Share

Sebungkus Nasi

Kinan melirik tajam ke arah Kevin dan teman wanitanya. "Kayaknya, nanti malam gue nggak bisa! Lupain aja janji lo itu!" Kinan menggandeng tangan Alya keluar dari kelas.  Ini sangat menyakitkan bagi perasaannya.

Mereka melangkahkan kaki lebar menuju tempat parkir. Alya tersenyum semringah melihat sahabatnya sadar akan keburukan Kevin. Mereka jalan bergandengan mengambil motor Alya.

"Nah gitu dong, Kin! Jangan gampang kegoda sama cowok suka nemplok sana sini kayak Kevin!" sindir Alya yang kini sudah mengendari motor dan memboncengnya.

"Gue itu nggak kegoda, cuma ngerespons. Akhir-akhir ini dia baik banget. Dia selalu ngehibur, nemenin gue ...."

"Dan lo, nyaman sama itu semua, 'kan? Akhirnya, lo naruh hati sama kebaikannya," sambar Alya. Kinan berdecak kesal. "Dia itu ngelakuin kayak gitu, nggak cuma sama lo, Kin! Tapi, hampir semua cewek," lanjutnya lagi.

Kinan hanya terdiam dengan wajah cemberut. Ia tau kenyataan itu. Ingin sekali menutup rapat hatinya untuk Kevin. Ia berniat saat itu juga untuk tidak menghiraukan laki-laki itu.

Sepulang di rumahnya. Kinan beristirahat sebentar, ia membaringkan tubuhnya di ranjang. Angin sepoi-sepoi membuat matanya semakin berat. Pelajaran yang berat tadi sekolah membuat otaknya berpikir keras.

Kinan terlonjak saat ponselnya berbunyi. Telepon dari Kevin ia matikan. Gadis itu membanting ponselnya di ranjangnya. Melihat jam yang menggantung di dinding, ini saatnya ia harus mengambil titipan makanannya di warung-warung.

"Maaf Bu! Aku tadi ketiduran." Kinan berlari keluar rumah. Ibunya menggelengkan kepala melihatnya. Kinan mengambil sepedanya dan mengayuh dengan cepat.

Sesampainya di warung, ia berharap banyak jika makanan yang dititipkan habis. Namun, kenyataan berkata lain. "Masih sisa kue sama nasi bungkusnya, Kin!" ucap pemilik warung dengan wajah datar.

Kinan memberi senyum setengah. "Nggak apa-apa kok, Bu!" Gadis itu mengambil sisa makanan yang tak terjual, lalu memasukkannya dalam keranjang. Mengayuh sepedanya dari warung ke warung lainnya. Sesekali ia menitihkan air mata, begitu sulitnya untuk mencari uang membuatnya teringat dengan Ayahnya.

Makanan yang masih banyak membuatnya hampir putus asa. Semua ini bahkan belum mengembalikan modal awalnya. Jika dimakan sendiri pun tidak akan habis.

Akhirnya, Kinan memberikan pada para pemulung yang ia temui di jalan. Menyisakan beberapa saja untuk dimakan bersama Ibunya. Ini membuat perasaannya lebih baik dan tenang. Senyum bahagia dari mereka yang mampu mengembalikan semangat Kinan.

Kinan kembali mengayuh sepedanya pulang ke rumah. Sebuah mobil tiba-tiba menghadangnya. Kinan mengerem mendadak sepedanya dan mengumpat pengendara mobil yang hendak keluar membuka pintunya itu.

"Kinan ...!" teriak Kevin yang semakin membuat Kinan kesal. Laki-laki itu membanting pintu mobil dan berlari kecil mendekatinya. "Dari mana, lo? Masih panas main sepeda."

"Itu bukan urusan lo!" ketusnya dengan memutar setir sepeda dan berniat pergi dari Kevin.

Kevin menahan setir sepedanya. "Lo kenapa, sih? Gue salah apa?"

Kinan hanya terdiam, ia juga bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin harus berkata jika ia cemburu melihatnya berduaan dengan Runa di kelas tadi. Kinan sadar, Kevin tidak pernah menembaknya. Mereka hanya berteman tidak lebih dari itu.

Gadis itu masih menunduk. Kemudian ia mengangkat kepala. "Lo nggak salah kok, gue lagi pengen sendiri aja."

"Itu apa?" tanya Kevin yang melihat keranjang Kinan yang masih ada beberapa kue dan nasi yang tersisa sedikit.

"Oh ... ini makanan yang nggak laku. Gue, titipin ke warung-warung tadi."

"Boleh gue beli, nggak? Kebetulan gue belum makan dari tadi pulang sekolah. Perut gue laper!" Kevin mengambil satu kue di keranjangnya, "berapa harganya?" timpalnya lagi. Ia lalu membuka dan langsung memakan kue itu.

"Nggak usah bayar! Makanlah!" jawab Kinan dengan menekuk wajahnya. Setelah menghabiskan satu kue, Kevin mengambil kembali sebungkus nasi yang ada di kerangjang sepedanya. "Itu hanya nasi bungkus, memangnya lo doyan?" sindir Kinan.

"Gue, suka nasi bungkus!"

Kinan menyunggingkan bibir atasnya. "Nggak usah maksa suka. Itu bukan makanan orang kayak lo. Nanti, sakit perut lagi."

"Kalau sakit perut, gue bakal minta pertanggung jawaban dari lo!" Gadis itu mengernyit. "Duduk situ dulu, temani gue makan!" Kevin menunjung sebuah kursi di bawah pohon dan menggandeng Kinan.

Laki-laki itu begitu lahap memakan nasi bungkus itu. Kinan mengerutkan kening melihatnya. Baru kali ini melihat Kevin seperti orang kelaparan yang belum makan beberapa hari. Begitu menggemaskan. Ia menggelengkan kepalanya tiga kali dan membuang muka.

"Ini sangat enak," ucapnya dengan mulut penuh.

"Biasa aja! Nggak perlu memuji berlebihan. Nyatanya semua orang nggak beli. Berarti memang rasanya biasa. Lagi pula, kenapa sampai nggak makan? Apa, nyokap lo nggak masak?"

Kevin menghentikan makannya. Ia menaruh nasi yang tersisa sedikit di sampingnya. Kinan yang melihat raut wajah Kevin sedih, ikut terdiam. Apa ada yang salah dengan pertanyaannya.

"Gue, udah nggak punya nyokap," ucap Kevin dengan wajah tegang dan menatap Kinan.

"Maaf. Gue nggak tau. Nyokap lo udah meninggal?" tanya Kinan dengan ragu. Ia tak enak hati tapi sangat penasaran.

Kevin menggelengkan kepalanya. "Nyokap ninggalin gue sejak kecil."

"Haah!" Kinan ternganga kemudian menutup mulutnya. "Maaf ya, Vin! Gue nggak tau!"

Kevin tersenyum dengan memamerkan lesung pipinya kembali. "Lo, nggak salah kok. Kenapa harus minta maaf?" Ia mengambil nasi bungkus di sampingnya dan memakannya kembali.

Kinan masih penasaran. Namun, sepertinya itu bukan urusannya. Ia juga tak ingin membuat Kevin bersedih tentang pertanyaan konyolnya.

Setelah Kevin menghabiskan satu bungkus nasi itu, mereka masih terus bercengkrama. Hati gadis itu luluh kembali, karena bersama Kevin benar-benar membuat hatinya tenang. Bahkan, masalah tadi siang pun begitu cepat Kinan lupakan.

"Jadi, gimana? Nanti malam gue jemput, ya?" Kinan mengigiti bibir bawahnya. Ia ragu tapi hatinya seperti tak bisa menolak tawaran itu. "Atau gini aja, gue minta izin sama nyokap lo sekarang, gimana?"

"Ah ... em!" Kinan tidak mampu menjawabnya.

Kevin langsung menarik tangan Kinan dan mengajaknya pulang. Laki-laki itu terus membuntutinya dari belakang sampai tiba di halaman rumahnya.

Kinan menyilahkannya masuk. Ibunya yang sudah mengenal Kevin karena laki-laki itu sering main ke rumah, langsung menyambutnya. Kevin mencium tangan Ibu Kinan. Sikap sopannya membuat Kinan semakin tertegun.

"Tante, apa boleh nanti malam aku ngajak Kinan keluar makan? Aku sudah janji dulu akan mentraktirnya!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status