Ada apa lagi Mas? Aku ngantuk mau tidur lihat ini sudah tengah malam!" kataku kesal.
"Mas, minta maaf. Mas mau masuk Dik, dingin. Kenapa kamu tutup pintunya Ibu dan Salsa juga belum masuk." Protes Mas Eko.
"Aku harus tutup pintu Mas, aku tidak mau rumahku di masuki pencuri dan pengkhianat." jawabku santai.
"Maksudnya apa?" tanya Mas Eko pura-pura bod*h.
"Sudah malam, aku capek mau tidur." Brak! Pintu kututup dengan kuat, baik Mas Eko maupun ibu dan Salsa menggedor-gedor pintu berteriak-teriak tidak jelas.
"Mbok, kembali tidur, jangan buka pintu sebelum aku memerintahkan." Mbok Darmi mengangguk lalu masuk kamar.
Aku memang bukan wanita kaya raya dan suamiku beristri dua juga bukan karena bergelimpangan harta, kami berkecukupan status kami juga bukan sultan. Aku sendiri masih bingung apa motifnya apalagi setelah mendengar obrolan Mas Eko dan Salsa semalam bahwa mereka sudah merencanakannya.
🌸🌸🌸🌸
"Mbok, masak apa pagi ini?" tanyaku pada Mbok yang sedang sibuk masak di dapur. Aku menggendong Fia yang hendak aku suapi.
"Ayam goreng sama cah kangkung kesukaan Non, tadi adanya di kulkas itu. Kan, Non, sendiri yang enggak bolehin Mbok buka pintu, jadi ya, enggak belanja," jawab Mbok tangannya sigap menyiapkan sarapanku.
"Kalau mereka enggak ada ya buka aja, Mbok," jawabku sambil menikmati sarapan.
"Ooh, iya Non, ya sudah Mbok, belanja sayur dulu ya mumpung Fia anteng." Mbok Darmi berlalu mengambil keranjang belanja.
"Eh .. eh. Enggak boleh masuk! Nona Lisa, melarang kalian masuk!" teriak Mbok. Aku tidak kaget pasti mereka memaksa masuk.
"Apaan sih, kamu cuma pembantu di sini enggak usah ngelarang-ngelarang!" sahut Rara. Sekejab saja mereka sudah sampai ruang tengah yang menghubungkan langsung dengan ruang makan dan dapur.
"Berhenti di sana!" titahku. Mereka hendak ikut sarapan bersamaku, bahkan Salsa dan Ibu sudah duduk manis di ujung meja.
"Kamu Mas, sekali ke luar dari rumah ini, maka aku izinkan kamu keluar selamanya dari sini!"
"Kamu mengusir aku, Dik?"
"Tidak! Aku hanya mengabulkan keinginanmu. Kan, kamu sendiri yang ingin pergi dari sini, dari hidupku, jadi dengan senang hati aku mempersilakan," ucapanku setenang mungkin, Mas Eko melongo tidak percaya dengan yang aku ucapkan.
"Lisa, kamu mau jadi istri durhaka! Ingat suami itu boleh menikah sampai empat kali jika mampu. Eko mampu makanya dia beristri dua. Sudahlah jangan ribut pagi-pagi. Jalani saja nanti juga lama-lama terbiasa," sahut ibu enteng, Rara tersenyum puas mendapat pembelaan dari ibu.
"Iya, memang teorinya begitu Bu, dan aku paham. Masalahnya adalah Mas Eko itu tidak mampu, dia kere! Ibu lupa siapa yang bekerja keras di rumah ini!" ucapku tak mau kalah. Mas Eko terlihat sangat marah, tapi diam saja tidak berani berkutik.
"Lancang kamu ya! Kalau tidak karena izin dari suamimu mana mungkin kamu akan jadi begini!" kata ibu lagi, Kini amarah menguasai dirinya dadanya naik turun napasnya menggebu.
"Oh, iya, tapi bukan berarti kalian seenak sendiri bisa menyetirku! Sudahlah aku mau sarapan sebaiknya kalian pergi!" usirku.
"Tidak! Mas, tidak akan pernah pergi dari sini apalagi meninggalkan kamu!" ucap Mas Eko, dia menarik kursi hendak ikut sarapan.
"Mbok, sini duduk sebelahku, ikut sarapan, lebih baik sayur dan nasi ini Mbok yang makan dari pada mereka yang makan, dan kalian jika ingin makan sebaiknya masak sendiri, karena Mbok Darmi, aku yang gaji, dan jangan lupa bahan pokoknya juga kalian beli sendiri." Mbok Darmi tampak takut-takut mendekatiku. Aku makan dengan tenang, mereka hanya menonton tanpa berani duduk.
"Hallo, Ka, ada apa?" Aku menjawab telepon dari Mirna bagian admin.
"Bu, mobil yang jalan ke Lampung Utara di rampok, supir Sukri dibuang di sawitan, ini dia baru saja menelepon!" Lapor Mirna.
"Baik, aku segera ke sana!" Aku menutup telepon dan bergegas merampungkan sarapan.
"Kamu mau ke mana, Dik?" tanya Mas Eko sepertinya dia hendak bertanya dari tadi, tapi takut padaku.
"Mau ke kantor Mas, ada masalah ...."
"Jadi, benar dugaanku kamu berpakaian rapi begini mau kerja? Tidak! Aku tidak mengizinkan kamu kerja nanti kamu capek, Dik. Biarkan Mas saja yang bekerja," ucapnya tak terima.
"Kamu izinkan atau tidak aku tetap pergi, ini usaha milikku jadi aku wajib tahu dan mulai hari ini aku akan pergi ke kantor!" jelasku. Aku berpamitan pada Mbok dan Menitipkan Fia.
"Lisa! Sudah kubilang aku tidak mengizinkanmu!" teriak Mas Eko murka, tapi aku tidak peduli.
🌸🌸🌸"Sudah kubilang jangan pergi kamu enggak nurut ya, sama suami!" Mas Eko menarik tanganku sakit sekali. Hampir saja aku terjatuh kalau aku tidak bisa menjaga keseimbangan. Mas Eko benar-benar kasar padaku."Aku pergi bukan untuk hal-hal yang tidak baik Mas, aku pergi ke kantorku sendiri!" Lepas! Tidak cukupkah kamu menyakiti hatiku hingga mulai bermain fisik!" teriakku. Mas Eko perlahan melepaskan cengkraman tangannya. Dikiranya aku akan nurut seperti dulu? Aku bukan lagi istri yang mudah dibodohi. Aku Lisa, seorang sarjana yang sudah merantau ke negeri orang dengan pengalaman manis pahitnya kehidupan, maka jangan remehkan aku."Dik, Mas minta maaf. Mas, enggak bermaksud menyakitimu begitu," ucap Mas Eko, lalu tiba-tiba mencium pipi kananku. Andai saja dia suami baik pasti aku akan merasa tersanjung sekali. Sayangnya dia serigala berbulu domba. Hatinya busuk.Tak kupedulikan Mas Eko yang terus saja melarangku pergi. Dia membuntutiku seperti anak kecil yang tidak rela ditinggal
Siapa Dewi? Akte lahir ini jelas sekali milik Fia. Kuturuni anak tangga mencari keberadaan Mas Eko, aku akan tanyakan langsung padanya jika dia tidak mau menjawab maka aku yang akan mencari jawabannya sendiri. Aku memang bukan tipe orang yang nrimo dan pasrah dengan keadaan apa pun akan aku cari tahu dan perjuangkan."Mirna, Bapak ke mana?""Tadi ada di sini Bu, duduk di sofa tamu sedang menungguku membereskan berkas-berkas ini." Tanpa menyahut lagi ucapan Mirna, aku menyusuri halaman depan. Ternyata Mas Eko sedang menelepon seseorang."Baik segera kamu urus semuanya Ji, nanti bagianmu akan aku transfer lebih, Adikku membutuhkan untuk memperbaiki mobilnya," ucap Mas Eko pada seseorang di telepon."Kalau bisa siang ini harus sudah selesai ya, istri mudaku juga butuh untuk bayar kontrakan, ingat Ji hanya kita yang tahu, jaga rahasia kita," katanya lagi lalu menutup telepon."Iya, halo Sayang, sabarla kamu jangan uring-uringan begitu aku juga pusing. Kamu itu sama aja dengan Lisa enggak
"Eghem, bukan semena-mena, lebih tepatnya tegas, ingat pengkhianat itu harus dihukum biar jera. Mirna besok kalau punya suami terus suamimu tukang selingkuh langsung tendang saja dari rumah biar enggak tuman!" sahutku. Mas Eko lagi-lagi salah tingkah sedang Mirna hanya senyum-senyum saja."Nah, Mirna mulai hari ini kamu satu ruangan denganku, Mas Eko boleh pergi sekarang. Sudah waktunya makan siang kamu boleh istirahat dulu Mir, dan kamu Mas bersihkan ruangan bawah yang tampak kotor sekali,” titahku."Apa! Enggak mau, memang aku ini cleaning servis! Suruh saja Mirna, dia kan, pekerja di sini!" tolak Mas Eko seraya berkacak pinggang."Kalau enggak mau gampang kok, tinggal potong gaji saja, lagi pula selama ini Mas juga enggak pernah bersih-bersih di sini!" kataku tegas."Dik, otakmu di mana! Aku ini suamimu, durhaka kamu semena-mena begitu mentang-mentang kamu bisa cari uang!" teriaknya tak terima."Mas! Di mana otakmu! Saat istrimu rela hidup miskin dan bekerja di negeri orang setela
🌸🌸🌸Kurebahkan tubuh yang sangat lelah ini dan mencoba memejamkan mata berharap bisa tertidur pulas karena hanya dengan tidur aku bisa lupa semua tentang kisah pahit hidupku ini dan besok bisa kembali beraktivitas seperti biasa. Jalan ini masih panjang aku tidak boleh lengah apalagi menyerah. Ini semua demi harga diriku. Perempuan apik sepertiku tidak pantas dicampakkan begini. Mereka harus membayar mahal untuk semua yang telah mereka ambil dariku.“Sayang, Mas rindu.” Kurasakan nafas berat di tengkuk leherku. Mas Eko memelukku dari belakang dan tangannya mulai meraba-raba tubuhku. Kurang ajar! Berani sekali laki-laki pengkhianat ini menjamah tubuhku. Tidak akan pernah aku biarkan. Memang berdosa menolak kemauan suami, tapi kali ini aku harus tegas. Aku tidak sudi lagi tidur dengan laki-laki yang sudah berbagi ranjang dengan perempuan sundal seperti Rara.Plak!Aku balik badan dan segera kutampar pipinya.“Jangan sentuh aku, Mas! Aku sudah tidak sudi lagi melayani kamu! Bahkan luk
Sebelumnya bantu follow akunku ya Dear, subs semua cerbungku, like, coment, and share biar makin banyak yang baca.#Ambil baiknya jika ada, buang buruknya. Happy reading ❤️🌸🌸🌸Klek!Ibu terjatuh saat aku kubuka pintu karena beliau menyandar di daun pintu.“Menantu kurang ajar!” pekiknya.Aku puas sekali melihat ibu jatuh begitu. Badanya yang gempal membuatnya susah untuk bangun.Aku hanya berkacak pinggang saja melihat ibu dan anak di depanku kesakitan.“Bu!” Lirih Mas Eko memanggil sambil memegangi selakangannya.“Kamu apakan anak kesayanganku, Lisa!”“Hanya aku tendang saja selakangannya, Bu. Eh, kena tuh, si burung puyung yang masih berdiri,” jawabku santai seraya cekikikan.“Dasar istri gemblung! Dosa kamu sama suami begitu. Terlaknat kamu!” sahut ibu lagi. Beliau berusaha meraih dinding kamar untuk berdiri.“Menyesal Ibu sudah membiarkan kamu untuk kembali. Harusnya kamu itu memang tidak usah balik ke sini. Mending jadi babu aja di luar negeri. Toh, Eko ada yang ngurusin. Rar
“Halah, kalau sudah mulai kan, nanti lupa. Kamu saja yang terlalu dramatis. Rasanya sama saja, kok! Perempuan itu nerimo tidak usah banyak protes!”“Oh, rupanya Ibu mendukung sekali ya, perbuatan Mas Eko. Sudah tahu anak salah masih saja dibela. Sudah sana pergi dari sini aku mau tidur!” Usirku.“Kamu itu ya, kalau orang tua ngomong didengarin bukan malah bantah terus! Sudah kebagusan benar tingkahmu itu!” bentak ibu. Duh, kupingku makin penging saja.“Aku sudah dengar kok, Bu. Ya, sudah ya, sana Ibu pergi bawa sekalian laki-laki tak berguna ini!” kataku kesal seraya kutunjuk wajah mereka berdua.“Apa kamu bilang, Dik? Tega ya, kamu ngomong begitu padahal aku ini masih sah suami kamu,” jawab Mas Eko dengan raut wajah memelas.“Enggak usah menyek-menyek gitu, Ko. Perempuan seperti dia masih banyak di luaran sana. Kamu ganteng dan kaya punya istri 4 yang jauh lebih cantik dan muda dari si Lisa,” sahut ibu.“Kaya? Dilihat dari manany, Bu? Kaya nebeng iya, juga! Ingat ya, ini semua aku ya
“Kenapa kamu melengos gitu, Dik? Kamu tidak percaya denganku?” tanya Mas Eko. Ah, dia tahu kalau aku ini tak mempercayai ucapannya hanya dengan gerakan wajahku saja. “Sudah tahu jawabannya kan, Mas? Sudah sana kalian pergi. Aku mau tidur besok aku harus kerja!” Usirku untuk yang ke sekian kalinya lagi. “Tidak bisa! Eko harus tidur di sini!” tolak ibu. “Iya, benar. Aku harus tidur di sini, Dik. Tidak apa kamu tidak melayaniku yang penting aku di sini bersama kamu,” sahut Mas Eko. “Jangan ngimpi, Mas! Sudah sana pergi atau kutendang lagi burung puyuhmu itu!” “Dasar perempuan enggak waras!” maki ibu dan memapah Mas Eko ke luar kamar ini. “Ayo, Ko! Besok kamu bisa tidur di sini! Jangan sampai pusaka kamu itu kena tendang untuk yang ke dua kali bisa loyo kamu,” ucap ibu. Aku ingin tertawa, tapi aku tahan. “Jangan harap! Sampai kapan pun kamar ini sudah aku haramkan untuk ditiduri Mas Eko!” bentakku seraya kudorong mereka berdua hingga hampir terjatuh. Brak! Kubanting pintu sampai F
“Sudah diam. Lapar itu makan bukan adu mulut begini,” sela ibu.“Mbok, masakin mie!” titah Mas Eko. Mbok menatapku lalu aku gelengkan kepala.“Ma—sak sendiri saja, Pak,” jawab Mbok.“Aku ini tuanmu. Aku harus kamu layani, Mbok!” bentak Mas Eko.“Mbok, masuk kamar Fia bawa dia. Mbok sudah selesai kan, makannya?” Mbok mengangguk dan permisi masuk ke dalam.“Dasar pembantu sok!” maki Mas Eko.“Diam, Mas! Aku sedang menikmati sarapanku!”“Berani kami bentak aku, Dik?”“Memang yang kamu dengar barusan apa, Mas? Panggilan sayang? Kan, bentakan berarti aku berani,” jawabku.“Makin enggak waras ini otak!” sela ibu.“Aku sudah selesai dan aku harus berangkat kerja. Kamu tidak bisa izin dan tidak boleh telat Mas atau gajimu aku potong!” tegasku."Kamu tega Dik, membiarkan kami kelaparan?" Mas Eko membuntutiku ke ruang tamu.“Aku bahkan belum sarapan, tapi sudah kamu suruh berangkat kerja?” katanya lagi."Kamu juga tega Mas berkhianat padaku," jawabku lagi dan lagi. Itu adalah kata kunci yang sa