Share

Enam

"Jadi kamu mau mengungkit-ungkit kebaikan yang sudah kamu lakukan pada ibu, Din? Apa itu pantas? Lagipula kenapa sih tiba-tiba kamu berubah begini? Nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba kamu marah-marah begini. Kamu mau apa sebenarnya?" tanyaku sembari menatap wajah Andin lekat.

 

Wajah yang biasanya lugu dan polos itu entah kenapa sekarang berubah dingin dan datar. Ah, apa sih yang sebenarnya membuat Andin seperti ini? Apa salahku sebenarnya?

 

"Aku nggak ngungkit-ngungkit, Mas. Kamu saja yang aneh, masa bersihin kotoran ibu kandung sendiri kok perhitungan. Ibu kan ibu mas sendiri. Saat mas kecil, beliau yang mandiin dan nyuciin kotoran mas, masa sekarang mas gak mau gantian? Ingat, kunci surga mas ada di bawah telapak kaki ibu, kalau aku aja yang merawat beliau, apa mas nggak takut surganya dikasihkan ke aku?" tanya Andin terdengar konyol di telingaku, membuatku merasa dipermainkan karena ucapan kekanak-kanakan darinya itu.

 

"Ya, nggak gitu juga, Ndin. Kamu kan istri mas, kamu nolong merawat ibu kan sama juga artinya kamu menolong mas masuk surga. Kamu patuh sama mas, mas ridho, kamu juga masuk surga. Jadi sejatinya kita tolong menolong untuk sama-sama masuk surga," sahutku berusaha sabar menjelaskan, tetapi Andin hanya diam, lalu setelah beberapa saat, ia membuka mulutnya.

 

"Tapi masalahnya mas, merawat orang tua yang sedang sakit dan nggak bisa ngapa-ngapain itu kan repot dan melelahkan. Aku bukan mesin atau robot yang nggak punya rasa capek kan? Buktinya kamu baru sebentar saja ngurus ibu, ibu sendiri, sudah ngeluh dan kecapekan. Apalagi aku yang sendirian selama ini?"

 

"Ya, sudah kalau nggak mau! Biar mas bersihkan sendiri! Gitu aja repot!"

 

Mendengar sangkalannya, dengan marah kubalikkan tubuh lalu kembali mendekati sosok ibu. Namun, bukannya takut dan minta maaf, Andin malah meneruskan ucapannya.

 

" ... atau kalau nggak, Mas cari aja istri baru yang mau gantiin posisiku merawat mertua yang hanya bisa berbaring saja di tempat tidur. Aku juga pengen lihat ada nggak istri yang tahan dan betah diperlakukan begitu, sementara bukannya ucapan terimakasih, malah pengkhianatan dan main hati di luaran yang dilakukan suaminya," celetuk Andin tiba-tiba membuatku kaget.

 

Namun, sebelum aku sempat protes, Andin sudah keburu membalikkan tubuhnya lalu  dengan santai berlalu pergi dari hadapanku.

 

🌴🌴🌴🌴🌴

 

"Mas, hari ini temani aku ke mall ya, pengen beli sepatu dan tas baru. Ini juga hukuman buat Mas karena kemarin batal nganterin aku!" ucap Mila merajuk saat aku menemuinya keesokan hari.

 

Bibirnya yang merah dan sensu*l, tampak ditekuk ke depan. Mungkin masih merasa kesal karena aku tak bisa memenuhi janji kemarin sebab Andin tiba-tiba memaksa keluar rumah dan aku harus menjaga serta merawat ibu.

 

"Iya, iya. Apa sih yang nggak buat kamu," sahutku sembari mengacak sayang rambut Mila mencoba meredakan rasa kesal di hatinya.

 

Mendapat perlakuan lembut dariku, bibir gadis itu tersenyum lebar. Ia lalu memelukku erat-erat.

 

"Tapi bayarin ya, Mas. Uang yang kamu kasih ke aku kemarin sudah habis soalnya," ujarnya lagi sambil menatap manja ke arahku.

 

Melihat itu aku hanya tersenyum lalu menyentil puncak hidungnya dengan sayang.

 

"Pasti dong, apa sih yang nggak buat kamu? Nanti sebelum ke mall, kita ambil uang dulu buat belanja. Oke?"

 

"Oke, Mas baik deh. Makin sayang sama Mas rasanya!" Mila tertawa manja lalu menggandengku keluar rumah.

 

Kami pun kemudian menaiki mobil menuju ke pusat kota, di mana terdapat jejeran mall-mall besar yang menjual produk yang diinginkan Mila.

 

Namun, sebelum ke sana, kami mampir dulu ke sebuah ATM karena aku hendak menarik sejumlah uang sebab persediaan uang tunai di dompet sudah menipis.

 

Kumasukkan kartu ATM pada tempatnya. Kutekan angka yang sudah sangat kuhapal, tetapi tanpa diduga, layar mesin menyatakan nomor PIN yang kutekan, salah.

 

Lho kok bisa salah? Aku bingung sendiri. Apa jangan-jangan Andin sudah mengganti nomornya ya? Bukannya kemarin ia yang pinjam kartu?

 

"Kenapa, Mas? Kok PIN salah?" tanya Mila yang berdiri di sampingku.

 

Melihatku kebingungan, ia kemudian mengambil kartu dan memasukkan ke dalam mesin kembali.

 

Ia mengetik tanggal pernikahan kami dalam kolom PIN, tetapi kembali akses ditolak. Mendapati hal itu, Mila menatapku heran.

 

"Kamu ganti nomor PIN-nya ya, Mas? Kok nggak mau masuk?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. Raut tak suka terlihat jelas di wajahnya.

 

Melihat itu aku hanya tersenyum kecut. Ya, jangan-jangan Andin memang sudah mengganti nomor PIN yang merupakan tanggal pernikahan kami menjadi tanggal pernikahan dengan Andin.

 

Berpikir begitu, aku pun segera mengambil alih, memasukkan tanggal pernikahan dengan Andin ke mesin ATM dan ternyata benar, tak lama akses pun diterima. Andin ternyata sudah mengembalikan nomor PIN yang baru ke kode semula.

 

"Jadi kamu sengaja mengganti PIN-nya ke nomor semula ya, Mas? Kamu bohongi aku. Katanya lebih sayang sama aku, lebih cinta, lebih bahagia sama aku, tapi ternyata kamu lebih sayang sama Andin. Perempuan yang katamu jelek dan kumal. Kamu memang nyebelin, Mas!"

 

 

 

 

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status