“Jangan lupa bawa uang bayar ongkos taksinya!” perintah Rosa mengingatkan. “Hem!” Arfan memutuskan panggilan, lalu menoleh kepada adiknya. “El, aku pinjam mobil kamu, ya?” pintanya dengan wajah dingin. “Abang mau ke mana? Di luar ada kak Rosa, kan? Kenapa tidak disuruh masuk saja?” tanya Elma penasaran. “Ya, aku ada urusan sebentar dengan Rosa. Sekalian, em, aku pinjam uang kamu dulu seratus ribu, isi bensin. Dan dua ratus ribu buat ongkos taksi Rosa menuju kemari tadi!” “Tadi sudah saya isi full minyak mobilnya, Bang!” Alva menyela. “Hem terima kasih! Kapan kapan pasti aku ganti. Aku utang lima juta seratus ribu sama kamu!” kata Arfan datar. Elma mengeluarkan lima lembar kertas berwarna merah dari dalam amplop coklat. “Pakai saja, Bang!” titahnya menyerahkan uang itu kepada sang kakak. “Terima kasih!” Arfan menepuk pelan pundak Alva, meraih kunci mobil di dekat kepala Elma, lalu berjalan tergesa menyongsong sang istri pengkhianat. Alva sama bingungnya dengan Elma. Sikap
“Kamu tunggu di warung seberang itu saja! Nanti aku telon begitu aku dapat uangnya! Kamu udah janji mau bawa aku pergi beberapa hari, kan? Kita akan segera berangkat begitu uangnya aku dapat!” kata Rosa penuh semangat. “Iya, Sayang! Kamu mau kita ke mana, hem?” “Kita bulan madu ke Danau Toba, ya, Sayang! Kamu udah janji mau muaskan aku tujuh hari tujuh malam, kan?” rengek Rosa kembali bergelayut di lengan kekar Binsar. “Ya, tentu, Sayang! Bawa uang seratus jutanya, ya!” jawab Binsar seraya mengecup kening Rosa. Itu tak luput dari perhatian Arfan. Pria itu membeku menyaksikan tingkah sepasang manusia tak tau malu itu. Keduanya tak menyadari kalau Arfan telah berdiri tegak di teras rumah sakit, terhalang para pengunjung yang ramai berlalu lalang. “Sudah, sana! Nanti kita lanjut, ya! Tunggu aku di warung itu!” Rosa melepas rangkulan, mengukir senyum penuh birahi kepada sang adik ipar. “Ya, Sayang! Sukses, ya! Oh, iya, jangan bersikap agresif juga pada suamimu! Aku tidak akan kuat
“A … Abang!” pekik Rosa terperanjat kaget. ‘Ini belum seberapa Rosa, kau akan lebih kaget, dengan apa yang akan aku lakukan sesaat lagi!’ Arfan bermonolog. “Abang dapat ini dari Alva, ya?” lirih wanita itu gemetar. Untuk pertama kalinya, dia merasa begitu ketakutan melihat sikap suaminya. Padahal Arfan terlihat begitu tenang. Tak ada kemarahan sedikitpun tergambar dari wajahnya. “Tidak penting Abang dapat dari mana, Abang hanya ingin kau mempraktekkannya dengan abang! Mau, kan?” “Abang? Abang ini sedang marah atau bagaimana? Aku bingung, Abang?” Rosa makin mengkerut di sudut ranjang. “Abang tidak marah. Abang malah bersyukur karena sudah tahu permainan seperti apa yang kau sukai. Mau mencobanya dengan Abang, kan?” tutur Arfan tetap dengan nada sangat tenang. “Tidak! Abang pasti sedang marah! Abang pasti mau memukulku, Abang pasti ingin menyiksaku, iya, kan?” “Tidak, aku tidak marah. Sini, Sayang! Kenapa ke sudut situ! Aku susah mau megang kamu, kan?” Arfan mulai menghampir
“Lho, bukannya kalau udah sore baru kamu setor ke rekening Elma?” tanya Binsar kaget. “Untuk toko cabang, iya. Khusus untuk toko induk beda. Sepertinya Kak Elma sengaja biar kita tidak bisa mengambil uangnya sepeserpun. Perempuan licik!” dengus Riris. “Bukan licik, tapi cerdas! Kini kuakui, Elma memang cerdas. Diam, tak pernah marah, tak ada protes. Bahkan saat dia tau kita berselingkuh, dia tak marah. Tak terdengar suaranya sepatah katapun. Tapi lihat pembalasannya. Andai aku tau Elma secerdas ini, mungkin aku tak akan pernah meyepelekan dia. Selama ini kukira dia diam karena bodoh! Nyatanya aku yang bodoh!” “Abang tidak bodoh! Kalau Abang mau, Abang bisa merebut semuanya sebelum terlambat!” “Sepertinya sudah terlambat Ris! Sudahlah! Aku selesaikan dulu urusanku! Jangan ganggu aku dulu, ya!” Binsar memepercepat langkahnya yang tertatih menuju kamar tamu. “Abang dengarkan aku dulu! Aku punya rencana bagus buat nyingkirin Kak Elma mumpung dia masih di rumah sakit! Jangan sempat
Kamar tamu itu sengaja dikunci dari dalam. Arfan tengah menikmati rasa sakit di dalam hatinya. Sakit karena pengkhianatan sang istri tercinta. Wanita yang selalu dia puja dan dia bela. Wanita yang sellau diperjuangakannya. Demi kebahagiaan sang istri, Arfan bahkan ihklas kehilangan seluruh harta bagiannya, warisan dari orang tua. Arfan bahkan rela bekerja keras banting tulang, tak pernah mengeluh meski dipanggang sinar matahari. Tak surut meski kena hujan kala cuaca tak mendukung. Semua demi sang istri. Rosa, yang dia cinta laiknya seorang bidadari. Tetapi, lihat! Apa balasan wanita ini padanya? Rosa tega mencari kepuasan batinnya dengan pria lain. Suami dari adik kandung Arfan sendiri. Pantas Binsar sering bilang kalau Rosa kerap menelponnya. Arfan mengira telpon itu hanya sebatas hubungan keluarga. Sedikitpun dia tak mengira, kalau ternyata istrinya tergila-gila pada keperkasaan adik iparnya. Hari ini, secara nyata, Arfan menyaksikan sendiri bagaimana bergairahnya sang istri
“Kenapa tidak boleh lapor, Pak?” tanya Anto tak paham. “Pokoknya tidak boleh! Jangan ngeyel!” bentak Binsar kasar. “Lho, kalau terjadi sesuatu dengan Bu Rosa bagaimana, Pak? Kita semua bisa dianggap terlibat!” “Kau diam saja, pokoknya! Kau tidak tahu apa masalahnya! Kau mau nama baik toko kita tercemar, ha? Kau mau toko itu ditutup izinnya!” “Apa hubungannya?” Anto menggeremeng tidak setuju. “Pokoknya tidak boleh ada yang tau masalah ini, kau keluar saja!” “Tapi itu, Bu Rosa teriak-teriak seperti kesakitan disiksa, Pak!” “Itu urusan mereka. Masalah suami istri! Kau orang luar! Tak usah ikut campur! Keluar kubilang!”teriak Binsar dengan suara menggelegar. Anto melangkah mundur, lalu buru-buru keluar dari rumah itu. Tak ada cara lain, dia harus melaporkan ini kepada Pak RT, bila perlu polisi sekalian dengan inisiatif sendiri. Tetapi, mengingat larangan Binsar, dia kembali ragu. “Ada apa, kok, saya dengar seperti ada yang teriak-teriak di dalam?” tanya Yogi yang ditugaskan Alva
Pintu kamar terbuka. “Elma kenapa? Dia … dia kenapa?” cecar Arfan panik. “Abang ditunggu oleh Bu Elma. Abang ke rumah sakit sekarang, ya?” bujuk Alva mengelus pundak pria yang masih gemetar karena terbakar amarah itu. “Elma! Astaga! Hampir saja aku lupa kalau aku masih punya seorang wanita baik yang pantas aku perjuangkan hidupnya. Kau ….” Arfan menoleh ke sudut kamar. Rosa yang telah menutup tubuh bugilnya dengan selimut kembali menggeletar ketakutan. “AKU TALAK KAU! KUTALAK KAU! KUTALAK KAU ROSANI BINTI JAINURY!” “Abang? Kau serius? Bang Arfan!” Rosa melonjak kaget. Wanita itu segera berdiri lalu menghampiiri Arfan. Hampir saja tubuh bugilnya terlihat semua orang. Selimut terlepas menutup badan. “Kak!” Riris menyerbu masuk. Otaknya masih sedikit waras untuk melindungi tubuh Rosa dari tatapan semua orang. Wanita itu segera meraih selimut lalu menutupi badan Rosa. Sedikitpun dia tak tahu, kalau tuduh yang sedang dia lindungi itu baru saja dinikmati juga oleh Binsar,
“Kau tidak bisa mengusirku seperti ini, Abang! Kau sudah janji akan menyenangkan hidupku sampai mati! Kau sudah bersumpah demi kedua orang tuamu yang sudah mati! Kau bilang, kau akan melakukan apapun demi aku! Mana sumpah janjimu itu!” tuntut Rosa menangkap betis kanan Arfan tanpa rasa malu. “Aku khianati semua sumpah dan janjiku! Seperti kau yang telah mengkhianati pernikahan kita! Jelas? Kuulang sekali lagi! Aku mengkhianati semua sumpah dan janjiku padamu, seperti kau yang telah mengkhianati cintaku! Lepaskan kakiku!” Arfan berusaha melepas pegangan tangan Rosa di kakinya. “Tidak, Abang! Baiklah, aku mengaku. Aku salah! Aku yang salah, Abang! Aku mohon ampun! Aku janji, aku tak akan pernah mengulangnya lagi! Ampuuuun, Abang! Aku mohon ampun!” Rosa menghiba sambil memeluk betis Arfan. Dalam pikirannya saat ini, apapun akan dia lakukan demi uang seratus juta yang telah diserahkan Ema pada suaminya. Satu langkah lagi saja, uang itu akan jatuh ke tangannya. Demi uag itu, dia ak