“Baik, Tante!”
Riris tersenyum lega. Gadis itu lalu membuka pintu kamar, keluar dengan langkah ringan. Kabar duka akan dia sampaikan kepada Elma yang masih berada di meja makan.
Namun, saat melewati kamar utama, langkahnya terhenti. Pintu kamar yang sedikit terbuka membuat mata gadis itu dengan leluasa menangkap pemandangan di dalamnya. Binsar yang baru saja selesai mandi tengah berdiri mamatut diri di depan cermin rias. Tubuh atletis yang hanya berbalut handuk sebatas pinggang memancing gadis itu untuk datang mendekat.
Pelan Riris menguakkan daun pintu agar lebih lebar. Membawa tubuhnya masuk ke dalam, lalu menutup kembali daun pintu tanpa suara.
Klek! Ceklek!
Anak kunci dia putar dua kali.
“Kamu?” teriak Binsar terkejut menoleh ke belakang. “Kamu, ngapain di sini? Keluar!” usirnya dengan mata membulat.
“Ssst! Jangan kencang-kencang ngomongnya! Nanti istri Abang dengar gimana?” Riris menempelkan telunjukknya di bibir Binsar yang masih basah.
“Mau apa kamu, Riris? Tolong keluar!”
“Jangan berteriak, Abang! Atau aku akan beri tahu semuanya pada Kak Elma! Dia akan terkejut, drop, dan gak jadi operasi, mau?” ancamnya seraya berjinjit mengimbangi tinggi tubuh sang pria. Sesaat kemudian, Riris menyatukan mulut mereka. Bibir basah dan dingin Binsar, sudah dia kuasai sepenuhnya.
“Cukup Ris! Hentikan!” Binsar berusaha melepaskan pagutan gadis itu
“Sebentar saja, Abang! Anggap ini sebagai salam perpisahan. Aku akan pergi sebentar lagi, bukan? Ini yang terakhir, Abang, please!”
Binsar terenyuh, Riris langsung menyerangnya dengan agresif. Sebagai laki-laki normal, pria itu akhirnya menyerah dan mulai membalas sentuhan panas kekasihnya. Derit ranjang seirama dengan desah keduanya.
*
“Abang!”
Suara handel pintu digerakkan diiringi ketukan halus di pintu kamar mengagetkan mereka berdua. Buru-buru Binsar melepas tubuh Riris. Gadis itu sibuk mengenakan pakaiannya kembali yang berserakan di atas lantai. Binsar meraih handuk lalu melilitkan sebatas pinggang.
“Abang, udah mandinya? Kenapa dikunci pintunya?” tanya Elma dari luar.
“Ya, Sayang! Bentar ya, Mas di kamar mandi, buang hajat!”
“Oh, ya, udah! Selesaikan aja dulu! Aku tunggu di teras aja!”
Sepasang durjana menarik napas lega.
“Cepat keluar! Perhatikan onderdil kamu, awas ada yang kececer, lagi!” Binsar mengingatkan saat terdengar suara sandal Elma menjauh. Langkah yang terseret.
Elma menghentikan langkah tertatihnya seketika. Sepertinya dia mendengar suara suaminya memerintahkan seseorang keluar. Seperti berbisik, namun tetap terdengar.
‘Bang Binsar mengusir siapa?’ Wanita itu menjamkan pendengaran.
“Iya, Bang! Maaf, ya! Abang belum sempat tuntas!” ucap Riris merasa bersalah.
Amelia tercekat. Wanita itu mundur perlahan, mengangkat kakinya dengan berjingkat, kembali ke depan pintu kamar.
“Gak apa-apa, kamu keluar cepat!” perintah Binsar dengan nada terdengar kesal.
“Nanti kita ulang lagi, ya, Abang. Aku janji akan memuaskan Abang!” janji Riris dengan nada manja dan desah mesra.
Amelia bagai ditampar mendengar kalimat dan desah mesum itu.
“Keluar, Ris!” geram Binsar hilang kesabaran.
“Sabar, dong, Abang!”
“Kamu, ya! Udah kubilang jangan pancing kecurigaan Elma! Tapi kamu tetap nekat juga!”
“Iya, aku keluar, kok! Gak usah bentak-bentak, dong!” rajuk Riris seraya memutar anak kunci. "Saat begituan aja, Abang lemah lembut, pas gini, bentak-bentak!” lanjutnya seraya menguak daun pintu.
Elma telah berdiri tegak di hadapannya.
“Kak? Kakak di … sini? Bu … bukannya … tadi, ma mau … nunggu … Bang Binsar di … di teras?” gagapnya terkejut.
“Elma, Sayang!” Binsar sama terkejutnya.
Wanita kurus itu bagai membeku. Mata cekungnya menatap sayu sepasang durjana di hadapannya. Leher jenjang Riris mempertontonkan bekas gigitan percintaan.
Mata Elma mulai mengembun, makin mengabur saat embun berubah menjadi titik-titik air. Namun, air bening itu tak pernah luruh. Wanita itu mengeraskan hati, menekan perasaan yang tertoreh luka. Tak ada air mata yang tumpah.
“Sayang, tadi Riris menyampaikan sebuah rahasia penting. Rahasia toko kita. Itu sebab dia masuk ke kamar kita, Sayang! Khawatir ada yang menguping pembicaraan kami. Ini menyangkut rahasia dagang toko kita.”
Elma bergeming.
“Em, itu, Bik Darmi biasanya datang di jam segini, kan? Kami khawatir dia menguping makanya kami kunci pintunya, kamu paham maksud abang, kan, Sayang?” dustanya menutupi gelisah.
Elma masih diam.
“El, em, kamu sebaiknya siap-siap, ya, Sayang! Sebentar lagi kita ke rumah sakit,” bujuknya lagi.
“Dan kamu, Ris! Tolong kamu urus toko! Pesanan material yang masuk semalam segera kamu order! Kiriman ke toko cabang kamu handel semua!” perintahnya pada Riris.
“Baik, Bang! Permisi!” Riris segera beranjak pergi.
“Tunggu!” Tiba-tiba Elma bersuara. Perintah yang terdengar lemah, tetapi mampu menghentikan langkah kaki sang kasir toko.
“Ada apa, Sayang?” Binsar terlihat panik. Namun, tidak dengan Riris. Wanita itu malah tersenyum samar. Semoga kali ini Elma benar-benar ambruk, begitu doanya.
“Saya, Kak? Ada apa?” tanya gadis itu tetap tenang.
“Tolong bimbing aku ke meja kasir!” titah Elma kemudian.
“Buat apa, Sayang? Sebaiknya kamu siap-siap saja, begitu Mama dan anak-anak tiba, kita bisa langsung berangkat ke rumah sakit!” cegah Binsar dengan cepat.
“Sebentar saja! Aku mau duduk di sana sebelum menjalani operasi. Agar apapun yang terjadi setelah operasi nanti, aku tenang. Entahpun operasinya gagal dan aku meninggal, aku sudah ihklas.” Elma memohon.
“Hust! Operasinya pasti lancar, Sayang! Tapi, baiklah, jangan lama-lama, ya!” Binsar akhirnya menyetujui. “Riris, aku akan menyiapkan keperluan rumah sakit Elma. Kamu bimbing Elma berjalan, ya! Awas dia sampai jatuh, dia sangat lemah saat berjalan!” perintahnya pada Riris.
“Iya, Bang!” sahut Riris lalu memeluk Elma di pinggang seraya membawa majikannya berjalan menuju toko.
Toko itu posisinya ada di depan rumah. Sebuah gudang berisi bahan-bahan material bangunan memisahkan antara rumah megah itu dengan toko. Butuh waktu lima menit berjalan ke depan untuk menuju kantor toko. Itu bagi orang sehat. Beda dengan Elma yang sedang sakit.
Susah payah Elma berjalan menuju ke sana. Beberapa kali dia terpaksa berhenti dan bersandar di tiang-tiang penyangga untuk menarik napas karena lelah. Elma tak sanggup lagi berjalan agak lama. Napasnya terdengar memburu, itu membuatnya sesak.
“Kakak masih sanggup berjalan?” tanya Riris tersenyum tipis, pura-pura perhatian.
“Hem, ayo, aku pasti sanggup!” Elma menyemangati dirinya. Langkah tertatihnya berayun lagi. Setiap lima langkah, dia berhenti untuk menghirup oksigen banyak-banyak. Lima belas menit waktu yang dia butuhkan, akhirnya dia berhasil duduk di meja kasir.
“Hidupkan lapotopnya!” perintahnya dengan suara serak dan nafas tersengal.
“Kakak mau ngapain?” tanya Riris mengernyitkan kening.
“Hidupkan saja!”
Dengan enggan Riris menjalankan perintah. Elma mengumpulkan tenaga, dia harus bisa menyelamatkan semua harta, asset dan semua uang yang tersimpan di rekening sekarang juga. Memastikan bahwa Binsar dan Riris tak akan bisa mempermainkan dirinya.
*****
Bersambung
“Vita, sambil tengokin adek, ya! Tante mau buatkan jus buah!” titah Nirmala seraya bangkit. Ini hari keempat dia menemani anak-anak Elma. “Ya, Tante. Buatin buat Vita sekalian, ya, Tan! Gerah banget, nih!” sahut Vita tetap fokus dengan buku pelajaran di tangannya. Gadis kecil berusia delapan tahun itu akan menghadapi ujian kenaikan kelas besok. Itu sebab dia harus belajar keras hari ini. “Tampan mau jus enggak, biar Tante bawa sekalian?” teriak Nirmala lagi. “Mau, Tan! Pakai es yang banyak, ya!” sahut bocah laki-laki berusia lima tahun dari halaman. Dia tengah asik bermain bola sendirian. Keringat mengucur deras di dahi dan punggungnya. Nirmala bergerak ke dalam rumah. Vita tenggelam dengan bukunya ketika Tampan bergerak mendekati pintu pagar. Bola yang sedang dia mainkan terlempar ke luar. Berusaha menjangkau bola melalui celah besi pagar, bocah itu mulai putus asa. “Kakak, bolanya keluar!” teriaknya sedih. “Biar aja, ambil bola yang lain aja! Jangan keluar!” sang kakak b
“Andre, kalian datang?” Serempak Sinulingga, Riani dan Anyelir menoleh. “Bagaimana keadaan Kak Elma, Kak Anyelir?” tanya Nara setelah menghirup napas beberapa kali. terlihat dia begitu kelelahan dengan perut yang kian membesar. Di usia kandungan yang ke tujuh bulan, wanita itu memang mulai mudah lelah. “Elma masih ditangani Dokter. Kamu baik baik saja? Ngapain ikut ke rumah sakit ini kalau kamu sendiri dalam keadaan hamil besar begini?” tanya Anyelir membantu Nara untuk duduk. “Aku khawatir, takut Kak Elma kenapa napa. Secara dia pernah hampir meninggal dulu karena serangan kanker rahim, kan?” dalih Nara sedih. “Kok bisa Elma drop, apa yang terjadi?” tanya Andre cemas. “Ini semua salah mama,” lirih Riani bersuara. Semua terpana. “Mama melakukan apa lagi” Andre menatapnya gusar. “Mama gak bisa terima kalau ternyata Alva enggak bakal pernah bisa punya anak. Mama sedih. Mama tak bisa menerima kenyataan. Nyatanya, Mama tk bisa berbuat apa-apa. Alva sudah menjatuhkan pilihan.
“Maksud kamu? Mama … harus pergi dari sini?” tanya Alva menyipitkan kedua netranya. terkejut mendengar permintaan Elma. “Ya, maaf! Aku tidak mau Mama ada di sini! Di rumah ini. Setidaknya sampai hatiku kembali tenang,” lirih Elma lalu berjalan pergi meninggalkan kegaduhan. “Elma kau mengusir mama? Berani kau mengusir ibu mertuamu, hah?” Riani hendak mengejar Elma, tetapi segera ditahan oleh Anyelir. “Kau tidak bisa mengusirku, Elma! Mana janjimu untuk minta talak pada anakku? Mana janjimu akan menikahkan Alva dengan Nirmala! Kau penipu, Elma!” teriaknya memaki-maki Elma. Sontak Elma menghentikan langkah. Berbalik, lalu menatap ibu mertuanya penuh kecewa. Jemarinya memijit kening, pandangannya tiba-tiba gelap. Elma ambruk ke lantai. “Sayang!” Alva menangkap tubuhnya. “Elma, Sayang …! Kamu kenapa? El?” panggilnya seraya menepuk lembut pipi Elma. Namun, tak ada respon. “Denyut nadinya lemah banget!” seru Anyelir panik saat meraba pergelangan tangan Elma. “Kenapa? Kak Elma ken
“Alva …?” Riani tersentak kaget. “Apa maksud kamu, Nak? Rencana apa? Mama enggak paham?” lanjutnya memasang wajah paling sedih. Dramanya masih berlanjut. “Enggak usah pura-pura lagi, deh, Ma! Dion, segera nyalakan proyektornya!” perintah Alva kepada anak buahnya. Dion dan Yopi segera melaksanakan perintah. Infokus mereka sorotkan ke dinding kamar. Menit berikutnya sebuah video rekaman sudah diputar. Rekaman dari CCTV di hotel tempat Alva dan Nirmala sempat berada di sebuah kamar tanpa busana. Terlihat jelas saat dua orang pria menurunkan tubuh Alva dan Nirmala dari dalam sebuah mobil. Keduanya lalu membawa Alva dan Nirmala masuk ke dalam kamar hotel. “Apa ini?” teriak Riani tiba tiba. “Hentikan itu! Mama enggak sanggup melihat hal yang menakutkan seperti itu!” pintanya pura-pura memelas. Alva melambaikan tangan, sebagai isyarat agar Dion menghentikan dulu memutar videonya. “Kenapa Mama enggak nanya, kenapa aku dan Nirmala bisa dalam keadaan tak sadarkan diri seperti itu? H
“Kau bilang apa barusan? Alva akan menikahi Nirmala, setelah menalak kamu?” Riany tersentak kaget. kedua bola matanya membulat sempurna. Sedikitpun dia tak menyangka, semua harapannya begitu mudahnya terlaksana. Awalnya, tak muluk cita-citanya. Cukuplah Elma setuju Alva menikahi Nirmala. Dia sudah sangat bahagia. Karena dengan begitu, dia akan mendpat cucu dari Nirmala. Anak kandung Alva, darah dagingnya, penerus marga dan keturunannya. Tak apa meski Nirmala hanya istri kedua. Sebab kalau mengharap cuuc dari Elma, itu sangat tidak mungkin. Elma pernah diponis menderita kangker rahim. Sudah dilakukan operasi besar juga. Besar kemungkinan rahim Elma sudah diangkat juga. Harapannya ternyata dikabulkan Tuhan berlipat ganda. Bukan hanya Alva yang akan menikahi Nirmala, tetapi juga Elma akan mengundurkan diri sebagai menantunya. Artinya, Nirmala akan menjadi satu satunya istri buat Alva. Ratu di keluarga Sinulingga, hanya Nirmala saja. Keturunan langsung keluarga besar itu. Bukan Elma,
“Kenapa kau bisa tidur dengan Alva! Dasar kau memang manusia tak tau terima kasih! Kurang baik apa Elma sama kamu selama ini! Kenapa kau malah mencuri suaminya! Dasar kau memang keturunan Bina tang! Kau mau menyakiti hati Elma, iya? Kurang baik apa dia sama kamu, Nirmala …! Kenapa begini balasanmu!” lanjut Riani lagi memaki dan mengumpat dengan kata kata kasar.“Ma! Ada apa ini?” Elma mendorong pintu kamar langsung menerobos masuk ke dalam. “Nirmala, kau sudah pulang?” tanyanya menoleh kepada Nirmala.“Lihat perempuan sundal ini, Elma! Dia sudah berjinah dengan suamimu! Dia tega berselingkuh di belakangmu, Elma," teriak Riani pura-pura histeris.“Aku tidak selingkuh, Tante! Bang Alva yang sudah menjebak aku, entah apa yang terjadi aku enggak sadar. Saat aku bangun, aku sudah berad di dalam sebuah kamar hotel bersama Bang Alva. Bang Alva yang sudah perkosa aku, Tante!” jerit Nirmala tak terima tuduhan sang Tante.“Jangan ngarang kamu! Jangan pura-pura jadi korban! Akui saja, kalau ka