Share

2. Cari Dan Selidiki Orang itu

Dahlia menyeret kakinya perlahan tanpa menimbulkan Suara. Ia tak ingin gegabah mengambil tindakan. Salah melangkah nyawa pasien bisa melayang.

Mata Dahlia terus fokus menatap gerak gerik Azura. Saat Azura lengah, ini kesempatan Dahlia. Dengan cepat kilat Dahlia menepis tangan Azura yang akan mengores urat nadi dengan pisau itu. Mengeluarkan sesuatu benda panjang dengan ujungnya runcing.

Azura merasa tubuhnya lemas. Pandangan mulai memudar. Pisau di genggam lepas tak terkendali jatuh ke lantai. Setelah itu Azura tidak ingat apa-apa.

Dahlia menyuntikkan obat penenang pada Azura. Agar emosi Azura kembali stabil. Gadis itu baru saja sembuh. Jika di biarkan saja bisa memperburuk keadaan mental Azura. Untung cepat ditangani, jika tidak Azura bisa melukai dirinya sendiri.

Saat Dahlia akan keluar dari kamar Azura. Mata Dahlia menyipit melihat satu benda yang berada di atas nakas. Desiran darah mengalir hebat di tubuhnya. Kalung dengan liontin bulan sabit dengan permata biru di tengah. Ia kenal persis pemilik kalung ini. Berapa puluh tahun lalu Dahlia pernah melihat kalung yang sama persis seperti ini. Dahlia membalikkan liontin itu. Benar dugaan ada inisial Ar di sana.

“Apakah dia?” batinya melirik Azura yang terbaring di ranjang rumah sakit.

Dahlia terkejut saat suster penjaga masuk. Rasanya seperti ketahuan sedang mencuri. Dengan cepat Dahlia meletakkan kembali kalung itu di atas nakas.

“Ehmmm.” Dahlia mendekati suster penjaga. “Sus, tolong jaga pasien ini. Jika dia terbangun dan kembali mengamuk cepat hubungi saya,” pesan dahlia dengan tangan berada di saku jas putihnya.

“Baik, Dok.” Suster mengangguk, meletak wadah yang berisi obat-obatan.

Dahlia tampak mondar-mandir di ruang kerjanya. Ia terus berpikir dan bertanya-tanya tentang liontin itu.

“Jika gadis itu pemilik kalung itu. Aku harus berbuat sesuatu, jangan sampai orang lain menemukan dia.” Dahlia duduk. “ Tapi bagaimana caranya.” Dahlia menengadah tangan di dagu runcing miliknya. Memikirkan cara menahan Azura berada di sekitarnya

Mulut Dahlia melengkung membentuk senyuman sempurna. “Aku tahu harus berbuat apa,” ucap Dahlia berkata sendiri.

Enam bulan berlalu dengan cepat. Cuaca yang mendung beransur cerah, menyinari wajah Azura di jendela.

 Sesuai janji dokter Dahlia, Azura sudah bisa berjalan kembali dengan ke dua kakinya. Kini Azura tidak mau murung lagi atau membuat seluruh suster di rumah sakit ketakutan saat ia mengancam bunuh diri.

“Pak tua, apa yang harus aku lakukan saat ini? Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Ingin kembali ke rumah itu, sungguh aku tak mampu.” Azura mengecup liontin di lehernya.

Pak tua yang disebut Azura adalah Albert. Seorang pria berumur 40 tahun berkebangsaan Inggris. kacamata yang selalu bertengger di hidung Albert.

Tidak ada air mata yang menetes di pipi Azura. Menangis bukan lah solusi yang baik. Azura menggengam erat liontin yang melingkar di leher indahnya. Kalung ini sumber kekuatannya sekarang.

“Ada baiknya, Nyonya bersembunyi terlebih dahulu. Kecelakaan yang menimpa Tuan dan Nyonya itu disengaja oleh oknum tak bertanggung jawab. Saya yakin ini berkaitan dengan masa lalu Nyonya.” Albert mengeluarkan pakaian dari lemari kemudian memasukkan ke dalam tas.

Sudah waktunya Azura keluar dari zona nyaman. Menata hidup ke depan. Enam bulan bukanlah waktu sebentar. Panjang sekali tanpa Hanan di sisi Azura.

“Aku tahu. Saat kecelakaan itu terjadi sebelum aku pingsan. Samar-samar ada sosok pria dengan senyum menyeringai seolah berbahagia di atas penderitaku.” Azura menusuk kasar buah apel dengan ujung pisau. Menekan kuat hingga buah apel dan piring di bawahnya terbelah dua.

Emosi Azura meledak-ledak bila ingat kejadian itu. Ingin rasa mencincang habis bibir yang berani tersenyum di atas penderitanya. Lalu akan ia buang ke lautan sebagai makanan ikan hiu.

“Cari dan selidiki orang itu,” perintah Azura pada Albert yang berdiri dengan tangan menyilang ke belakang tanpa ekspresi.

“Baik, nyonya” Angguk Albert.

“Aku pernah bertanya kepada almarhum Nenek tentang siapa kedua tuaku. Tapi, dia hanya berkata ‘Mereka sudah meninggal’ tidak ada petunjuk yang nenek tinggalkan kecuali kalung ini,” ucapnya menghela napas menyesali kepergian Sang nenek.

Terlalu banyak teka-teki masa lalu Azura. Dendam di hati kain membara dan pada suatu waktu meletuskan laharnya. Tekad Azura bulat mencari orang yang sudah mencelakai ia dan suaminya. Azura tak akan melepaskan gigitannya sampai pelaku itu meminta ampun berlutut dikaki.

“Untuk berjaga-jaga nyonya sebaik menyimpan ini.” Albert menyerahkan senjata api lengkap dengan peluru di dalamnya.

Azura mengaitkan ke dalam sarung senjata api itu di kakinya yang tertutup celana jeans hitam. Azura harus lebih berhati-hati sekarang. Banyak orang yang menginginkan nyawa Azura. Hidup atau mati.

“Pulanglah terlebih dahulu Pak tua. Aku ada janji dengan seseorang,” pintanya, berdiri.

Sepeninggal Albert, Azura menuju sebuah kafe yang tidak jauh dari rumah sakit. Tampak seseorang yang dimaksud Azura telah menunggu. Lambaian tangannya menuntun Azura ke tempat orang itu.

“Ada apa, Tante memanggil Azura ke sini?” tanya Azura, menarik kursi lalu mendudukinya.

“Tante, mau mendengarkan jawaban kamu tentang permintaan Tante tempo hari. ” tanya Dahlia, meraih tangan Azura.

Ada gelagat mencurigakan yang Azura tangkap dari Dahlia. Apa mungkin Dahlia salah satu dari mereka yang mengetahui seluk beluk dirinya? Atau ini jalan Azura untuk bersembunyi di keluarga Abrisam. Setahu Azura putra Dahlia seorang pengacara. Ini kesempatan bagus untuk berlindung dibalik hukum.

“Apa pantas Azura bersanding dengan anak Tante? Mengingat status Azura seorang janda.” Azura menundukkan kepalanya. Ada derita yang Azura sembunyikan. Azura tak mau terlihat lemah oleh siapa saja.

“Zura, kamu mau ya menikah dengan anak Tante?” mohon Dahlia menggengam erat tangan Azura.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status