Share

Bab 3 Bapak Mertuaku Strok

“Itu ... itu!”

“Pak! Pak!” teriak Haris pada bapaknya yang seketika itu jatuh pingsan. Tanpa buang waktu, Juriono dibawa ke rumah sakit untuk segera mendapatkan pertolongan.

“Bagaimana keadaan bapak saya, Dok?”

“Mohon maaf, Pak, karena kondisi fisik bapak sudah lemah, fisiknya sudah tak kuat untuk menerima berita-berita yang mengejutkan. Bapak anda terkena strok, Pak, kami turut prihatin, permisi," ungkap dokter yang menangani bapaknya.

Painem yang turut mengantar suaminya ke rumah sakit, terlihat bahagia atas kondisinya saat ini. Painem senang sebab tak ada lagi orang yang berusaha menghalangi semua rencana buruknya.

***

Haris telah mengurus semua biaya administrasi selama bapaknya dirawat. Namun sebelumnya, Haris sudah menelponku dan memberitahukan semua yang terjadi hingga bapaknya masuk rumah sakit. Betapa aku sedih mendengar kondisi bapak mertuaku yang terkena strok.

***

Sepulangnya mereka ke rumah, Haris mengusulkan saran untuk pemulihan bapaknya.

“Bu, apa gak sebaiknya Hana tinggal di sini untuk membantu ibu mengurus bapak?”

“Ora gelem aku nyusahin anak wedokku, aku masih iso urus bapakmu iki,” (aku gak mau nyusahin anak perempuanku, aku masih bisa urus bapakmu ini), tolak Painem. Padahal maksud Haris baik. Melihat ibunya yang sangat giat bekerja, pasti akan jarang baginya memperhatikan kondisi bapaknya yang tinggal di rumah sendirian ditambah lagi sepulang kerja, pasti ibunya akan merasa sangat lelah bila masih harus mengurusi bapaknya.

“Hana, kan, anaknya udah besar-besar, Bu, bisa bantu tuk jualannya,  si Endi dan Ena juga udah SMP kelas 3, udah bisa dimintai tolong.”

“Kenapa gak Ratih aja kau suruh ke sini? Dia, kan, menantu kesayangan bapakmu. Ya, dia ajalah yang ngurusin!” Suara Painem benar-benar dihiasi dengan amarah yang membara. Entah apa yang membuat dia sebegitu bencinya pada menantu perempuannya itu.

“Dia udah hamil besar, Bu, bentar lagi melahirkan. Kasihan kalau harus kerja berat.”

“Udahlah, memang kau dan istrimu itu gak ada sayangnya sama orangtua. Udah, pulang aja sana! Pulang! Gak butuh aku anak sepertimu di sini!” Painem mendorong Haris hingga ke luar rumah. Hal ini sangat disayangkan sebab Haris merupakan anak yang sangat sayang dengan kedua orang tuanya, namun di mata Painem yang sayang dengannya hanyalah Hana, anak perempuannya.

*** 

“Bang, kekmana keadaan bapak?” tanyaku pelan saat bang Haris tiba di rumah. Aku menyuguhkan teh hangat untuk suamiku yang tampaknya sangat kelelahan.

“Ibu salah sangka dengan maksudku, Dek. Kamu tahu, kan, kalau aku sangat menyayangi kedua orang tuaku.” Terlihat netra suamiku yang berkaca-kacaa menceritakan apa saja yang terjadi saat ia ke rumah bapak. “Aku hanya mengusulkan supaya bapak dirawat oleh Hana atau anaknya, tapi ibu malah bilang aku gak sayang sama mereka dan membandingkan aku dengan Hana. Padahal karena aku ngerti kekmana ibu selama ini yang terlalu giat cari uang.”

Aku sangat paham posisi suamiku, tapi apalah dayaku, aku hanyalah seorang menantu yang tak diharapkan di keluarga ini. Jangankan untuk bertindak, bersuara saja, aku sudah kena damprat oleh ibu mertuaku. Sangat berbeda dengan Jefri, suami Hana.

“Jadi apa solusi dari ibu untuk perawatan bapak, Bang?”

Sejenak bang Haris terdiam. “Ibu nyuruh kita yang pindah ke rumahnya untuk urus bapak.” Tampak sayup-sayup kesedihan dari netra suamiku. Aku tau di posisi ini, suamiku merasa terjepit antara memilih orang tuanya atau memilih aku. Namun, aku terlalu lemah untuk menolak tawaran ibu ini. Karena orang yang akan kami bantu ini adalah bapak mertua yang sudah sangat baik pada kami.

“Bang, aku teringat waktu dulu bapak pulang ke rumah demi belain kamu.”

“Yang mana, Dek? Abang gak ingat.”

“Waktu kamu pinjam uang ibu dan janji bakal bayar setelah gajian. Tapi belum tiba waktu gajian, ibu malah setiap hari nagih. Sedangkan Hana malah dikasih kalung emas dua puluh gram untuk modal usaha secara cuma-cuma.”

Sesaat bang Haris mencoba mengingat memori itu. Ya, dia mulai ingat, kala itu bang Haris mendatangi bapak ke ladang tuk mengadukan perbuatan ibu, maksud hati hanya agar bapak tau kalau saat ini posisi suamiku sedang sulit untuk melunasi pinjamannya dengan ibu. 

“Pak, kekmanalah ibu, nih, aku pinjam uangnya 900 ribu dan akan kuganti waktu gajian nanti, tapi ibu malah tiap hari sibuk menagih. Aku gajian masih dua minggu lagi, Pak. Sedangkan emas ibu yang dua puluh gram itu, dikasihnya ke Hana secara cuma-cuma.”

Sontak Juriono menghentikan pekerjaannya dan tanpa berkata-kata, ia langsung pulang membawa cangkul yang ada di tangannya.

“Pak ... Pak!” teriak Haris namun tak lagi diindahkan oleh bapaknya. 

PLAK!

GEDEBUK!

“Memang kau bini dan ibu gak tau diri, ya!” sergah Juriono sambil memukul pundak Painem keras. “Anakmu minjam uang untuk ongkos pekerjaannya, malah kau sibuk nagih macam orang lain kau buat. Sedangkan anak perempuanmu, kau kasihkan emas dua puluh gram itu secara cuma-cuma. Harusnya kau gak kayak gitu jadi orang tua!” Sambil terus memukuli Painem dengan cangkul yang ada di tangannya.

“Heh! Kenapa kau ini? Keset*nan! Berhenti anj*ng, sakit! Lakik nggak nduwe utek kui, ya. (suami gak punya ot*k kau, ya) Berhenti!” 

Juriono terus memukuli tubuh istrinya hingga terjatuh barulah ia berhenti. Setelah itu, Juriono mendatangi rumah Hana dan menyuruh dia datang ke rumahnya untuk mengurus Painem. Hana menelpon bang Haris dan memintanya untuk datang juga ke rumah bapaknya. Aku dan bang Haris bergegas datang dan terlihat jelas lebam-lebam di tangan, mata dan wajah ibu. Aku kasihan dengannya dan ingin membantunya untuk naik ke tempat tidur, tapi dia malah mendorongku hingga terjatuh.

“Pergi kau dari sini mantu kurang aj*r!” teriak ibu padaku dengan tatapan nanar. Namun di saat bang Haris membantunya, dia hanya diam saja.  Akhirnya aku mengalah dan menunggu di teras rumah bapak sampai suamiku ke luar. Terdengar jelas di telingaku teriakan ibu mengatakan, “Senang kau, kan, aku dipukuli kayak gini!” Tapi aku hanya duduk diam menunggu bang Haris ke luar.

“Bang, gimana keadaan ibu? Udah dikompres sama Hana?”

“Udah, itu dia lagi ngompres. Aku bingung, apa yang sebenarnya terjadi. Bapak, pun, gak ada di rumah. Tapi tadi kata Hana, bapak datangi dia ke rumah suruh nengok ibu. Apa mungkin bapak yang ngelakuin ini ke ibu?”

“Gak tau juga, Bang,” jawabku seadanya.

Ternyata setelah beberapa jam kami di sana, bapak, pun, pulang dan menceritakan semua yang terjadi. Tatapan nanar sangat jelas terlihat dari kedua mata ibu dan Hana padaku. 

***

“Jadi maksud aku, siapa lagi yang akan urus bapak kalau gak kita, Bang. 

“Terimakasih, ya, Dek, kamu udah sayang sama kedua orang tuaku.”

 ***

“Bu, Pak, kami datang.” Dengan tas besar seadanya, aku dituntun bang Haris masuk ke dalam rumah bapak yang tak dikunci lalu duduk di kursi kayu sederhana.

“Bapak ....!” teriak suamiku dari dalam kamar.

BERSAMBUNG

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Nayna aqila Syah fitri
alhamdulillah suaminya udah marahin ibunya dan ayahny TAPI kasian ayah nya...
goodnovel comment avatar
Marhanumsitepu
terhanyut bacanya
goodnovel comment avatar
Rio Rinaldo
tetap lanjut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status