Share

Bab 3. Jangan Sekarang, Sayang!

“Kau harus pergi  dari sini, Ris! Sekarang kemasi semua pakaianmu!” Binsar berkata tegas.

“Apa? Abang bilang apa?” Wanita itu tersentak kaget.

“Kemasi semua pakainmu! Selepas subuh nanti, aku akan mengantarmu ke terminal. Kau pulang kampung dengan bus yang berangkat  pertama! Aku akan telpon Mama.  Mama yang akan menjelaskan pada orang tuamu di kampung kalau  aku terpaksa memecatmu!”

“Abang bercanda, kan, Bang? Ini maksudnya apa? Abang ngeprank ini, kan, Abang?” Riris bangkit lalu menghampiri  Binsar yang masih berdiri di dekat pintu. “Abang jangan buat Riris takut, dong Bang!” rengeknya bergelayut  di lengan pria itu.

“Maaf, Ris! Tapi aku serius! Kita harus mengkhiri ini. Kau harus tinggalkan rumah ini!” Binsar melepas rangkulan Riris di lengannya.

“Tapi salahku apa, Abang?” Riris  mulai berkaca-kaca. Wanita itu menatap lekat wajah Binsar tepat di manik-manik mata. Dia kira leguhan nikmat sang pujaan di sofa tadi, akan mampu mengikat hati pria itu terhadap dirinya.  Ternyata tidak sama sekali.

“Elma sepertinya mulai mencurigai hubungan kita. Istriku sedang sakit. Aku tidak mau membuatnya makin menderita. Tadi dia menemukan celana dalammu di kaki sofa. Kenapa kamu bisa teledor begitu? Aku takut, bila hubungan ini  kita lanjutkan,  dia  akan memergoki kita lagi seperti tadi.”

“Itu … itu karena kita hampir kepergok, Abang. Aku buru-buru bersembunyi ke balik sofa. Sempakku kececer rupanya. Maafkan aku, Abang!”

“Elma sangat curiga. Satu-satunya cara menghilangkan curiganya adalah kau harus pergi dari sini!”

“Tapi, Abang!”

“Maaf, Ris! Aku mencintai istriku lebih dari apapun! Hubungan kita selama ini hanya atas dasar saling suka, saling menikmati. Tidak lebih! Sampai jumpa besok pagi!”

Binsar membuka pintu kamar, lalu menutupnya kembali perlahan. Riris menatap punggung pria itu dengan pandangan yang kian mengabur. Pipinya seketika basah.  Kini dia sadar seperti apa kedudukannya di hati Binsar. Dirinya tak lebih  sekedar perempuan pemuas nafsu. Dipakai saat dahaga, dibuang saat dianggap menimbulkan  bahaya.

Tubuh perempuan  itu luruh ke lantai marmer. Sakit, perih, dan dendam campur baur mengaduk perasaannya. Binsar telah menoreh sakit yang teramat parah.  Pria itu telah memperlakukan dirinya tak ubah seorang pelacur. Bahkan lebih hina. Jika seorang pelacur masih diberi imbalan sesuai kesepakatan. Bahkan dibanjiri hadiah,  dan tip lebih bila pelanggannya terpuaskan.

Tetapi lihat dirinya! Hampir setiap malam pria itu mereguk kenikmatan di  tubuhnya. Segala macam gaya yang dia minta, Riris penuhi tanpa pernah menolak sekali juga. Binsar tiada henti ucap terima kasih, setiap usai menuntaskan segalanya. Seolah Riris adalah wanita yang paling hebat baginya. Elma tak akan pernah bisa memuaskan dirinya seperti Riris.

Lalu, kenapa dengan mudahnya dia mengusir wanita ini sekarang, hanya karena pakaian dalam yang tertinggal di kaki sofa?

“Tidak! Aku tidak akan pernah keluar dari rumah impianku ini! Kalaupun ada yang harus keluar dari rumah ini, aku pastikan itu adalah Elma!” batin Riris bergejolak.  Gadis itu  mengepalkan kedua tangannya, satu tekat sudah terpatri di benaknya.

*

“Sayang, bagaimana pagi ini?”

Elma menggeliat. Usapan lembut di kepala membuat wanita itu terjaga dari tidur yang tak nyenyak. Sampai subuh dia tak bisa tidur tadi malam. Bayangan dua orang di atas sofa masih tergambar jelas di ingatan. Dikuatkan dengan sebuah pakaian dalam yang tercecer. Lewat Subuh baru wanita itu bisa terlelap sesaat, setelah pikirannya mengembara dan bermuara pada satu keputusan.

‘Aku harus menjalani operasi. Penyakit terkutuk ini harus segera disingkirkan dari tubuhku! Kalau memang aku harus kehilangan rahim ini, tak mengapa. Toh, aku sudah memiliki dua orang anak. Apalagi yang aku khawatirkan. Tak ada. Aku harus  kuat! Aku berani menghadapi segala resikonya. Karena resiko kehilangan bang Binsar ternyata jauh lebih menakutkan daripada kehilangan nyawa,’ batin Elma menguatkan tekat.

Wanita itu terlelap setelah itu. Dan pagi ini, sang suami membangunkannya dengan cinta. Ya, ternyata Elma belum kehilangan suaminya. Tekatnya semakin kuat. hari ini akan menghubungi dokter spesialis yang menanganinya selama ini, agar mengatur jadwal operasi secepatnya. Sebelum segalanya terlambat.

“Sayang, kamu makin pucat. Kenapa? Kamu jangan mikir terlalu keras, dong! Aku harap pagi ini kamu lebih baik, dan sudah bisa memutuskan.” Binsar membelai pipi kurus tak berdaging istrinya.

“Ya, aku sudah memutuskan.” Jawaban Elma membuat Binsar terperangah bahagia.

“Jadi, kamu mau menjalani operasinya, Sayang?” serunya dengan mata berbinar.

“Ya, aku sudah siap!”

“Elma, Sayang! Terima kasih, ya!” Binsar menghujaninya dengan ciuman. Di pipi dan kening tentu saja. Pria itu tak tega menyentuh bibir istrinya. Bibir wanita itu terlalu kering, pucat seperti kapas, juga mengelupas terkopek-kopek. Binsar tak tega untuk melumatnya. 

“Abang, aku rindu sekali,” lirih Elma dengan mata sayu.

“Aku di sini, Sayang? Aku tak pernah ke mana-mana, bukan?” Binsar menatap bingung.

“Aku ingin sekali pagi ini. Sebelum menjalani operasi, aku ingin ….” Jemari kurus Elma mengusap lembut dada bidang suaminya, lalu turun menyusur hingga ke perut.

“El, kamu gak boleh capek! Nanti, ya! Kalau kamu sudah benar-benar sembuh. Aku akan lakukan apapun yang kamu inginkan, Sayang! Sekarang jangan dulu, ya!” Tangan kekar Binsar menahan jemari Elma, saat sudah sampai di bagian bawah perutnya. Dia bawa jemari itu ke wajahnya, mengecupnya lembut masih dengan penuh cinta.

“Aku jelek, ya?” tanya Elma  menggigit bibir bawahnya.

Perih, betapa hati rasa teriris, kala suami menolak bercinta. Padahal dia sudah menjatuhkan harga diri, dengan lebih dulu meminta. Binsar tak pernah lagi menuntut haknya. Kenapa? Bukankah sebagai laki-laki normal, dia butuh itu? Apakah dia telah memenuhinya dengan wanita lain? Siapa? Riris?

Tidak mungkin! Riris sudah seperti adik kandung  bagi  Binsar. Wanita itu satu kampung dengan suaminya. Masih ada pertalian keluarga antara orang tua Riris dengan keluarga suaminya. Bahkan mertuanya sendiri yang mengantar Riris untuk bekerja di tokonya. 

“Kamu  enggak jelek, Sayang! Kamu tetap wanita paling cantik di mataku. Tapi aku tak tega melakukannya. Kamu pasti akan kesakitan lagi seperti sebelumnya. Iya, kan?” Kalimat Binsar membesarkan hatinya.

“Abang enggak mencari pelampiasan ke wanita lain, kan?”

“Hey, kamu ngomong apa, sih? Ya, enggak lah! Aku bukan type laki-laki pemuja nafsu. Aku bisa menahan hasratku, aku sabar menunggu hingga kau sembuh. Percayalah!”

“Bagaimana kalau Abang sangat butuh?”

“Jangan khawatir, di kamar mandi masih manyak sabun, hehehehe ….”

“Abang ….” Tangan kurus Elma memukul gemas dada  bidang suaminya.

Sepasang suami istri itu tertawa bersama. Seketika hilang semua gundah dan resah. Elma sangat bahagia.

“Selamat pagi, Kak El! Selamat pagi Bang Bin! Sarapan, yuk! Aku udah buatkan nasi goreng special.”

Binsar tersentak kaget, kenapa Riris masih ada di sini, bukankah dia sudah mengantarnya ke terminal subuh tadi?

****

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nur meini
Otak pelakor nih luar biasa ya,licik, apa ada adaboru halak batak songonon eda,??????...Gregetan au thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status