Share

Bibir Indah

Hembusan napas Kevin semakin terasa di wajah Kinan. Begitu dekat jarak wajah mereka membuat Kinan pasrah. Ia memejamkan kelopak matanya kuat.

"Gue, suka bibir lo, indah!" Perlahan-lahan Kinan membuka matanya dan Kevin posisi Kevin masih tetap sama. Gadis itu menipiskan bibirnya malu.

"Ma-makasih!" ucapnya dengan terbata-bata.

Kevin menyelipkan anak rambut panjang Kinan yang terurai di telinga gadis itu. "Lo tau, gue suka cewek kayak lo."

Kinan mengerutkan kening tidak percaya. "Me-mang, gue kenapa?"

"Lo, apa adanya."

Kinan membuang muka dan memberi senyum setengah. Ia seperti tidak ingin percaya dengan ucapan yang keluar dari laki-laki di hadapannya ini. Namun, ia juga tidak bisa menolak hatinya yang berbunga-bunga.

"Vin ...!"

Laki-laki itu berdehem. "Lo, jangan bilang sama Alya, ya! Kalau kita ... jalan berdua kayak gini. Gu-gue, nggak mau aja dia marah. Lo tau sendiri 'kan, Alya nganggep lo mempermainkan gue!"

"Gue kelihatan jahat banget, ya?"

"Oh nggak," sambar Kinan dengan cepat, "hanya dia ngerasa lo sering deket sama cewek lain. Jadi, Alya pikir lo laki-laki ...." Gadis itu tidak sanggup meneruskan ucapannya.

"Laki-laki apa? Buaya? Playboy?" tanya Kevin dengan mengangkat sebelah alisnya. Kinan mengigiti bibir bawahnya. "Gue nggak pernah pacaran sama banyak cewek. Sampai hari ini pun gue masih sendiri," timpalnya lagi.

Kinan menganggukan kepala. Begitu senang akan ungkapan hati Kevin yang ternyata masih sendiri membuat Kinan tidak henti menatap manik mata Kevin.

"Vin ... bisakan lo sedikit menjauh! Gue nggak nyaman sama posisi kita kayak gini."

"Oh ... maaf!"

Kevin mulai menyalakan mobilnya dan mengantar Kinan pulang. Sekitar sepuluh menit perjalanan mereka sampai. Kinan membuka sendiri sabuk pengaman yang mengikat tubuhnya sebelum Kevin  membukakannya.

"Makasih untuk malam ini, Vin!"

"Gue yang harusnya makasih. Ya udah, masuklah! Kayaknya  gue kemalaman, salamkan aja sama nyokap lo! Gue minta maaf membawa anak gadisnya pulang malam!" Kinan terkekeh kecil menutupi mulut dengan punggung tangannya.

"Iya, nanti gue sampaiin maaf lo! Semoga dimaafkan!" goda Kinan.

Kevin mencebikkan bibir. "Pasti dimaafkan, nyokap lo sangat baik. Lo beruntung jadi anaknya. Boleh 'kan, gue anggep nyokap lo kayak nyokap gue sendiri?" Kinan mengangguk malu. "Ya udah, tidur sana! Mimpiin gue malam ini. Gue nggak sabar ketemu lo lagi besok!"

"Apaan, sih!" Kinan memukul pelan lengan Kevin. Ia keluar mobil dan melambaikan tangannya untuk laki-laki yang pasti akan membuat tidurnya indah malam ini. Menatap mobilnya sampai tak tampak lagi.

***

Hari sudah berganti. Suasana kelas sudah penuh dan begitu bising. Kinan sudah bersiap menerima pelajaran hari ini. Namun, hatinya masih tak tenang saat melihat bangku Kevin masih kosong. Kenapa belum datang juga? Apa ia sakit karena makan telur gulung semalam?

Raut wajah cemas tergambar jelas di wajahnya. Ia terus menoleh ke arah bangku Kevin seraya meremas tangannya. Alya yang mengajaknya berbicara seperti tak dihiraukannya.

"Kin!" teriak sahabatnya itu yang membuatnya terlonjak.

"Apaan, teriak-teriak?" gerutunya.

"Lagian, gue ajak bicara nolehnya ke bangku Kevin terus. Kenapa, lo kangen sama dia?" sindir Alya dengan menompang dagunya dan membuang muka.

"Memang, Kevin kemana nggak masuk, Al?"

Alya memundurkan kepala dan mengerutkan kening menatap Kinan. "Dia lagi sakit perut kayaknya," jawab Alya asal.

"Yang bener, Al?" Wajah Kinan tampak begitu khawatir.

"Ya mana gue tau!" gertak Alya. Kinan mendengkus kesal. Ia mengembuskan napas gusar dengan ucapan Alya yang membohonginya, "lagian lo itu kenapa, sih? Belum puas kemarin mergokin Kevin sama Runa berduaan di kelas?" sindir Alya dengan bibir mengerucut. Kinan hanya melirik ke arah Alya tanpa menjawabnya.

Wajah yang ditekuk itu tiba-tiba tersenyum semringah saat melihat laki-laki yang sekarang menempati hatinya berlari tergesa-gesa menuju bangkunya.

Kinan menoleh ke arah Kevin. Laki-laki itu membalas dengan memamerkan lesung pipinya. Kinan mengigiti bibir bawahnya malu. Hatinya kini tenang, ternyata Kevin baik-baik saja.

Saat bel istirahat dan Kinan menolak ajakan sahabatnya untuk ke kantin, diam-diam Kevin berjalan mendekatinya. Ia menggeser bangku yang ada di samping Kinan.

"Gue kira, lo sakit perut. Lo kenapa bisa hampir telat?" tanya Kinan berbisik.

"Lo khawatir sama gue?" tanya Kevin yang tidak menjawab pertanyaan Kinan. Ia memiringkan kepala menatap gadis yang menahan malu itu.

"Pede banget." Kevin memajukan bibir bawahnya. "Gue hanya takut, lo nyuruh gue tanggung jawab aja gara-gara telur gulung semalam."

"Ya udah, sekarang tanggung jawab! Perut gue sakit!" keluhnya dengan pura-pura meringis memegangi perut. Kinan terkekeh dan memukul dada Kevin. "Nanti, gue antar pulang mau?"

Kinan berpikir sejenak. "Boleh ... tapi nunggu sepi, ya! Gue, nggak enak sama Alya."

"Nggak masalah. Gue suka yang sepi-sepi! Ayo keluar kelas! Lo, nggak bosen di dalam kelas terus?" ajak Kevin yang kini meraih pegelangan tangan Kinan.

"Mau ke mana? Jangan ke kantin!"

Kevin mengangguk dan menarik tangan Kinan. Gadis itu menurutinya. Mereka berjalan santai ke taman sekolah yang kebetulan sepi. Kevin memetik satu bunga mawar dan menyelipkan di telinga Kinan. Tatapan Kevin membuat gadis itu tersipu malu.

"Sebentar lagi ujian, setelah kelulusan nanti lo mau nerusin kuliah di mana, Vin?" tanya Kinan untuk mengusir kegugupan. Ia sebenarnya takut jika tidak akan bertemu lagi dengannya. Apalagi Kevin belum menyatakan perasaannya.

Kevin mengerutkan dahi seperti sedang berpikir keras. "Gue nggak tau, Papa bakal nyuruh gue kuliah di mana?"

"Lah, lo pengennya kuliah di mana?" tanya Kinan kembali.

Kevin mengangkat kedua bahunya dan menurunkan kembali. "Gue nggak terlalu peduli sama itu semua. Percuma, Papa pasti yang akan nyetir hidup gue," jawabnya dengan wajah datar, "terus, lo mau kuliah di mana? Nanti gue usahain untuk satu kampus sama lo?"

Kinan menunduk malu, ia sebenarnya tertegun dengan ucapan Kevin. Namun, ia tak tau apa Ibunya mempunyai simpanan untuk ia kuliah. Ini rasanya berat dan begitu menyakitkan untuk Kinan.

"Gu-gue belum tau, Vin! Be-lum kepikiran ke arah sana!" jawabnya terbata-bata.

Kevin mengangguk. "Ya udah, yang penting sekarang kita bersama aja. Nggak usah musingin masalah itu!"

Laki-laki itu memutar bola matanya melihat sekeliling. Keadaan sepi membuatnya sedikit mendekatkan wajahnya pada Kinan. Gadis itu mengigiti bibir bawahnya.

"Jangan digigiti terus bibir bawahnya! Nanti luka!" ucap Kevin dengan intonasi nada yang begitu rendah. Kinan meremas tangannya, ia melempar pandangan ke lain tempatnya. Rasanya tak sanggup melihat mata Kevin yang seperti menggodanya.

Kevin memegang kedua tangan Kinan yang entah sejak kapan terasa dingin. "Boleh nggak, gue cium bibir lo?" Mata Kinan terbelalak mendengarnya. Ia kesulitan menelan saliva. Jantungnya berdegup kencang. "Tapi, kalau lo nggak ngizinin, gue nggak akan maksa!"

Mereka terdiam dengan mata yang terus berpandangan. Kinan mengangguk malu. Ia begitu terlena dengan pesona dan perlakuan Kevin.

Kevin menyunggingkan bibir atasnya, lalu memegang kedua pipi Kinan yang kini bersiap dan memejamkan matanya. Hembusan napas mint dari mulut Kevin menyeruak masuk ke dalam indera penciuman Kinan. Tidak ada perlawanan sedikit pun dari gadis itu. Aroma stroberi dari bibir gadis itu menambah semakin memburunya penyatuan bibir mereka kali ini.

Kinan masih saja memejamkan mata pasrah walaupun dalam hatinya merasa ini tidak benar. Ini pengalaman pertamanya. Begitu menegangkan, tapi ia menyukai debaran kuat dalam dadanya.

Matanya terbuka sempurna saat mendengar bunyi bel. Ia mendorong pelan Kevin dan mengelap bibirnya yang kebas dan basah.

"Vin, udah bel! Kita kembali ke kelas!" ajaknya yang kini berdiri gugup. Kevin mengangguk lemas. Kemudian tersenyum menyeringai menatap Kinan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status