“Awas! Mas,” pekik Azura, yang posisinya menghadap Hanan yang akan keluar dari mobil. Ia melihat jelas ada mobil dari arah belakang Hanan yang mendekat.
Hanan yang terkejut dan bingung mendengar teriakkan Azura. Bukannya menuruti untuk menghindar. Malah berbalik mencari tau apa yang membuat istrinya berteriak. Hanan tidak dapat mengelak lagi mobil itu sudah menabrak tubuhnya dengan keras.
BRAKK
Bunyi hantaman benda keras membuat seluruh pengunjung taman berhamburan keluar. Semua berlarian mencari asal suara itu datang. Semua mata terperangah ke depan. Mereka diam kaku menatap puing-puing mobil berserakan. Bercak darah menempel di aspal. Langit berwarna hitam gelap menambah kengerian sore ini. Semua terjadi begitu cepat tanpa disangka.
Mobil truk baru saja menabrak mobil putih yang tengah parkir di pertigaan jalan. Melihat hal itu salah satu orang sibuk menghubungi ambulans dan polisi.
Terdengar suara rintihan minta tolong dari dalam mobil.
“Tolong!”
Tubuh Azura terkulai lemas, kepala bagian belakang tertancap sepihan kaca mobil. Darah segar pun membasahi sekitar mobil.
Beberapa Orang bergegas membuka pintu mobil yang kacanya sudah pecah semua. Mereka segera mengangkat tubuh Azura yang ambruk. Kemudian di dudukan tidak jauh dari tempat kejadian.
“Tolong, suami saya.” Azura memohon pada seorang pria berbadan gempal yang tadi menolongnya.
Azura mencoba meraih ujung serpihan kaca yang menancap di belakang kepala. Dengan sisa tenaga yang dimiliki, perlahan menarik keluar serpihan itu dari kulit kepalanya.
“Aduh!” Azura meringis kesakitan menahan luka di belakang kepala dengan telapak tangannya. Cairan kental berwarna merah pekat mengalir dari kepala menuruni pergelangan hingga sampai sikut jatuh ke tanah.
Krek!
Azura merobek ujung dress-nya lalu mengikatkan di kepala agar menghambat darah mengalir lagi.
Semua orang berusaha menolong Hanan dengan bantuan petugas polisi yang sudah datang. Posisi Hanan di tengah di apit antara kepala mobil truk dengan bagian samping mobil Hanan. Saat di keluar kondisi Hanan sangat mengenaskan dengan mata yang terpejam.
“Mas,” teriak histeris Azura. Melihat jasad yang terbujur kaku bersimbah darah di bawa masuk ke dalam mobil ambulans.
Bruk!
Azura pingsan setelah syok melihat keadaan suaminya.
Azura di larikan ke rumah sakit ‘Kasih Bunda’. Sesampai di sana ia segera di operasi. Karena cedera serius di kepala.
Operasi itu di pimpin Dokter Dahlia ahli saraf. Takdir sudah mengatur pertemuan Azura dan Dahlia. Takdir yang akan membawa Azura ke titik terendahnya.
Tiga jam menjalani operasi akhirnya selesai juga. Azura berhasil di selamatkan meski ia harus koma.
“Dok, ini kartu identitas pasien,” ujar suster saat Dokter Dahlia keluar dari ruang operasi.
“Apa ada keluarga yang bisa dihubungi?” tanya Dahlia, melepaskan masker yang menutupi mulutnya.
Suster sedikit menunduk dan tampak menghela napas berat.
“Tidak ada, Dok. Korban yang bersama pasien sudah meninggal. Dari kartu identitas korban adalah suami dari Azura.” Menyerahkan informasi pasien.
“Baiklah kalau begitu. Periksa pasien 3 jam sekali, lalu kabari perkembangannya dengan saya.” Dahlia pergi meninggalkan ruang operasi.
Dua minggu Azura koma. Kondisi Azura yang kritis kian membaik. Dua hari kemudian Azura bangun dari tidur panjangnya.
Perban di kepalanya pun telah di buka. Jahitan di bagian belakang sudah mengering bersama luka ringan lainnya. Luka hati tak mudah mengering meski waktu terlampaui.
“Dok, kenapa kaki saya tidak bisa di gerakan? Dan di mana suami saya Dok?” tanya Azura, melihat isi kamar yang kosong. Saat Azura sadar hanya ada perawat penjaga menemani. Tak ada tanda kehadiran Hanan dalam kamar ini.
Dahlia bingung harus menjelaskan dari mana dulu. Hatinya berdesir, sesak di dada dan bibir berat untuk berucap yang sebenarnya. Dahlia mengambilnya udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru-parunya.
Barulah Dahlia berkata, “Begini, Azura cedera kepala yang kamu alami sangat serius. Sehingga memicu otak tidak memberi sinyal untuk merespon kaki kamu bergerak. Tapi kamu tenang saja dengan terapi rutin, kamu akan sembuh,” terang Dahlia penuh hati-hati.
“Di mana suami saya Dok? Apa dia di rawat di sini juga atau dia sudah sembuh?” terus bertanya mengabaikan kondisinya sendiri.
Kepingan rindu melanda relung hati. Mencari si pemilik dari separuh jiwa Azura.
“Soal itu ....” Dahlia ragu berkata, “Pasien yang bernama Hanan meninggal di tempat.” Dahlia tak kuasa menahan sedih.
Deg!
Denyut jantung Azura melemah mendengar penjelasan Dokter Dahlia. Tubuhnya merosot di ranjang pasien. Baru tersadar dari koma, Azura harus menelan kenyataan pahit yang bertubi-tubi datang menderanya.
“Tidak!” pekik Azura, meremas sprei biru polos. Mengutuk si pembuat takdir.
Bulir bening itu tumpah ruah, deras membasahi pipi chubby Azura. Suara raungan keras bergema hingga terdengar mengiris-iris hati. Bagi siapapun yang mendengarnya.
“Aku mau mati! Tiada guna hidup tanpa dia. Yah, mati lebih baik.” teriak frustasi Azura, berusaha meraih pisau buah di samping ranjang.
“Tenang, Azura semua sudah takdir. Tidak ada yang bisa melawan takdir Tuhan. Cobaan yang datang tidak akan melampaui kemampuan umatnya. Percayalah itu.” Dahlia berusaha menguatkan Azura.
“Jangan mendekat atau aku akan melukai pergelangan tanganku.” Azura menodongkan pisau ke arah Dahlia.
Sekalipun ujung pisau mengores kulit putih sakitnya tak seberapa. Bagai raga tanpa jiwa yang saling terhubung satu sama lain. Seperti bunga yang layu setelah kemarau panjang.
“Turunkan pisaunya, Azura. Saya janji kamu akan sembuh dan dapat berjalan kembali. Asal kamu mau ikut terapi dengan rutin.“ Dahlia mencoba membujuk Azura. Walau ia tau itu tak akan berhasil.
“Buat apa aku hidup? Jika pada akhirnya semua orang pergi meninggalkan aku sendirian di dunia kejam ini.” Azura menempelkan pisau itu ke pergelangannya. Sekali hentak saja sudah bisa dipastikan darah akan bercucuran.
Dahlia menyeret kakinya perlahan tanpa menimbulkan Suara. Ia tak ingin gegabah mengambil tindakan. Salah melangkah nyawa pasien bisa melayang. Mata Dahlia terus fokus menatap gerak gerik Azura. Saat Azura lengah, ini kesempatan Dahlia. Dengan cepat kilat Dahlia menepis tangan Azura yang akan mengores urat nadi dengan pisau itu. Mengeluarkan sesuatu benda panjang dengan ujungnya runcing. Azura merasa tubuhnya lemas. Pandangan mulai memudar. Pisau di genggam lepas tak terkendali jatuh ke lantai. Setelah itu Azura tidak ingat apa-apa. Dahlia menyuntikkan obat penenang pada Azura. Agar emosi Azura kembali stabil. Gadis itu baru saja sembuh. Jika di biarkan saja bisa memperburuk keadaan mental Azura. Untung cepat ditangani, jika tidak Azura bisa melukai dirinya sendiri. Saat Dahlia akan keluar dari kamar Azura. Mata Dahlia menyipit melihat satu benda yang berada di atas nakas. Desiran darah mengalir hebat di tubuhnya. Kalung dengan liontin bulan sabit deng
Ma, Apa tidak ada wanita lain? Sampai menjodohkan saya dengan seorang janda!” hinanya. Menunjuk tajam ke arah Azura. Tiba-tiba di minta pulang hanya untuk di nikahkan dengan seorang janda. Tentu ia tidak terima begitu saja. Apa dirinya tidak laku. Hingga tidak bisa menemukan seorang gadis perawan. Memalukan sekali!“Aksha, jaga mulut mu,” bentak Dahlia menahan Aksha untuk duduk kembali.“Memang benar kan,” Sindirnya menatap tajam Azura yang tidak peduli dengan ucapannya.Azura yang sejak tadi menundukkan kepala. Sudah mulai geram. Rasanya ingin melumat mulut yang tidak pernah disekolahkan. Percuma sekolah tinggi tapi mulutnya kayak kompor meleduk. Kalau bukan mau bersembunyi dari orang yang ingin menghabisi nyawanya. Azura tak akan pernah sudi.“Maaf Tante. Lebih baik batalkan saja perjodohan ini. Benar kata Aksha, Saya seorang janda tidak pantas bersanding dengan dia,” tekannya membenarkan semua ucapan Aksha pada
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Azura Angraeni binti Ruslan Adinata dengan mas kawin cincin mas dibayar tunai.” Aksha melafazkan dengan lancar. Para saksi pun berseru, “Sah!” Dahlia dan Bakhtiar tersenyum bahagia. Air mata Dahlia tak luput dari perhatian Aksha. Sedangkan Azura gamang menghadapi inipernikahan keduanya. Rela jadi pengganti atas balas budinya. Menjalani pernikahan keduanya sungguh membuatnya tersiksa. Karena hatinya tidak bisa berpaling dari mantan suaminya. Namun, di sisi lain Azura terjepit. Kebaikan Dahlia menjadikan Azura mengiyakan permintaannya. Meski begitu, dibalik semuanya. Azura bisa dekat dengan orang yang mengenal masa lalunya. Dari pengamatannya Dahlia perhatian padanya, tentu ada alasannya. Itu yang harus Azura cari tahu. Lebih ia harus membalas dendam atas kematian kedua orang tuanya. Demi hal itu , ia rela melakukan apa pun asal dendamnya terwujud. Bersembunyi saat ini cara yang bagus sebelum ia melangkah maju. “Zura.” Tepukan lembut Dahlia membuya
DOR! Aksha terbangun keringat membasahi Dahi. Suara tembakan bergema di telinga. Kala Azura mengarahkan senjata api ke padanya. Tatap kebencian tergambar jelas di wajah Azura. “Syukurlah hanya mimpi.” Mengelus dadanya. Bayangan Azura terasa nyata seperti benar terjadi. Mana mungkin Azura seberani itu, ia terbawa mimpi saja. Pikir Aksha menepis bayangan itu. Azura sibuk memasak di dapur. Menyiapkan sarapan pagi buat Aksha. Setelah selesai ia bergegas ke kamar untuk membangunkan Aksha. Rupanya Aksha sudah bangun dan kini sedang di kamar mandi. Ia segera menyiapkan segala keperluan Aksha baik itu pakaian dan perlengkapan lainnya. "Aku tidak kuat jika harus seperti ini setiap hari," batin Azura. Tiga puluh menit suaminya keluar dari kamar mandi. Dengan handuk yang masih menempel di pinggangnya. Bagian atas yang tampak polos tanpa penutupnya. Rambut yang sedikit pendek terlihat masih basah. Bahkan sisa air mandi menetes ke bahu lebar Aksha. Ia tertunduk bukan malu, tapi muak melihat
Andaikan Azura bisa ikut berbaring di dalam sana. Menyatu dengan tanah bersama jasad suaminya mungkin ada baiknya. Dulu Hanan pernah berjanji berbagi napas seumur hidup. Kenyataannya Tuhan lebih menyayangi Hanan. Memilih dia untuk pergi dari sisi Azura. Lebih baik bercerai, namun masih dapat melihat Hanan seutuhnya. Daripada berpisah dari jiwa raga Hanan untuk selamanya. Sangat menyakitkan tak dapat lagi mendengar, serta menyentuh suaminya lagi seperti dulu . “Tuhan aku mencintai dia. Tak bisakah aku ikut bersamanya? Maaf bila aku menyalahi takdir yang Engkau berikan. Tapi aku tidak bisa hidup tanpa dia,” ucap lirih Azura memeluk nisan suaminya. Cairan hangat membasahi kedua pipinya hingga lembab. Azura merogoh saku celana bagian belakang. Mengambil ponsel pintar untuk menghubungi Albert. “Pak Tua, bisa jemput aku di pemakaman Jeruk Purut?” tanya Azura lemah sembari mengelap air matanya. “Baik, Nyonya.” Albert segera turun ke parkiran menuju area pemakaman dengan mobil. Suara sera
Mobil sport berwarna putih terparkir di teras rumah. Benar, Aksha sudah pulang. Azura tergesa-gesa membuka pintu tanpa tahu dari dalam Aksha akan keluar. Sehingga ia menabrak Aksha. Bugh! “Kalau jalan mata dipakai bukan dengkul,” bentak Aksha memegang bibir yang terluka beradu dengan kening Azura. “Maaf, aku enggak tau kalau kamu mau keluar. Siapa suruh keluar nggak kasih aba-aba," jawab Azura mencibik lalu mengelus kening yang memerah. “Sakit enggak?” tanya Azura menjijit untuk menyentuh bibir bawah Aksha dengan telunjuknya. Padahal kening Azura juga sakit, tapi tidak mengaduh seperti yang Aksha lakukan. “Ya, iyalah sakit masak enggak,” kesal Aksha meringis. “Duh, kasihan. Sini nunduk dikit,” pinta Azura melihat bagian tengah bawah yang terluka, ada bercak darah yang menempel. “Mau ngapain, ah?” tanya Aksha heran disuruh menunduk. “Mau diobati enggak? Kalau gak mau ya sudah tahan sendiri sakitnya. Lagian cuma luka kecil sewotnya sudah seRT." Ia memutar bola mata malas. Azura
Azura menahan jari Aksha ketika mencekik lehernya dengan kencang. Sisa tenaga milik Azura di gunakan menendang lutut Aksha yang membungkuk setengah badan. Terus mencengkam lehernya dengan tatapan kebencian. Apa ini akhir dari hidup Azura? Apa doa Azura di pemakaman dikabulkan Tuhan? Jika iya, Azura berharap ini tidak menyakitkan. Terdengar suara samar bernada kuatir memanggil nama Azura terus menerus. “Hei, Zura bangun!” Seseorang menepuk-nepuk kedua pipi Azura. Aksha kebingungan membangunkan Azura, air mata mengalir di pipi Azura. Gadis itu terus saja mengingau tidak jelas. Tangan Azura mengepal meremas sprei seakan menahan sakit. Entah apa yang diucapkan Azura yang tersedan-sedan. "Maaf,” batin Aksha untuk kekasarannya tadi di meja makan. Tidak ada cara lain, Aksha terpaksa melakukan ini. Aksha melayang satu tamparan mendarat di pipi Azura. Efek tamparan itu menyadarkan Azura dari mimpi buruknya. “Tidak, jangan!” pekik Azura tersadar dari mimpi buruknya. Jantung Azura saling b
Siang ini dengan cuaca panas di kota Jakarta. Teriknya matahari yang seakan sejengkal kepala manusia itu bikin gerah setiap orang. Untung saja pria bermata biru itu memiliki penyejuk udara di ruangan. Setidaknya Aksha tidak akan merasa kepanasan. Terdengar suara bunyi ketukan dari luar pintu. Mengalihkan sorot mata Aksha ke arah pintu. “Masuk.” Perintahnya dengan suara bariton terdengar tegas. Pintu ruangan itu pun terbuka setelah mendapat izin dari pemiliknya. Rupanya seorang wanita cantik dengan pakaian serba minim. Berlenggok-lenggok mendekati Aksha. Memberikan senyuman yang menggoda. Aksha tidak merespon senyuman wanita itu. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Sekedar menyapa saja tidak Aksha lakukan. Wanita itu berjalan mendekati Aksha. Dia langsung merangkul Aksha dengan manja dari belakang. Melepaskan rasa rindu yang berkecamuk di dadanya. Dengan agresif, Ivana tanpa segan tangannya masuk dari cela kerah kemeja berwarna Grey itu. Menelusuri dada atletis Aksha yang sedikit terbuk