Share

Bab 2. Kenangan Masa Lalu

Sebuah dekorasi penuh dengan bunga warna warni yang begitu indah di belakang rumah yang sengaja Fahri siapkan special untuk istri tercinta. Terdapat sebuah meja makan dengan dua kursi berhadapan.

Hidangan yang sudah siap tertutup tudung saji dan sebuah lilin yang menyala kecil membuat suasana semakin romantis.

Walau hanya kejutan kecil yang di berikan oleh suaminya tapi membuat Nadhira sangat bahagia, bagaimana suaminya bisa membuat kejutan ini, sedang laki-laki itu bukanlah tipe orang yang romantis.

"Masya Allah Mas, kamu membuat ini semua untuk aku?" 

Fahri tersenyum manis sambil mengangguk, dia merasa bangga karena berhasil membuat istrinya bahagia. Fahri memang tidak bisa memberikan yang lebih untuk Nadhira karena memang dia bukan orang kaya raya yang bergelimang harta, dengan profesinya yang hanya seorang Staf, kejutan ini sudah lumayan menguras dompetnya. Namun semua ini dia lakukan semata hanya mau melihat istrinya bahagia.

"Gimana, apa kau suka?"

"Suka Mas, suka sekali. Makasih Mas, aku nggak menyangka kamu bisa romantis seperti ini," ucap Nadhira sambil matanya mulai berkaca-kaca. 

Dia memang sosok yang mudah sekali mengeluarkan air mata, walau dalam keadaan senang pun entah mengapa Nadhira tidak bisa membendungnya.

"Ayok, kita ke sana"

Plak!

Klenting!

"Eh, Mamah," ucap Nadhira kaget.

Baru saja sebentar mereka merasakan manisnya malam romantis, tak lama setelah itu dari belakang tiba-tiba saja seseorang memukul tangan Nadhira hingga sendok yang dia pegang jatuh ke lantai.

Pasangan suami istri itu terhenyak saat mengetahui kalau Mamahnya kini sudah ada di dekatnya, tentu saja untuk mengacaukan acara mereka berdua karena memang bu Sita tak suka melihat Nadhira bahagia.

"Sedang apa kalian di sini? Fahri, kamu bilang malam ini mau menemani Mamah untuk belanja buat arisan besok! Lalu kenapa kamu malah enak-enakan di sini.Ayok kita berangkat sekarang!"

Padahal tak pernah bu Sita mengajak Fahri, alsan itu sengaja dia lakukan agar Fahri segera menyudahi acaranya dengan Nadhira.

Kehidupannya yang royal membuat dia suka menghambur-hamburkan uang jatah pemberian Fahri setiap satu bulan sekali, walau demikian Nadhira tak pernah marah saat Fahri memberi uang pada ibunya.

Baginya itu hal baik yang memang merupakan tanggung jawab anak terhadap orang tuanya, apalagi orang tua tinggal satu-satunya.

"Belanja? Tapi Mah, mobil aku lagi di bengkel, mau kesana pakai apa kita Mah?"

"Ya kita bisa naik taksi, kenapa? Jadi kamu nggak mau? Kamu mau membiarkan Mamah pergi sendirian?"

Dari pada melihat suami dan mertuanya bersitegang maka Nadhira menyuruh Fahri untuk menuruti saja apa yang Mamahnya katakan.

Melawan bu Sita juga rasanya percuma, yang ada dia akan semakin benci namun bukan dengan putranya sendiri, melainkan pada menantunya.

"Sudah lah Mas, lebih baik kamu antar saja Mamah belanja, aku tidak apa-apa kok."

Nadhira berusaha tersenyum walau hatinya menjerit pilu. Dia cuma berharap suatu saat nanti mertuanya berubah dan bisa menerima dia sebagai menantu. 

"Tapi Sayang ... !"

"Sudah! Aku nggak apa-apa kok, pergilah Mas."

Dengan berat hati Fahri pergi meninggalkan Nadhira yang masih di tempat itu seorang diri. Sebuah taksi yang mereka tumpangi melaju cepat menuju pusat perbelanjaan yang sudah di tentukan oleh mamahnya.

Sesampainya di sana, mereka memilah milih barang mana yang akan di ambil, sambil sesekali melihat bandrol harga, barangnya tak sesuai maka dia letakkan kembali.

"Ih, mana sih baju yang cocok untukku, kenapa semuanya mahal, Ck!" gerutu bu Sita sambil meletakkan kembali baju yang sempat dia ambil di gantungan.

"Mah, mana baju yang akan Mamah ambil? Kenapa lama sekali."

Fahri masih saja terpikir istrinya yang dia tinggal di rumah, dia bisa merasakan kalau perasaan Nadhira saat ini sedang tidak baik-baik saja.

"Mamah juga bingung, barang disini semuanya mahal! Ini semua salah kamu Fahri! Kenapa kamu tidak menikah dengan orang kaya saja kan hidup kita jadi enak, mau belanja apa saja tinggal ambil! Malah menikah dengan perempuan mandul itu!"

Di saat bu Sita kembali memilih baju yang harganya cukup murah, tak sengaja dia bersentuhan dengan seseorang yang ada di belakang, tentu saja dia kesal sebelum melihat siapa orang tersebut. Tetapi ekspresinya berubah 80% saat tau siapa dia.

"Eh, kalau jalan pakai mata, bisa nggak sih! Eh, kamu? Kamu Salsa kan?"

Salsabila Baskara, wanita bertubuh ramping dengan kulit putih, rambut panjang lurus berwarna coklat.

Mengenakan setelan blazer berwarna biru muda membuat dia terlihat sangat berkelas. Lama meninggalkan Jakarta membuat dia lupa siapa saja orang yang mengenalnya.

"Fahri ini Salsa, teman kuliah kamu dulu! Nak Salsa, apa kamu lupa? Dia Fahri putra Tante satu-satunya," gumamnya dengan wajah memancarkan kekaguman pada gadis yang menenteng tas branded itu.

"Kamu Fahri? Ya ampun Tante! Aku lupa, kalian apa kabar?"

Salsa memang pernah dekat dengan Fahri dari zaman mereka kuliah dulu, hanya saja dia terpaksa menuruti orang tuanya untuk melanjutkan kuliahnya di Amerika guna untuk meneruskan bisnis Papahnya yang sudah mulai menua.

"Aku baik. Kamu sendiri bagaimana Sa, kapan pulang dari Amerika?"

"Aku baik. Baru dua hari ini aku pulang Fah, senang bertemu denganmu di sini."

Terang saja Bu Sita sangat senang melihat pertemuan mereka kembali. Apalagi tau kalau Salsa ini orang kaya tentu saja membuat dia merasakan ingin sesuatu.

"Eh Nak Salsa, main dong ke rumah Tante, biar dekat lagi sama Fahri, seperti dulu."

"Mah, apaan sih!"

Fahri mengerutkan dahinya mendengar ucapan Mamahnya yang begitu antusias dengan Salsa.

"Em, iya Tante, kapan-kapan Salsa main ke rumah. Oiya, Tante sedang beli apa di sini?"

"Em, anu Nak Salsa, sebenarnya Tante em, Tante ... "

Tidak perlu meneruskan kata-katanya Salsa sudah tau apa yang di maksud oleh bu Sita, karena dia tau kalau mereka bukan dari kalangan orang berada maka sedikit sulit untuk membeli barang di tempat ini.

"Ya sudah, Tante boleh pilih mana aja yang Tante suka, biar aku yang bayar."

"Yang bener Nak?"

Bu Sita membelalakkan matanya lebar-lebar, ternyata gadis itu memang tau isi hatinya saat ini, tanpa membuang waktu lama dia mengambil beberapa baju dengan harga lumayan mahal, baju-baju itu sempat dia letakkan kembali karena tak mampu membeli dan sekarang Salsa justru menyuruhnya.

"Mah, sudah dong! Ini sudah terlalu banyak."

Sebagai seorang anak, bahkan laki-laki Fahri merasa tertampar oleh perbuatan Salsa terhadap Mamahnya, dia memang tak mampu melakukan apa yang Salsa lakukan pada bu Sita.

Tiga tas kertas sudah selesai pelayan toko siapkan berisi barang-barang yang dipilih bu Sita.

"Ah, kamu apa sih Fahri! Nak Salsa makasih ya, kamu memang gadis yang baik. Kapan-kapan main dong ke rumah, atau nggak sekarang antar kami pulang saja bagaimana?"

"Tapi Mah ... !"

"Udah diam!"

Semula Salsa hanya tersenyum melihat bu Sita yang terlihat agresif, tapi dia suka dengan sikap yang begitu terang-terangan padanya.

"Oh iya nggak apa-apa Tante, kebetulan aku ada perlu dengan teman, jadi nggak ada salahnya aku antar kalian pulang! Mari Tante, Fahri."

"Eh, nggak usah Salsa, kami bisa pulang naik taksi kok," kekeh Fahri bersikeras tapi tak menyurutkan bu Sita untuk tetap ikut dengan Salsa.

"Udah lah Fahri! Lagian jam segini mana ada taksi lewat."

Dari pada terus berdebat dengan Mamahnya maka lebih baik Fahri menuruti saja apa yang bi Sita inginkan, toh Salsa hanya mengantarnya pulang saja, setelah itu dia bisa lepas dari kedua wanita ini.

Mereka duduk dalam satu mobil dengan posisi Salsa mempercayakan Fahri untuk menyetir, sementara dia bak seorang istri yang duduk di sampingnya. Bu Sita duduk di belakang sambil mengamati Salsa yang terlihat salah tingkah.

"Sepertinya kamu sudah sukses Salsa? Mobil kamu bagus," ucap Fahri memecah keheningan malam.

"Ah, kamu bisa aja Fah, aku biasa aja kok! Sama seperti Salsa yang dulu."

Tak banyak kata yang keluar dari mulut mereka bertiga, semua sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga sampai memasuki gerbang rumah, mobil berhenti di depan rumah yang sederhana. Mata Salsa menelisik ke seluruh arah dimana tatanan rumah itu masih sama seperti yang dulu. Hanya warna cat dindingnya saja yang berubah.

"Nak Salsa ayok turun, kita sudah sampai."

Tanpa mereka sadari seseorang melihat mereka dari balik tirai jendela rumahnya...

BERSAMBUNG.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status