Share

Doa Bersama

“Bismillahirohmaanirrohiim.” Gus Azam mulai memimpin doa tanpa ragu.

Beruntung sekali diriku. Akhirnya aku bisa selamat dari pertanyaan Umi.

Semua orang menundukkan kepala dan berdoa dengan khidmat. Namun, mataku tak lepas dari Gus Anam. Sayangnya dia terhalang oleh Gus Azam. Baru kali ini aku mendengar suara Gus Azam. Dia membaca tahlil dengan fasih. Tanpa sadar aku memandangnya terus menerus.

‘Ya Allah, mengapa rasanya hatiku bergetar mendengar suaranya? Sepertinya aku lapar karena belum sarapan.’

Waktu bergerak seiring berputarnya jarum jam. Tanpa terasa Gus Azam telah selesai memimpin doa.

“Fia, kami pamit dulu, ya!” Umi Hanifah berpamitan. “Mohon maaf apabila kehadiran kami merepotkan nenek dan kakeknya Shafia.”

“Tidak, Umi. Kami malah merasa senang karena Umi dan keluarga bersama teman-teman Fia mau datang ke sini. Kami mengucapkan terima kasih banyak.” Nenek mengucapkan terima kasih kemudian bersalaman dengan Umi.

Teman-temanku juga berpamitan untuk segera kembali ke pondok. Mereka masih tetap mengikuti pengajian di pondok. Banyak sekali kegiatan pondok yang harus mereka ikuti hingga acara puncak perpisahan.

“Makasih, Umi, Abah. Makasih semuanya sudah menyempatkan diri datang ke rumah Fia.”

“Fia, kami balik dulu, ya! Segera balik ke pondok. Kami semua kangen sama kamu. Enggak ada lo, enggak rame.” Nadia dan Anin bergantian memelukku, kemudian yang lainnya ikut bersalaman.

Mereka semua sudah naik ke kendaraan masing-masing. Begitu juga dengan keluarga abah. Namun, tiba-tiba Gus Azam keluar dan berlari kembali ke rumahku.

“Ada yang tertinggal, Gus?”

“Tidak ada. Boleh saya numpang ke kamar mandi? Saya sakit perut.” Gus Azam memegangi perutnya, wajahnya terlihat pucat dan sedikit berkeringat.

“Mari saya antar ke belakang, Gus.”

Aku segera mengantarkan Gus Azam ke kamar mandi.

Dia berjalan mengikuti langkahku hingga sampailah di sebuah kamar kecil di dekat dapur. Tidak ada perbincangan di antara kami. Dia lekas menutup pintu setelah masuk ke ruangan itu. Aku kembali ke depan setelah mengantarkan Gus Azam. Rumahku tidak memiliki banyak kamar. Aku yakin Gus Azam tidak akan tersesat jika sudah selesai.

Sambil menunggu Gus Azam, aku membereskan gelas dan minuman di ruang tamu. Namun, hingga Umi kembali masuk rumah, putranya tidak lekas keluar.

“Fia, boleh Umi masuk? Azam lama sekali. Sepertinya terjadi sesuatu dengannya karena tidak biasanya dia berlama-lama di kamar mandi.”

“Silakan, Umi. Mari saya antar.”

Sesampainya di depan kamar mandi, Umi mengetuk pintu. “Kamu lama sekali, Zam? Kalau masih lama Umi tinggal, ya!”

“Tunggu, Umi. Sarung Azam basah. Boleh minta tolong pinjamkan ke Shafia?”

Deg!

Mendengar dia menyebut namaku saja membuat hati ini tidak karuan. Rasanya aku ingin pingsan mengetahui jika Gus Azam tahu namaku. Apakah dia memiliki perhatian khusus terhadap santri biasa sepertiku atau memang dia sudah hafal nama-nama santri?

“Fia, bolehkah umi meminjam sarung ayahmu?” tanya Umi.

Aku mengangguk dan segera mencari sarung di kamar Ayah. Aku mengambil sebuah sarung tenun dengan merek gajah jongkok kemudian menyerahkannya kepada Umi.

Tidak lama kemudian pintu terbuka, Gus Azam menerima sarung dari Umi kemudian menutup pintu kembali.

Masih teringat jelas bayangan Gus Azam ketika sakit perut tadi. Dibalik mukanya yang sedingin kulkas dua pintu, dia memiliki wajah yang lucu ketika kesakitan. Eh, apakah aku suka melihatnya kesakitan?

“Sudah selesai, Umi.” Gus Azam sudah keluar dengan memakai sarung milik Ayah.

“Ya sudah, ayo kia pulang. Anam masih ada kelas.” Umi terburu-buru karena Gus Anam masih ada kuliah katanya.

Sejenak aku bergeming melihat penampilan Gus Azam. Padahal hanya sarungnya yang berubah. Dia memakai sarung tenun kesukaan Ayah. Aku seperti melihat sosok Ayah pada dirinya. Air mataku sudah tidak terbendung lagi. Setelah beberapa hari kutahan sekuat tenaga agar tidak menangis, kini dia membuatku mengingat kembali sosok Ayah. Aku berlari meninggalkan Umi, masuk ke kamar dan menutup pintu.

“Ayah, Ibu, Fia kangen.” Aku berteriak sekencang-kencangnya, kulempar jilbabku ke sembarang arah dan mengacak rambut frustrasi.

Kusandarkan tubuhku di balik pintu. Tidak kuhiraukan teriakan Umi dan Nenek dari luar. Rasa sesak ini muncul kembali melihat Gus Azam memakai sarung milik Ayah. Aku tidak mau keluar sebelum mereka pergi karena tidak akan kuat melihat kenyataan ini.

“Fia, keluarlah! Umi mau pulang,” ucap Nenek sambil mengetuk pintu.

“Iya, Nek, Umi bisa pulang sekarang. Fia enggak bisa keluar. Fia ingin sendiri dulu.”

“Kami pulang, Nek. Salam buat Fia. Maaf jika kami melakukan suatu kesalahan sehingga membuat Fia kembali bersedih.”

“Kami yang harus meminta maaf karena Fia sudah bersikap tidak sopan. Maafkan cucu kami, Umi.”

Kudengar suara mereka semakin menjauh. Tidak lama kemudian suara deru mobil perlahan menghilang. Mereka sudah pergi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Shafia merindukan kedua orang tuanya.........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status