“Kau harus pergi dari sini, Ris! Sekarang kemasi semua pakaianmu!” Binsar berkata tegas.
“Apa? Abang bilang apa?” Wanita itu tersentak kaget.
“Kemasi semua pakainmu! Selepas subuh nanti, aku akan mengantarmu ke terminal. Kau pulang kampung dengan bus yang berangkat pertama! Aku akan telpon Mama. Mama yang akan menjelaskan pada orang tuamu di kampung kalau aku terpaksa memecatmu!”
“Abang bercanda, kan, Bang? Ini maksudnya apa? Abang ngeprank ini, kan, Abang?” Riris bangkit lalu menghampiri Binsar yang masih berdiri di dekat pintu. “Abang jangan buat Riris takut, dong Bang!” rengeknya bergelayut di lengan pria itu.
“Maaf, Ris! Tapi aku serius! Kita harus mengkhiri ini. Kau harus tinggalkan rumah ini!” Binsar melepas rangkulan Riris di lengannya.
“Tapi salahku apa, Abang?” Riris mulai berkaca-kaca. Wanita itu menatap lekat wajah Binsar tepat di manik-manik mata. Dia kira leguhan nikmat sang pujaan di sofa tadi, akan mampu mengikat hati pria itu terhadap dirinya. Ternyata tidak sama sekali.
“Elma sepertinya mulai mencurigai hubungan kita. Istriku sedang sakit. Aku tidak mau membuatnya makin menderita. Tadi dia menemukan celana dalammu di kaki sofa. Kenapa kamu bisa teledor begitu? Aku takut, bila hubungan ini kita lanjutkan, dia akan memergoki kita lagi seperti tadi.”
“Itu … itu karena kita hampir kepergok, Abang. Aku buru-buru bersembunyi ke balik sofa. Sempakku kececer rupanya. Maafkan aku, Abang!”
“Elma sangat curiga. Satu-satunya cara menghilangkan curiganya adalah kau harus pergi dari sini!”
“Tapi, Abang!”
“Maaf, Ris! Aku mencintai istriku lebih dari apapun! Hubungan kita selama ini hanya atas dasar saling suka, saling menikmati. Tidak lebih! Sampai jumpa besok pagi!”
Binsar membuka pintu kamar, lalu menutupnya kembali perlahan. Riris menatap punggung pria itu dengan pandangan yang kian mengabur. Pipinya seketika basah. Kini dia sadar seperti apa kedudukannya di hati Binsar. Dirinya tak lebih sekedar perempuan pemuas nafsu. Dipakai saat dahaga, dibuang saat dianggap menimbulkan bahaya.
Tubuh perempuan itu luruh ke lantai marmer. Sakit, perih, dan dendam campur baur mengaduk perasaannya. Binsar telah menoreh sakit yang teramat parah. Pria itu telah memperlakukan dirinya tak ubah seorang pelacur. Bahkan lebih hina. Jika seorang pelacur masih diberi imbalan sesuai kesepakatan. Bahkan dibanjiri hadiah, dan tip lebih bila pelanggannya terpuaskan.
Tetapi lihat dirinya! Hampir setiap malam pria itu mereguk kenikmatan di tubuhnya. Segala macam gaya yang dia minta, Riris penuhi tanpa pernah menolak sekali juga. Binsar tiada henti ucap terima kasih, setiap usai menuntaskan segalanya. Seolah Riris adalah wanita yang paling hebat baginya. Elma tak akan pernah bisa memuaskan dirinya seperti Riris.
Lalu, kenapa dengan mudahnya dia mengusir wanita ini sekarang, hanya karena pakaian dalam yang tertinggal di kaki sofa?
“Tidak! Aku tidak akan pernah keluar dari rumah impianku ini! Kalaupun ada yang harus keluar dari rumah ini, aku pastikan itu adalah Elma!” batin Riris bergejolak. Gadis itu mengepalkan kedua tangannya, satu tekat sudah terpatri di benaknya.
*
“Sayang, bagaimana pagi ini?”
Elma menggeliat. Usapan lembut di kepala membuat wanita itu terjaga dari tidur yang tak nyenyak. Sampai subuh dia tak bisa tidur tadi malam. Bayangan dua orang di atas sofa masih tergambar jelas di ingatan. Dikuatkan dengan sebuah pakaian dalam yang tercecer. Lewat Subuh baru wanita itu bisa terlelap sesaat, setelah pikirannya mengembara dan bermuara pada satu keputusan.
‘Aku harus menjalani operasi. Penyakit terkutuk ini harus segera disingkirkan dari tubuhku! Kalau memang aku harus kehilangan rahim ini, tak mengapa. Toh, aku sudah memiliki dua orang anak. Apalagi yang aku khawatirkan. Tak ada. Aku harus kuat! Aku berani menghadapi segala resikonya. Karena resiko kehilangan bang Binsar ternyata jauh lebih menakutkan daripada kehilangan nyawa,’ batin Elma menguatkan tekat.
Wanita itu terlelap setelah itu. Dan pagi ini, sang suami membangunkannya dengan cinta. Ya, ternyata Elma belum kehilangan suaminya. Tekatnya semakin kuat. hari ini akan menghubungi dokter spesialis yang menanganinya selama ini, agar mengatur jadwal operasi secepatnya. Sebelum segalanya terlambat.
“Sayang, kamu makin pucat. Kenapa? Kamu jangan mikir terlalu keras, dong! Aku harap pagi ini kamu lebih baik, dan sudah bisa memutuskan.” Binsar membelai pipi kurus tak berdaging istrinya.
“Ya, aku sudah memutuskan.” Jawaban Elma membuat Binsar terperangah bahagia.
“Jadi, kamu mau menjalani operasinya, Sayang?” serunya dengan mata berbinar.
“Ya, aku sudah siap!”
“Elma, Sayang! Terima kasih, ya!” Binsar menghujaninya dengan ciuman. Di pipi dan kening tentu saja. Pria itu tak tega menyentuh bibir istrinya. Bibir wanita itu terlalu kering, pucat seperti kapas, juga mengelupas terkopek-kopek. Binsar tak tega untuk melumatnya.
“Abang, aku rindu sekali,” lirih Elma dengan mata sayu.
“Aku di sini, Sayang? Aku tak pernah ke mana-mana, bukan?” Binsar menatap bingung.
“Aku ingin sekali pagi ini. Sebelum menjalani operasi, aku ingin ….” Jemari kurus Elma mengusap lembut dada bidang suaminya, lalu turun menyusur hingga ke perut.
“El, kamu gak boleh capek! Nanti, ya! Kalau kamu sudah benar-benar sembuh. Aku akan lakukan apapun yang kamu inginkan, Sayang! Sekarang jangan dulu, ya!” Tangan kekar Binsar menahan jemari Elma, saat sudah sampai di bagian bawah perutnya. Dia bawa jemari itu ke wajahnya, mengecupnya lembut masih dengan penuh cinta.
“Aku jelek, ya?” tanya Elma menggigit bibir bawahnya.
Perih, betapa hati rasa teriris, kala suami menolak bercinta. Padahal dia sudah menjatuhkan harga diri, dengan lebih dulu meminta. Binsar tak pernah lagi menuntut haknya. Kenapa? Bukankah sebagai laki-laki normal, dia butuh itu? Apakah dia telah memenuhinya dengan wanita lain? Siapa? Riris?
Tidak mungkin! Riris sudah seperti adik kandung bagi Binsar. Wanita itu satu kampung dengan suaminya. Masih ada pertalian keluarga antara orang tua Riris dengan keluarga suaminya. Bahkan mertuanya sendiri yang mengantar Riris untuk bekerja di tokonya.
“Kamu enggak jelek, Sayang! Kamu tetap wanita paling cantik di mataku. Tapi aku tak tega melakukannya. Kamu pasti akan kesakitan lagi seperti sebelumnya. Iya, kan?” Kalimat Binsar membesarkan hatinya.
“Abang enggak mencari pelampiasan ke wanita lain, kan?”
“Hey, kamu ngomong apa, sih? Ya, enggak lah! Aku bukan type laki-laki pemuja nafsu. Aku bisa menahan hasratku, aku sabar menunggu hingga kau sembuh. Percayalah!”
“Bagaimana kalau Abang sangat butuh?”
“Jangan khawatir, di kamar mandi masih manyak sabun, hehehehe ….”
“Abang ….” Tangan kurus Elma memukul gemas dada bidang suaminya.
Sepasang suami istri itu tertawa bersama. Seketika hilang semua gundah dan resah. Elma sangat bahagia.
“Selamat pagi, Kak El! Selamat pagi Bang Bin! Sarapan, yuk! Aku udah buatkan nasi goreng special.”
Binsar tersentak kaget, kenapa Riris masih ada di sini, bukankah dia sudah mengantarnya ke terminal subuh tadi?
****
Binsar cepat-cepat menuju pintu, Elma yang sudah merasa sedikit bertenaga pagi ini ikut berjalan di belakangnya.“Kamu! Kenapa belum …,” sergah Binsar begitu daun pintu dibuka.“Ris, kamu rajin banget buatin sarapan segala! Terima kasih, ya! Kamu memang gadis yang baik!” sela Elma dengan senyum mekar di bibirnya.“Iya, Kak. Kakak sarapan, ya! Aku juga udah buatkan jus jeruk hangat buat Kakak.” Riris memeluk pinggang Elma, lalu membawa wanita itu menuju ruang makan. Binsar melongo. Kalimat kasar yang ingin dia ucap tertahan di tenggorokan.“Oh, iya, Bang, Tante beserta anak-anak sudah dalam perjalanan ke sini,” imbuh gadis itu menoleh sekali lagi ke belakang. Binsar tersentak kaget.“Anak-anak?” seru Elma gembira.“Iya, Kak. Aku meminta Tante membawa anak-anak Kakak ke sini, pasti Kakak sudah kangen, kan?”“Riris, kamu pengertian banget, sih. Kalau aku yang minta pada mertuaku agar bawa anak-anak ke sini, enggak pernah dikabulkan. Katanya penyakitku bisa nular ke anak-anak. Terima
“Baik, Tante!”Riris tersenyum lega. Gadis itu lalu membuka pintu kamar, keluar dengan langkah ringan. Kabar duka akan dia sampaikan kepada Elma yang masih berada di meja makan.Namun, saat melewati kamar utama, langkahnya terhenti. Pintu kamar yang sedikit terbuka membuat mata gadis itu dengan leluasa menangkap pemandangan di dalamnya. Binsar yang baru saja selesai mandi tengah berdiri mamatut diri di depan cermin rias. Tubuh atletis yang hanya berbalut handuk sebatas pinggang memancing gadis itu untuk datang mendekat.Pelan Riris menguakkan daun pintu agar lebih lebar. Membawa tubuhnya masuk ke dalam, lalu menutup kembali daun pintu tanpa suara.Klek! Ceklek!Anak kunci dia putar dua kali.“Kamu?” teriak Binsar terkejut menoleh ke belakang. “Kamu, ngapain di sini? Keluar!” usirnya dengan mata membulat.“Ssst! Jangan kencang-kencang ngomongnya! Nanti istri Abang dengar gimana?” Riris menempelkan telunjukknya di bibir Binsar yang masih basah. “Mau apa kamu, Riris? Tolong keluar!”
Dengan tangan gemetar Elma mulai menscroll laporan penjualan. Baik laporan penjualan di toko induk ini maupun seluruh toko cabang yang tersebar di beberapa kota kabupaten, berbagai kota kecamatan bahkan desa. Semuanya mesti memberikan laporan penjualan secara on-line ke toko induk. Setiap hari pula kasir di setiap toko cabang harus mentransfer uang hasil penjualan ke rekening toko.Rekening toko memang atas nama Elma sebagai pemilik resmi. Namun, kartu ATM atas nomor rekening itu ada di tangan Binsar. Elma lalu mengetik pemberitahuan di layar laptop.[Kepada seluruh kasir toko cabang Usaha Panglong Elma Bersinar, mulai hari ini uang hasil penjualan harian harap di transfer ke rekening pribadi pemilik Usaha langsung atas nama Elma Rosaline dengan nomor Rekening 131-xxxx-xxx-xx karena rekening toko yang biasa sudah dibekukan. Demikian untuk dipatuhi. Tertanda pemilik Usaha Panglong Elma Bersinar, Elma Rosaline.]“Kak El, ini maksudnya apa?” Riris terbelalak kaget membaca kalimat it
“Bik Dar! Tolong bantu saya siap-siap, Bik! Saya gak usah mandi, elap dengan air hangat saja!” titah Elma pada Asistennya.“Baik, Buk!”“Tolong tunggu di luar, Bang! Siapkan mobil!” pinta Elma melirik Binsar.Binsar tak bisa menolak lagi. Dengan enggan dia keluar dari kamar itu. Namun langkahnya bukan menuju garasi, melainkan ke toko. Riris menyambutnya dengan senyum lebar.“Gimana istri Abang, drop lagi, kan? Gak jadi operasi, kan? Abang, sih! Bukannya dihalang-halangi istrinya minta operasi, malah didukung, sekarang liat, Abang gak bisa bebas lagi gunakan kartu ATM Abang, kan?” semprotnya begitu Binsar sudah dekat.“Kamu benar, Ris. Aku salah sangka. Kukira Elma itu perempuan bodoh. Kasihan dia penyakitan, begitu pikirku. Rupanya sakit saja dia berbahaya, bagaimana pula kalau sehat.”“Makanya aku dan Mama Abang ngarang cerita kalau Tampan demam. Biar dia gak jadi operasinya.”“Jadi, Tampan gak benar-benar sakit?”“Tidak. Mama Abang sengaja menunda tiba lebih cepat. Supaya Kak El
“Iya, kenapa? Kamu sepertinya panik sekali?” tanya sang supir kebingungan.“Tidak, bukan. Eh, maksud saya, hati-hati nanti nyetirnya! Sudah, ya! Terima kasih!” Elma mengakhiri panggilannya, lalu menatap Riris dengan tajam. Wanita itu menunduk, menyembunyikan wajahnya.“Apa maksud kamu sebenarnya?” Elma berjalan pelan mendekati wanita itu. Bik Darmi membantu memapahnya.Binsar yang melihat gelagat perang segera turun dari mobil dan memburu istrinya. “Sayang, kita berangkat sekarang, ya! Dokter David sudah terlalu lama menunggu. Ayo!” ucapnya langsung menggendong tubuh ringkih Elma.“Aku mau bicara dulu dengan Riris, tunggu sebentar!”“Jangan pedulikan Riris, Sayang! Biar nanti abang yang urus, ya!”“Aku mau pecat dia, Abang! Aku pecat dia sekarang!”“Iya, iya!” Binsar meletakkan tubuh Elma di jok depan, langsung menutup rapat pintu mobil. Elma berusaha meronta, namun tak dihiraukan. Mobil itu langsung melaju dengan kecepatan tinggi.Sebuah notifikasi pesan masuk terdengar dari ponsel
“Tolong selimuti saya!” lirihnya tetap dengan posisi menghadap ke dingding dan tubuh menggigil.“Sial benar perempuan itu! Cari masalah saja! Selimuti dia!” perintah Alva kepada anak buahnya. Salah seorang langsung menyelimuti tubuh Elma.“Sekarang dudukkan dia, bantu gerakkan tangannya untuk menanda tangani surat ini! Setelah itu masukkan dia ke mobil, tinggalkan di lampu merah, di mana tadi kalian menjemputnya!” perintahnya lagi.Dengan sigap kedua anak buahnya melakukan perintah. Bersusah payah mereka posisikan tubuh Elma agar bisa bersandar di dinding. Namun usaha mereka sia-sia. Elma tak lagi bergerak sedikitpun.“Dia pingsan, Bang! Tubuhnya juga panas sekali! Sepertinya demam tinggi!”“Sial! Bawa ke mobil! Lalu buang!”“Tapi, Bang!”“Kenapa? Kalain mau markas kita ini menjadi perhatian masyarakat umum dan juga polisi!”“Tidak, Bang! Tapi, jangan dibuang juga, Bang!”“Lalu kau mau apa? Mau bawa dia ke rumah sakit? Ada uang bapak kau bayar rumah sakitnya, ha! Belum lagi kalau di
“Eh, kenapa kau malah pucat begitu? Ke mana si Elma, Binsar dan si Riris?” cecar Risda mengernyitkan kening saat melihat kegugupan Bik Darmi.“Anu, Bu. Saya bawa anak-anak ke belakang saja!” Bik Darmi langsung membawa kedua balita Elma ke belakang. Wanita itu tak ingin kedua bocah itu terguncang jiwanya bila tahu hal yang sebenarnya tentang ibu mereka.“Pembantu aneh! Ditanya malah kabur! Binsar! Riris! Bin … ”Binsar dan Riris yang merasa terganggu mendengar suara cempreng wanita itu terpaksa menyudahi permainan panas mereka. Keduanya keluar sambil membenahi pakaian yang tak karuan.“Mama! Ribut amat, sih!” protes Binsar membuka pintu kamar.“Tante, Tante udah nyape?” sapa Riris sambil mengancingkan blus yang belum tertutup sempurna.“Kalian?” Wanita itu melotot tak percaya menatap keduanya. “Kalian di kamar ini berduaan, maksud Mama, hubungan kalian sudah sejauh ini?” Risda menautkan kedua alisnya.“Maaf, Tan! Kami enggak ngapa-ngapain, kok, cuma ngobrol!” Riris memeluk leng
Seorang wanita berambut sebahu dan hanya mengenakan tank top crop tali dan celana pendek di atas lutut membukakan pintu.“Gak usah banyak nanya, masukkan motorku ke dalam, cepat!” perintah Alva sambil melemparkan kunci motornya kepada gadis itu.“Lho, kok ke dalam? Biar aja di luar, aman, kok!”“Situasinya lagi tidak aman! Ayo, dong! Banyak nanya banget!”“Iya-iya!”Wanita itu mendorong motor Alva masuk ke dalam kamar. Ruangan enam kali sepuluh meter itu tampak makin sesak dengan keberadaan motor besar itu.Alva langsung melemparkan tubuhnya di kasur busa lantai di kamar kos-an wanita itu.“Ada masalah apa kali ini, Sayang?” tanya gadis itu seraya duduk di tepi kasur. Wajah cantik tanpa polesan itu tampak sedikit tegang.“Gak ada! Aku lagi malas bicara! Aku hanya numpang sembunyi di sini beberapa jam saja! Maaf, kalau merepotkanmu!” Alva menggeser tubuhnya menghadap dinding, memunggungi sang kekasih.“Ya, sudah, istirahatlah!” Sang gadis menghela napas berat. Lalu berjalan ke arah m