đ¸đ¸đ¸
"Sudah kubilang jangan pergi kamu enggak nurut ya, sama suami!" Mas Eko menarik tanganku sakit sekali. Hampir saja aku terjatuh kalau aku tidak bisa menjaga keseimbangan. Mas Eko benar-benar kasar padaku.
"Aku pergi bukan untuk hal-hal yang tidak baik Mas, aku pergi ke kantorku sendiri!" Lepas! Tidak cukupkah kamu menyakiti hatiku hingga mulai bermain fisik!" teriakku. Mas Eko perlahan melepaskan cengkraman tangannya. Dikiranya aku akan nurut seperti dulu? Aku bukan lagi istri yang mudah dibodohi. Aku Lisa, seorang sarjana yang sudah merantau ke negeri orang dengan pengalaman manis pahitnya kehidupan, maka jangan remehkan aku.
"Dik, Mas minta maaf. Mas, enggak bermaksud menyakitimu begitu," ucap Mas Eko, lalu tiba-tiba mencium pipi kananku. Andai saja dia suami baik pasti aku akan merasa tersanjung sekali. Sayangnya dia serigala berbulu domba. Hatinya busuk.
Tak kupedulikan Mas Eko yang terus saja melarangku pergi. Dia membuntutiku seperti anak kecil yang tidak rela ditinggal ibunya pergi.
K tancap gas menuju ke tempat usahaku, travel. Rencananya aku juga akan mengembangkan usahaku agar aku bisa membuka lapangan kerja untuk banyak orang. Aku akan membuka butik ada dua orang temanku menawari baju buatannya dan aku cukup menyediakan tempat saja. Aku akan jadi wanita mandiri yang sukses dengan begitu orang-orang tidak lagi meremehkanku dan Mas Eko, aku pastikan akan menyesal sudah menyia-nyiakan kepercayaanku.
Sebenarnya aku tidak konsentrasi menyetir ditambah lagi belum terlalu mahir. Aku kepikiran Fia, jika nanti aku memutuskan berpisah kasihan dia. Tumbuh kembangnya tidak akan ditemani oleh ayahnya. Huh, keadaan ini sungguh membuatku pusing. Maju kena, mundur pun kena. Bagai makan buah simalakama.
Mas Eko juga kenapa jahat sekali. Bukankah dia yang membuat janji sendiri akan setia selamanya padaku. Bukankah dia yang begitu ketakutan kehilanganku dan mewanti-wantiku agar aku jadi istri setia, meski jarak kami terpisahkan luasnya samudera?
Mulutnya terlalu manis hingga aku terlena oleh ucapan-ucapannya sampai aku tidak bisa membedakan ucapan yang benar dan salah darinya.
Tahu begini aku sudah menggugat cerai darinya sejak di Jepang dulu. Tinggal aku minta urus orang tuaku untuk mengurus semuanya. Aku enak tinggal di sana, kerja membahagiakan diri sendiri dan juga keluarga. Dari pada pulang, tapi aku harus menderita batin begini.
Akan tetapi, menyesali semua yang sudah terjadi pun rasanya percuma karena tidak akan pernah kembali seperti semula. Sekarang yang harus aku lakukan adalah bangkit dari keterpurukan luka hati. Mengobatinya hingga benar-benar sembuh.
Ting!
Mas Eko mengirim pesan setelah panggilan telepon dia tidak aku jawab.
[Dik, pulanglah, kita bicarakan dari hati ke hati, ya? Mas, benar-benar minta maaf. Jika, kamu memintaku untuk meninggalkan Rara, maka akan aku lakukan, Dik. Terpenting kita tetap bersama. Aku sangat mencintaimu, Dik. Tolonglah jadi istriku seperti dulu.] Tulisnya.
[Memohonlah Mas sampai ada lebaran monyet! Keputusanku tidak akan pernah berubah! Mau kamu tetap sama Rara kek, atau tidak itu bukan urusanku. Terlalu dalam luka yang kamu tancapkan. Aku tidak bisa memaafkannya begitu saja!] Balasku.
Mas Eko kembali menelepon, gegas aku riject. Tak Sudi rasanya bicara dengan manusia seperti dia.
Sampai kantor masih lenggang karena memang masih pagi. Hanya ada Mirna dan dua sopir yang baru pulang dari Krui. Jujur aku tidak bisa selamanya mengandalkan usaha ini karena sekarang makin banyak yang punya mobil pribadi.
"Mirna, sopirnya sudah hubungi Polisi?" tanyaku memastikan.
"Sudah, Bu. Sekarang dia sudah ada di kantor polisi."
"Alhamdulillah, berarti segera ditangani, Alhamdulillah juga Mir, sopirnya selamat," kataku penuh syukur.
"Iya, Bu ... Alhamdulillah, tapi mobil dan uang setoran raib." Mirna terlihat sedih karena kebetulan sopir itu adalah calon suaminya.
"Polisi akan segera menangani Mir, tidak usah sedih. Terpenting adalah sopirnya selamat," ucapku menguatkannya.
"Iya, Bu. Terima kasih."
"Kembali bekerja itu sudah ada yang setoran lagi. Jangan lupa kamu suruh istirahat mereka yang baru pulang. Aku akan ke dalam." Mirna mengiyakan.
Di dalam ruangan ini Mas Eko dan Rara sering menghabiskan waktunya berdua, pantas saja selama ini jika aku ingin ke kantor Mas Eko selalu saja tidak mengizinkan dengan alasan aku tidak boleh capek sudah cukup usahaku selama ini jadi TKI, kupikir itu sesuatu yang sangat romantis, tak tahunya karena dia bermain serong di belakangku.
Tega sekali Mas Eko bersenang-senang di atas jerih payahku. Otaknya ditaruh di mana sampai tega bercumbu mesra dengan wanita lain di ruangan yang dibangun dari hasil keringat istrinya. Jijik sekali aku membayangkan perbuatan mereka berdua.
Aku memandang pigura di meja kerja. Tampak potretku dan Mas Eko tersenyum bahagia. Itu foto waktu aku sedang hamil Fia, segera kuambil foto itu lalu kumasukkan ke dalam tasku. Tak Sudi lagi ruangan ini ada jejak Mas Eko.
Kubuka lemari untuk mengecek berkas-berkas. Karena usaha travel, jadi tidak terlalu banyak berkas dan laporannya juga sederhana. Mataku tertuju pada map merah yang sedikit usang berjajar rapi di antara tumpukan map-map yang lain, warnanya yang berbeda dari map-map berkas yang ada membuatku penasaran.
"Dik?" tegur Mas Eko. Rupanya dia datang menyusulku. Cepat sekali apa dia tidak mandi? Wajahnya tampak sumringah dan segar, pasti dia senang karena berhasil sampai sini.
"Mas, mulai hari ini tugas Mas hanya mengatur dan mengencek mobil yang pulang dan pergi termasuk kerusakan-kerusakan semua tanggung jawab Mas. Aku sendiri mulai hari ini akan membantu Mirna untuk pembukuan keuangan." Mas Eko melongo tampak tidak terima.
"Satu lagi, Mas akan menerima gaji seperti pekerja lainnya. Ruangan ini akan aku pakai bersama Mirna, jadi nanti angkat meja Mirna letakkan di pojok sebelah sana." Wajah Mas Eko memerah, dia menahan emosinya.
"Enggak bisa gitu ding, sayang? Aku ini kan, suamimu masa tega memperkerjakan suami sendiri, apa kata mereka?" Meski suaranya dipelankan, tapi jelas sekali menahan marah.
"Bekerja itu harus profesional Mas, tidak memandang dia siapa dan statusnya sebagai apa," jawabku tegas. Mas Eko frustasi dia mengacak rambutnya dan menendang pintu.
"Mas, jangan lupa angkat meja Mirna, kalau tidak mau lebih baik enggak usah kerja lagi. Di luar sana masih banyak orang yang membutuhkan," kataku lagi, sebelum Mas Eko benar-benar keluar dari ruangan ini.
Aku penasaran dengan map merah tadi. Kulanjutkan untuk melihatnya. Map merah ini berisi dua lembar akta kelahiran dan semua atas nama Fia anakku.
Tunggu dulu di sini ada kejanggalan yang nampak. Nama yang sama dari ayah yang sama, tapi dua ibu berbeda. Duniaku rasanya berputar rahasia apa lagi yang mereka sembunyikan dariku?
Map merah ini?
Siapa Dewi? Akte lahir ini jelas sekali milik Fia. Kuturuni anak tangga mencari keberadaan Mas Eko, aku akan tanyakan langsung padanya jika dia tidak mau menjawab maka aku yang akan mencari jawabannya sendiri. Aku memang bukan tipe orang yang nrimo dan pasrah dengan keadaan apa pun akan aku cari tahu dan perjuangkan."Mirna, Bapak ke mana?""Tadi ada di sini Bu, duduk di sofa tamu sedang menungguku membereskan berkas-berkas ini." Tanpa menyahut lagi ucapan Mirna, aku menyusuri halaman depan. Ternyata Mas Eko sedang menelepon seseorang."Baik segera kamu urus semuanya Ji, nanti bagianmu akan aku transfer lebih, Adikku membutuhkan untuk memperbaiki mobilnya," ucap Mas Eko pada seseorang di telepon."Kalau bisa siang ini harus sudah selesai ya, istri mudaku juga butuh untuk bayar kontrakan, ingat Ji hanya kita yang tahu, jaga rahasia kita," katanya lagi lalu menutup telepon."Iya, halo Sayang, sabarla kamu jangan uring-uringan begitu aku juga pusing. Kamu itu sama aja dengan Lisa enggak
"Eghem, bukan semena-mena, lebih tepatnya tegas, ingat pengkhianat itu harus dihukum biar jera. Mirna besok kalau punya suami terus suamimu tukang selingkuh langsung tendang saja dari rumah biar enggak tuman!" sahutku. Mas Eko lagi-lagi salah tingkah sedang Mirna hanya senyum-senyum saja."Nah, Mirna mulai hari ini kamu satu ruangan denganku, Mas Eko boleh pergi sekarang. Sudah waktunya makan siang kamu boleh istirahat dulu Mir, dan kamu Mas bersihkan ruangan bawah yang tampak kotor sekali,â titahku."Apa! Enggak mau, memang aku ini cleaning servis! Suruh saja Mirna, dia kan, pekerja di sini!" tolak Mas Eko seraya berkacak pinggang."Kalau enggak mau gampang kok, tinggal potong gaji saja, lagi pula selama ini Mas juga enggak pernah bersih-bersih di sini!" kataku tegas."Dik, otakmu di mana! Aku ini suamimu, durhaka kamu semena-mena begitu mentang-mentang kamu bisa cari uang!" teriaknya tak terima."Mas! Di mana otakmu! Saat istrimu rela hidup miskin dan bekerja di negeri orang setela
đ¸đ¸đ¸Kurebahkan tubuh yang sangat lelah ini dan mencoba memejamkan mata berharap bisa tertidur pulas karena hanya dengan tidur aku bisa lupa semua tentang kisah pahit hidupku ini dan besok bisa kembali beraktivitas seperti biasa. Jalan ini masih panjang aku tidak boleh lengah apalagi menyerah. Ini semua demi harga diriku. Perempuan apik sepertiku tidak pantas dicampakkan begini. Mereka harus membayar mahal untuk semua yang telah mereka ambil dariku.âSayang, Mas rindu.â Kurasakan nafas berat di tengkuk leherku. Mas Eko memelukku dari belakang dan tangannya mulai meraba-raba tubuhku. Kurang ajar! Berani sekali laki-laki pengkhianat ini menjamah tubuhku. Tidak akan pernah aku biarkan. Memang berdosa menolak kemauan suami, tapi kali ini aku harus tegas. Aku tidak sudi lagi tidur dengan laki-laki yang sudah berbagi ranjang dengan perempuan sundal seperti Rara.Plak!Aku balik badan dan segera kutampar pipinya.âJangan sentuh aku, Mas! Aku sudah tidak sudi lagi melayani kamu! Bahkan luk
Sebelumnya bantu follow akunku ya Dear, subs semua cerbungku, like, coment, and share biar makin banyak yang baca.#Ambil baiknya jika ada, buang buruknya. Happy reading â¤ď¸đ¸đ¸đ¸Klek!Ibu terjatuh saat aku kubuka pintu karena beliau menyandar di daun pintu.âMenantu kurang ajar!â pekiknya.Aku puas sekali melihat ibu jatuh begitu. Badanya yang gempal membuatnya susah untuk bangun.Aku hanya berkacak pinggang saja melihat ibu dan anak di depanku kesakitan.âBu!â Lirih Mas Eko memanggil sambil memegangi selakangannya.âKamu apakan anak kesayanganku, Lisa!ââHanya aku tendang saja selakangannya, Bu. Eh, kena tuh, si burung puyung yang masih berdiri,â jawabku santai seraya cekikikan.âDasar istri gemblung! Dosa kamu sama suami begitu. Terlaknat kamu!â sahut ibu lagi. Beliau berusaha meraih dinding kamar untuk berdiri.âMenyesal Ibu sudah membiarkan kamu untuk kembali. Harusnya kamu itu memang tidak usah balik ke sini. Mending jadi babu aja di luar negeri. Toh, Eko ada yang ngurusin. Rar
âHalah, kalau sudah mulai kan, nanti lupa. Kamu saja yang terlalu dramatis. Rasanya sama saja, kok! Perempuan itu nerimo tidak usah banyak protes!ââOh, rupanya Ibu mendukung sekali ya, perbuatan Mas Eko. Sudah tahu anak salah masih saja dibela. Sudah sana pergi dari sini aku mau tidur!â Usirku.âKamu itu ya, kalau orang tua ngomong didengarin bukan malah bantah terus! Sudah kebagusan benar tingkahmu itu!â bentak ibu. Duh, kupingku makin penging saja.âAku sudah dengar kok, Bu. Ya, sudah ya, sana Ibu pergi bawa sekalian laki-laki tak berguna ini!â kataku kesal seraya kutunjuk wajah mereka berdua.âApa kamu bilang, Dik? Tega ya, kamu ngomong begitu padahal aku ini masih sah suami kamu,â jawab Mas Eko dengan raut wajah memelas.âEnggak usah menyek-menyek gitu, Ko. Perempuan seperti dia masih banyak di luaran sana. Kamu ganteng dan kaya punya istri 4 yang jauh lebih cantik dan muda dari si Lisa,â sahut ibu.âKaya? Dilihat dari manany, Bu? Kaya nebeng iya, juga! Ingat ya, ini semua aku ya
âKenapa kamu melengos gitu, Dik? Kamu tidak percaya denganku?â tanya Mas Eko. Ah, dia tahu kalau aku ini tak mempercayai ucapannya hanya dengan gerakan wajahku saja. âSudah tahu jawabannya kan, Mas? Sudah sana kalian pergi. Aku mau tidur besok aku harus kerja!â Usirku untuk yang ke sekian kalinya lagi. âTidak bisa! Eko harus tidur di sini!â tolak ibu. âIya, benar. Aku harus tidur di sini, Dik. Tidak apa kamu tidak melayaniku yang penting aku di sini bersama kamu,â sahut Mas Eko. âJangan ngimpi, Mas! Sudah sana pergi atau kutendang lagi burung puyuhmu itu!â âDasar perempuan enggak waras!â maki ibu dan memapah Mas Eko ke luar kamar ini. âAyo, Ko! Besok kamu bisa tidur di sini! Jangan sampai pusaka kamu itu kena tendang untuk yang ke dua kali bisa loyo kamu,â ucap ibu. Aku ingin tertawa, tapi aku tahan. âJangan harap! Sampai kapan pun kamar ini sudah aku haramkan untuk ditiduri Mas Eko!â bentakku seraya kudorong mereka berdua hingga hampir terjatuh. Brak! Kubanting pintu sampai F
âSudah diam. Lapar itu makan bukan adu mulut begini,â sela ibu.âMbok, masakin mie!â titah Mas Eko. Mbok menatapku lalu aku gelengkan kepala.âMaâsak sendiri saja, Pak,â jawab Mbok.âAku ini tuanmu. Aku harus kamu layani, Mbok!â bentak Mas Eko.âMbok, masuk kamar Fia bawa dia. Mbok sudah selesai kan, makannya?â Mbok mengangguk dan permisi masuk ke dalam.âDasar pembantu sok!â maki Mas Eko.âDiam, Mas! Aku sedang menikmati sarapanku!ââBerani kami bentak aku, Dik?ââMemang yang kamu dengar barusan apa, Mas? Panggilan sayang? Kan, bentakan berarti aku berani,â jawabku.âMakin enggak waras ini otak!â sela ibu.âAku sudah selesai dan aku harus berangkat kerja. Kamu tidak bisa izin dan tidak boleh telat Mas atau gajimu aku potong!â tegasku."Kamu tega Dik, membiarkan kami kelaparan?" Mas Eko membuntutiku ke ruang tamu.âAku bahkan belum sarapan, tapi sudah kamu suruh berangkat kerja?â katanya lagi."Kamu juga tega Mas berkhianat padaku," jawabku lagi dan lagi. Itu adalah kata kunci yang sa
Ibu, Salsa, dan Rara sangat senang mereka tersenyum mengejek melihat aku yang dimarahi Mas Eko."Oh, gitu, ini aku kembalikan, dan silakan Mas pergi dari sini bawa juga tiga benalu ini!" teriakku lantang.Kubuka pintu lebar-lebar mempersilakan mereka pergi. Sampai kuhitung di detik ke sepuluh masih saja diam."Kalian punya kuping, kan!? Cepetan pergi!" Bukannya pergi Mas Eko justru mencekal tanganku dan menyeretku ke gudang. Mereka semua tertawa puas Fia menangis, dan tantrum, Mbok Wati sampai kuwalahan menenangkan Fia. Rupanya anak itu tahu kalau ibunya sedang tidak baik-baik saja.Kutendang lagi selakangan Mas Eko kuat sekali sampai dia mengaduh kesakitan memegangi senjatanya dan terkapar untuk yang ke dua kalinya."Kurang ajar kamu ya, Lisa! Kalau Eko kenapa-kenapa kamu bakalan Ibu tuntut!" teriak ibu. Beliau berlari menghampiri Mas Eko yang meringkuk.Bugh! Bugh!Karena belum puas aku kembali menendang bagian perut Mas Eko. Dia menjerit kesakitan, bengkak deh, sana itu burung puyu