“Aku ragu, kalau aku sebenarnya bukan anak kandung ibu dan bapak.”“Apa!” Sontak kuterkejut mendengar pengakuan suamiku yang sepertinya benar-benar putus asa dengan apa yang sedang dialaminya. “Bang, kenapa kamu bisa berucap demikian?”“Dengan semua yang kualami, menandakan kalau aku bukan anak kandung mereka, Dek. Bapak, mungkin karena bapak memang tipe orang penyanyang.” Tangis itu tetap mengalir dari sudut netranya.“Bang, sekarang abang istirahat aja, ya. Besok, kita antar ibu pulang ke rumah mak udaku di Pancur air.” Sengaja kualihkan arah pembicaraan kami agar ia segera menghentikan kepiluannya. Di pembaringannya, masih kulihat ia termenung, namun lambat laun, kedua netranya mulai menutup perlahan dilanda rasa lelah, kantuk, dan kecewa.***Pagi itu, seperti biasa, kusiapkan segala kebutuhan Masno untuk dia sekolah. Anakku sekolah kelas satu SD. Sengaja kusekolahkan di dekat komplek perumahan Puskesmas ini agar ketika jam pulang sekolah, aku bisa menjemputnya meskipun di saat a
“Tunggu!”“Bang Jaya?” sapaku heran melihatnya berjalan dari arah sana.“Haris, kam pulang aja, sana! Ratih dan ibu nanti abang yang antar,” ujarnya pada bang Haris.“Bang, hari ini abang ada jam kuliah, kan? Abang duluan aja, gak apa-apa, nanti aku belanja sama ibu aja.”“Oh, ya, udah, mari, Bang, Bu.” Bang Haris berlalu menggunakan motor jadulnya.“Bu, hari ini nginap di rumahku aja, ya,” tawar abangku.“Tapi, Nakku, nanti gak kerepotan rasa istrindu?”“Enggak, Bu. Lagipula, cucu-cucundu udah kangen semua sama kam.” Sejenak ibu terdiam dan menatapku bimbang. Kuanggukkan kepalaku sebagai tanda tuk menyuruh ibu nginap di rumah bang Jaya.“Ya, udahlah, kalau gitu. Septi, lain kali ajalah aku nginap di rumahndu, ya. Diajak Jaya pula aku nginap di rumahnya.”“Oh, uwai nyah adi bage,” (Oh, ya, udahlah kalau gitu) sahut mak udaku dari dalam rumah menuju teras. “Jadi, sekarang kalian pulang?”“Iya, Mak uda, ada hal penting yang mau kubicarakan sama Ratih,” jawab bang Jaya.“Oh, iya, udah. H
“Bu!” Tawa Hana pecah melihat ibunya berjalan pincang pasca kesandung batu. “Kok, bisa kayak gitu, sih, Bu.” Melihat mata ibunya yang merasa kesal dengannya, Hana berusaha menahan tawa agar ibunya tak semakin marah.“Bantu aku, lah! Kui malah ketawa-ketawa kayak gitu! Gak sopan tenan, yo!” (gak sopan kali, ya!)Hana, pun, memapah ibunya masuk ke dalam rumah dan mengurut pelan kakinya yang sudah mulai membengkak.“Bu, ini kakinya udah mulai bengkak, loh. Apa gak sebaiknya ke dukun patah aja?” tawar Hana.“Ah, gak usahlah, nanti sore aku mau ke sawah nanam padi,” tolak Painem.“Bang Haris mana, sih, Bu. Kok, ibu lagi kesusahan gini dia malah gak ada di sini.” Hana kembali berusaha memancing emosi Painem. “Dia jadi anak pertama, pun, gak ngerasa apa kalau ibunya lagi kesusahan,” celetuknya.“Gak taulah aku, abangmu itu udah termakan cakap istrinya yang misk*n itu, makanya dia udah gak sayang dan gak peduli lagi sama aku. Padahal dulu, dia itu anak yang nurut dan patuh sama orang tua. Gak
“Heh ....! Suara nyaring menyeruak ke dalam rumah kami hingga mengejutkan aku yang tengah dipeluk oleh bang Haris.“Dek, bentar kulihat dulu ke luar, ya. Kamu di sini aja!” Aku sungguh cemas, tapi berusaha tetap tenang.“Bang Haris, kau tengok ibumu itu di rumahnya, macam mana kau jadi anak laki-laki, gak peduli sama keadaan ibumu sendiri!” Suara menantang itu terdengar dari lisan seorang lelaki. Aku seperti tak asing dengan suara itu dan segera kuintip dari balik jendela kami.“Terus apa maksud kedatanganmu ke sini marah-marah kayak gitu? Kalau memang niatmu tuk menyuruhku datang melihat ibu, bicarakan baik-baik.” tanya suamiku santai.“Ya, aku gak terimalah, kalau istriku lama-lama di sana ngurusin ibumu! Barang dagangannya jadi terbengkalai gara-gara Hana masih di sana. Jadinya aku gak bisa kemana-mana! Sedangkan kau, jadi anak laki-laki, bukannya ngurusin ibumu, malah enak-enakan santai kau di sini!” Ya, Jefri mengamuk gak jelas bagai orang kemasukan set*n. Aku gak bisa diam melih
PRAK“Hana!” sergah bang Haris. Hana dan Jefri terkejut kala melihat kami datang tepat di saat ia membentak dan menyiksa ibu mertuaku dengan sapu lidi. “Beginikah perlakuanmu terhadap ibu setiap kali aku gak datang ke rumah ini?” sergah bang Haris sekali lagi.Kulihat Jefri tak berkutik dengan ucapan suamiku. Biasanya, dialah yang paling menggebu-gebu dengan segala ucapan lantang yang keluar dari mulutnya untuk menghina kami.“A ... aku, aku kesal dengan ibu yang susah kali dibilangin!” balas Hana.“Tapi tak seharusnya kau pukuli dan bentak ibu kayak tadi!” timpal bang Haris.“Aduuuh ... aduuuh sakit,” keluh ibu mertuaku.“Bu, ayo, sekarang kita ke tukang urut, ya. Ini kaki ibu terkilir. Setelah itu nanti kita pergi ke dokter untuk ambil obat penghilang nyeri,” ajakku.Mungkin karena sudah terlanjur kesakitan, kali ini ibu mertuaku hanya diam saja dengan ajakanku. Tak membuang waktu lama, kamipun membawa ibu ke tukang urut yang ada dekat situ.“Bang, biar ibu kamu bonceng aja, aku dan
“Bapak!”“Dek, tolong panggilkan warga yang lewat di depan rumah!” titah suamiku histeris. Aku yang panik kala itu segera bergegas menuju pintu depan. Tak kuhiraukan perutku yang sudah sangat bulat sempurna. Kupanggil sesiapapun yang melintas. Pastinya mereka adalah para lelaki yang hendak pergi ke masjid. Di tengah-tengah aku memanggil mereka, azan maghrib berkumandang. Membuat para lelaki itu berlarian mengejar waktu menuju masjid. Tak seorangpun mendengar panggilanku.“Bang,” panggilku kecewa, namun sayup terdengar isak tangis suamiku dari bilik kamar. Begitupun suara Masno yang terus menyebut ‘kakek’ diiringi tangis.Kutekan daun pintu dan kulihat bapak mertuaku telah terbujur kaku di atas pembaringan yang selama ini ditempatinya.“Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.” Kalimat itu spontan terucap dari lisanku.“Dek, bapakku udah meninggal, Dek, bapakku udah gak ada,” tangis bang Haris sambil memelukku. Tak dapat kubendung air mata ini, hingga tumpah membasahi pipiku juga. Kuingat s
“Heh, manusia gak tahu diri.” Suara itu mengejutkanku yang tengah mendoakan bapak mertuaku.“Hana, apa maksud ucapanmu itu?” tanyaku pada Hana yang menyergahku dengan kata-kata barusan.“Kakak penyebab bapakku meninggal! Kakak udah membunuh bapakku!” sergahnya dengan amarah yang menggebu-gebu. Aku berusaha bangkit dari .“Ada apa ini?” tanya bang Haris yang baru saja pulang dari masjid.“Bang, kenapa istrimu ini selalu saja membawa masalah di keluarga ini. Dulu masalah harta warisan, sekarang dia menjadi penyebab meninggalnya bapak. Padahal aku sayang sekali dengan bapak.” Isak dan tangis yang entah itu hanya sandiwara, tampak dari wajah Hana. Kulihat ibu mertuaku ke luar dari kamarnya dan menimpali ucapan Hana barusan.“Haris, mending kau talak aja istrimu ini daripada semakin banyak kesia*an yang dibawanya untuk keluarga ini,” cerca ibu mertuaku.“Bang, apa penilaianmu terhadap aku? Apa sama seperti ibu dan adikmu?” Bang Haris terpaku, aku tahu, sulit baginya memilih antara aku atau
“Haris, ibu mohon padamu, talak istrimu ini!” Ibu mertuaku berkata demikian dengan raut memelas untuk menarik simpati suamiku.“Bang, kamu gak bisa lakuin itu sama aku, jenazah bapak masih ada di hadapan kita, ibumu, kok, tega bikin masalah baru!” Kali ini aku menyerang ibu balik dengan kata-kata yang mungkin tidak sopan.“Terus, kakak mau apa rupanya setelah ini? Mau harta kami? Mau jadi menantu tunggal yang menerima harta warisan dari bapak mertua yang sangat menyayangi menantu perempuannya? Gitu!” tambah Hana.‘Bang, tolong ucapkan sesuatu, jangan diam aja kayak gini,’ pintaku dalam hati.“Ah.” Tiba-tiba perutku terasa keram sekali.“Kenapa, Dek?”“Gak tahu, nih, Bang, tiba-tiba perutku kontraksi, kayak mau melahirkan, aduuuh ....” jeritku di gelapnya malam.“Ya, udah, kalau gitu kita ke Puskesmas aja, ya,” ajak suamiku.“Iya, Bang.” Bang Haris memapahku hingga ke luar rumah.“Bu, Han, tolong nanti susul kami di Puskesmas, ya, sekalian bawakan tas yang ada di dalam kamar. Aku mau