“Siapa kamu? Nguping, ya?” tanya Pak Rozaq. Gus Azam menegakkan kepalanya. “Maaf, saya mau ambil bolpoin saya yang jatuh.” Dia menunjuk ke arah lantai.Kami semua melihat ke bawah dan memang ada sebuah bolpoin di sana. Gus Azam berjongkok kemudian mengambil benda kecil berwarna hitam itu. “Maaf, Gus. Kami membuat keributan di sini. Saya akan segera kembali ke kelas.” Aku harus segera pergi sebelum lelaki tua bangka itu mengatakan hal yang tidak-tidak. Bisa malu jika Gus Azam mendengar aku akan menikah dengan lelaki tua bangka. Ish, amit-amit jabang bayi. “Tunggu, Shafia. Kita belum selesai ngomong.” Masih terdengar samar suaranya ketika aku berlari meninggalkan Pak Rozaq. Tidak kuhiraukan makanan yang dia bawakan. Aku akan meminta bantuan Anin dan Nadia untuk mengambilnya nanti setelah Pak Rozaq pergi. Mereka pasti tidak akan menolak jika berhubungan dengan makanan. Huft! Aku bernapas lega ketika sampai di madrasah. Tamu tidak diperkenankan ke masuk di area ini. Untuk sementar
Malam ini aku tidak bisa tidur, bayangan Gus Azam ketika sedang menungguku di aula tadi siang masih menari-nari di atas kepala. Aku bahkan tidak pernah memikirkan Gus Anam sampai sejauh ini. Gus Azam jarang pulang, entah ke mana kesehariannya tidak ada yang tahu. Aku mencoba memejamkan mata kembali, tetapi aku seolah melihat Gus Azam tersenyum kepadaku. Apakah aku terkena guna-guna? Aku mulai ragu tentang perasaanku. Aku sukanya sama adiknya, tetapi kenapa yang ada di pikiran malah kakaknya?Aku menggelengkan kepala dan melihat ke samping, ada Nadia yang sudah tertidur. Tadi siang kami memakan makanan yang dibawakan Pak Rozaq, bersyukur bukan dia yang menghantui pikiranku. Ternyata makanan yang dia bawa tidak ada guna-gunanya. Lalu apa yang terjadi sekarang? Mungkin aku harus banyak beristighfar. Hari berganti demi hari. Kini tiba saatnya acara muwadaah. Waktu dua minggu di pesantren tidak menghasilkan apa-apa. Aku masih belum punya cukup uang untuk melunasi hutang Ayah. Aku membuk
Anin dan Nadia memimpin di depan, sedangkan aku di tengah dan di belakangku masih ada dua orang lagi. Ketika kami melewati dhuyuf, ada beberapa wali murid yang sedang mengobrol dengan anak-anak mereka. Ruangan itu tampak sesak sehingga mereka ada yang mengobrol di aula, bahkan di masjid. “Fia, kamu jangan lirik kana kiri, lurus aja ke depan! Nanti ketahuan kalau kamu sedang mencari seseorang.”“Maaf, aku terlalu gugup.” Benar juga kata Nadia. Aku tidak boleh terlihat mencurigakan. Namun, ketika sampai di dekat pondok putri, kulihat lelaki itu berdiri di luar masjid. Dia datang bersama Nenek dan Kakek. Bagaimana aku bisa mengabaikannya jika kedua orang yang kusayangi bersamanya?“Nad, dia datang bersama Kakek dan Nenek. Bagaimana ini?”“Kita masuk saja! Nenekmu bisa masuk ke pondok putri. Dia tidak akan bisa menemuimu.”“Yang mana, sih, orangnya?” tanya Fia.“Arah jam 2, di dekat pohon palem.”Anin dan Nadia tertawa hingga tubuhnya terguncang. “Astaga Fia, maaf aku tertawa,” ujar N
“Ah enggak, aku hanya memastikan jika Nenek dan Kakek sudah tidak ada di masjid.” Aku kembali melihat ke masjid, tetapi Gus Azam sudah tidak ada. Aku bersyukur karena Anin sepertinya tidak melihatku bertatapan dengan Gus Azam. Bisa berabe jika dia mengetahuinya. Sesampainya di dhuyuf, aku melihat kakek dan nenek duduk di kursi. Sedangkan Pak Rozaq sedang sibuk menelepon seseorang. Aku dan Anin mencium tangan Kakek dan Nenek bergantian. Menyadari kedatanganku, Pak Rozaq segera menutup telepon. Wajahnya memerah hingga membuat mukanya tampak hitam menyeramkan. Kumisnya terangkat sebelah dan matanya melotot seolah mau keluar dari tempatnya. “Dasar bocah kurang ajar!” Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku.“Ke mana aja kamu? Saya sudah menunggumu berjam-jam. Di mana otak kamu?”“Astaghfirullahalazim,” ucap Anin terkejut. Aku memegang pipiku yang perih, sebuah tamparan dari seorang lelaki yang tidak ada hubungan darah denganku terasa begitu menyakitkan. Kedua orang tuaku bahkan tid
Gus Azam berjalan memecah kerumunan orang. Aku menatapnya penuh harap, berharap dia bisa menyelamatkan kakek. Hanya dia orang yang berkuasa di tempat ini. Aku yakin Gus Azam bisa menanganinya. Semua orang terdiam, tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Gus Azam. “Ya Allah, apa yang Bapak lakukan? Tolong lepaskan atau saya akan memanggil keamanan!” ancamnya setelah melihat keadaan Kakek. Dia terlihat panik.“Saya akan melepaskan kakek ini jika Shafia mau pulang bersama saya,” ujar Pak Mujib. Gus Azam mengerutkan kening lalu menatapku sejenak, tetapi aku lekas menghindar dan menundukkan kepala. Akhir-akhir ini jantungku sering berdebar ketika bertemu dengannya. Sepertinya aku sedang tidak sehat.“Shafia ini anak, Bapak?” tanya Gus Azam. Mengapa Gus Azam menanyakan hal seperti itu? Bukankah dia sudah tahu jika Ayah kandungku sudah meninggal?“Bukan, dia calon istri saya. Dia harus menikah dengan saya untuk melunasi semua hutang ayahnya.” Pak Rozaq menyeringai jahat.Calon istri? Ak
“Saya adalah pengurus pondok pesantren ini. Bapak bisa pergi sekarang,” jawab Gus Azam santai. Pak Rozaq berdiri dengan mata berapi-api. Dia melayangkan sebuah pukulan kepada Gus Azam hingga membuat kami berteriak, tetapi Gus Azam bisa menangkisnya. Dipegangnya tangan Pak Rozaq kemudian dia pelintir ke belakang. Aw! Aku dan Anin menutup mulut, rasanya pasti sakit sekali.“Saya guru silat di pesantren putra. Bapak bukan tandingan saya!” Setelah mengatakan itu, Gus Azam melepas tangan Pak Rozaq. Lelaki itu ketakutan melihat Gus Azam hingga membuat wajahnya pucat pasi. Dia mengeluarkan pisaunya, tetapi dengan cepat Gus Azam menendang dengan kakinya. Aku dan Anin berteriak karena pisaunya jatuh tepat di depan kami. Akhirnya Pak Rozaq menyerah dan pergi meninggalkan kami, termasuk Kakek dan Nenek. Aku dan Anin kembali menghampiri kakek. “Kakek tidak apa-apa?”“Kamu lihat sendiri, kami tidak kenapa-kenapa, Fia. Kamu tenang saja.Kami pulang dulu. Besok biar Pakde Irul dan Bude Yuli yan
Mereka terlihat panik dan langsung menghampiri anaknya. Mungkin saja ada seseorang yang melaporkan tentang kejadian beberapa waktu yang lalu. Gus Azam tersenyum. “Tidak ada apa-apa, Umi.”Abah dan Umi menatap semua orang di sini bergantian. Mereka meminta penjelasan mengapa bisa sampai terjadi kegaduhan seperti ini di pesantren. Gus Azam meminta kedua orang tuanya untuk duduk kemudian menjelaskan kejadian barusan. “Ya Allah, syukurlah tidak terjadi apa-apa denganmu.” Umi mengusap lembut pipi anaknya. “Kamu tidak apa-apa, Fia?” tanya Abah. Mereka beralih menatapku. “Alhamdulillah Fia tidak apa-apa, Abi. Namun, Kakek saya terluka. Saya ingin mengobati lukanya.”“Zam, tolong ambilkan kotak obat!”Abah meminta Gus Azam mengambil kotak obat. Aku duduk di kursi bersama Nenek dan Kakek berhadapan dengan Abah dan Umi. Semuanya terasa canggung hingga akhirnya Anin memutuskan untuk kembali ke pondok.“Fia, aku balik dulu, ya!” Aku mengangguk menanggapi ucapan Anin.Anin pasti tidak nyam
“Alhamdulillah.” Semua orang mengucap kalimat hamdalah. “Dia pasti malu mengatakannya, lihatlah wajahnya bersemu merah,” ucap Umi. Oh tidak! Apa yang baru saja kulakukan? Aku telah menerima lamaran Gus Azam? Meski dia sedingin kulkas, tidak sedikit santriwati yang mengidolakannya. Aku bakal menjadi sasaran empuk penggemarnya jika menikah dengan Gus Azam. “Jika diamnya seorang gadis adalah persetujuan, apalagi sebuah anggukan? Jelas jika Fia mau menerima lamaran ini,” jelas Abah Sya’roni.Keluarga Umi terlihat senang. Abah menepuk-nepuk bahu anaknya. “Azam, akhirnya Umi bakalan punya anak perempuan.” Ya Allah, benarkah keputusan yang kuambil ini? Aku sudah terlanjur mengiyakan. Gus Azam tampak tersenyum. Senyum pertama yang dia berikan kepadaku. Senyum yang tidak pernah dia perlihatkan di depan sembarang wanita. Senyum yang selama ini disembunyikan seakan membuat duniaku runtuh. Meleleh hati ini, Gus. “Kamu jadi pulang hari ini, Fia?” tanya Umi. “Iya, Umi. Kami harus pulang. Oran