Share

Bab 5. Ancaman Manis Riris

“Baik, Tante!”

Riris tersenyum lega. Gadis itu lalu membuka pintu kamar, keluar dengan langkah ringan. Kabar duka akan dia sampaikan kepada Elma yang masih berada di meja makan.

Namun, saat melewati kamar utama, langkahnya terhenti. Pintu kamar yang sedikit terbuka membuat mata gadis itu dengan leluasa menangkap pemandangan di dalamnya.  Binsar yang baru saja selesai mandi tengah berdiri mamatut diri di depan cermin rias. Tubuh atletis yang hanya berbalut handuk sebatas pinggang memancing gadis itu untuk datang mendekat.

Pelan Riris menguakkan daun pintu agar lebih lebar. Membawa tubuhnya masuk ke dalam, lalu menutup kembali daun pintu tanpa suara.

Klek! Ceklek!

Anak kunci dia putar dua kali.

“Kamu?” teriak Binsar  terkejut menoleh ke belakang. “Kamu, ngapain di sini? Keluar!” usirnya dengan mata membulat.

“Ssst! Jangan kencang-kencang ngomongnya! Nanti istri Abang dengar gimana?” Riris menempelkan  telunjukknya di bibir  Binsar yang masih basah. 

“Mau apa kamu, Riris? Tolong keluar!”

“Jangan berteriak, Abang! Atau aku akan beri tahu semuanya pada Kak Elma! Dia akan terkejut, drop, dan gak jadi operasi, mau?” ancamnya seraya  berjinjit mengimbangi tinggi tubuh sang pria. Sesaat kemudian, Riris menyatukan mulut mereka. Bibir  basah dan dingin Binsar, sudah dia kuasai sepenuhnya.

“Cukup Ris! Hentikan!” Binsar berusaha melepaskan pagutan gadis itu

“Sebentar saja, Abang! Anggap ini sebagai salam perpisahan. Aku akan pergi sebentar lagi, bukan? Ini yang terakhir, Abang, please!”

Binsar terenyuh, Riris langsung menyerangnya dengan agresif. Sebagai laki-laki normal, pria itu akhirnya menyerah dan mulai membalas sentuhan panas kekasihnya. Derit ranjang seirama dengan desah keduanya.

*

“Abang!”

Suara handel pintu digerakkan diiringi ketukan halus di pintu kamar mengagetkan mereka berdua. Buru-buru Binsar melepas tubuh Riris. Gadis itu sibuk mengenakan pakaiannya kembali   yang berserakan di atas lantai. Binsar meraih handuk lalu melilitkan sebatas pinggang.

“Abang, udah mandinya? Kenapa dikunci pintunya?” tanya Elma dari luar.

“Ya, Sayang! Bentar ya, Mas di kamar mandi, buang hajat!”

“Oh, ya, udah! Selesaikan aja dulu! Aku tunggu di teras aja!”

Sepasang durjana menarik napas lega.

“Cepat keluar! Perhatikan onderdil kamu, awas ada yang kececer, lagi!” Binsar mengingatkan  saat terdengar suara sandal Elma menjauh. Langkah yang terseret.

Elma  menghentikan langkah tertatihnya seketika. Sepertinya dia mendengar suara  suaminya memerintahkan seseorang keluar.  Seperti berbisik, namun tetap terdengar. 

‘Bang Binsar mengusir siapa?’ Wanita itu menjamkan pendengaran.

“Iya, Bang! Maaf, ya! Abang belum sempat tuntas!” ucap Riris merasa bersalah.

Amelia tercekat. Wanita itu mundur perlahan, mengangkat kakinya dengan berjingkat, kembali ke depan pintu kamar.

“Gak apa-apa, kamu keluar cepat!” perintah Binsar dengan nada terdengar kesal.

“Nanti kita ulang lagi, ya, Abang. Aku janji akan memuaskan Abang!” janji Riris dengan nada manja dan desah mesra.

Amelia bagai ditampar mendengar kalimat dan desah mesum itu.

“Keluar, Ris!” geram Binsar hilang kesabaran.

“Sabar, dong, Abang!”

“Kamu, ya! Udah kubilang jangan pancing kecurigaan Elma! Tapi kamu tetap nekat juga!”

“Iya, aku keluar, kok! Gak usah bentak-bentak, dong!” rajuk Riris seraya memutar anak kunci. "Saat begituan aja, Abang lemah lembut, pas gini, bentak-bentak!” lanjutnya seraya menguak daun pintu.

Elma telah berdiri tegak di hadapannya.

“Kak? Kakak di … sini? Bu … bukannya  … tadi,  ma mau …  nunggu  … Bang Binsar di … di  teras?” gagapnya terkejut.

“Elma, Sayang!” Binsar sama terkejutnya.

Wanita kurus itu bagai  membeku. Mata cekungnya menatap sayu sepasang durjana  di hadapannya. Leher jenjang Riris mempertontonkan bekas gigitan percintaan.

Mata  Elma  mulai mengembun, makin mengabur saat embun berubah menjadi titik-titik air. Namun, air bening itu tak pernah luruh. Wanita itu mengeraskan hati, menekan perasaan yang  tertoreh luka. Tak ada air mata yang tumpah.

“Sayang, tadi Riris menyampaikan  sebuah rahasia penting. Rahasia toko kita. Itu sebab dia masuk ke kamar kita, Sayang! Khawatir ada yang menguping pembicaraan kami. Ini menyangkut rahasia dagang toko kita.”

Elma bergeming.

“Em, itu, Bik Darmi biasanya datang di jam segini, kan? Kami khawatir dia menguping  makanya kami kunci pintunya, kamu paham maksud abang, kan, Sayang?” dustanya menutupi gelisah.

Elma masih diam.

“El, em, kamu sebaiknya siap-siap, ya, Sayang! Sebentar lagi kita ke rumah sakit,” bujuknya lagi.

“Dan kamu, Ris! Tolong kamu urus toko! Pesanan material yang masuk semalam segera kamu order! Kiriman ke toko cabang kamu handel semua!” perintahnya pada Riris.

“Baik, Bang! Permisi!” Riris segera beranjak pergi.

“Tunggu!” Tiba-tiba Elma bersuara. Perintah yang terdengar lemah, tetapi mampu  menghentikan langkah  kaki sang  kasir toko.

“Ada apa, Sayang?” Binsar terlihat panik. Namun, tidak dengan Riris. Wanita itu malah tersenyum samar. Semoga kali ini  Elma benar-benar ambruk, begitu doanya.

“Saya, Kak? Ada apa?” tanya gadis itu tetap tenang.

“Tolong bimbing aku ke meja kasir!” titah Elma kemudian.

“Buat apa, Sayang? Sebaiknya kamu siap-siap saja, begitu Mama dan anak-anak tiba, kita bisa langsung berangkat ke rumah sakit!” cegah Binsar dengan cepat.

“Sebentar saja! Aku mau duduk di sana sebelum menjalani operasi. Agar apapun yang terjadi setelah operasi nanti, aku  tenang. Entahpun operasinya gagal dan aku meninggal, aku sudah ihklas.” Elma memohon.

“Hust! Operasinya pasti lancar, Sayang! Tapi, baiklah, jangan lama-lama, ya!” Binsar akhirnya menyetujui. “Riris, aku  akan menyiapkan keperluan rumah sakit Elma.  Kamu bimbing  Elma berjalan, ya! Awas dia sampai jatuh, dia sangat lemah saat berjalan!” perintahnya pada Riris.

“Iya, Bang!” sahut Riris lalu memeluk Elma di pinggang seraya membawa  majikannya berjalan menuju toko.

Toko itu posisinya ada di depan rumah. Sebuah gudang berisi bahan-bahan material bangunan memisahkan antara rumah megah itu dengan toko. Butuh waktu lima menit berjalan ke depan  untuk menuju kantor toko.  Itu bagi orang sehat. Beda dengan Elma yang sedang sakit. 

Susah payah Elma berjalan menuju ke sana. Beberapa kali dia terpaksa berhenti dan bersandar di tiang-tiang penyangga untuk menarik napas karena  lelah.  Elma tak sanggup lagi berjalan agak lama. Napasnya terdengar memburu, itu membuatnya sesak.

“Kakak masih sanggup berjalan?” tanya Riris  tersenyum tipis, pura-pura perhatian.

“Hem, ayo, aku pasti sanggup!” Elma menyemangati dirinya. Langkah tertatihnya berayun lagi.  Setiap  lima langkah, dia berhenti untuk menghirup oksigen banyak-banyak.  Lima belas menit waktu yang dia butuhkan, akhirnya dia  berhasil duduk di meja kasir.

“Hidupkan lapotopnya!” perintahnya dengan suara serak dan nafas tersengal.

“Kakak mau ngapain?” tanya Riris mengernyitkan kening.

“Hidupkan saja!”

Dengan enggan Riris menjalankan perintah. Elma mengumpulkan tenaga, dia harus bisa menyelamatkan semua harta, asset dan semua uang yang tersimpan di rekening sekarang juga. Memastikan bahwa Binsar dan Riris tak akan bisa mempermainkan dirinya.

*****

Bersambung

Komen (3)
goodnovel comment avatar
PiMary
Nah gitu,pinter sedikit Elma....
goodnovel comment avatar
Ruqi Ruqiyah
good job.....saya suka tokoh Elma....lanjuttt thor
goodnovel comment avatar
Asrinda 24
baiklah good job Elma sy suka wanita yg lemah diluar tapi kokoh di dalam
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status