Share

Bab 3 Bapak Mertuaku Strok

Author: Wulan Sweemo
last update Huling Na-update: 2022-10-26 11:16:02

“Itu ... itu!”

“Pak! Pak!” teriak Haris pada bapaknya yang seketika itu jatuh pingsan. Tanpa buang waktu, Juriono dibawa ke rumah sakit untuk segera mendapatkan pertolongan.

“Bagaimana keadaan bapak saya, Dok?”

“Mohon maaf, Pak, karena kondisi fisik bapak sudah lemah, fisiknya sudah tak kuat untuk menerima berita-berita yang mengejutkan. Bapak anda terkena strok, Pak, kami turut prihatin, permisi," ungkap dokter yang menangani bapaknya.

Painem yang turut mengantar suaminya ke rumah sakit, terlihat bahagia atas kondisinya saat ini. Painem senang sebab tak ada lagi orang yang berusaha menghalangi semua rencana buruknya.

***

Haris telah mengurus semua biaya administrasi selama bapaknya dirawat. Namun sebelumnya, Haris sudah menelponku dan memberitahukan semua yang terjadi hingga bapaknya masuk rumah sakit. Betapa aku sedih mendengar kondisi bapak mertuaku yang terkena strok.

***

Sepulangnya mereka ke rumah, Haris mengusulkan saran untuk pemulihan bapaknya.

“Bu, apa gak sebaiknya Hana tinggal di sini untuk membantu ibu mengurus bapak?”

“Ora gelem aku nyusahin anak wedokku, aku masih iso urus bapakmu iki,” (aku gak mau nyusahin anak perempuanku, aku masih bisa urus bapakmu ini), tolak Painem. Padahal maksud Haris baik. Melihat ibunya yang sangat giat bekerja, pasti akan jarang baginya memperhatikan kondisi bapaknya yang tinggal di rumah sendirian ditambah lagi sepulang kerja, pasti ibunya akan merasa sangat lelah bila masih harus mengurusi bapaknya.

“Hana, kan, anaknya udah besar-besar, Bu, bisa bantu tuk jualannya,  si Endi dan Ena juga udah SMP kelas 3, udah bisa dimintai tolong.”

“Kenapa gak Ratih aja kau suruh ke sini? Dia, kan, menantu kesayangan bapakmu. Ya, dia ajalah yang ngurusin!” Suara Painem benar-benar dihiasi dengan amarah yang membara. Entah apa yang membuat dia sebegitu bencinya pada menantu perempuannya itu.

“Dia udah hamil besar, Bu, bentar lagi melahirkan. Kasihan kalau harus kerja berat.”

“Udahlah, memang kau dan istrimu itu gak ada sayangnya sama orangtua. Udah, pulang aja sana! Pulang! Gak butuh aku anak sepertimu di sini!” Painem mendorong Haris hingga ke luar rumah. Hal ini sangat disayangkan sebab Haris merupakan anak yang sangat sayang dengan kedua orang tuanya, namun di mata Painem yang sayang dengannya hanyalah Hana, anak perempuannya.

*** 

“Bang, kekmana keadaan bapak?” tanyaku pelan saat bang Haris tiba di rumah. Aku menyuguhkan teh hangat untuk suamiku yang tampaknya sangat kelelahan.

“Ibu salah sangka dengan maksudku, Dek. Kamu tahu, kan, kalau aku sangat menyayangi kedua orang tuaku.” Terlihat netra suamiku yang berkaca-kacaa menceritakan apa saja yang terjadi saat ia ke rumah bapak. “Aku hanya mengusulkan supaya bapak dirawat oleh Hana atau anaknya, tapi ibu malah bilang aku gak sayang sama mereka dan membandingkan aku dengan Hana. Padahal karena aku ngerti kekmana ibu selama ini yang terlalu giat cari uang.”

Aku sangat paham posisi suamiku, tapi apalah dayaku, aku hanyalah seorang menantu yang tak diharapkan di keluarga ini. Jangankan untuk bertindak, bersuara saja, aku sudah kena damprat oleh ibu mertuaku. Sangat berbeda dengan Jefri, suami Hana.

“Jadi apa solusi dari ibu untuk perawatan bapak, Bang?”

Sejenak bang Haris terdiam. “Ibu nyuruh kita yang pindah ke rumahnya untuk urus bapak.” Tampak sayup-sayup kesedihan dari netra suamiku. Aku tau di posisi ini, suamiku merasa terjepit antara memilih orang tuanya atau memilih aku. Namun, aku terlalu lemah untuk menolak tawaran ibu ini. Karena orang yang akan kami bantu ini adalah bapak mertua yang sudah sangat baik pada kami.

“Bang, aku teringat waktu dulu bapak pulang ke rumah demi belain kamu.”

“Yang mana, Dek? Abang gak ingat.”

“Waktu kamu pinjam uang ibu dan janji bakal bayar setelah gajian. Tapi belum tiba waktu gajian, ibu malah setiap hari nagih. Sedangkan Hana malah dikasih kalung emas dua puluh gram untuk modal usaha secara cuma-cuma.”

Sesaat bang Haris mencoba mengingat memori itu. Ya, dia mulai ingat, kala itu bang Haris mendatangi bapak ke ladang tuk mengadukan perbuatan ibu, maksud hati hanya agar bapak tau kalau saat ini posisi suamiku sedang sulit untuk melunasi pinjamannya dengan ibu. 

“Pak, kekmanalah ibu, nih, aku pinjam uangnya 900 ribu dan akan kuganti waktu gajian nanti, tapi ibu malah tiap hari sibuk menagih. Aku gajian masih dua minggu lagi, Pak. Sedangkan emas ibu yang dua puluh gram itu, dikasihnya ke Hana secara cuma-cuma.”

Sontak Juriono menghentikan pekerjaannya dan tanpa berkata-kata, ia langsung pulang membawa cangkul yang ada di tangannya.

“Pak ... Pak!” teriak Haris namun tak lagi diindahkan oleh bapaknya. 

PLAK!

GEDEBUK!

“Memang kau bini dan ibu gak tau diri, ya!” sergah Juriono sambil memukul pundak Painem keras. “Anakmu minjam uang untuk ongkos pekerjaannya, malah kau sibuk nagih macam orang lain kau buat. Sedangkan anak perempuanmu, kau kasihkan emas dua puluh gram itu secara cuma-cuma. Harusnya kau gak kayak gitu jadi orang tua!” Sambil terus memukuli Painem dengan cangkul yang ada di tangannya.

“Heh! Kenapa kau ini? Keset*nan! Berhenti anj*ng, sakit! Lakik nggak nduwe utek kui, ya. (suami gak punya ot*k kau, ya) Berhenti!” 

Juriono terus memukuli tubuh istrinya hingga terjatuh barulah ia berhenti. Setelah itu, Juriono mendatangi rumah Hana dan menyuruh dia datang ke rumahnya untuk mengurus Painem. Hana menelpon bang Haris dan memintanya untuk datang juga ke rumah bapaknya. Aku dan bang Haris bergegas datang dan terlihat jelas lebam-lebam di tangan, mata dan wajah ibu. Aku kasihan dengannya dan ingin membantunya untuk naik ke tempat tidur, tapi dia malah mendorongku hingga terjatuh.

“Pergi kau dari sini mantu kurang aj*r!” teriak ibu padaku dengan tatapan nanar. Namun di saat bang Haris membantunya, dia hanya diam saja.  Akhirnya aku mengalah dan menunggu di teras rumah bapak sampai suamiku ke luar. Terdengar jelas di telingaku teriakan ibu mengatakan, “Senang kau, kan, aku dipukuli kayak gini!” Tapi aku hanya duduk diam menunggu bang Haris ke luar.

“Bang, gimana keadaan ibu? Udah dikompres sama Hana?”

“Udah, itu dia lagi ngompres. Aku bingung, apa yang sebenarnya terjadi. Bapak, pun, gak ada di rumah. Tapi tadi kata Hana, bapak datangi dia ke rumah suruh nengok ibu. Apa mungkin bapak yang ngelakuin ini ke ibu?”

“Gak tau juga, Bang,” jawabku seadanya.

Ternyata setelah beberapa jam kami di sana, bapak, pun, pulang dan menceritakan semua yang terjadi. Tatapan nanar sangat jelas terlihat dari kedua mata ibu dan Hana padaku. 

***

“Jadi maksud aku, siapa lagi yang akan urus bapak kalau gak kita, Bang. 

“Terimakasih, ya, Dek, kamu udah sayang sama kedua orang tuaku.”

 ***

“Bu, Pak, kami datang.” Dengan tas besar seadanya, aku dituntun bang Haris masuk ke dalam rumah bapak yang tak dikunci lalu duduk di kursi kayu sederhana.

“Bapak ....!” teriak suamiku dari dalam kamar.

BERSAMBUNG

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (3)
goodnovel comment avatar
Nayna aqila Syah fitri
alhamdulillah suaminya udah marahin ibunya dan ayahny TAPI kasian ayah nya...
goodnovel comment avatar
Marhanumsitepu
terhanyut bacanya
goodnovel comment avatar
Rio Rinaldo
tetap lanjut
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Aku Menantumu Bukan Musuhmu, Bu!   Bab 42 Hari Pertama Ibu Mertuaku Tinggal Bersama Kami

    “Abang mau bicara apa?”“Makasih, ya, udah kembali teduhkan hati anak kita untuk menerima ibuku di rumah ini. Aku gak tahu harus berkata yang bagaimana lagi ke kamu. Kesabaranmu, ketulusanmu, kesetiaanmu dan semua hal baik tentangmu, mungkin gak mampu kubalas satu persatu.” Mata itu tampak berkaca-kaca menatapku yang berdiri di depannya.“Bang, aku ini istrimu, sudah sepantasnya selalu ada di saat apapun keadaan yang kamu alami. Aku memilih mencintaimu sejak dulu, hari ini, dan nanti. Tapi biar bagaimanapun, aku bukanlah makhluk yang sempurna, Bang.”“Bagiku kaulah yang paling sempurna, Dek.”“Enggak, Bang. Kamu salah bila menganggapku sesempurna itu. Aku juga pasti punya titik terendah yang mungkin dapat membuatku merasa lelah suatu hari nanti. Hingga tanpa kamu sadari, aku melakukan hal yang tak pernah kamu duga.”“Apa maksudmu, Dek?”“Aku juga hanya manusia biasa, Bang. Apalagi aku adalah seorang wanita yang mana segala sesuatunya berlandaskan hati. Beda dengan kalian yang menganda

  • Aku Menantumu Bukan Musuhmu, Bu!   Bab 41 Ibu Mertuaku Tinggal Bersama Kami

    “Hana!” balas Bang Haris dengan teriakan yang lebih lantang. “Apa maksudmu ucapkan perkataan itu!”“Aku udah capek sama semua penderitaan ini, jangan abang tambah lagi bebanku dengan menitipkan ibu sama aku!” Hana meronta-ronta seperti orang kerasukan.“Aku bukannya gak mau ngajak ibu ikut tinggal bersamaku, tapi ibu yang gak mau ikut aku!” sergah Bang Haris.“Aku gak mau tahu, ajak ibu pindah dari sini, aku gak mau dia jadi penambah bebanku di rumah ini!”Segera kuberjalan menuju kamar di mana ibu mertuaku berada. Tak kuindahkan lagi perkataan serta omelan adik iparku. Sepanjang kami berada di rumahnya, ia terus mengomel dan mengeluarkan ujaran kebencian. Aku seakan menutup telinga kiri dan kananku. Mengabaikan semua perkataannya.“Bang, semua perlengkapan ibu udah kubawa, kita pergi sekarang aja, ya,” ajakku tanpa menghiraukan Hana yang masih ngedumel.Masih terdengar jelas di telingaku ucapan pedas dari mulut Hana, tapi aku seolah menganggapnya tidak ada.“Heh, Kak, Bang! Kalian de

  • Aku Menantumu Bukan Musuhmu, Bu!   Bab 40 Hana Menolak Painem Tinggal Bersamanya

    “Masalah apa lagi yang mau kau buat.” Kudengar suara itu dari ruang tamuku, jangan-jangan ada lagi masalah baru sepulang kami dari rumah Hana tadi siang.Segera aku menyusul pusat suara itu, dan kulihat bang Haris sedang bertelponan tapi entah dengan siapa.“Bang, baru telponanan dengan siapa?” tanyaku sedikit ragu. Kulihat suamiku masih mengepalkan tangan kanannya. Tampak dia sangat kesal dengan orang di telepon barusan. “Duduk dulu, yuk, biar kamu lebih tenang. Bentar aku ambilkan teh hangat, ya.” Sesaat kuambilkan teh hangat untuk Bang Haris supaya dia lebih tenang dan meredalah emosinya. “Ini tehnya, Bang.” Kusuguhkan teh yang masih panas namun sedikit hangat itu untuknya.“Makasih, ya, Dek.”“Gimana? Udah enakan?”“Udah.”Kugenggam tangan suamiku dengan tangan kananku dan sedikit kutepuk-tepuk punggung tangannya dengan tangan kiriku.“Aku gak habis pikir lihat Hana dan Jefri.” Bang Haris mulai angkat bicara. Kutatap sorot matanya tanda aku serius mendengarkannya bercerita. “Hana

  • Aku Menantumu Bukan Musuhmu, Bu!   Bab 39 Aku Ingin Bersama Anak Perempuanku!

    “Aku benci kalian semua!” Jelas terdengar suara yang tak asing di telingaku. Ya, itu suara Endi.GUBRAKPintu rumah yang memang tak terkunci itupun didobrak oleh Endi.“Endi, darimana saja kau?” sergah Hana yang masih tersulut emosi.“Aku benci hidupku, aku benci semua yang ada di sini! Aaarrhhhg ....”“Cukup Endi, cukup! Udah gak pulang seminggu, pulang-pulang malah marah-marah gak jelas! Darimana saja kau?”“Aku mau kemana, itu terserahku, kalian semua ini cuma mikirkan harta, harta dan harta!”Kami yang menyaksikan perdebatan antara Endi dan ibunya lebih memilih diam daripada ikut campur. Masno dan Dewo memilih ke luar dari rumah itu sedangkan suamiku memilih menuntun ibu mertuaku ke tempat tidurnya.“Tunggu, anak kurang aj*r kau, ya!” sergah Hana. Ia menyusul ke luar kamar ibu mertuaku.“Untuk apa ibu masih mencariku, bukannya ibu dan bapak udah puas dengan banjir harta, punya sawah sana sini, punya warung yang selalu ramai.”“Tutup mulutmu!”PLAKTamparan itu tepat mengenai pipi

  • Aku Menantumu Bukan Musuhmu, Bu!   Bab 38 Painem Mengutuk Menantu Kesayangannya

    “Bang Haris, ngapain abang di sini?”“Kami datang ke sini untuk melihat seorang ibu tua yang kalian telantarkan,” jawabku sinis.“Kang, maafkan aku, ya, atas semua kesalahanku di masa lalu.” Seketika Hana melompat turun dari becak yang ditumpanginya dan bersimpuh di bawah kaki suamiku. “Aku gak pernah berpikir panjang akibat dari ulahku sejak dulu dengan kakang dan kak Ratih. Kumohon maafkan aku, ya, Kang.”Aku gak yakin Hana meminta maaf dengan tulus kepada kami. Namun pada situasi ini, aku tetap berusaha bersikap tenang. Tak kutunjukkan sedikitpun raut kesal di hadapan adik iparku yang licik dan lihai bersandiwara.“Bangkitlah, Han. Aku sudah memaafkan kalian. Sekarang mari kita tuntun Jefri dan ibu ke dalam rumah,” ucap bang Haris.“Aku senang kakang dan kak Ratih datang ke sini.” Kutahu ucapan Hana itu hanyalah basa basi belaka, lagaknya yang sok sibuk membuatkan teh untuk kamipun mungkin hanya penghias sandiwaranya saja.“Kak, kenapa dari tadi kulihat kakak seperti menyimpan sesu

  • Aku Menantumu Bukan Musuhmu, Bu!   Bab 37 Kesengsaraan Melanda Ibu Mertuaku

    Tangis histeris menyelimuti lorong rumah sakit itu, Hana, pun, berucap, “Oh Tuhan cobaan apa lagi ini!”***“Kulihat tadi malam kamu udah tidur lelap, aku gak tega bangunin kamu.”“Bang, astaghfirullah, aku belum salat subuh. Aku salat dulu, ya, Bang.” Bergegas kutinggalkan suamiku yang masih duduk di atas sajadah dengan sarung serta peci yang melekat di kepalanya.Selesai aku salat, kusalim tangan suamiku dan seperti biasa, ia mengecup lembut keningku.“Bang, aku mau ngomong sesuatu sama kamu,” ucapku pelan.“Bicaralah, Sayang. Kan memang seperti biasa, pagi-pagi selepas salat subuh, kita selalu bercengrama seperti ini,” balasnya dengan senyuman.“Tapi ini menyangkut keluarga besar kita.” Aku tertunduk takut menatap bagaimana ia meresponku setelah ini.“Tidak apa-apa, bicaralah, baik maupun buruk yang akan kamu sampaikan, takkan mengubah apapun dariku.”“Aku mau minta maaf karena semalam telah melampiaskan seluruh emosiku di pesta anak Hana.” Aku masih menunduk takut.“Lantas?” tanya

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status