Share

Aku Rela Jadi Pengganti
Aku Rela Jadi Pengganti
Penulis: Nasreen

1. Aku Mau Mati Saja

“Awas! Mas,” pekik Azura, yang posisinya menghadap Hanan yang akan keluar dari mobil. Ia melihat jelas ada mobil dari arah belakang Hanan yang mendekat.

Hanan yang terkejut dan bingung mendengar teriakkan Azura. Bukannya menuruti untuk menghindar. Malah berbalik mencari tau apa yang membuat istrinya berteriak. Hanan tidak dapat mengelak lagi mobil itu sudah menabrak tubuhnya dengan keras.

BRAKK

Bunyi hantaman benda keras membuat seluruh pengunjung taman berhamburan keluar. Semua berlarian mencari asal suara itu datang. Semua mata terperangah ke depan. Mereka diam kaku menatap puing-puing mobil berserakan. Bercak darah menempel di aspal. Langit berwarna hitam gelap menambah kengerian sore ini. Semua terjadi begitu cepat tanpa disangka.

Mobil truk baru saja menabrak mobil putih yang tengah parkir di pertigaan jalan. Melihat hal itu salah satu orang sibuk menghubungi ambulans dan polisi.

Terdengar suara rintihan minta tolong dari dalam mobil.

“Tolong!”

Tubuh Azura terkulai lemas, kepala bagian belakang tertancap sepihan kaca mobil. Darah segar pun membasahi sekitar mobil.

Beberapa Orang bergegas membuka pintu mobil yang kacanya sudah pecah semua. Mereka segera mengangkat tubuh Azura yang ambruk. Kemudian di dudukan tidak jauh dari tempat kejadian.

“Tolong, suami saya.” Azura memohon pada seorang pria berbadan gempal yang tadi menolongnya.

Azura mencoba meraih ujung serpihan kaca yang menancap di belakang kepala. Dengan sisa tenaga yang dimiliki, perlahan menarik keluar serpihan itu dari kulit kepalanya.

“Aduh!” Azura meringis kesakitan menahan luka di belakang kepala dengan telapak tangannya. Cairan kental berwarna merah pekat mengalir dari kepala menuruni pergelangan hingga sampai sikut jatuh ke tanah.

Krek!

Azura merobek ujung dress-nya lalu mengikatkan di kepala agar menghambat darah mengalir lagi.

Semua orang berusaha menolong Hanan dengan bantuan petugas polisi yang sudah datang. Posisi Hanan di tengah di apit antara kepala mobil truk dengan bagian samping mobil Hanan. Saat di keluar kondisi Hanan sangat mengenaskan dengan mata yang terpejam.

“Mas,” teriak histeris Azura. Melihat jasad yang terbujur kaku bersimbah darah di bawa masuk ke dalam mobil ambulans.

Bruk!

Azura pingsan setelah syok melihat keadaan suaminya.

Azura di larikan ke rumah sakit ‘Kasih Bunda’. Sesampai di sana ia segera di operasi. Karena cedera serius di kepala.

Operasi itu di pimpin Dokter Dahlia ahli saraf. Takdir sudah mengatur pertemuan Azura dan Dahlia. Takdir yang akan membawa Azura ke titik terendahnya.

Tiga jam menjalani operasi akhirnya selesai juga. Azura berhasil di selamatkan meski ia harus koma.

“Dok, ini kartu identitas pasien,” ujar suster saat Dokter Dahlia keluar dari ruang operasi.

“Apa ada keluarga yang bisa dihubungi?” tanya Dahlia, melepaskan masker yang menutupi mulutnya.

Suster sedikit menunduk dan tampak menghela napas berat.

 “Tidak ada, Dok. Korban yang bersama pasien sudah meninggal. Dari kartu identitas korban adalah suami dari Azura.” Menyerahkan informasi pasien.

“Baiklah kalau begitu. Periksa pasien 3 jam sekali, lalu kabari perkembangannya dengan saya.” Dahlia pergi meninggalkan ruang operasi.

Dua minggu Azura koma. Kondisi Azura yang kritis kian membaik. Dua hari kemudian Azura bangun dari tidur panjangnya.

Perban di kepalanya pun telah di buka. Jahitan di bagian belakang sudah mengering bersama luka ringan lainnya. Luka hati tak mudah mengering meski waktu terlampaui.

“Dok, kenapa kaki saya tidak bisa di gerakan? Dan di mana suami saya Dok?” tanya Azura, melihat isi kamar yang kosong. Saat Azura sadar hanya ada perawat penjaga menemani. Tak ada tanda kehadiran Hanan dalam kamar ini.

Dahlia bingung harus menjelaskan dari mana dulu. Hatinya berdesir, sesak di dada dan bibir berat untuk berucap yang sebenarnya. Dahlia mengambilnya udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru-parunya.

Barulah Dahlia berkata, “Begini, Azura cedera kepala yang kamu alami sangat serius. Sehingga memicu otak tidak memberi sinyal untuk merespon kaki kamu bergerak. Tapi kamu tenang saja dengan terapi rutin, kamu akan sembuh,” terang Dahlia penuh hati-hati.

“Di mana suami saya Dok? Apa dia di rawat di sini juga atau dia sudah sembuh?” terus bertanya mengabaikan kondisinya sendiri.

Kepingan rindu melanda relung hati. Mencari si pemilik dari separuh jiwa Azura.

“Soal itu ....” Dahlia ragu berkata, “Pasien yang bernama Hanan meninggal di tempat.” Dahlia tak kuasa menahan sedih.

Deg!

Denyut jantung Azura melemah mendengar penjelasan Dokter Dahlia. Tubuhnya merosot di ranjang pasien. Baru tersadar dari koma, Azura harus menelan kenyataan pahit yang bertubi-tubi datang menderanya.

“Tidak!” pekik Azura, meremas sprei biru polos. Mengutuk si pembuat takdir.

Bulir bening itu tumpah ruah, deras membasahi pipi chubby Azura. Suara raungan keras bergema hingga terdengar mengiris-iris hati. Bagi siapapun yang mendengarnya.

“Aku mau mati! Tiada guna hidup tanpa dia. Yah, mati lebih baik.” teriak frustasi Azura, berusaha meraih pisau buah di samping ranjang.

“Tenang, Azura semua sudah takdir. Tidak ada yang bisa melawan takdir Tuhan. Cobaan yang datang tidak akan melampaui kemampuan umatnya. Percayalah itu.” Dahlia berusaha menguatkan Azura.

“Jangan mendekat atau aku akan melukai pergelangan tanganku.” Azura menodongkan pisau ke arah Dahlia.

Sekalipun ujung pisau mengores kulit putih sakitnya tak seberapa. Bagai raga tanpa jiwa yang saling terhubung satu sama lain. Seperti bunga yang layu setelah kemarau panjang.

“Turunkan pisaunya, Azura. Saya janji kamu akan sembuh dan dapat berjalan kembali. Asal kamu mau ikut terapi dengan rutin.“ Dahlia mencoba membujuk Azura. Walau ia tau itu tak akan berhasil.

“Buat apa aku hidup? Jika pada akhirnya semua orang pergi meninggalkan aku sendirian di dunia kejam ini.” Azura menempelkan pisau itu ke pergelangannya. Sekali hentak saja sudah bisa dipastikan darah akan bercucuran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status