Hembusan napas Kevin semakin terasa di wajah Kinan. Begitu dekat jarak wajah mereka membuat Kinan pasrah. Ia memejamkan kelopak matanya kuat.
"Gue, suka bibir lo, indah!" Perlahan-lahan Kinan membuka matanya dan Kevin posisi Kevin masih tetap sama. Gadis itu menipiskan bibirnya malu.
"Ma-makasih!" ucapnya dengan terbata-bata.
Kevin menyelipkan anak rambut panjang Kinan yang terurai di telinga gadis itu. "Lo tau, gue suka cewek kayak lo."
Kinan mengerutkan kening tidak percaya. "Me-mang, gue kenapa?"
"Lo, apa adanya."
Kinan membuang muka dan memberi senyum setengah. Ia seperti tidak ingin percaya dengan ucapan yang keluar dari laki-laki di hadapannya ini. Namun, ia juga tidak bisa menolak hatinya yang berbunga-bunga.
"Vin ...!"
Laki-laki itu berdehem. "Lo, jangan bilang sama Alya, ya! Kalau kita ... jalan berdua kayak gini. Gu-gue, nggak mau aja dia marah. Lo tau sendiri 'kan, Alya nganggep lo mempermainkan gue!"
"Gue kelihatan jahat banget, ya?"
"Oh nggak," sambar Kinan dengan cepat, "hanya dia ngerasa lo sering deket sama cewek lain. Jadi, Alya pikir lo laki-laki ...." Gadis itu tidak sanggup meneruskan ucapannya.
"Laki-laki apa? Buaya? Playboy?" tanya Kevin dengan mengangkat sebelah alisnya. Kinan mengigiti bibir bawahnya. "Gue nggak pernah pacaran sama banyak cewek. Sampai hari ini pun gue masih sendiri," timpalnya lagi.
Kinan menganggukan kepala. Begitu senang akan ungkapan hati Kevin yang ternyata masih sendiri membuat Kinan tidak henti menatap manik mata Kevin.
"Vin ... bisakan lo sedikit menjauh! Gue nggak nyaman sama posisi kita kayak gini."
"Oh ... maaf!"
Kevin mulai menyalakan mobilnya dan mengantar Kinan pulang. Sekitar sepuluh menit perjalanan mereka sampai. Kinan membuka sendiri sabuk pengaman yang mengikat tubuhnya sebelum Kevin membukakannya.
"Makasih untuk malam ini, Vin!"
"Gue yang harusnya makasih. Ya udah, masuklah! Kayaknya gue kemalaman, salamkan aja sama nyokap lo! Gue minta maaf membawa anak gadisnya pulang malam!" Kinan terkekeh kecil menutupi mulut dengan punggung tangannya.
"Iya, nanti gue sampaiin maaf lo! Semoga dimaafkan!" goda Kinan.
Kevin mencebikkan bibir. "Pasti dimaafkan, nyokap lo sangat baik. Lo beruntung jadi anaknya. Boleh 'kan, gue anggep nyokap lo kayak nyokap gue sendiri?" Kinan mengangguk malu. "Ya udah, tidur sana! Mimpiin gue malam ini. Gue nggak sabar ketemu lo lagi besok!"
"Apaan, sih!" Kinan memukul pelan lengan Kevin. Ia keluar mobil dan melambaikan tangannya untuk laki-laki yang pasti akan membuat tidurnya indah malam ini. Menatap mobilnya sampai tak tampak lagi.
***
Hari sudah berganti. Suasana kelas sudah penuh dan begitu bising. Kinan sudah bersiap menerima pelajaran hari ini. Namun, hatinya masih tak tenang saat melihat bangku Kevin masih kosong. Kenapa belum datang juga? Apa ia sakit karena makan telur gulung semalam?
Raut wajah cemas tergambar jelas di wajahnya. Ia terus menoleh ke arah bangku Kevin seraya meremas tangannya. Alya yang mengajaknya berbicara seperti tak dihiraukannya.
"Kin!" teriak sahabatnya itu yang membuatnya terlonjak.
"Apaan, teriak-teriak?" gerutunya.
"Lagian, gue ajak bicara nolehnya ke bangku Kevin terus. Kenapa, lo kangen sama dia?" sindir Alya dengan menompang dagunya dan membuang muka.
"Memang, Kevin kemana nggak masuk, Al?"
Alya memundurkan kepala dan mengerutkan kening menatap Kinan. "Dia lagi sakit perut kayaknya," jawab Alya asal.
"Yang bener, Al?" Wajah Kinan tampak begitu khawatir.
"Ya mana gue tau!" gertak Alya. Kinan mendengkus kesal. Ia mengembuskan napas gusar dengan ucapan Alya yang membohonginya, "lagian lo itu kenapa, sih? Belum puas kemarin mergokin Kevin sama Runa berduaan di kelas?" sindir Alya dengan bibir mengerucut. Kinan hanya melirik ke arah Alya tanpa menjawabnya.
Wajah yang ditekuk itu tiba-tiba tersenyum semringah saat melihat laki-laki yang sekarang menempati hatinya berlari tergesa-gesa menuju bangkunya.
Kinan menoleh ke arah Kevin. Laki-laki itu membalas dengan memamerkan lesung pipinya. Kinan mengigiti bibir bawahnya malu. Hatinya kini tenang, ternyata Kevin baik-baik saja.
Saat bel istirahat dan Kinan menolak ajakan sahabatnya untuk ke kantin, diam-diam Kevin berjalan mendekatinya. Ia menggeser bangku yang ada di samping Kinan.
"Gue kira, lo sakit perut. Lo kenapa bisa hampir telat?" tanya Kinan berbisik.
"Lo khawatir sama gue?" tanya Kevin yang tidak menjawab pertanyaan Kinan. Ia memiringkan kepala menatap gadis yang menahan malu itu.
"Pede banget." Kevin memajukan bibir bawahnya. "Gue hanya takut, lo nyuruh gue tanggung jawab aja gara-gara telur gulung semalam."
"Ya udah, sekarang tanggung jawab! Perut gue sakit!" keluhnya dengan pura-pura meringis memegangi perut. Kinan terkekeh dan memukul dada Kevin. "Nanti, gue antar pulang mau?"
Kinan berpikir sejenak. "Boleh ... tapi nunggu sepi, ya! Gue, nggak enak sama Alya."
"Nggak masalah. Gue suka yang sepi-sepi! Ayo keluar kelas! Lo, nggak bosen di dalam kelas terus?" ajak Kevin yang kini meraih pegelangan tangan Kinan.
"Mau ke mana? Jangan ke kantin!"
Kevin mengangguk dan menarik tangan Kinan. Gadis itu menurutinya. Mereka berjalan santai ke taman sekolah yang kebetulan sepi. Kevin memetik satu bunga mawar dan menyelipkan di telinga Kinan. Tatapan Kevin membuat gadis itu tersipu malu.
"Sebentar lagi ujian, setelah kelulusan nanti lo mau nerusin kuliah di mana, Vin?" tanya Kinan untuk mengusir kegugupan. Ia sebenarnya takut jika tidak akan bertemu lagi dengannya. Apalagi Kevin belum menyatakan perasaannya.
Kevin mengerutkan dahi seperti sedang berpikir keras. "Gue nggak tau, Papa bakal nyuruh gue kuliah di mana?"
"Lah, lo pengennya kuliah di mana?" tanya Kinan kembali.
Kevin mengangkat kedua bahunya dan menurunkan kembali. "Gue nggak terlalu peduli sama itu semua. Percuma, Papa pasti yang akan nyetir hidup gue," jawabnya dengan wajah datar, "terus, lo mau kuliah di mana? Nanti gue usahain untuk satu kampus sama lo?"
Kinan menunduk malu, ia sebenarnya tertegun dengan ucapan Kevin. Namun, ia tak tau apa Ibunya mempunyai simpanan untuk ia kuliah. Ini rasanya berat dan begitu menyakitkan untuk Kinan.
"Gu-gue belum tau, Vin! Be-lum kepikiran ke arah sana!" jawabnya terbata-bata.
Kevin mengangguk. "Ya udah, yang penting sekarang kita bersama aja. Nggak usah musingin masalah itu!"
Laki-laki itu memutar bola matanya melihat sekeliling. Keadaan sepi membuatnya sedikit mendekatkan wajahnya pada Kinan. Gadis itu mengigiti bibir bawahnya.
"Jangan digigiti terus bibir bawahnya! Nanti luka!" ucap Kevin dengan intonasi nada yang begitu rendah. Kinan meremas tangannya, ia melempar pandangan ke lain tempatnya. Rasanya tak sanggup melihat mata Kevin yang seperti menggodanya.
Kevin memegang kedua tangan Kinan yang entah sejak kapan terasa dingin. "Boleh nggak, gue cium bibir lo?" Mata Kinan terbelalak mendengarnya. Ia kesulitan menelan saliva. Jantungnya berdegup kencang. "Tapi, kalau lo nggak ngizinin, gue nggak akan maksa!"
Mereka terdiam dengan mata yang terus berpandangan. Kinan mengangguk malu. Ia begitu terlena dengan pesona dan perlakuan Kevin.
Kevin menyunggingkan bibir atasnya, lalu memegang kedua pipi Kinan yang kini bersiap dan memejamkan matanya. Hembusan napas mint dari mulut Kevin menyeruak masuk ke dalam indera penciuman Kinan. Tidak ada perlawanan sedikit pun dari gadis itu. Aroma stroberi dari bibir gadis itu menambah semakin memburunya penyatuan bibir mereka kali ini.
Kinan masih saja memejamkan mata pasrah walaupun dalam hatinya merasa ini tidak benar. Ini pengalaman pertamanya. Begitu menegangkan, tapi ia menyukai debaran kuat dalam dadanya.
Matanya terbuka sempurna saat mendengar bunyi bel. Ia mendorong pelan Kevin dan mengelap bibirnya yang kebas dan basah.
"Vin, udah bel! Kita kembali ke kelas!" ajaknya yang kini berdiri gugup. Kevin mengangguk lemas. Kemudian tersenyum menyeringai menatap Kinan.
Semenjak ciuman yang diberikan Kevin pada Kinan, hubungan mereka semakin lama semakin dekat. Kevin lebih sering menghabiskan waktu istirahat dan pulang sekolah bersamanya. Namun, mereka masih merahasiakan kedekatan mereka dari Alya. Bersikap seolah-olah dingin di depan sahabatnya itu setiap kali bertemu sebenarnya membuat Kinan tak enak hati. Ia seperti membohongi Alya, tapi kenyamanan saat bersama Kevin juga ia butuhkan sampai sekarang.Saat mereka pulang bersama, dari arah berlawanan tampak Rivan, teman kelas sebelah dengan wajah geram melangkahkan kaki lebar mendekati mereka. Kinan menjerit saat tonjokan keras Rivan lemparkan ke wajah Kevin dan membuat laki-laki yang dekat dengannya itu jatuh tersungkur. Ini membuat Kinan tidak bisa berdiam diri, menyaksikan Rivan yang mencengkeram kerah baju Kevin dan akan memukulnya lagi."Berhenti, Van! Lo, apa-apaan sih?" teriak Kinan yang mendorong Rivan menjauhi Kevin.“Gue tau lo siapa, Vin. Tapi jangan sesuka ha
“Lo kenapa seharian ngejauhin gue? Gue juga beberapa kali ngirim pesan, tapi nggak lo balas." Kinan membuang muka geramnya. Ia mengusap gusar bibirnya jika mengingat ciumannya dulu bersama Kevin. Begitu menjijikannya bibir laki-laki itu tidak hanya menyentuh bibirnya saja."Lo itu jahat, Vin!" teriak Kinan yang diikuti isak tangis. "Jadi selama ini lo deketin gue, cuma untuk manfaatin gue?" tanya gadis itu dengan mengangkat kedua alis.Kevin mengerutkan kening seolah bingung dengan ucapan Kinan. "Manfaatin, apa maksud lo?"Kinan menyapu air matanya dengan cepat. Ia seperti tak ingin menangis di depan laki-laki seperti Kevin. "Gue bodoh, memang bodoh. Tapi, gue nggak akan lagi tertipu sama sikap lo. Mulai sekarang
Hari berganti begitu cepat. Keinginan Kinan untuk melepas seragam dan membantu Ibunya mencari uang akan segera terwujud. Ujian berjalan dengan baik. Walaupun nilai yang didapat gadis itu tak sempurna, tapi ia puas akan usaha maksimal yang diraihnya. Kevin benar-benar menjauhi Kinan, begitu pula sebaliknya. Semua menjadi dingin. Tak ada tegur sapa. Kevin tak berubah. Ia masih saja mendekati teman wanita lain tanpa memusingkan status hubungannya. Itu yang membuat Kinan harus yakin menutup rapat pintu hatinya. Namun, apa ia bisa semudah itu? Jika setiap malam ia masih terus memikirkannya. "Nanti kita rayain kelulusan bareng, ya!" ajak Alya yang kini berjalan berdampingan dengan Kinan menuju tempat parkir. Sahabat Kinan itu memutuskan untuk kuliah di luar kota, pasti akan membuatnya rindu kebersamaan mereka selama ini. "Berdua aja?" "Sama cowok gue. Kita 'kan bakal jarang ketemu, ya?" rengek Alya dengan wajah memelas. Kinan memundurkan kepal
Ini adalah hari terakhir bagi Kinan dan semua siswa kelas dua belas. Hari perpisahan yang dihadiri oleh para wali murid juga di sebuah gedung sekolah ini. Dengan memakai kebaya berwarna abu-abu ditambah riasan wajah membuat Kinan sangat cantik. Semua tertegun padanya. Pasalnya, baru sekarang gadis itu tampil dengan begitu anggunnya. Tak terkecuali dengan Kevin yang mata elangnya terus tertuju pada Kinan. Alya dan Kinan tampak bersenda gurau dengan penampilan mereka. Ini juga hari di mana mereka akan berpisah. Menikmati waktu sembari berfoto bersama tak mereka lupakan begitu saja. Kinan yang merasa diawasi Kevin seketika dirinya canggung. Ia menarik Alya menjauh dari tempat di mana mereka berdiri dan duduk di tempat duduk yang disediakan. "Kenapa?" tanya Alya keheranan. Kinan menoleh ke arah Kevin yang ternyata masih memperhatikannya. Alya pun ikut menoleh. "Oh ... jadi lo gugup diawasi buaya itu? Takut diterkam? Atau takut masuk lubangnya lagi? Ngomong-ngomon
Hari begitu cepat berganti. Pagi ini Kinan bersiap membantu Ibunya menjual semua makanan. Ia juga tak malu memakai sepedanya berkeliling menjajakan makanan itu pada setiap orang yang ia temui. Berjualan di taman yang kebetulan ini adalah hari libur membuat dagangannya laris tak bersisa. Ia bangga akan hal ini dan tak sabar untuk segera pulang. Ia mengayuh sepedanya dengan wajah berseri. Keranjang yang kosong membuatnya sepedanya ringan dan semakin bersemangat pulang. Bernyanyi seraya melirik kiri kanan. Mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan terakhirnya kini. "Kinan!" teriak Gino yang semakin mempercepat laju motornya. Ia kemudian memelankan kecepatan motornya saat sudah di samping Kinan. Kinan memberi senyum terpaksa pada pacar sahabatnya itu. "Lo, mau kemana?" tanya laki-laki itu yang semakin mendempetnya. Kinan membuang muka, ia tak nyaman dengan semua ini. "Gue mau pulang," jawabnya singkat dengan mengayuh cepat sepedanya. "Oh ..
"Kinan ...!” Devan kembali menarik pergelangan tangan Kinan yang terus berusaha meninggalkannya. “Gue tau lo pasti bohong, ‘kan? Lo gadis baik-baik, nggak mungkin ngelakuin kayak gitu.” “Itu hanya perkiraan lo aja Van, kenyataan yang sebenarnya gue, udah nggak perawan lagi. Nggak percaya? Tanya aja sama Alya! Dia tau semua rahasia gue. Sudahlah, Van! Gue capek, mau istirahat. Jadi lo boleh pergi, bahkan lupain aja perjodohon Alya pada kita! Gue sadar diri.” Devan masih diam terpaku mendengar semua pengakuan Kinan. Gadis itu tak peduli lagi, ia membanting pintu rumahnya keras dan berlari ke dalam kamar. Panggilan dari Ibunya pun tak diindahkan. Duduk terdiam di dalam kamar, seketika membuat Kinan mengingat Kevin. Tak ada kabar darinya setelah acara perpisahan sekolah. Nomor telepon yang ia hapus dari kontaknya sedikit membuat menyesal. Apa Kevin benar-benar tak mau tau lagi dengannya? Kinan pun tak mengikuti group alumni sekolahnya dulu. Menurutnya, in
Aldo dan Gino sudah berjanjian malam ini di salah satu klub yang berada di kota ini. Menghabiskan malam di tempat hiburan ini, berkumpul bersama teman-teman mereka.Sambil menghisap kuat nikotin itu, Kevin yang kebetulan adalah teman Aldo dan Gino saat kuliah sekarang, tersenyum menyeringai saat mengetahui dua temannya itu datang.“Lama banget, kalian? Gue udah jamuran nungguinnya!” tanya Kevin dengan jari yang kini menjepit puntung rokok itu kemudian menghisapnya kembali. Asap dari rokok itu ia tiupkan pada Aldo saat duduk mendekatinya, yang membuatnya refleks memukul bahu Kevin.Ruang VIP ini seperti sudah menjadi langganan mereka bersenang-senang bersama. Kevin mematikan rokoknya yang masih setengah ke dalam asbak. Ia kemudian menuang wine ke gelas cantik berkaki yang disediakan klub ini.Saat akan meneguk minuman berwarna merah gelap itu, tiba-tiba Diva datang mengagetkan mereka bertiga. Ia berlari kecil dan duduk di antara Kevin dan Aldo.
Gino terus menelepon Kinan sepulang dari klub. Ia sudah berusaha berkali-kali mengirim pesan sejak Kinan pulang sendiri tadi siang. Namun, tak ada jawaban dari gadis itu.Waktu sudah sangat larut. Sebenarnya, Gino tak sabar untuk menemui Kinan di rumahnya. Tidak peduli apakah mengganggu atau tidak, ia mengemudikan mobilnya ke arah rumah Kinan.Ponsel yang bergetar langsung ia sambar. Berharap Kinan yang memberi balasan, tapi nyatanya Alya yang dari pagi ia abaikan. Gino melempar kembali ponselnya. Keputusan Alya untuk memilih kuliah jauh darinya, membuat Gino kesal.Tak satu dua kali, ponselnya terus mengganggu konsentrasinya menyetir. Ia terpaksa mengangkat telepon Alya. “Ada apa sih, Yang?” tanyanya dengan wajah cemberut.“Lo kemana aja? Akhir-akhir ini susah banget dihubungi,” gerutu Alya.“Gue, diperjalanan. Mau balik. Nanti kalau nyampe rumah, gue telpon lagi.” Gino langsung mematikan ponsel dan membantingny