Share

Bab 4. Rencana Licik Mertua Elma

Binsar cepat-cepat menuju pintu, Elma yang sudah merasa sedikit bertenaga pagi ini  ikut berjalan di belakangnya.

“Kamu! Kenapa belum …,” sergah Binsar  begitu daun pintu dibuka.

“Ris, kamu rajin banget buatin sarapan segala! Terima kasih, ya!  Kamu memang gadis yang baik!” sela  Elma dengan senyum mekar di bibirnya.

“Iya, Kak. Kakak sarapan, ya! Aku juga udah buatkan jus jeruk hangat buat Kakak.” Riris memeluk pinggang Elma, lalu membawa wanita itu menuju ruang makan. Binsar melongo. Kalimat kasar yang ingin dia ucap tertahan di tenggorokan.

“Oh, iya, Bang, Tante beserta anak-anak sudah dalam perjalanan ke sini,” imbuh gadis itu menoleh sekali lagi ke belakang. Binsar tersentak kaget.

“Anak-anak?” seru Elma gembira.

“Iya, Kak. Aku meminta Tante membawa anak-anak Kakak ke sini, pasti Kakak sudah kangen, kan?”

“Riris, kamu pengertian banget, sih. Kalau aku yang minta pada mertuaku agar bawa anak-anak ke sini, enggak pernah  dikabulkan. Katanya penyakitku bisa nular ke anak-anak. Terima kasih, ya! Untung kamu ada di sini, aku merasa  berhutang banget sama kamu, Ris! Semoga kamu betah di sini, ya!”

“Tentu, Kak El! Aku betah banget di sini. Selama  Kakak dan Bang Binsar ngizin aku tetap tinggal di rumah ini, aku pasti tinggal. Kalian berdua orang baik. Apalagi Bang Binsar. Aku kagum sama suami Kakak. Benar-benar suami yang setia dan bertanggung jawab.”

Riris melirik Binsar dengan ekor mata. Pria yang dilirik semakin kegerahan.

“Iya, semoga kamu kelak mendapat suami seperti Bang Binsar, ya, Ris!” Elma mengulas senyum.

“Aamiin. Terima kasih, ya, Kak!”

‘Aku sudah mendapatkannya, Kak. Tinggal nunggu saat yang tepat  saja! Sesaat lagi. Kutunggu saat  keadaanmu paling drop, agar semua bisa berjalan secara sempurna,’ batin Riris berkata, senyum samar mekar di sudut bibirnya.

Binsar merasakan ada yang janggal dengan sikap Riris. Perempuan ini sepertinya sedang menyiapkan suatu rencana. Dia harus siap siaga. Sebelum gadis itu mengacaukan segalanya, dia harus membawa Elma ke rumah sakit. Mumpung Elma juga sudah mau dioperasi.

“Hallo, Dokter David. Boleh bicara sebentar?” sapanya melalui telepon seluler.

“Iya, selamat pagi, Pak Binsar! Bagaimana keadaan Bu Elma?” Terdengar sahutan dari seberang sana.

“Elma makin baik, Dok! Dan dia sudah bersedia menjalani operasinya. Saya akan mengantarnya sebentar lagi. Tolong siapkan segala sesuatunya!”

Deg!

Riris tersentak demi mendengar kalimat Binsar. ‘Kenapa begitu tiba-tiba? Bukankah selama ini Elma tidak mau menjalani operasi karena dia takut mati? Lalu, kenapa tiba-tiba dia mau? Ada apa? Pikiran wanita itu berkecamuk.

“Oh, ya? Ini baru  berita bagus! Baik, saya tunggu. Kita akan cek kondisi pasien nanti. Jika semua baik dan stabil, segera kita lakukan operasinya!”

“Baik, Dok. Terima kasih!”

Binsar mengakhiri panggilan teleponnya, lalu berjalan ke arah meja makan. Riris melirik dengan ekor mata. Gundah dan was-was. Gadis itu tengah mengisi piring Elma dengan nasi goreng buatannya.

“Sayang, Dokter David sudah stand by. Setelah sarapan, kita berangkat, ya!” ujar Binsar menarik kursi di samping istrinya.

“Kita tunggu anak-anak dulu, Abang! Aku kangen sama mereka. Udah hampir sebulan tidak bertemu,” pinta Elma dengan sorot mata punuh kerinduan.

“Hem, baiklah! Tapi setelah bertemu anak-anak jangan berubah pikiran, ya! Awas, lho, kalau kamu batalin lagi operasinya!” Binsar mengelus punggung tangan keriput istrinya.

“Ya, aku tidak akan berubah pikiran lagi.”

“Hem, lanjutkan sarapannya, ya, Sayang! Abang mau mandi dulu!” titah Binsar bangkit, lalu  mengecup lembut pucuk kepala  Elma.

“Iya, Abang!” sahut wanita itu tersenyum bahagia.

Betapa dia merasa menjadi wanita paling beruntung. Makin hari sang suami terlihat makin sayang. Tak ada yang berubah meski penyakit ini telah sukses merubah penampilannya menjadi perempuan kerontang, jelek, dan layu.

“Kak, kalau boleh tahu, kenapa tiba-tiba kakak berubah pikiran mau jalani operasinya? Bukannya dari kemarin Kakak nolak?” Riris menghenyakkan bokong besarnya di kursi bekas duduk  Binsar, tepat di samping Elma.

“Oh, itu. Kakak tiba-tiba sadar, kalau diri kakak ini masih sangat dibutuhkan oleh suami, juga anak-anak,” jawab Elma seraya meneguk jus jeruk hangat buatan Riris.

“Maksud Kakak?” Riris menautkan kedua alis tebalnya.

“Bang Binsar butuh istri, Ris! Kasihan dia kesepian selama ini. Tiga bulan sudah kakak mengabaikan kewajiban. Dia memang tidak pernah menuntut. Bahkan saat kakak menawarkan pun, dia menolak karena tak tega. Tapi, kakak gak boleh egois, kan? Bang Binsar masih muda. Dia pasti masih sangat butuh nafkah batin.”

“Hem, Kakak tidak curiga, kalau dia memenuhi kebutuhan akan hal itu pada wanita lain?” selidik Riris menatap lekat bola mata kecoklatan milik Elma.

“Hehehehe … kamu itu! Kenapa malah kamu yang curiga?”

“Aku enggak curiga, Kak. Cuma, yang namanya laki-laki normal, tampan, masih muda lagi, tentu saja dia punya seribu satu cara untuk melampiaskan hasrat seperti itu, iya, kan?”

“Ya, tapi kakak percaya, suami kakak masih mampu mengatasinya. Dia adalah type suami yang setia. Tapi tentu saja kakak juga harus ada usaha.  Makanya kakak putuskan segera operasi.”

“Hem. Kakak benar.”

“Apanya yang benar?”

“Bang Binsar adalah suami yang setia.”

“Ya, kamu sudah hampir dua bulan tinggal di rumah ini, bukan. Tentu kau sudah tau  juga karakter suamiku.”

“Ya, Kak. Kak Elma lanjut dulu, ya, sarapannya! Saya mau siap-siap juga. Sebentar lagi karyawan toko udah pada datang.”

“Iya. Makasih, ya, nasi goreng spesialnya!”

“Kakak yang semangat, ya, menjalani operasinya! Semoga berjalan lancar!”

“Terima kasih, Ris!”

*

Riris berjalan cepat meninggalkan ruang makan menuju kamarnya. Mengunci pintu dari dalam lalu meraih ponsel di atas nakas.

“Tante, Tante udah sampai  di mana?” tanyanya begitu panggilannya terhubung.

“Kami udah sampai di Sibolangit, Ris! Setengah jam lagi udah sampailah di Medan. Kenapa, Sayang?”

“Tolong kalian perlambat aja, Tante! Kalian istirahat dulu di rest area mana, gitu!”

“Kenapa?”

“Gawat, Tan! Si Elma pagi ini bikin kejutan setelah tadi malam Bang Binsar mecat saya. Menantu Tante  itu tiba-tiba mutusin untuk mau jalani operasi. Pagi ini mereka mau berangkat ke rumah sakit setelah bertemu anak-anak. Makanya Tante tahan aja dulu anak-anak! Jangan izinin bertemu dia, biar perempuan itu down lagi kondisi psikisnya nahan kangen, lalu batalin operasinya!”

“Ada apa si Elma tiba-tiba mau operasi? Apakah dia benaran mulai curiga sama kamu?”

“Enggak tau, Tan! Sepertinya tidak, sih. Dia malah kelihatan bahagia, tenang, senyum aja sepanjang pagi ini. Gak ada tanda-tanad kalau dia  menyimpan sedih, curiga dan semacamnya.”

“Ya, udah. Gini aja, kau bilang saja kalau kami tidak jadi  datang, karena si bungsu Tampan tiba-tiba demam dan kejang-kejang! Biar dia ketakutan, was-was, dan batalin operasinya!”

*****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nur meini
E amang tahe, namboru te do si Risda on,sekongkol rap dohot pelakor...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status