Share

Bab 5 Ibu Mertua yang Suka Membandingkan Kedua Anak-Menantu

“Bang, aku ke dalam kamar dulu, ya,” jawabku menunduk guna menutupi air mata yang hendak berlinang.

“Dek ....” Bang Haris tampak ingin menghiburku namun tak kuhiraukan. Aku terus berjalan tertatih menggendong bayi yang masih berusia dua hari.

***

Hari demi hari kujalani hidup seatap bersama seorang ibu mertua yang tak pernah suka denganku. Tak terasa sudah lima tahun kami tinggal bersama ibu dan bapak mertua. 

“Pak, hari ini bapak mau makan apa? Nanti biar kumasakkan, ini sekalian aku mau belanja ke pajak.”

Bapak adalah mertuaku yang baik, meski sakit begini, dia tak pernah menyusahkanku dan juga suamiku. Hanya gelengan kepala yang kuterima dari bapak saat kutanya mau dimasakkan apa. Itu artinya, bapak tidak mau milih, apapun yang kubuat, pasti dimakannya.

“Ya, udah, Pak, kalau gitu, aku ke pajak dulu, ya.” Kusalim tangan bapak mertuaku dan melangkah pergi ke luar rumah.

“Dek, kamu mau ke pajak?”

“Iya, Bang.”

“Ya, udah, yuk, bareng aku aja. Nih, juga mau berangkat ngajar.”

Akupun menaiki motor jadul milik bang Haris. Motor ini memiliki banyak kenangan tentang kami berdua. Terutama saat pertama kali bang Haris mendatangiku ke rumah orang tuaku. Kamipun melaju perlahan, sedangkan anakku Masno kutinggalkan bersama bapak di rumah.

‘Alaaah, baru naik motor butut macam itu aja sok-sokan, dasar anak menantu misk*in!’ celetuk Painem dari balik jendela kayu rumah itu. 

***

Sepulang aku dari pajak, aku langsung masak untuk makan siang kami semua. Hari ini bang Haris sedikit pulang terlambat karena ada rapat penting seluruh guru. Aku juga sedang cuti libur tiga hari untuk mengurus bapak mertuaku yang tiba-tiba drop dua hari sebelumnya.

“Masakanmu itu gak sebanding dengan masakan anak perempuanku!” Suara itu kembali terdengar panas di telingaku.

“Maksudnya apa, Bu? Udahlah, Bu, aku sedang tidak ingin ribut, kasihan bapak, dia baru aja pulih dari dropnya kemarin.”

“Kau dengar, ya, wanita misk*in gak tau diri,” ucapnya ketus menunjuk wajahku. “Sampek kapanpun, aku gak akan pernah menerimamu jadi menantuku!”

“Bu, kenapa ibu sebegitu bencinya sama aku? Apa salahku, Bu? Tolong beritahu aku bila memang ada ucapan atau tindakanku yang menyakiti hati ibu,” ungkapku lirih.

“Salahmu 1, kenapa kau berjodoh dengan anakku! Padahal kau berasal dari keluarga misk*n, kampungan! Kenapa mesti dapat anakku yang sudah PNS, ya, Gusti!” Tampak ungkapan sesal yang begitu dalam dari mulut ibu.

“Astaghfirullah, Bu, jodoh itu udah ditentukan Allah. Kita gak tau bagaimana kehidupan nanti di depan. Aku juga gak pernah nyangka bisa berjodoh dengan anak ibu,” balasku. “Kalau perkara PNS, aku juga PNS, Bu. Ibu tenang aja, aku gak akan nuntut macam-macam dengan anak ibu.”

“Oh, jadi kau mulai sombong, ya, mentang-mentang kau juga PNS!” Mata melotot itu menatap tajam mataku. “Asal kau tau, ya, PNS mu itu, karena jasa-jasaku!”

“Gak, Bu! PNS ku ini adalah hasil kerja kerasku, bukan dari jasa-jasa ibu!” Aku sedikit melawan dan menunjuk wajahnya.

“Beraninya kau!” Tangan itu hendak melayang di pipi kiriku namun dapat kutangkis dengan tangan kananku. Ibu yang sudah mulai sepuh tak kuasa menahan cengkramanku yang kuat. Akhirnya dia menyerah. Namun tak kusangka, dia punya niat busuk untuk memanfaatkan situasi. Dia menjatuhkan tubuhnya ke lantai dan menampari pipinya sendiri dengan keras sebelum bang Haris menekan daun pintu rumah itu.

“Ibu! Ada apa ini, Bu? Dek, kenapa ini, ibu kenapa?” tanya bang Haris cemas saat melihat di sudut bibir ibu ada darah yang menetes.

“Aku ... aku, bukan aku yang melakukannya, Bang. Ibu melukai dirinya sendiri.”

“Gak mungkin, Dek, biarpun ibu sering berkata pedas terhadap kamu, dia gak akan mungkin melukai dirinya sendiri untuk memfitnahmu.” Suamiku tak percaya apa yang kukatakan. “Ayo, Bu, biar kubantu masuk ke kamar.” Terlihat seyum kemenangan dari bibir ibu mertuaku. Aku tak menyangka bisa terfitnah seperti ini. Tak ada saksi yang melihat. Bapak hanya bisa mendengar kejadian sebenarnya namun tak kuasa untuk membelaku.

***

Saat suasana mulai tenang, kuhampiri bang Haris di dalam kamar.

“Bang, boleh aku menjelaskan kejadian sebenarnya?”

“Udahlah, Dek, gak ada lagi yang perlu dijelaskan, tolong jangan tambah beban pikiranku atas masalah yang baru.” Suamiku berucap seakan ini bukan dia. Tak pernah sebelumnya dia bersikap seperti ini padaku.

“Bang, kamu sadar, kan, ngomong kayak gini? Ini kamu gak, Bang? Kenapa kamu lebih percaya dengan ibumu daripada aku, istri yang sudah sering merasakan ....”

“Merasakan bahwa hidup denganku kau gak bahagia, iya!” bentak bang Haris.

“Aku kecewa melihatmu, Bang!” Aku pergi meninggalkan bang Haris dan Masno di rumah itu. Kuputuskan untuk Pergi ke Puskesmas dan mengakhiri masa cutiku yang masih tersisa satu hari lagi.

Sesampainya di Puskesmas, aku tak menyangka ada seorang lelaki datang menghampiriku dan duduk di atas kursi tepat di depan meja kerjaku.

“Ratih, apa kabarmu?” Lelaki itu tak lain adalah bang Rahman, mantan pacarku.

Nada canggung sangat tampak dari caraku menanggapi pertanyaannya.

“Aku ... aku baik-baik aja, kok, Bang,”jawabku sambil menunduk.

“Ratih, tak perlu kau menyembunyikan luka itu dariku, karena aku sangat tahu bagaimana dirimu ketika terluka. Ayo, ikutlah bersamaku, kita mulai hidup bersama dan kau tinggalkan mereka semua yang membuatmu terluka.” Bang Rahman tampak serius dengan apa yang diucapkannya. Kulihat sampai detik inipun, dia belum juga menikah. Terdengar kabar dari sepupuku bahwa ia sempat sakit parah pasca mendengar kabar pernikahanku.

“Tak mungkin aku melakukan itu, Bang. Aku sudah memiliki anak dari bang Haris,” tolakku halus.

“Tapi, Rat, kau tidak bahagia dengannya. Karena kebahagiaanmu ada bersamaku,” pintanya penuh harap.

“Maaf, Bang, aku gak bisa. Silakan abang pulang sekarang, sebelum ada yang melihat, takut timbul fitnah.” Sejenak kami saling diam, hingga akhirnya bang Rahman, pun, dengan terpaksa meninggalkanku. Sama-sama diam, tak ada sepatah katapun menghiasi lisan kami tuk mengiringi perpisahan ini. Aku hanya menunduk dan menangis mengingat semua kenangan saat kami bersama. Sejak perpisahan itu, tak pernah lagi bang Rahman mengunjugiku atau sekadar menanyakan kabarku.

***

Sepulangnya aku dari Puskesmas, kulihat ibu sedang duduk santai di teras rumah dengan segumpal tembakau kecil yang menempel di bibirnya.

“Heh, Ratih! Dari mana aja kau? Minta uang sewa rumah!"

“Uang sewa rumah apa maksudnya, Bu?” tanyaku heran.

“Oh, gak ngerti, ya. Ongkos kalian numpang di sini!”

“Astaghfirullah, Bu. Kami, kan, anak ibu dan di sini untuk jagain ibu serta bapak.”

“Kalau kau gak kasih uang sewa, mending ke luar dari rumah ini sekarang juga! Dasar anak menantu sama aja, wong kere! (orang misk*n) Beda sama anak wedokku, wong sugih! (anak perempuanku orang kaya).

“Ibu ...!

 

 

BERSAMBUNG

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status