“Bang, aku ke dalam kamar dulu, ya,” jawabku menunduk guna menutupi air mata yang hendak berlinang.
“Dek ....” Bang Haris tampak ingin menghiburku namun tak kuhiraukan. Aku terus berjalan tertatih menggendong bayi yang masih berusia dua hari.***Hari demi hari kujalani hidup seatap bersama seorang ibu mertua yang tak pernah suka denganku. Tak terasa sudah lima tahun kami tinggal bersama ibu dan bapak mertua. “Pak, hari ini bapak mau makan apa? Nanti biar kumasakkan, ini sekalian aku mau belanja ke pajak.”Bapak adalah mertuaku yang baik, meski sakit begini, dia tak pernah menyusahkanku dan juga suamiku. Hanya gelengan kepala yang kuterima dari bapak saat kutanya mau dimasakkan apa. Itu artinya, bapak tidak mau milih, apapun yang kubuat, pasti dimakannya.“Ya, udah, Pak, kalau gitu, aku ke pajak dulu, ya.” Kusalim tangan bapak mertuaku dan melangkah pergi ke luar rumah.“Dek, kamu mau ke pajak?”“Iya, Bang.”“Ya, udah, yuk, bareng aku aja. Nih, juga mau berangkat ngajar.”Akupun menaiki motor jadul milik bang Haris. Motor ini memiliki banyak kenangan tentang kami berdua. Terutama saat pertama kali bang Haris mendatangiku ke rumah orang tuaku. Kamipun melaju perlahan, sedangkan anakku Masno kutinggalkan bersama bapak di rumah.‘Alaaah, baru naik motor butut macam itu aja sok-sokan, dasar anak menantu misk*in!’ celetuk Painem dari balik jendela kayu rumah itu. ***Sepulang aku dari pajak, aku langsung masak untuk makan siang kami semua. Hari ini bang Haris sedikit pulang terlambat karena ada rapat penting seluruh guru. Aku juga sedang cuti libur tiga hari untuk mengurus bapak mertuaku yang tiba-tiba drop dua hari sebelumnya.“Masakanmu itu gak sebanding dengan masakan anak perempuanku!” Suara itu kembali terdengar panas di telingaku.“Maksudnya apa, Bu? Udahlah, Bu, aku sedang tidak ingin ribut, kasihan bapak, dia baru aja pulih dari dropnya kemarin.”“Kau dengar, ya, wanita misk*in gak tau diri,” ucapnya ketus menunjuk wajahku. “Sampek kapanpun, aku gak akan pernah menerimamu jadi menantuku!”“Bu, kenapa ibu sebegitu bencinya sama aku? Apa salahku, Bu? Tolong beritahu aku bila memang ada ucapan atau tindakanku yang menyakiti hati ibu,” ungkapku lirih.“Salahmu 1, kenapa kau berjodoh dengan anakku! Padahal kau berasal dari keluarga misk*n, kampungan! Kenapa mesti dapat anakku yang sudah PNS, ya, Gusti!” Tampak ungkapan sesal yang begitu dalam dari mulut ibu.“Astaghfirullah, Bu, jodoh itu udah ditentukan Allah. Kita gak tau bagaimana kehidupan nanti di depan. Aku juga gak pernah nyangka bisa berjodoh dengan anak ibu,” balasku. “Kalau perkara PNS, aku juga PNS, Bu. Ibu tenang aja, aku gak akan nuntut macam-macam dengan anak ibu.”
“Oh, jadi kau mulai sombong, ya, mentang-mentang kau juga PNS!” Mata melotot itu menatap tajam mataku. “Asal kau tau, ya, PNS mu itu, karena jasa-jasaku!”“Gak, Bu! PNS ku ini adalah hasil kerja kerasku, bukan dari jasa-jasa ibu!” Aku sedikit melawan dan menunjuk wajahnya.“Beraninya kau!” Tangan itu hendak melayang di pipi kiriku namun dapat kutangkis dengan tangan kananku. Ibu yang sudah mulai sepuh tak kuasa menahan cengkramanku yang kuat. Akhirnya dia menyerah. Namun tak kusangka, dia punya niat busuk untuk memanfaatkan situasi. Dia menjatuhkan tubuhnya ke lantai dan menampari pipinya sendiri dengan keras sebelum bang Haris menekan daun pintu rumah itu.“Ibu! Ada apa ini, Bu? Dek, kenapa ini, ibu kenapa?” tanya bang Haris cemas saat melihat di sudut bibir ibu ada darah yang menetes.“Aku ... aku, bukan aku yang melakukannya, Bang. Ibu melukai dirinya sendiri.”“Gak mungkin, Dek, biarpun ibu sering berkata pedas terhadap kamu, dia gak akan mungkin melukai dirinya sendiri untuk memfitnahmu.” Suamiku tak percaya apa yang kukatakan. “Ayo, Bu, biar kubantu masuk ke kamar.” Terlihat seyum kemenangan dari bibir ibu mertuaku. Aku tak menyangka bisa terfitnah seperti ini. Tak ada saksi yang melihat. Bapak hanya bisa mendengar kejadian sebenarnya namun tak kuasa untuk membelaku.***Saat suasana mulai tenang, kuhampiri bang Haris di dalam kamar.“Bang, boleh aku menjelaskan kejadian sebenarnya?”“Udahlah, Dek, gak ada lagi yang perlu dijelaskan, tolong jangan tambah beban pikiranku atas masalah yang baru.” Suamiku berucap seakan ini bukan dia. Tak pernah sebelumnya dia bersikap seperti ini padaku.“Bang, kamu sadar, kan, ngomong kayak gini? Ini kamu gak, Bang? Kenapa kamu lebih percaya dengan ibumu daripada aku, istri yang sudah sering merasakan ....”“Merasakan bahwa hidup denganku kau gak bahagia, iya!” bentak bang Haris.“Aku kecewa melihatmu, Bang!” Aku pergi meninggalkan bang Haris dan Masno di rumah itu. Kuputuskan untuk Pergi ke Puskesmas dan mengakhiri masa cutiku yang masih tersisa satu hari lagi.Sesampainya di Puskesmas, aku tak menyangka ada seorang lelaki datang menghampiriku dan duduk di atas kursi tepat di depan meja kerjaku.“Ratih, apa kabarmu?” Lelaki itu tak lain adalah bang Rahman, mantan pacarku.Nada canggung sangat tampak dari caraku menanggapi pertanyaannya.“Aku ... aku baik-baik aja, kok, Bang,”jawabku sambil menunduk.“Ratih, tak perlu kau menyembunyikan luka itu dariku, karena aku sangat tahu bagaimana dirimu ketika terluka. Ayo, ikutlah bersamaku, kita mulai hidup bersama dan kau tinggalkan mereka semua yang membuatmu terluka.” Bang Rahman tampak serius dengan apa yang diucapkannya. Kulihat sampai detik inipun, dia belum juga menikah. Terdengar kabar dari sepupuku bahwa ia sempat sakit parah pasca mendengar kabar pernikahanku.“Tak mungkin aku melakukan itu, Bang. Aku sudah memiliki anak dari bang Haris,” tolakku halus.“Tapi, Rat, kau tidak bahagia dengannya. Karena kebahagiaanmu ada bersamaku,” pintanya penuh harap.“Maaf, Bang, aku gak bisa. Silakan abang pulang sekarang, sebelum ada yang melihat, takut timbul fitnah.” Sejenak kami saling diam, hingga akhirnya bang Rahman, pun, dengan terpaksa meninggalkanku. Sama-sama diam, tak ada sepatah katapun menghiasi lisan kami tuk mengiringi perpisahan ini. Aku hanya menunduk dan menangis mengingat semua kenangan saat kami bersama. Sejak perpisahan itu, tak pernah lagi bang Rahman mengunjugiku atau sekadar menanyakan kabarku.***Sepulangnya aku dari Puskesmas, kulihat ibu sedang duduk santai di teras rumah dengan segumpal tembakau kecil yang menempel di bibirnya.
“Heh, Ratih! Dari mana aja kau? Minta uang sewa rumah!"
“Uang sewa rumah apa maksudnya, Bu?” tanyaku heran.“Oh, gak ngerti, ya. Ongkos kalian numpang di sini!”“Astaghfirullah, Bu. Kami, kan, anak ibu dan di sini untuk jagain ibu serta bapak.”“Kalau kau gak kasih uang sewa, mending ke luar dari rumah ini sekarang juga! Dasar anak menantu sama aja, wong kere! (orang misk*n) Beda sama anak wedokku, wong sugih! (anak perempuanku orang kaya).“Ibu ...! BERSAMBUNG“Abang mau bicara apa?”“Makasih, ya, udah kembali teduhkan hati anak kita untuk menerima ibuku di rumah ini. Aku gak tahu harus berkata yang bagaimana lagi ke kamu. Kesabaranmu, ketulusanmu, kesetiaanmu dan semua hal baik tentangmu, mungkin gak mampu kubalas satu persatu.” Mata itu tampak berkaca-kaca menatapku yang berdiri di depannya.“Bang, aku ini istrimu, sudah sepantasnya selalu ada di saat apapun keadaan yang kamu alami. Aku memilih mencintaimu sejak dulu, hari ini, dan nanti. Tapi biar bagaimanapun, aku bukanlah makhluk yang sempurna, Bang.”“Bagiku kaulah yang paling sempurna, Dek.”“Enggak, Bang. Kamu salah bila menganggapku sesempurna itu. Aku juga pasti punya titik terendah yang mungkin dapat membuatku merasa lelah suatu hari nanti. Hingga tanpa kamu sadari, aku melakukan hal yang tak pernah kamu duga.”“Apa maksudmu, Dek?”“Aku juga hanya manusia biasa, Bang. Apalagi aku adalah seorang wanita yang mana segala sesuatunya berlandaskan hati. Beda dengan kalian yang menganda
“Hana!” balas Bang Haris dengan teriakan yang lebih lantang. “Apa maksudmu ucapkan perkataan itu!”“Aku udah capek sama semua penderitaan ini, jangan abang tambah lagi bebanku dengan menitipkan ibu sama aku!” Hana meronta-ronta seperti orang kerasukan.“Aku bukannya gak mau ngajak ibu ikut tinggal bersamaku, tapi ibu yang gak mau ikut aku!” sergah Bang Haris.“Aku gak mau tahu, ajak ibu pindah dari sini, aku gak mau dia jadi penambah bebanku di rumah ini!”Segera kuberjalan menuju kamar di mana ibu mertuaku berada. Tak kuindahkan lagi perkataan serta omelan adik iparku. Sepanjang kami berada di rumahnya, ia terus mengomel dan mengeluarkan ujaran kebencian. Aku seakan menutup telinga kiri dan kananku. Mengabaikan semua perkataannya.“Bang, semua perlengkapan ibu udah kubawa, kita pergi sekarang aja, ya,” ajakku tanpa menghiraukan Hana yang masih ngedumel.Masih terdengar jelas di telingaku ucapan pedas dari mulut Hana, tapi aku seolah menganggapnya tidak ada.“Heh, Kak, Bang! Kalian de
“Masalah apa lagi yang mau kau buat.” Kudengar suara itu dari ruang tamuku, jangan-jangan ada lagi masalah baru sepulang kami dari rumah Hana tadi siang.Segera aku menyusul pusat suara itu, dan kulihat bang Haris sedang bertelponan tapi entah dengan siapa.“Bang, baru telponanan dengan siapa?” tanyaku sedikit ragu. Kulihat suamiku masih mengepalkan tangan kanannya. Tampak dia sangat kesal dengan orang di telepon barusan. “Duduk dulu, yuk, biar kamu lebih tenang. Bentar aku ambilkan teh hangat, ya.” Sesaat kuambilkan teh hangat untuk Bang Haris supaya dia lebih tenang dan meredalah emosinya. “Ini tehnya, Bang.” Kusuguhkan teh yang masih panas namun sedikit hangat itu untuknya.“Makasih, ya, Dek.”“Gimana? Udah enakan?”“Udah.”Kugenggam tangan suamiku dengan tangan kananku dan sedikit kutepuk-tepuk punggung tangannya dengan tangan kiriku.“Aku gak habis pikir lihat Hana dan Jefri.” Bang Haris mulai angkat bicara. Kutatap sorot matanya tanda aku serius mendengarkannya bercerita. “Hana
“Aku benci kalian semua!” Jelas terdengar suara yang tak asing di telingaku. Ya, itu suara Endi.GUBRAKPintu rumah yang memang tak terkunci itupun didobrak oleh Endi.“Endi, darimana saja kau?” sergah Hana yang masih tersulut emosi.“Aku benci hidupku, aku benci semua yang ada di sini! Aaarrhhhg ....”“Cukup Endi, cukup! Udah gak pulang seminggu, pulang-pulang malah marah-marah gak jelas! Darimana saja kau?”“Aku mau kemana, itu terserahku, kalian semua ini cuma mikirkan harta, harta dan harta!”Kami yang menyaksikan perdebatan antara Endi dan ibunya lebih memilih diam daripada ikut campur. Masno dan Dewo memilih ke luar dari rumah itu sedangkan suamiku memilih menuntun ibu mertuaku ke tempat tidurnya.“Tunggu, anak kurang aj*r kau, ya!” sergah Hana. Ia menyusul ke luar kamar ibu mertuaku.“Untuk apa ibu masih mencariku, bukannya ibu dan bapak udah puas dengan banjir harta, punya sawah sana sini, punya warung yang selalu ramai.”“Tutup mulutmu!”PLAKTamparan itu tepat mengenai pipi
“Bang Haris, ngapain abang di sini?”“Kami datang ke sini untuk melihat seorang ibu tua yang kalian telantarkan,” jawabku sinis.“Kang, maafkan aku, ya, atas semua kesalahanku di masa lalu.” Seketika Hana melompat turun dari becak yang ditumpanginya dan bersimpuh di bawah kaki suamiku. “Aku gak pernah berpikir panjang akibat dari ulahku sejak dulu dengan kakang dan kak Ratih. Kumohon maafkan aku, ya, Kang.”Aku gak yakin Hana meminta maaf dengan tulus kepada kami. Namun pada situasi ini, aku tetap berusaha bersikap tenang. Tak kutunjukkan sedikitpun raut kesal di hadapan adik iparku yang licik dan lihai bersandiwara.“Bangkitlah, Han. Aku sudah memaafkan kalian. Sekarang mari kita tuntun Jefri dan ibu ke dalam rumah,” ucap bang Haris.“Aku senang kakang dan kak Ratih datang ke sini.” Kutahu ucapan Hana itu hanyalah basa basi belaka, lagaknya yang sok sibuk membuatkan teh untuk kamipun mungkin hanya penghias sandiwaranya saja.“Kak, kenapa dari tadi kulihat kakak seperti menyimpan sesu
Tangis histeris menyelimuti lorong rumah sakit itu, Hana, pun, berucap, “Oh Tuhan cobaan apa lagi ini!”***“Kulihat tadi malam kamu udah tidur lelap, aku gak tega bangunin kamu.”“Bang, astaghfirullah, aku belum salat subuh. Aku salat dulu, ya, Bang.” Bergegas kutinggalkan suamiku yang masih duduk di atas sajadah dengan sarung serta peci yang melekat di kepalanya.Selesai aku salat, kusalim tangan suamiku dan seperti biasa, ia mengecup lembut keningku.“Bang, aku mau ngomong sesuatu sama kamu,” ucapku pelan.“Bicaralah, Sayang. Kan memang seperti biasa, pagi-pagi selepas salat subuh, kita selalu bercengrama seperti ini,” balasnya dengan senyuman.“Tapi ini menyangkut keluarga besar kita.” Aku tertunduk takut menatap bagaimana ia meresponku setelah ini.“Tidak apa-apa, bicaralah, baik maupun buruk yang akan kamu sampaikan, takkan mengubah apapun dariku.”“Aku mau minta maaf karena semalam telah melampiaskan seluruh emosiku di pesta anak Hana.” Aku masih menunduk takut.“Lantas?” tanya