Uhuk ... uhuk...Apa-apaan ini? Kuminum jus jeruk yang ada di hadapanku.Perlahan ku atur nafas, berharap apa yang aku dengar barusan hanya salah saja. "Maksud kamu apa Dan?" "Aku mencintai kamu Ais, sejak pertama bertemu di rumah adam aku jatuh hati padamu. Apa aku salah mencintai kamu?"Kuatur lagi rasa yang tak menentu. Kenapa Daniel mencintai wanita yang sudah bersuami. Aku juga sih yang salah tak berkata jujur. Nah sekarang bingung kan mau ngomong apa! "Aku masih gak mengerti dengan ucapanmu tentang mengorbankan Tuhanmu, apa kamu...?" tak kulanjutkan ucapanku. Entah mengapa mulut ini terasa terkunci. "Iya, aku seorang nasrani Ais, dan aku mencintai wanita muslim. Dan itu kamu."DEG...! Jadi selama ini Daniel yang aku kenal berbeda keyakinan denganku. Ku pikir saat mbak Bella menjadi mualaf, Daniel pun juga sama. Ternyata tidak.Ya Robb, Kenapa jadi serumit ini? Apa ini maksud Mbak Bella untuk membantu Daniel. Ah, aku semakin tak mengerti! "Ais..."kutatap wajahnya tampann
Hari ini tepat empat bulan usia pernikahan kami. Hari demi hari Mas Adam mulai berubah menjadi sosok suami yang perhatian. Tapi entah kenapa aku belum bisa mempercayainya, mungkin karena kejadian tempo hari saat dia menyebut nama Jesica setelah kami selesai memadu kasih. Sakit rasanya suami menyebut nama wanita lain. Tapi ku coba berfikir positif, membuang segala prasangka buruk yang ada. Mungkin orang bilang aku wanita bodoh, menerima suami yang masih mencintai kekasihnya. Tapi bukankah semua orang punya masa lalu.Dan kini Mas Adam berjanji melupakannya dan merajut asa bersamaku. Tak ada salahnya kan memberi kesempatan? Selagi keduanya mau sama-sama berjuang mempertahankan mahligai pernikahan, maka tak ada alasan untuk berpisah bukan? **** Tumpukan berkas laporan kupelajari satu persatu. Banyak yang harus ku laporkan segera. Tok... Tok ... Tok.... "Masuk!" Aku masih asyik menatap layar komputer dan memasukan satu persatu data ke dalamnya. "Aisyah...." Suara yang dulu selalu
Aku bersandar di tembok, menikmati sentuhan air dingin yang jatuh membasahi tubuh. Menangisi nasib yang terasa pahit. Biarlah kamar mandi menjadi saksi sakitnya sanubari. Kenapa Engkau begitu tak adil padaku? Apa salah diri ini? Hingga Engkau murka, dan memberikan ujian bertubi-tubi. Astaghfirullah... Aku beristighfar berkali-kali di dalam hati. Ampuni hamba karena telah berburuk sangka kepadaMu. Bukankah Allah tak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan hambanya. Mungkin bagi Engkau, aku masih mampu menjalani segala cobaan ini. Bukankah di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Terlalu lama di kamar mandi membuat tubuh ini menggigil kedinginan. Tak seharusnya aku menangisi bahkan menyiksa diriku sendiri. Kupakai baju tidur panjang dan segera merebahkan tubuh di atas ranjang dengan selimut tebal yang menutupi tubuh. Belum sempat mata ini terpejam, suara ketukan pintu membuatku membuka mata kembali. dengan langkah gontai kubuka pintu kamar. Sepasang pengantin baru ber
"Tapi Aisyah...!" Jesica memegang pundakku.Mas Adam menghembuskan nafas berat. "Tiara Aisyah Kurniawan mulai detik ini kamu bukan lagi istriku. Aku talak kamu."Bulir bening kembali mengalir dari sudut netra. Aku menangis bukan karena menyesal dengan keputusanku. Tapi karena aku tak mampu memenuhi amanat terakhir ayah. "Maafkan Aisyah, ayah,"gumamku."Terima kasih telak mentalakku Mas, maaf aku mundur dari pernikahan ini." Kuhapus air mata yang sadari tadi jatuh tanpa bisa kubendung. "Jangan pergi Aisyah, maafkan aku yang merusak hubungan kalian." Jesica memegang tanganku erat. "Aku yang harusnya minta maaf sudah menjadi orang ketika dalam hubungan kalian.""Mas Adam kenapa diam saja?" Jesica mengguncang-guncangkan tubuh mantan suamiku itu. Mas Adam masih terpaku, diam membisu dengan pandangan kosong. Aku tahu kamu hanya sandiwara Mas. Sudahlah, ini semua keinginan kamu bukan? "Apa kamu tidak memikirkan kesehatan Umi Mas, bagaimana kalau beliau tahu Aisyah sudah kamu ceraikan?"
Astaghfirullah... Kuelus dada yang terasa sesak. Bagaimana mungkin aku penyebab sakitnya Umi, sedang akulah korban di sini. "Maksud kamu apa Mas? Kamu menuduhku?" ku tatap tajam matanya. Sudah hilang rasa hormatku untuknya. Seorang lelaki yang tak bisa mempertanggung jawabkan kesalahannya, sangat tak pantas dia disebut laki-laki. "Kalau kamu gak cerita sama Umi, gak mungkin Umi bisa sakit seperti ini!"matanya melotot. Deru nafas kian memburu, amarah sudah menutupi logikanya. Hingga tak bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar. "Kamu mengkambing hitamkan aku, Mas. Setelah apa yang kamu perbuat kepadaku.""Memang ini semua salah kamu, kamu sengaja menceritakan kepada Umi. Kamu ingin balas dendam padaku, jadi kamu manfaatkan Umi. Iya kan? Ngaku kamu!"ucapnya sambil mengarahkan jari telunjuk tepat di depan wajahku. Ya Allah lelaki macam apa yang dijodohkan Ayah padaku? Ku tahan amarah, aku tak ingin membuat keributan di rumah sakit. Banyak pasien yang sedang sakit, aku
Ya Allah, baru di sini seorang diri saja sudah banyak di komentarin, bagaimana kalau mereka tahu aku sudah di madu dan di talak. Pasti diriku akan menjadi bulan-bulanan mereka. Kuatkan hamba Ya Allah. "Mbak Aisyah mau beli apa?"tanya Bu Fatimah. Lega rasanya Bu Fatimah bertanya, setidaknya aku tak perlu menjawab semua pertanyaan Bu Rahayu. Walau pun cepat atau lambat mereka akan mengetahui statusku. Tapi setidaknya tidak sekarang. "Nasi putih dua bungkus ya Bu, lauknya gulai ayam sama tempe goreng saja."Tak butuh lama, pesananku telah siap, tak lupa aku membayarnya. "Saya permisi dulu ibu-ibu. Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam..." jawab mereka serempak. Tinggal di perkampungan memang harus kuat. Kuat mendengarkan omongan orang. Karena baik dan buruknya kehidupan kita akan selalu menjadi bahan perbincangan mereka. Ku pindah satu bungkus nasi ke dalam piring, tak lupa diberi gulai ayam di atasnya. Aroma gulai menyeruak masuk ke dalam hidung. Gulai yang biasanya mengundang rasa
Baru pertama kali melihat wanita secantik dia. Bukan karena kecantikan yang dapat di lihat mata, tapi kecantikan yang terpancar dari dalam. Aisyah namanya, wanita muslim yang seketika membuatku jatuh cinta. Hari demi hari aku semakin mengenalnya walau dia selalu menjaga jarak padaku. Seperti ada batasan antara aku dan dia. Apa karena perbedaan agama diantara kami. Aku juga tak tahu apa alasannya. Aisyah wanita yang sangat taat pada Tuhannya. Tak pernah sekalipun dia melewatkan ibadah wajib maupun sunah. Dan aku sendiri,setiap minggu tak pernah absen ke gereja. Kami bagai berjalan dengan arah yang berlawanan. Akankah bisa bersatu dengan dinding yang berdiri tegak diantara kami. "Aisyah makan siang yuk." ajakku saat tiba di butik. "Aku puasa Dan." tolak nya. Ini bukan ramadhan tapi kenapa dia berpuasa? Setahuku hanya bulan Ramadhan saja seorang muslim wajib berpuasa. Ingin bertanya tapi malu juga. "Oke, aku keluar dulu ya."masih ingin berbincang tapi perut tidak bisa di ajak kompr
Hari ini ingin ku ungkapkan perasaanku kepada Aisyah. Karena aku tak rela dia dimiliki orang lain. Sengaja aku mengajaknya makan siang bersama di sebuah restoran dekat butik. Tak berapa lama Aisyah datang, kami segera menyantap makanan yang sudah ku pesankan untuknya.Ku keluarkan semua isi hatiku. Jantungku tak henti-hentinya berdetak dengan kencang setiap mengeluarkan kata dari mulut ini. "Kalau aku mencintaimu, haruskah aku mengorbankan Tuhanku?"ku tatap Aisyah tajam. Uhuk...uhuk...Aisyah terbatuk, mungkin syok dengan yang aku ucapkan. "Maksud kamu apa Dan?" "Aku mencintai kamu Ais, sejak pertama bertemu di rumah adam aku jatuh hati padamu. Apa aku salah mencintai kamu?"Sesaat kami terdiam dengan pikiran masing-masing. Aku takut jika Aisyah marah dan menghindariku. "Aku masih gak mengerti dengan ucapanmu tentang mengorbankan Tuhanmu, apa kamu...?"Aisyah menjeda ucapannya. "Iya, aku seorang nasrani Ais, dan aku mencintai wanita muslim. Dan itu kamu."Aisyah seperti syok, di