“Bapak ....!” teriak suamiku dari dalam kamar
Dengan langkah tertatih, kuhampiri pusat suara bang Haris memanggil bapak dan apa yang kulihat juga membuatku berteriak yang sama.“Pak, kok, bisa jadi kekgini, sih, Pak?” “I ... ib ... u mu.” Berat bagi bapak mengucapkan sepatah katapun.“Ayo, Pak, ayo naik ke tempat tidur. Dek, tolong ambilkan segelas air putih di belakang, ya,” titah bang Haris padaku.“Baik, Bang.”Kuambilkan segelas air putih dan kuberikan pada suamiku.
“Terimakasih, ya, Dek.” Bang Haris mengambil gelas itu dari tanganku dan memberikannya untuk bapak. “Pak, kok, bapak bisa jatuh di bawah kayak tadi? Terus ibu ke mana, Pak?”
Hanya gelengan kepala yang bisa kami terima atas pertanyaan itu. Sangat sulit baginya untuk mengucapkan bahkan sepatah katapun. Tiba-tiba terdengar suara hentakan pintu yang sangat keras dari luar.GUBRAK!“Hei lelaki tua sekarat! Capek kali hidupku ini kau buat, enak-enakan aja kerjamu di rumah sedangkan aku nyari uang tuk ngurusi hidup kau yang gak berguna itu! Untung aku punya anak menantu yang sayang sama aku, jadi ngelihat kau kekginipun, masih ada rasa sedikit terobati!” Ocehan demi ocehan kasar terus terdengar dari luar kamar sampai akhirnya ibu membuka pintu kamar bapak.“Heh, manusio asu! Karep mangan opo kui?” (Heh, manusia anj*ng! mau makan apa kau?Deg! Ibu terkejut melihat kami ada di dalam kamar. Sontak ia langsung salah tingkah atas perkataannya sendiri. Bapak yang melihat itu hanya bisa terbaring lemah.“Berarti selama ini, kekgini perlakuan ibu terhadap bapak? tanya suamiku. Iya, Bu!” sergahnya.“Kalau iyo, ngopo!” (kalau iya, kenapa!) balas ibu dengan tatapan nanar. “Ya, Allah, Bu, bapak ini suami ibu dan beliau sedang sakit, kenapa ibu tega ngomong kek tadi sama bapak, ibu, kan, istrinya,” ucap bang Haris dengan nada penuh kekecewaan.“Wis, sakarepmulah!.” (Udah, terserahmulah!) Ibu pergi meninggalkan kami dan menghentakkan pintu dengan begitu kerasnya.“Astaghfirullah!” ucapku pelan.“Dek, maafkan ibuku, ya.” Terlihat raut lelah pikiran dari wajah suamiku atas sikap ibunya. Namun, tetap kubalas dengan anggukan dan senyuman akan permintaan maaf darinya.***Beberapa saat setelah itu, bang Haris menyulangi bapak dengan nasi bungkus yang kami bawa.
“Yuk, Pak, dikit lagi udah mau habis, nih, nasinya.” “U ... uda ... h,” responnya penuh kesulitan.“Dek, kamu kalau capek, rebahan aja, gih, di kamar sebelah. Itu kamarku dulu waktu masih lajang.”“Iya, Bang. Memang perutku agak kurang enak dari tadi. Pak, aku ke kamar sebelah dulu, ya,” ucapku pelan pada bapak yang terkulai lemah.Saat tiba di depan pintu kamar, tiba-tiba ibu muncul dari arah dapur dan menoyor kepalaku.“Heh, wanita mis*in, mau apa kau datang ke mari? Mau menghasut anakku biar makin benci sama aku, iya!” sengaja ibu memelankan suaranya agar tak terdengar oleh bang Haris. Namun suara itu tertancap begitu sakit di hatiku.“Bu, kami ke sini untuk bantu ibu merawat bapak. Biar ibu gak kelelahan.”“Alaaah! Mau numpang hidup aja! Bilang!” ucapan ibu ini terasa sangat sakit, namun tetap kutahan demi menjaga kondisi bapak yang sedang kurang sehat. Aku, pun, pergi ke kamar seiring berlalunya ibu dari hadapanku.***Di lain tempat, tampak Hana yang sangat bahagia kerena hasil jualannya banyak terjual dan hampir habis.‘Wah, lancar laris manis jualanku.’ Sambil menepuk-nepukan segepok uang di atas macam-macam mi yang dijualnya.“Dek, minta uang sama ibumu, gih! Uangku udah habis, semalam aku kalah taruhan. Ini aku udah narok nomor togel.”“Bang, aku jualan untuk biayai kehidupan kita, tapi abang selalu ngabis-ngabisin duit kayak gitu. Anak-anak kita mau sekolah nanti kekmana, Bang, tolonglah ngerti perasaan aku, jangan cuman maumu aja diikutin?” Perdebatan di antara mereka membuat Jefri murka dan menghamburkan sisa mi yang tadi masih tersusun rapi di atas nampan.“Aku gak mau tau, lusa kita datang ke rumah ibumu, terus kita minta uangnya!” Tak lupa ia menyulut rokok di tangan kirinya setelah berucap demikian lalu meninggalkan Hana bersama mi yang berserakan di atas lantai.‘Aku harus dapatkan uang itu dari ibu, kalau enggak, bisa habis aku jadi sasaran bang Jefri setiap hari,’ batin Hana.Ia, pun, membereskan sisa mi yang berserakan itu, mi yang telah terkumpul itu ia gabungkan menjadi 1, hampir mirip seperti sedia kala. Ia melirik ke kiri dan ke kanan. Tak terlihat ada orang di dekat situ, lalu ia berkata, ‘sayang kalau dibuang, mending kujual aja lagi untuk tambahan uang belanja.’***‘Aduh, perutku, kok, keram kali, ya.’“Bang ... Bang, tolong ke sini bentar!”“Kenapa, Dek?” Bang Haris menghampiriku dan mengusap lembut perutku.“Perutku tiba-tiba sakit kali. Kayaknya aku mau melahirkan, Bang.”“Oh, ya, udah, kita ke rumah sakit aja sekarang, ya. Bu ... ibu, Ratih mau melahirkan. Tolong telponkan tukang becak atau carikan kendaraan yang bisa kami tumpangi,” pinta suamiku.“Yang mau lahiran, kan, dia, kok, aku pula yang mesti sibuk ngurusin! Cuih!” Ungkapan penuh kebencian kembali keluar dari mulutnya. Tak merespon sikap ibu terlalu lama, bang Haris, pun, membawaku ke rumah sakit dan alhamdulillah bayiku lahir dengan selamat.***Alhamdulillah karena aku melahirkan normal, proses pemulihan pun lekas terjadi. Aku dan bayiku sudah diperbolehkan pulang ke rumah setelah 2 hari dirawat inap. Dikarenakan dari awal memang kami berniat untuk merawat bapak, maka rumah yang kami tuju adalah rumah bapak dan ibu.“Assalamualaikum, Bu, Pak, kami pulang.”CEKLEKPintu dibuka dari dalam, tandanya ada orang di dalam rumah bapak.“Jefri, sejak kapan kalian di sini?” tanya suamiku bingung.“Dari tadi,” jawabnya angkuh.“Eh, udah pulang kalian, Bang, Yuk, maaf, ya, kami gak ada waktu buat jenguk yayuk di rumah sakit. Maklum, daganganku tiap hari laris manis, jadi gak bisa pere walau satu hari pun. Takut ditinggal pelanggan.” Terlihat sangat jelas perkataan itu bukanlah permintaan maaf, melainkan cemoohan untukku.“Iya, Han. Gak apa-apa, lagian kami juga udah dibolehkan cepat pulang, kok.” “Bu, udah dulu, ya. Pokoknya aku pakek, ya, giwang ibu tadi,” ucap Hana manja pada ibu mertuaku.“Iyo, Ndok, cah ayuku,” (Iya, anak perempuanku yang cantik) jawab ibu sukarela.“Kalau gitu aku pamit, ya, Bu.” Hana dan Jefri ke luar dari rumah itu dengan kegirangan tanpa memedulikanku dan keponakannya yang sedang kugendong. Dalam hati aku menangis, namun berusaha untuk kuat.“Bu, lihat ini, cucu ibu udah lahir, alhamdulillah normal dan sehat.” Dengan penuh harap bang Haris menarik perhatian ibu.‘Ah, dolan-dolan neng omah putuku, ah, wis kangen tenan aku iki.” (ah, main-main ke rumah cucuku, ah, udah kangen kali aku ini). Ibu berlalu begitu saja dari hadapan kami dan mengambil tas yang terletak di atas meja. “Bang, aku ... BERSAMBUNG“Abang mau bicara apa?”“Makasih, ya, udah kembali teduhkan hati anak kita untuk menerima ibuku di rumah ini. Aku gak tahu harus berkata yang bagaimana lagi ke kamu. Kesabaranmu, ketulusanmu, kesetiaanmu dan semua hal baik tentangmu, mungkin gak mampu kubalas satu persatu.” Mata itu tampak berkaca-kaca menatapku yang berdiri di depannya.“Bang, aku ini istrimu, sudah sepantasnya selalu ada di saat apapun keadaan yang kamu alami. Aku memilih mencintaimu sejak dulu, hari ini, dan nanti. Tapi biar bagaimanapun, aku bukanlah makhluk yang sempurna, Bang.”“Bagiku kaulah yang paling sempurna, Dek.”“Enggak, Bang. Kamu salah bila menganggapku sesempurna itu. Aku juga pasti punya titik terendah yang mungkin dapat membuatku merasa lelah suatu hari nanti. Hingga tanpa kamu sadari, aku melakukan hal yang tak pernah kamu duga.”“Apa maksudmu, Dek?”“Aku juga hanya manusia biasa, Bang. Apalagi aku adalah seorang wanita yang mana segala sesuatunya berlandaskan hati. Beda dengan kalian yang menganda
“Hana!” balas Bang Haris dengan teriakan yang lebih lantang. “Apa maksudmu ucapkan perkataan itu!”“Aku udah capek sama semua penderitaan ini, jangan abang tambah lagi bebanku dengan menitipkan ibu sama aku!” Hana meronta-ronta seperti orang kerasukan.“Aku bukannya gak mau ngajak ibu ikut tinggal bersamaku, tapi ibu yang gak mau ikut aku!” sergah Bang Haris.“Aku gak mau tahu, ajak ibu pindah dari sini, aku gak mau dia jadi penambah bebanku di rumah ini!”Segera kuberjalan menuju kamar di mana ibu mertuaku berada. Tak kuindahkan lagi perkataan serta omelan adik iparku. Sepanjang kami berada di rumahnya, ia terus mengomel dan mengeluarkan ujaran kebencian. Aku seakan menutup telinga kiri dan kananku. Mengabaikan semua perkataannya.“Bang, semua perlengkapan ibu udah kubawa, kita pergi sekarang aja, ya,” ajakku tanpa menghiraukan Hana yang masih ngedumel.Masih terdengar jelas di telingaku ucapan pedas dari mulut Hana, tapi aku seolah menganggapnya tidak ada.“Heh, Kak, Bang! Kalian de
“Masalah apa lagi yang mau kau buat.” Kudengar suara itu dari ruang tamuku, jangan-jangan ada lagi masalah baru sepulang kami dari rumah Hana tadi siang.Segera aku menyusul pusat suara itu, dan kulihat bang Haris sedang bertelponan tapi entah dengan siapa.“Bang, baru telponanan dengan siapa?” tanyaku sedikit ragu. Kulihat suamiku masih mengepalkan tangan kanannya. Tampak dia sangat kesal dengan orang di telepon barusan. “Duduk dulu, yuk, biar kamu lebih tenang. Bentar aku ambilkan teh hangat, ya.” Sesaat kuambilkan teh hangat untuk Bang Haris supaya dia lebih tenang dan meredalah emosinya. “Ini tehnya, Bang.” Kusuguhkan teh yang masih panas namun sedikit hangat itu untuknya.“Makasih, ya, Dek.”“Gimana? Udah enakan?”“Udah.”Kugenggam tangan suamiku dengan tangan kananku dan sedikit kutepuk-tepuk punggung tangannya dengan tangan kiriku.“Aku gak habis pikir lihat Hana dan Jefri.” Bang Haris mulai angkat bicara. Kutatap sorot matanya tanda aku serius mendengarkannya bercerita. “Hana
“Aku benci kalian semua!” Jelas terdengar suara yang tak asing di telingaku. Ya, itu suara Endi.GUBRAKPintu rumah yang memang tak terkunci itupun didobrak oleh Endi.“Endi, darimana saja kau?” sergah Hana yang masih tersulut emosi.“Aku benci hidupku, aku benci semua yang ada di sini! Aaarrhhhg ....”“Cukup Endi, cukup! Udah gak pulang seminggu, pulang-pulang malah marah-marah gak jelas! Darimana saja kau?”“Aku mau kemana, itu terserahku, kalian semua ini cuma mikirkan harta, harta dan harta!”Kami yang menyaksikan perdebatan antara Endi dan ibunya lebih memilih diam daripada ikut campur. Masno dan Dewo memilih ke luar dari rumah itu sedangkan suamiku memilih menuntun ibu mertuaku ke tempat tidurnya.“Tunggu, anak kurang aj*r kau, ya!” sergah Hana. Ia menyusul ke luar kamar ibu mertuaku.“Untuk apa ibu masih mencariku, bukannya ibu dan bapak udah puas dengan banjir harta, punya sawah sana sini, punya warung yang selalu ramai.”“Tutup mulutmu!”PLAKTamparan itu tepat mengenai pipi
“Bang Haris, ngapain abang di sini?”“Kami datang ke sini untuk melihat seorang ibu tua yang kalian telantarkan,” jawabku sinis.“Kang, maafkan aku, ya, atas semua kesalahanku di masa lalu.” Seketika Hana melompat turun dari becak yang ditumpanginya dan bersimpuh di bawah kaki suamiku. “Aku gak pernah berpikir panjang akibat dari ulahku sejak dulu dengan kakang dan kak Ratih. Kumohon maafkan aku, ya, Kang.”Aku gak yakin Hana meminta maaf dengan tulus kepada kami. Namun pada situasi ini, aku tetap berusaha bersikap tenang. Tak kutunjukkan sedikitpun raut kesal di hadapan adik iparku yang licik dan lihai bersandiwara.“Bangkitlah, Han. Aku sudah memaafkan kalian. Sekarang mari kita tuntun Jefri dan ibu ke dalam rumah,” ucap bang Haris.“Aku senang kakang dan kak Ratih datang ke sini.” Kutahu ucapan Hana itu hanyalah basa basi belaka, lagaknya yang sok sibuk membuatkan teh untuk kamipun mungkin hanya penghias sandiwaranya saja.“Kak, kenapa dari tadi kulihat kakak seperti menyimpan sesu
Tangis histeris menyelimuti lorong rumah sakit itu, Hana, pun, berucap, “Oh Tuhan cobaan apa lagi ini!”***“Kulihat tadi malam kamu udah tidur lelap, aku gak tega bangunin kamu.”“Bang, astaghfirullah, aku belum salat subuh. Aku salat dulu, ya, Bang.” Bergegas kutinggalkan suamiku yang masih duduk di atas sajadah dengan sarung serta peci yang melekat di kepalanya.Selesai aku salat, kusalim tangan suamiku dan seperti biasa, ia mengecup lembut keningku.“Bang, aku mau ngomong sesuatu sama kamu,” ucapku pelan.“Bicaralah, Sayang. Kan memang seperti biasa, pagi-pagi selepas salat subuh, kita selalu bercengrama seperti ini,” balasnya dengan senyuman.“Tapi ini menyangkut keluarga besar kita.” Aku tertunduk takut menatap bagaimana ia meresponku setelah ini.“Tidak apa-apa, bicaralah, baik maupun buruk yang akan kamu sampaikan, takkan mengubah apapun dariku.”“Aku mau minta maaf karena semalam telah melampiaskan seluruh emosiku di pesta anak Hana.” Aku masih menunduk takut.“Lantas?” tanya