Share

Fans

Sena tak lagi membalas pesan terakhir Reno. Rasanya menyebalkan membaca nama Adit dalam obrolan mereka. Semua keriangan dari obrolan sebelumnya menjadi lenyap seketika.

“Loh, anak Mama kenapa?” tanya Mama Sena.

Sena baru saja menuruni tangga manakala Mama menyapanya. Ia memilih tak menjawab, membiarkan pertanyaan-pertanyaan Mama mengema begitu saja.

Di meja makan kini telah terhidang jus wortel dan tomat. Sejak didiagnosis menderita anemia, Mama selalu menyediakan jus tersebut di meja sarapan. Ia tak mau Sena pingsan tiba-tiba kembali saat sedang melakukan kegiatannya yang padat.

“Drama yang terakhir sudah hampir kelar, kan, Sena?” Mami berhenti menyesap teh dan memandang wajah putri semata wayangnya.

Sena mengernyit saat menelan tiga tegukan jus, meletakkannya pelan. “Ya, Ma.”

“Kuliah kamu gimana?”

Kesibukan yang padat setelah memenangkan ajang model dan menerima banyak tawaran, membuat Sena memang mengajukan cuti setelah diterima di perguruan tinggi.

“Mama nggak mau kamu jadi bodoh setelah jadi artis loh, Sen.” Mata Mama mengerling mengingatkan.

Saat Sena mengatakan pada Mama ingin menjadi artis, orang tu tunggalnya tersebut mengajukan syarat. Sena tidak boleh berhenti untuk melanjutkan Pendidikan apapun yang terjadi.

“Iya, Ma, Sena tahu.”

Mama berusaha menyembunyikan senyumnya. Namun, mau tak mau Sena dapat melihatnya juga.

Sebagai salah satu alasan Sena tetap kuat, ia tak mau melihat Mama bersedih. Ia menyaksikan sendiri bagaimana Mama menangis dan bertanya pada semua orang apa kesalahannya hingga diperlakukan sangat buruk. Senam au membuktikan pada Mama bahwa ia sama sekali tak terpengaruh dengan masa lalu, makanya saat salah satu para pencari bakat itu menemui ia langsung mengiyakan permintaan mereka.

“Rayna bisa menggurus semuanya, kan?” tanya Mama.

Rayna yang baru saja muncul dengan buku jadwal terpana, tidak tahu sedang ikut campur dalam urusan apa.

“Urus apa ya, Bu?” tanyanya.

Matanya melirik Sena meminta bantuan. Namun, orang yang dilirik seperti tak peduli denga napa yang terjadi.

Sena kini tengah memaksa dirinya menghabiskan jus. Ia menjejalkan roti tawar lekas saat isi gelas pindah ke dalam kerokongannya.

“Atur jadwal Sena supaya tak terlalu padat. Sena udah ketinggalan satu tahun loh.”

Rayna langsung berpikir keras, apa yang Sena tinggalkan selama satu tahun penuh. Begitu tahu, mulutnya terbukan dan membentuk huruf O tanpa suara.

“Siap, Bu. Pasti akan saya atur dengan baik.”

Mama Sena mengangguk lega. Ia mulai menyendok sarapan yang terabaikan dan nyaris dingin.

***

Sena tidak datang pada acara perkenalan kampus yang lebih dikenal sebagai OSPEK. Setelah mendaftar secara mandiri, ia lebih disibukan dengan tawaran syuting dan pemotretan sehingga tanpa pikir panjang mengajukan cuti walau belum sekali pun mengikuti kelas.

Hari ini adalah pertama kalinya Sena datang. Ia ditemani Rayna dan sopir pribadi yang selalu siap mengantar.

Ia mengenakan blouse longar, celana jin hitam, dan topi—rambutnya telah diikat ekor kuda dan Mama berteriak histeris melihat ikatan itu tadi di rumah. Walau sudah tampil tanpa make up dan terkesan seperti anak jalanan, tak disangka masih ada yang mengenali Sena.

Saat kakinya melintasi lorong kelas setelah dari ruang dekan, mata-mata kagum mulai terpancar. Ia sudah sendirian. Rayna tak bisa lagi mengiringi langkah Sena. Walau sudah terbiasa, tetapi Sena tetap saja merasa jengah. Sesekali ia melirik mata-mata yang ingin tahu.

Andai aku masuk sejak tahun lalu, sekarang tatapan seperti itu pasti sudah berkurang, gumam Sena di dalam hati.

Hal yang ia gumamkan sama sekali tidak akan menjadi kenyataan sebab pada kenyataannya kehidupan pribadinya amat menarik bagi orang lain kini. Untungnya ruang kelas yang dituju cukup sepi, hanya ada dua orang yang sedang fokus dengan buku di kursi dekat dinding kaca. Lekas Sena berjalan dan mengambil kursi di paling belakang dan menarik topi hampir menutupi wajahnya.

Sepuluh menit kemudian, para mahasiswa lain—laki-laki dan perempuan—masuk dan mengambil tempat duduk masing-masing. Mereka sama sekali tak peduli dengan keberadaan orang baru yang duduk di belakang. Untuk itu Sena sangat bersyukur. Seorang dosen masuk tak berapa lama dan hanya melirik Sena sebentar sebelum mulai pembahasan hari ini.

Sena sama sekali tak paham dengan keterangan yang disampaikan di depan. Ia harus menggulang semua dari awal dan sekarang bahkan terlambat sebulan dari jadwal seharusnya. Ia berharap memiliki seseorang yang bisa ditanya tentang study yang telah dilewatinya.

“Oke, sekian untuk hari ini. Lalu untuk Uno ….” Dosen menunjuk seorang pemuda dengan kacamata tebal yang duduk di depan. “Kamu bantu teman baru kalian yang pakai topi di belakang, dia sepertinya cukup bingung dengan study barusan.” Selanjutnya si dosen—Sena akhirnya tahu nama lengkapnya dari pemuda yang merupakan anak kesayangan dosen bernama Togar—melengang pergi keluar begitu saja.

Uno, anak yang disebut menoleh ke belakang, mengikuti petunjuk tak jelas dosen. Di balik kaca mata tebalnya ia berusaha mengenali satu per satu teman dan akhirnya terpana pada orang yang memakai topi. Saat para mahasiswa lain berdiri untuk kabur keluar dan menyegarkan diri, Uno mendekati Sena.

“Hai ….”

Mau tak mau Sena mengangkat kepala. Tentu saja ia menyadari ekspresi keterkejutan di wajah Uno. Mulut pemuda culun itu terbuka dan siap terpekik. Sigap, Sena membekap mulut Uno. Ia tak mau membuat kehebohan di hari pertama.

“Hussss … jangan teriak. Plisss!” pinta Sena.

Mata yang membesar memberi peringatan. Ia menunggu sampai Uno menganggup paham, baru menjauhkan tangan dari mulut temannya itu.

“Aku akan dapat masalah jika kamu berteriak.” Sena bernapas lega saat Mengetahu Uno tidak akan lagi mengambil ancang-ancang berteriak.

“Kamu … Se-Sena yang itu, kan?” Uno berbisik, bahka mendekatkan wajahnya pada Sena.

Sena menarik kepalanya cukup jauh untuk menjauhi wajah Uno. Ia lalu mengangguk dan tersenyum getir. Ia dengan cepat Sadar jika Uno adalah salah satu pengemarnya.

“Waaa … a-aku Uno. Senang kenal denganmu.” Mata Uno berair saking gembiranya.

Ia bersiap mengarang cerita pertemuan dengan Sena untuk orang-orang di kos. Mereka semua pasti akan iri padanya nanti.

“Boleh aku pinjang catatanmu?” tanya Sena ragu.

Uno langsung berlari ke depan kembali, tasnya masih tertinggal tadi di kursi. Ia mengambil sebuah buku cukup tebal dan kembali menuju Sena. Kakinya menabrak bangku dan sedikit pincang saat sampai di dekat Sena kembali.

“I-Ini, kamu ambil saja. Nanti aku bisa catat ulang. Ingatanku sangat baik.”

Uno memamerkan deretan giginya yang dipagari kawat halus.

Sena menggeleng. “Tidak, aku hanya pinjam sebentar. Setelah ini akan kukembalikan lagi padamu.” Sena membasahi bibirnya sebentar, kemudian bertanya lagi pada Uno. “Aku boleh minta nomormu. Biar bisa tahu jadwal kuliah, ya?”

Seperti kasus catatan tadi, lekas Uno mengambil ponsel dari saku celananya cepat-cepat. Ia menyerahkannya pada Sena. Ponsel itu sempat tergelincir dari jemari Uno sebelum mendarat dengan selamat di telapak tangan Sena.

“Ingat, jangan sebarkan nomor ini ke teman-temanmu yang lain, ya.” Sena berpesan dan kembali menyerahkan ponsel pada Uno.

Dengan sedikit perasaan tak enak di hati, Sena bergegas keluar. Ia kini benar-benar ingin menghilang sebab rupanya para mahasiswa sudah berkumpul di sepanjang lorong hanya untuk bisa melihatnya sekilas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status