Sebuah dekorasi penuh dengan bunga warna warni yang begitu indah di belakang rumah yang sengaja Fahri siapkan special untuk istri tercinta. Terdapat sebuah meja makan dengan dua kursi berhadapan.
Hidangan yang sudah siap tertutup tudung saji dan sebuah lilin yang menyala kecil membuat suasana semakin romantis.Walau hanya kejutan kecil yang di berikan oleh suaminya tapi membuat Nadhira sangat bahagia, bagaimana suaminya bisa membuat kejutan ini, sedang laki-laki itu bukanlah tipe orang yang romantis."Masya Allah Mas, kamu membuat ini semua untuk aku?" Fahri tersenyum manis sambil mengangguk, dia merasa bangga karena berhasil membuat istrinya bahagia. Fahri memang tidak bisa memberikan yang lebih untuk Nadhira karena memang dia bukan orang kaya raya yang bergelimang harta, dengan profesinya yang hanya seorang Staf, kejutan ini sudah lumayan menguras dompetnya. Namun semua ini dia lakukan semata hanya mau melihat istrinya bahagia."Gimana, apa kau suka?""Suka Mas, suka sekali. Makasih Mas, aku nggak menyangka kamu bisa romantis seperti ini," ucap Nadhira sambil matanya mulai berkaca-kaca. Dia memang sosok yang mudah sekali mengeluarkan air mata, walau dalam keadaan senang pun entah mengapa Nadhira tidak bisa membendungnya."Ayok, kita ke sana"Plak!Klenting!"Eh, Mamah," ucap Nadhira kaget.Baru saja sebentar mereka merasakan manisnya malam romantis, tak lama setelah itu dari belakang tiba-tiba saja seseorang memukul tangan Nadhira hingga sendok yang dia pegang jatuh ke lantai.Pasangan suami istri itu terhenyak saat mengetahui kalau Mamahnya kini sudah ada di dekatnya, tentu saja untuk mengacaukan acara mereka berdua karena memang bu Sita tak suka melihat Nadhira bahagia."Sedang apa kalian di sini? Fahri, kamu bilang malam ini mau menemani Mamah untuk belanja buat arisan besok! Lalu kenapa kamu malah enak-enakan di sini.Ayok kita berangkat sekarang!"Padahal tak pernah bu Sita mengajak Fahri, alsan itu sengaja dia lakukan agar Fahri segera menyudahi acaranya dengan Nadhira.
Kehidupannya yang royal membuat dia suka menghambur-hamburkan uang jatah pemberian Fahri setiap satu bulan sekali, walau demikian Nadhira tak pernah marah saat Fahri memberi uang pada ibunya.Baginya itu hal baik yang memang merupakan tanggung jawab anak terhadap orang tuanya, apalagi orang tua tinggal satu-satunya."Belanja? Tapi Mah, mobil aku lagi di bengkel, mau kesana pakai apa kita Mah?""Ya kita bisa naik taksi, kenapa? Jadi kamu nggak mau? Kamu mau membiarkan Mamah pergi sendirian?"Dari pada melihat suami dan mertuanya bersitegang maka Nadhira menyuruh Fahri untuk menuruti saja apa yang Mamahnya katakan.Melawan bu Sita juga rasanya percuma, yang ada dia akan semakin benci namun bukan dengan putranya sendiri, melainkan pada menantunya."Sudah lah Mas, lebih baik kamu antar saja Mamah belanja, aku tidak apa-apa kok."Nadhira berusaha tersenyum walau hatinya menjerit pilu. Dia cuma berharap suatu saat nanti mertuanya berubah dan bisa menerima dia sebagai menantu. "Tapi Sayang ... !""Sudah! Aku nggak apa-apa kok, pergilah Mas."Dengan berat hati Fahri pergi meninggalkan Nadhira yang masih di tempat itu seorang diri. Sebuah taksi yang mereka tumpangi melaju cepat menuju pusat perbelanjaan yang sudah di tentukan oleh mamahnya.Sesampainya di sana, mereka memilah milih barang mana yang akan di ambil, sambil sesekali melihat bandrol harga, barangnya tak sesuai maka dia letakkan kembali."Ih, mana sih baju yang cocok untukku, kenapa semuanya mahal, Ck!" gerutu bu Sita sambil meletakkan kembali baju yang sempat dia ambil di gantungan."Mah, mana baju yang akan Mamah ambil? Kenapa lama sekali."Fahri masih saja terpikir istrinya yang dia tinggal di rumah, dia bisa merasakan kalau perasaan Nadhira saat ini sedang tidak baik-baik saja."Mamah juga bingung, barang disini semuanya mahal! Ini semua salah kamu Fahri! Kenapa kamu tidak menikah dengan orang kaya saja kan hidup kita jadi enak, mau belanja apa saja tinggal ambil! Malah menikah dengan perempuan mandul itu!"Di saat bu Sita kembali memilih baju yang harganya cukup murah, tak sengaja dia bersentuhan dengan seseorang yang ada di belakang, tentu saja dia kesal sebelum melihat siapa orang tersebut. Tetapi ekspresinya berubah 80% saat tau siapa dia."Eh, kalau jalan pakai mata, bisa nggak sih! Eh, kamu? Kamu Salsa kan?"Salsabila Baskara, wanita bertubuh ramping dengan kulit putih, rambut panjang lurus berwarna coklat.
Mengenakan setelan blazer berwarna biru muda membuat dia terlihat sangat berkelas. Lama meninggalkan Jakarta membuat dia lupa siapa saja orang yang mengenalnya.
"Fahri ini Salsa, teman kuliah kamu dulu! Nak Salsa, apa kamu lupa? Dia Fahri putra Tante satu-satunya," gumamnya dengan wajah memancarkan kekaguman pada gadis yang menenteng tas branded itu."Kamu Fahri? Ya ampun Tante! Aku lupa, kalian apa kabar?"Salsa memang pernah dekat dengan Fahri dari zaman mereka kuliah dulu, hanya saja dia terpaksa menuruti orang tuanya untuk melanjutkan kuliahnya di Amerika guna untuk meneruskan bisnis Papahnya yang sudah mulai menua."Aku baik. Kamu sendiri bagaimana Sa, kapan pulang dari Amerika?""Aku baik. Baru dua hari ini aku pulang Fah, senang bertemu denganmu di sini."Terang saja Bu Sita sangat senang melihat pertemuan mereka kembali. Apalagi tau kalau Salsa ini orang kaya tentu saja membuat dia merasakan ingin sesuatu."Eh Nak Salsa, main dong ke rumah Tante, biar dekat lagi sama Fahri, seperti dulu.""Mah, apaan sih!"Fahri mengerutkan dahinya mendengar ucapan Mamahnya yang begitu antusias dengan Salsa."Em, iya Tante, kapan-kapan Salsa main ke rumah. Oiya, Tante sedang beli apa di sini?""Em, anu Nak Salsa, sebenarnya Tante em, Tante ... "Tidak perlu meneruskan kata-katanya Salsa sudah tau apa yang di maksud oleh bu Sita, karena dia tau kalau mereka bukan dari kalangan orang berada maka sedikit sulit untuk membeli barang di tempat ini."Ya sudah, Tante boleh pilih mana aja yang Tante suka, biar aku yang bayar.""Yang bener Nak?"Bu Sita membelalakkan matanya lebar-lebar, ternyata gadis itu memang tau isi hatinya saat ini, tanpa membuang waktu lama dia mengambil beberapa baju dengan harga lumayan mahal, baju-baju itu sempat dia letakkan kembali karena tak mampu membeli dan sekarang Salsa justru menyuruhnya."Mah, sudah dong! Ini sudah terlalu banyak."Sebagai seorang anak, bahkan laki-laki Fahri merasa tertampar oleh perbuatan Salsa terhadap Mamahnya, dia memang tak mampu melakukan apa yang Salsa lakukan pada bu Sita.Tiga tas kertas sudah selesai pelayan toko siapkan berisi barang-barang yang dipilih bu Sita."Ah, kamu apa sih Fahri! Nak Salsa makasih ya, kamu memang gadis yang baik. Kapan-kapan main dong ke rumah, atau nggak sekarang antar kami pulang saja bagaimana?""Tapi Mah ... !""Udah diam!"Semula Salsa hanya tersenyum melihat bu Sita yang terlihat agresif, tapi dia suka dengan sikap yang begitu terang-terangan padanya."Oh iya nggak apa-apa Tante, kebetulan aku ada perlu dengan teman, jadi nggak ada salahnya aku antar kalian pulang! Mari Tante, Fahri.""Eh, nggak usah Salsa, kami bisa pulang naik taksi kok," kekeh Fahri bersikeras tapi tak menyurutkan bu Sita untuk tetap ikut dengan Salsa."Udah lah Fahri! Lagian jam segini mana ada taksi lewat."Dari pada terus berdebat dengan Mamahnya maka lebih baik Fahri menuruti saja apa yang bi Sita inginkan, toh Salsa hanya mengantarnya pulang saja, setelah itu dia bisa lepas dari kedua wanita ini.Mereka duduk dalam satu mobil dengan posisi Salsa mempercayakan Fahri untuk menyetir, sementara dia bak seorang istri yang duduk di sampingnya. Bu Sita duduk di belakang sambil mengamati Salsa yang terlihat salah tingkah.
"Sepertinya kamu sudah sukses Salsa? Mobil kamu bagus," ucap Fahri memecah keheningan malam.
"Ah, kamu bisa aja Fah, aku biasa aja kok! Sama seperti Salsa yang dulu."Tak banyak kata yang keluar dari mulut mereka bertiga, semua sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga sampai memasuki gerbang rumah, mobil berhenti di depan rumah yang sederhana. Mata Salsa menelisik ke seluruh arah dimana tatanan rumah itu masih sama seperti yang dulu. Hanya warna cat dindingnya saja yang berubah."Nak Salsa ayok turun, kita sudah sampai."Tanpa mereka sadari seseorang melihat mereka dari balik tirai jendela rumahnya...BERSAMBUNG."Sa-Sayang! Kamu be-belum tidur?" tanya Fahri terlihat gelagapan khawatir istrinya cemburu saat tau dia dan Mamahnya pulang di antar oleh Salsa.Mendengar suara mobil berhenti di depan rumah tentu membuat Nadhira penasaran, karena dia tau kalau suami dan mertuanya pergi tanpa menggunakan mobil."Kalian baru pulang?" Astagfirullah Mah, Mamah pasti lelah. Sini biar aku bantu.""Nggak perlu! Aku bisa membawanya sendiri!"Ucapan bu Sita membuat Nadhira tersentak. Niat baiknya justru diterima kasar oleh mertuanya, pandangan Nadhira beralih ke seorang wanita yang berdiri sejajar dengan suaminya, kesal, memang kesal. Ada rasa cemburu menyelimuti hati Nadhira karena tak mengenal siapa wanita ini."Ah, Nak Salsa, ayok kita masuk."Ucapannya bertolak belakang dengan ucapannya terhadap Nadhira, pada Salsa terdengar sangat lembut sambil menggandeng tangannya masuk.Gadis itu sempat menoleh pada Nadhira saat langkahnya sejajar dengan dirinya berdiri, senyum miring Salsa lontarkan untuk Nadhira den
"Ya Allah, Mamah! Bisa nggak Mah bicara lembut sedikit. Aku kaget sekali Mah.""Kenapa? Kamu nggak suka? Aku peringatkan sama kamu. Jangan mentang-mentang kamu bekerja lantas kamu lupa pekerjaan rumah. Sebelum berangkat kamu sudah harus mengurus semuanya, apa kamu mengerti Nadhira?"Tak perlu bu Sita mengatakan itu Nadhira sudah tau, bahkan cara berpikirnya sudah lebih jauh darinya. Tak biasanya mertuanya itu bangun jam segini, biasanya dia selalu bangun jika sarapan sudah tersaji di atas meja. Bau wangi makanan seolah menuntun dia untuk melangkahkan kakinya ke meja makan, tetapi saat ini bu Sita bangun terlalu pagi hanya untuk mengingatkan Nadhira."Iya Mah, aku sudah tau kok. Mamah nggak usah khawatir, sebentar lagi sarapan siap. Aku masak dulu."Wanita tua itu kembali masuk ke kamarnya yang membuat Nadhira menggelengkan kepalannya, heran dengan sikap mertuanya yang tak pernah suka pada dirinya sebaik apapun dia."Alhamdulillah sudah siap. Lebih baik aku panggil Mas Fahri untuk sar
"Alhamdulillah, akhirnya aku sampai juga di sini, Bismillah hari ini aku mulai bekerja."Dengan penuh keyakinan Nadhira mulai memasuki Medical Center. Beberapa perawat mengucapkan salam kepadanya, begitu juga dengan beberapa Dokter yang lain juga turut mendekati. Kedatangannya di sini serasa membuat semuanya bersemangat, tak sedikit pula yang merasa ingin jadi temannya."Selamat siang, kamu Dokter Nadhira kan? Perkenalkan aku Siska.""Dan aku Anita," ujar mereka berdua sambil mengulurkan tangan, mengajak Nadhira bersalaman."Eh, iya aku Nadhira! Senang berkenalan dengan kalian, Siska, Anita."Kedua perawat itu memang sangat ramah, bukan hanya pada Nadhira saja, tetapi pada siapa saja yang baru datang meraka selalu mengajaknya berkenalan.baru beberapa menit mengenal mereka, Nadhira sudah merasa sudah cocok, bahkan merasa sangat dekat seperti bertahun-tahun mengenal.Sikap mereka yang suka bercanda dan terlihat santai membuat ketiga perempuan itu terlihat begitu akrab."Eh Nad, kamu pa
"Papah! Aku datang!"Fahri dan Pak Baskara spontan menoleh pada suara wanita yang begitu ceria sambil membuka pintu. "Hei Sayang! Syukurlah kamu datang ke sini anak Papah?"Tapi beda halnya dengan Pak Baskara, Fahri dan Salsa justru saling pandang satu sama lain, mereka tak menyangka kalau akan di pertemukan kembali di perusahaan ini. "Salsa? Papah? Jadi ... !" gumam Fahri dalam hati. Dia tak tau kalau Pak Baskara kini sedang mengamati tingkah lakunya sekarang."Kamu kenapa Fahri? Sepertinya ada yang sedang kamu pikirkan?" ujar Pak Baskara yang melihat Fahri sontak termenung, dia mengira kalau Stafnya itu terpesona dengan putri kesayangannya.Secara fisik memang Salsa sangat menarik, tak salah jika siapa saja mengagumi kecantikannya seperti yang di bayangkan oleh Pak Baskara saat ini pada Fahri."Eh, nggak! Nggak apa-apa Pak. Maaf, aku ... !""Ini Salsabila, putri saya, dia baru pulang dari Amerika kemaren. Salsa, perkenalkan ini Staf terbaik Papah, Fahri."Senyum merekah dari bibir
"Lakukan Lab, nanti hasilnya berikan padaku, Anita." "Baik Dokter." "Aduh, ini udah sore, lebih baik aku pulang sekarang," sambung Nadhira sambil melihat benda bulat melingkar di pergelangan tangannya. Bisa di bayangkan bagaimana jika dia sampai terlambat sampai di rumah, mertuanya akan semakin gemas mengejeknya memperalat profesinya untuk menjatuhkan dia di hadapan suaminya. Tak perduli apakah Anita dan Siska sudah selesai mencacat semua keluhan pasien, Nadhira bergegas pergi. Berjalan begitu cepat sampai tak sadar kalau di depan ada orang yang sedang berjalan berlawanan arah dengannya. Sama halnya dengan Nadhira, Dokter Nathan pun berjalan sambil melihat proposal yang di tunjukan oleh Asistennya sampai mereka tak sengaja bertabrakan. "Aduh!" Pria dingin itu hanya melihat sesaat pada wanita yang meringis sambil menyentuh bahunya. "Dokter Nathan! Eh, maaf Dok, saya tidak sengaja." Berharap kalau Dokter itu membalas dengan kata yang sama namun ternyata tidak. Dia hanya pergi t
"Kenapa Mas Fahri terlihat diam, apa ada sesuatu yang dia sembunyikan dari aku."Di sela-sela makan malamnya Fahri tak sadar kalau Nadhira sedang memperhatikannya, secara diam-diam dia melirik Fahri yang makan sambil memainkan ponselnya, tak seperti biasa suaminya seperti ini. Fahri tak pernah membawa ponsel sebelumnya saat mereka makan bersama.Merasa penasaran maka Nadhira memberanikan diri untuk bertanya apa yang membuat dia sedikit berubah malam ini. Lalu apakah Fahri akan jujur menjawab pertanyaan Nadhira, atau justru berbohong karena tak ingin membuat istrinya itu cemburu."Kamu kenapa Mas? Sibuk? Kok makan sambil main hand pone?""Eh, kenapa Sayang? Nggak! Ini cuma ada meeting penting besok."Jawaban Fahri terlihat sangat gelagapan, mana mungkin dia baik-baik saja, pasti ada sesuatu yang di sembunyikan dari Nadhira sekarang."Terus kenapa kamu terlihat berbeda hari ini? Ada apa, cerita sama aku?"Bukan Fahri yang menjawab tapi justru bu Sita lah yang kembali bersuara. Tak menem
"Malam ini Ibu senang sekali Salsa, kita bisa jalan-jalan ke luar. Makasih yah kamu udah belikan Tante banyak barang belanjaan seperti ini." Fahri dan Nadhira yang masih duduk santai di depan ruang televisi di buat tercengang dengan kepulangan bu Sita dan Salsa yang membawa barang belanjaan begitu banyak. Sepertinya sengaja Salsa lakukan itu agar bu Sita senang karena dia tau bagaimana caranya membuat wanita tua itu semakin terkesan dengannya. Dengan membelikan apa yang bu Sita mau dia akan semakin mudah untuk mendekati putranya. "Fahri lihat apa yang Mamah bawa! Nak Salsa belikan Mamah barang sebanyak ini!" Dengan bangganya bu Sita memperlihatkan beberapa tas kertas berisi barang mewah yang Salsa belikan untuknya. Bahkan Salsa juga membelikan sesuatu untuk Fahri tapi sengaja tak di berikan di depan istrinya. "Fahri kenapa kamu nggak datang, padahal aku tadi kirim pesan ke nomer kamu loh. Aku pikir kamu akan datang dan kita bisa belanja sama-sama." Dari sini Nadhira teringat bun
"Eh Fahri, ini aku Salsa. Maaf kalau membuatmu kaget, Fahri."Setelah tau kalau bayang hitam itu ternyata Salsa, Fahri segera menyalakan lampu. "Salsa, kamu sedang apa malam-malam seperti ini?""Maaf Fahri, tadi aku kebelet jadi aku ke sini. Ya sudah aku kembali ke kamar sekarang."Di saat Salsa melintas di depan Fahri, kakinya yang sengaja tersandung keset yang membuatnya hampir saja terjatuh.Dengan spontan Fahri menangkap pinggang ramping gadis berambut coklat itu, tanpa sadar mata mereka saling beradu pandang untuk beberapa detik sebelum Fahri sadar kalau wanita yang dia pegang bukanlah muhrimnya."Aduh!""Eh maaf Fahri, aku tak sengaja!"Tatapan itu serasa ada yang berbeda, darah Fahri berdesir kalau menghirup aroma wangi tubuh Salsa yang dia kenal sejak dulu.Rasanya masih sama seperti saat Salsa belum pergi ke Amerika untuk kuliah di sana. "Lain kali hati-hati.""Iya Fahri, kalau aku ke sana sekarang."*****"Pagi Mas, bangun ini udah pagi. Kita Sholat subuh dulu Mas.""Hem!"