Share

Bab 4 Tinggal Dengan Ibu Mertua

“Bapak ....!” teriak suamiku dari dalam kamar

Dengan langkah tertatih, kuhampiri pusat suara bang Haris memanggil bapak dan apa yang kulihat juga membuatku berteriak yang sama.

“Pak, kok, bisa jadi kekgini, sih, Pak?” 

“I ... ib ... u mu.” Berat bagi bapak mengucapkan sepatah katapun.

“Ayo, Pak, ayo naik ke tempat tidur. Dek, tolong ambilkan segelas air putih di belakang, ya,” titah bang Haris padaku.

“Baik, Bang.”

Kuambilkan segelas air putih dan kuberikan pada suamiku.

“Terimakasih, ya, Dek.” Bang Haris mengambil gelas itu dari tanganku dan memberikannya untuk bapak. “Pak, kok, bapak bisa jatuh di bawah kayak tadi? Terus ibu ke mana, Pak?”

Hanya gelengan kepala yang bisa kami terima atas pertanyaan itu. Sangat sulit baginya untuk mengucapkan bahkan sepatah katapun. Tiba-tiba terdengar suara hentakan pintu yang sangat keras dari luar.

GUBRAK!

“Hei lelaki tua sekarat! Capek kali hidupku ini kau buat, enak-enakan aja kerjamu di rumah sedangkan aku nyari uang tuk ngurusi hidup kau yang gak berguna itu! Untung aku punya anak menantu yang sayang sama aku, jadi ngelihat kau kekginipun, masih ada rasa sedikit terobati!” Ocehan demi ocehan kasar terus terdengar dari luar kamar sampai akhirnya ibu membuka pintu kamar bapak.

“Heh, manusio asu! Karep mangan opo kui?” (Heh, manusia anj*ng! mau makan apa kau?

Deg! 

Ibu terkejut melihat kami ada di dalam kamar. Sontak ia langsung salah tingkah atas perkataannya sendiri. Bapak yang melihat itu hanya bisa terbaring lemah.

“Berarti selama ini, kekgini perlakuan ibu terhadap bapak? tanya suamiku. Iya, Bu!” sergahnya.

“Kalau iyo, ngopo!” (kalau iya, kenapa!) balas ibu dengan tatapan nanar. 

“Ya, Allah, Bu, bapak ini suami ibu dan beliau sedang sakit, kenapa ibu tega ngomong kek tadi sama bapak, ibu, kan, istrinya,” ucap bang Haris dengan nada penuh kekecewaan.

“Wis, sakarepmulah!.” (Udah, terserahmulah!) Ibu pergi meninggalkan kami dan menghentakkan pintu dengan begitu kerasnya.

“Astaghfirullah!” ucapku pelan.

“Dek, maafkan ibuku, ya.” Terlihat raut lelah pikiran dari wajah suamiku atas sikap ibunya. Namun, tetap kubalas dengan anggukan dan senyuman akan permintaan maaf darinya.

***

Beberapa saat setelah itu, bang Haris menyulangi bapak dengan nasi bungkus yang kami bawa. 

“Yuk, Pak, dikit lagi udah mau habis, nih, nasinya.” 

“U ... uda ... h,” responnya penuh kesulitan.

“Dek, kamu kalau capek, rebahan aja, gih, di kamar sebelah. Itu kamarku dulu waktu masih lajang.”

“Iya, Bang. Memang perutku agak kurang enak dari tadi. Pak, aku ke kamar sebelah dulu, ya,” ucapku pelan pada bapak yang terkulai lemah.

Saat tiba di depan pintu kamar, tiba-tiba ibu muncul dari arah dapur dan menoyor kepalaku.

“Heh, wanita mis*in, mau apa kau datang ke mari? Mau menghasut anakku biar makin benci sama aku, iya!” sengaja ibu memelankan suaranya agar tak terdengar oleh bang Haris. Namun suara itu tertancap begitu sakit di hatiku.

“Bu, kami ke sini untuk bantu ibu merawat bapak. Biar ibu gak kelelahan.”

“Alaaah! Mau numpang hidup aja! Bilang!” ucapan ibu ini terasa sangat sakit, namun tetap kutahan demi menjaga kondisi bapak yang sedang kurang sehat. Aku, pun, pergi ke kamar seiring berlalunya ibu dari hadapanku.

***

Di lain tempat, tampak Hana yang sangat bahagia kerena hasil jualannya banyak terjual dan hampir habis.

‘Wah, lancar laris manis jualanku.’ Sambil menepuk-nepukan segepok uang di atas macam-macam mi yang dijualnya.

“Dek, minta uang sama ibumu, gih! Uangku udah habis, semalam aku kalah taruhan. Ini aku udah narok nomor togel.”

“Bang, aku jualan untuk biayai kehidupan kita, tapi abang selalu ngabis-ngabisin duit kayak gitu. Anak-anak kita mau sekolah nanti kekmana, Bang, tolonglah ngerti perasaan aku, jangan cuman maumu aja diikutin?” Perdebatan di antara mereka membuat Jefri murka dan menghamburkan sisa mi yang tadi masih tersusun rapi di atas nampan.

“Aku gak mau tau, lusa kita datang ke rumah ibumu, terus kita minta uangnya!” Tak lupa ia menyulut rokok di tangan kirinya setelah berucap demikian lalu meninggalkan Hana bersama mi yang berserakan di atas lantai.

‘Aku harus dapatkan uang itu dari ibu, kalau enggak, bisa habis aku jadi sasaran bang Jefri setiap hari,’ batin Hana.

Ia, pun, membereskan sisa mi yang berserakan itu, mi yang telah terkumpul itu ia gabungkan menjadi 1, hampir mirip seperti sedia kala. Ia melirik ke kiri dan ke kanan. Tak terlihat ada orang di dekat situ, lalu ia berkata, ‘sayang kalau dibuang, mending kujual aja lagi untuk tambahan uang belanja.’

***

‘Aduh, perutku, kok, keram kali, ya.’

“Bang ... Bang, tolong ke sini bentar!”

“Kenapa, Dek?” Bang Haris menghampiriku dan mengusap lembut perutku.

“Perutku tiba-tiba sakit kali. Kayaknya aku mau melahirkan, Bang.”

“Oh, ya, udah, kita ke rumah sakit aja sekarang, ya. Bu ... ibu, Ratih mau melahirkan. Tolong telponkan tukang becak atau carikan kendaraan yang bisa kami tumpangi,” pinta suamiku.

“Yang mau lahiran, kan, dia, kok, aku pula yang mesti sibuk ngurusin! Cuih!” Ungkapan penuh kebencian kembali keluar dari mulutnya. Tak merespon sikap ibu terlalu lama, bang Haris, pun, membawaku ke rumah sakit dan alhamdulillah bayiku lahir dengan selamat.

***

Alhamdulillah karena aku melahirkan normal, proses pemulihan pun lekas terjadi. Aku dan bayiku sudah diperbolehkan pulang ke rumah setelah 2 hari dirawat inap. Dikarenakan dari awal memang kami berniat untuk merawat bapak, maka rumah yang kami tuju adalah rumah bapak dan ibu.

“Assalamualaikum, Bu, Pak, kami pulang.”

CEKLEK

Pintu dibuka dari dalam, tandanya ada orang di dalam rumah bapak.

“Jefri, sejak kapan kalian di sini?” tanya suamiku bingung.

“Dari tadi,” jawabnya angkuh.

“Eh, udah pulang kalian, Bang, Yuk, maaf, ya, kami gak ada waktu buat jenguk yayuk di rumah sakit. Maklum, daganganku tiap hari laris manis, jadi gak bisa pere walau satu hari pun. Takut ditinggal pelanggan.” Terlihat sangat jelas perkataan itu bukanlah permintaan maaf, melainkan cemoohan untukku.

“Iya, Han. Gak apa-apa, lagian kami juga udah dibolehkan cepat pulang, kok.” 

“Bu, udah dulu, ya. Pokoknya aku pakek, ya, giwang ibu tadi,” ucap Hana manja pada ibu mertuaku.

“Iyo, Ndok, cah ayuku,” (Iya, anak perempuanku yang cantik) jawab ibu sukarela.

“Kalau gitu aku pamit, ya, Bu.” Hana dan Jefri ke luar dari rumah itu dengan kegirangan tanpa memedulikanku dan keponakannya yang sedang kugendong. Dalam hati aku menangis, namun berusaha untuk kuat.

“Bu, lihat ini, cucu ibu udah lahir, alhamdulillah normal dan sehat.” Dengan penuh harap bang Haris menarik perhatian ibu.

‘Ah, dolan-dolan neng omah putuku, ah, wis kangen tenan aku iki.” (ah, main-main ke rumah cucuku, ah, udah kangen kali aku ini). Ibu berlalu begitu saja dari hadapan kami dan mengambil tas yang terletak di atas meja. 

“Bang, aku ...

 

BERSAMBUNG

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rio Rinaldo
gregetan haru
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status