Kamar tamu itu sengaja dikunci dari dalam. Arfan tengah menikmati rasa sakit di dalam hatinya. Sakit karena pengkhianatan sang istri tercinta. Wanita yang selalu dia puja dan dia bela. Wanita yang sellau diperjuangakannya. Demi kebahagiaan sang istri, Arfan bahkan ihklas kehilangan seluruh harta bagiannya, warisan dari orang tua. Arfan bahkan rela bekerja keras banting tulang, tak pernah mengeluh meski dipanggang sinar matahari. Tak surut meski kena hujan kala cuaca tak mendukung. Semua demi sang istri. Rosa, yang dia cinta laiknya seorang bidadari. Tetapi, lihat! Apa balasan wanita ini padanya? Rosa tega mencari kepuasan batinnya dengan pria lain. Suami dari adik kandung Arfan sendiri. Pantas Binsar sering bilang kalau Rosa kerap menelponnya. Arfan mengira telpon itu hanya sebatas hubungan keluarga. Sedikitpun dia tak mengira, kalau ternyata istrinya tergila-gila pada keperkasaan adik iparnya. Hari ini, secara nyata, Arfan menyaksikan sendiri bagaimana bergairahnya sang istri
“Kenapa tidak boleh lapor, Pak?” tanya Anto tak paham. “Pokoknya tidak boleh! Jangan ngeyel!” bentak Binsar kasar. “Lho, kalau terjadi sesuatu dengan Bu Rosa bagaimana, Pak? Kita semua bisa dianggap terlibat!” “Kau diam saja, pokoknya! Kau tidak tahu apa masalahnya! Kau mau nama baik toko kita tercemar, ha? Kau mau toko itu ditutup izinnya!” “Apa hubungannya?” Anto menggeremeng tidak setuju. “Pokoknya tidak boleh ada yang tau masalah ini, kau keluar saja!” “Tapi itu, Bu Rosa teriak-teriak seperti kesakitan disiksa, Pak!” “Itu urusan mereka. Masalah suami istri! Kau orang luar! Tak usah ikut campur! Keluar kubilang!”teriak Binsar dengan suara menggelegar. Anto melangkah mundur, lalu buru-buru keluar dari rumah itu. Tak ada cara lain, dia harus melaporkan ini kepada Pak RT, bila perlu polisi sekalian dengan inisiatif sendiri. Tetapi, mengingat larangan Binsar, dia kembali ragu. “Ada apa, kok, saya dengar seperti ada yang teriak-teriak di dalam?” tanya Yogi yang ditugaskan Alva
Pintu kamar terbuka. “Elma kenapa? Dia … dia kenapa?” cecar Arfan panik. “Abang ditunggu oleh Bu Elma. Abang ke rumah sakit sekarang, ya?” bujuk Alva mengelus pundak pria yang masih gemetar karena terbakar amarah itu. “Elma! Astaga! Hampir saja aku lupa kalau aku masih punya seorang wanita baik yang pantas aku perjuangkan hidupnya. Kau ….” Arfan menoleh ke sudut kamar. Rosa yang telah menutup tubuh bugilnya dengan selimut kembali menggeletar ketakutan. “AKU TALAK KAU! KUTALAK KAU! KUTALAK KAU ROSANI BINTI JAINURY!” “Abang? Kau serius? Bang Arfan!” Rosa melonjak kaget. Wanita itu segera berdiri lalu menghampiiri Arfan. Hampir saja tubuh bugilnya terlihat semua orang. Selimut terlepas menutup badan. “Kak!” Riris menyerbu masuk. Otaknya masih sedikit waras untuk melindungi tubuh Rosa dari tatapan semua orang. Wanita itu segera meraih selimut lalu menutupi badan Rosa. Sedikitpun dia tak tahu, kalau tuduh yang sedang dia lindungi itu baru saja dinikmati juga oleh Binsar,
“Kau tidak bisa mengusirku seperti ini, Abang! Kau sudah janji akan menyenangkan hidupku sampai mati! Kau sudah bersumpah demi kedua orang tuamu yang sudah mati! Kau bilang, kau akan melakukan apapun demi aku! Mana sumpah janjimu itu!” tuntut Rosa menangkap betis kanan Arfan tanpa rasa malu. “Aku khianati semua sumpah dan janjiku! Seperti kau yang telah mengkhianati pernikahan kita! Jelas? Kuulang sekali lagi! Aku mengkhianati semua sumpah dan janjiku padamu, seperti kau yang telah mengkhianati cintaku! Lepaskan kakiku!” Arfan berusaha melepas pegangan tangan Rosa di kakinya. “Tidak, Abang! Baiklah, aku mengaku. Aku salah! Aku yang salah, Abang! Aku mohon ampun! Aku janji, aku tak akan pernah mengulangnya lagi! Ampuuuun, Abang! Aku mohon ampun!” Rosa menghiba sambil memeluk betis Arfan. Dalam pikirannya saat ini, apapun akan dia lakukan demi uang seratus juta yang telah diserahkan Ema pada suaminya. Satu langkah lagi saja, uang itu akan jatuh ke tangannya. Demi uag itu, dia ak
Entah mengapa hati kecil Elma ingin tahu keberadaan Alva setiap waktu? Salahkah perasaan seperti itu? Salah, dong, ya. Dia masih berstatus istri orang. Tak pantas memikirkan pria lain bukan? Tetapi, perasaan itu muncul begitu saja? Perasaan yang tak pernah dia alami seumur hidupnya. Baru kali ini. Bagaimana Elma harus menyikapi perasaan yang menghentak itu? “Aku jenguk Mama dulu, setelah itu aku datang, ya, Bu. Tunggu aku!” Ups! Kenapa nada bicara Alva berubah lembut? Itu bukan gaya Alva, lho? Kenapa dia meminta Elma menunggunya? Cinta? Jangan! Itu istri orang, Alva!!!! *** Alva menepikan motor besarnya di depan rumah sakit swasta terbesar di kota ini. Menuju areal parkir khusus roda dua, lalu pria itu bergegas memasuki gedung rumah sakit. Untuk kesekian kalinya wajah yang terbiasa kaku itu mengukir senyum. Kedua sudut bibirnya membentuk lengkungan tanpa diperintahkan olehnya. Ah, beginikah yang namanya senyum-senyum sendiri? Kenapa aku ini? Hey, bibir! Diam! Ngapain kau se
“Keset kaki? Mama bilang bodyguard itu keset kaki?” “Ya, kurang lebih seperti itu!” “Mama sombong! Begitu rendahkah Mama menilai pekerjaan orang lain?” “Kamu berbeda dengan mereka, Al! Kamu itu pewaris PT Tambang Alva Mandiri! Kamu pewarisnya, bukan Bang Andre bukan Kak Anyelir. Tapi kau, Al! Tolong jangan rendahkan dirimu, Sayang!” “Mama tetap tidak berubah! Sombong!” “Terserah kau menganggap Mama sombong! Mama hanya tidak rela, kau menghinakan dirimu sendiri dengan pekerjaan itu! Pulang ke rumah! Kerja di perusahaan milikmu sendiri, ya, Nak!” “Tidak, Ma! Aku bukan pengemis! Papa tidak mengizinkan aku kerja di kantor itu! Biar Bang Andre saja yang urus perusahaan! Dia anak kesayangan Papa!” “Jangan cemburu pada Bang Andre! Kamu tahu, kan, tak mungkin Bang Andre yang memimpin perusahaan! Kamu tau itu! Kenapa kau tak bisa berhenti cemburu pada abangmu itu, Alva?” “Karena Papa memang lebih menyayangi Bang Andre dari pada aku, Ma!” “Kau salah! Papa memang bersikap lebih keras pa
“Nay, kamu … kamu bisa membujuk Alva, Sayang?” tanya Riany lirih, menatap penuh harap kepada Nayra, putri kandung saudara laki-lakinya yang telah tiada. “Bisa, Tante tenang aja, ya. Nay akan susul Bang Alva! Nay tinggal dulu, ya!” “Iya, Sayang!” “Misi, Om. Boleh, ya, Nay bujuk Bang Alva?” Gadis itu lalu menoleh ke arah Pak Zul. “Iya, Nay! Semoga kamu berhasil, Nak! Tolong bilang sama dia, kalau Om sebenarnya sangat menyanyangi dia. Tapi, Om tidak bisa berkata lemah lembut seperti kalian. Om tidak mau Alva menjadi laki-laki cengeng!” sahut Zul membuat hati Riany sedikit lega. “Baik, Om. Akan Nay sampaikan. Kak, An! Jagain Tante, ya!” Nayra menoleh kepada Anyelir. “Hem, kejar Alva sana! Cepat! Ke parkiran roda dua, ya!” “Ok, Kak!” Gadis itu berlari ke arah lif. Begitu turun di lantai satu, dia langsung berbelok menuju parkiran roda dua. Mata cantiknya menyapu seluruh areal parkir. Tak ada. Apakah Al sudah pergi? Tunggu, itu di sudut sana! Ada seorang pria yang tengah mengamuk
“Berhenti menangis, Nayra! Tolong!” ucapnya masih dengan nada pelan.Diminta jangan menangis, malah membuat tangis itu gadis makin kencang.“Aku gak suka Abang berencana mengalihkan jodoh aku! Aku mau Bang Al! Yang aku tahu, tunanganku itu Bang Al, bukan Bang Andre!” ungkapnya di antara isak sesegukannya.“Aku mohon berhenti menangis, Nayra!” Suara Alva mulai meninggi. Tetapi gadis itu tak peduli. Sedu sedannya makin menjadi.“Lagian kata Om Zul tadi, Om Zul sebenarnya sangat menyanyangi Bang Alva. Tapi, Om tidak bisa berkata lemah lembut seperti yang lain. Karena Om Zul tidak mau Bang Alva menjadi laki-laki cengeng!”“Ok, tapi nangisnya berhenti, Nay! Lihat, orang-orang mulai memperhatikan kita! Jangan sampai mereka curiga aku nyakitin kamu!” Suara Alva makin meninggi lagi beberapa oktaf. Sepertinya sudah hampir sampai di ambang batas kesabaran. Wajah kakunya berubah merah padam.“Dan kata Kakek dan Om Zul, perusahaan akan tetap di serahkan ke Abang! Abang akan diangkat menja