Share

BAB 5. Melawan.

🌸🌸🌸

"Sudah kubilang jangan pergi kamu enggak nurut ya, sama suami!" Mas Eko menarik tanganku sakit sekali. Hampir saja aku terjatuh kalau aku tidak bisa menjaga keseimbangan. Mas Eko benar-benar kasar padaku.

"Aku pergi bukan untuk hal-hal yang tidak baik Mas, aku pergi ke kantorku sendiri!" Lepas! Tidak cukupkah kamu menyakiti hatiku hingga mulai bermain fisik!" teriakku. Mas Eko perlahan melepaskan cengkraman tangannya. Dikiranya aku akan nurut seperti dulu? Aku  bukan lagi istri yang mudah dibodohi. Aku Lisa, seorang sarjana yang sudah merantau ke negeri orang dengan pengalaman manis pahitnya kehidupan, maka jangan remehkan aku.

"Dik, Mas minta maaf. Mas, enggak bermaksud menyakitimu begitu," ucap Mas Eko, lalu tiba-tiba mencium pipi kananku. Andai saja dia suami baik pasti aku akan merasa tersanjung sekali. Sayangnya dia serigala berbulu domba. Hatinya busuk.

Tak kupedulikan Mas Eko yang terus saja melarangku pergi. Dia membuntutiku seperti anak kecil yang tidak rela ditinggal ibunya pergi.

 K tancap gas menuju ke tempat usahaku, travel. Rencananya aku juga akan mengembangkan usahaku agar aku bisa membuka lapangan kerja untuk banyak orang. Aku akan membuka butik ada dua orang temanku menawari baju buatannya dan aku cukup menyediakan tempat saja. Aku akan jadi wanita mandiri yang sukses dengan begitu orang-orang tidak lagi meremehkanku dan Mas Eko, aku pastikan akan menyesal sudah menyia-nyiakan kepercayaanku.

Sebenarnya aku tidak konsentrasi menyetir ditambah lagi belum terlalu mahir. Aku kepikiran Fia, jika nanti aku memutuskan berpisah kasihan dia. Tumbuh kembangnya tidak akan ditemani oleh ayahnya. Huh, keadaan ini sungguh membuatku pusing. Maju kena, mundur pun kena. Bagai makan buah simalakama.

Mas Eko juga kenapa jahat sekali. Bukankah dia yang membuat janji sendiri akan setia selamanya padaku. Bukankah dia yang begitu ketakutan kehilanganku dan mewanti-wantiku agar aku jadi istri setia, meski jarak kami terpisahkan luasnya samudera?

Mulutnya terlalu manis hingga aku terlena oleh ucapan-ucapannya sampai aku tidak bisa membedakan ucapan yang benar dan salah darinya.

Tahu begini aku sudah menggugat cerai darinya sejak di Jepang dulu. Tinggal aku minta urus orang tuaku untuk mengurus semuanya. Aku enak tinggal di sana, kerja membahagiakan diri sendiri dan juga keluarga. Dari pada pulang, tapi aku harus menderita batin begini.

Akan tetapi, menyesali  semua yang sudah terjadi pun rasanya percuma karena tidak akan pernah kembali seperti semula. Sekarang yang harus aku lakukan adalah bangkit dari keterpurukan luka hati. Mengobatinya hingga benar-benar sembuh.

Ting!

Mas Eko mengirim pesan setelah panggilan telepon dia tidak aku jawab.

[Dik, pulanglah, kita bicarakan dari hati ke hati, ya? Mas, benar-benar minta maaf. Jika, kamu memintaku untuk meninggalkan Rara, maka akan aku lakukan, Dik. Terpenting kita tetap bersama. Aku sangat mencintaimu, Dik. Tolonglah jadi istriku seperti dulu.] Tulisnya.

[Memohonlah Mas sampai ada lebaran monyet! Keputusanku tidak akan pernah berubah! Mau kamu tetap sama Rara kek, atau tidak itu bukan urusanku. Terlalu dalam luka yang kamu tancapkan. Aku tidak bisa memaafkannya begitu saja!] Balasku.

Mas Eko kembali menelepon, gegas aku riject. Tak Sudi rasanya bicara dengan manusia seperti dia.

Sampai kantor masih lenggang karena memang masih pagi. Hanya ada Mirna dan  dua sopir yang baru pulang dari Krui. Jujur aku tidak bisa selamanya mengandalkan usaha ini karena sekarang makin banyak yang punya mobil pribadi.

"Mirna, sopirnya sudah hubungi Polisi?" tanyaku memastikan.

"Sudah, Bu. Sekarang dia sudah ada di kantor polisi."

"Alhamdulillah, berarti segera ditangani, Alhamdulillah juga Mir, sopirnya selamat," kataku penuh syukur.

"Iya, Bu ... Alhamdulillah, tapi mobil dan uang setoran raib." Mirna terlihat sedih karena kebetulan sopir itu adalah calon suaminya.

"Polisi akan segera menangani Mir, tidak usah sedih. Terpenting adalah sopirnya selamat," ucapku menguatkannya.

"Iya, Bu. Terima kasih."

"Kembali bekerja itu sudah ada yang setoran lagi. Jangan lupa kamu suruh istirahat mereka yang baru pulang. Aku akan ke dalam." Mirna mengiyakan.

Di dalam ruangan ini Mas Eko dan Rara sering menghabiskan waktunya berdua, pantas saja selama ini jika aku ingin ke kantor Mas Eko selalu saja tidak mengizinkan dengan alasan aku tidak boleh capek sudah cukup usahaku selama ini jadi TKI, kupikir itu sesuatu yang sangat romantis, tak tahunya karena dia bermain serong di belakangku.

Tega sekali Mas Eko bersenang-senang di atas jerih payahku. Otaknya ditaruh di mana sampai tega bercumbu mesra dengan wanita lain di ruangan yang dibangun dari hasil keringat istrinya. Jijik sekali aku membayangkan perbuatan mereka berdua.

Aku memandang pigura di meja kerja. Tampak potretku dan Mas Eko tersenyum bahagia. Itu foto waktu aku sedang hamil Fia, segera kuambil foto itu lalu kumasukkan ke dalam tasku. Tak Sudi lagi ruangan ini ada jejak Mas Eko.

Kubuka lemari untuk mengecek berkas-berkas. Karena usaha travel, jadi tidak terlalu banyak berkas dan laporannya juga sederhana. Mataku tertuju pada map merah yang sedikit usang berjajar rapi di antara tumpukan map-map yang lain, warnanya yang berbeda dari map-map berkas yang ada membuatku penasaran.

"Dik?" tegur Mas Eko. Rupanya dia  datang menyusulku. Cepat sekali apa dia tidak mandi? Wajahnya tampak sumringah dan segar, pasti dia senang karena berhasil sampai sini.

"Mas, mulai hari ini tugas Mas hanya mengatur dan mengencek mobil yang pulang dan pergi termasuk kerusakan-kerusakan semua tanggung jawab Mas. Aku sendiri mulai hari ini akan membantu Mirna untuk pembukuan keuangan." Mas Eko melongo tampak tidak terima.

"Satu lagi, Mas akan menerima gaji seperti pekerja lainnya. Ruangan ini akan aku pakai bersama Mirna, jadi nanti angkat meja Mirna letakkan di pojok sebelah sana." Wajah Mas Eko memerah, dia menahan emosinya.

"Enggak bisa gitu ding, sayang? Aku ini kan, suamimu masa tega memperkerjakan suami sendiri, apa kata mereka?" Meski suaranya dipelankan, tapi jelas sekali menahan marah.

"Bekerja itu harus profesional Mas, tidak memandang dia siapa dan statusnya sebagai apa," jawabku tegas. Mas Eko  frustasi dia mengacak rambutnya dan menendang pintu.

"Mas, jangan lupa angkat meja Mirna, kalau tidak mau lebih baik enggak usah kerja lagi. Di luar sana masih banyak orang yang membutuhkan," kataku lagi, sebelum Mas Eko benar-benar keluar dari ruangan ini.

Aku penasaran dengan map merah tadi. Kulanjutkan untuk melihatnya. Map merah ini berisi dua lembar akta kelahiran dan semua atas nama Fia anakku.

 Tunggu dulu di sini ada kejanggalan yang nampak. Nama yang sama dari ayah yang sama, tapi dua ibu berbeda. Duniaku rasanya berputar rahasia apa lagi yang mereka sembunyikan dariku?

Map merah ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status