Share

Aku Tahu Kau Tak Mencintaiku
Aku Tahu Kau Tak Mencintaiku
Penulis: Aw safitry

BAB 1

 

“Maaf, Ay. Aku … terpaksa mengingkari janjiku untuk menikahimu.”

Perempuan bermata bulat itu langsung mendongakkan kepalanya demi bisa menatap wajah laki-laki yang sudah satu tahun lebih itu mengisi hari-harinya dengan berbagai warna kehidupan.

Terkadang sedih, tapi lebih banyak warna kebahagiaan yang dia lukiskan di setiap harinya. Sikap laki-laki yang ada di hadapannya selalu baik. Sering memberi kejutan-kejutan kecil yang membuat Ayumi merasa sangat dicintai. Apalagi setelah dia tinggal di sebuah panti asuhan yang memang sangat kurang kasih sayang orang tua.

Meski ada pengurus, tapi mereka hanya melayani sewajarnya.

Ayumi yang awalnya hanya mengikutiu arus hadirnya cinta, kini dia sudah benar-benar hanyut dan pasrah. Bahkan, kini dia juga sudah sangat mencintai laki-laki yang menjadi cinta pertamanya itu.

“Ay,” panggil lirih. Tatapan matanya mengarah pada Ayumi dengan sendu. Tampak dengan jelas kesedihan di wajah laki-laki berusia dua puluh lima tahun itu.

Gadis bermata bulat itu mengerjapkan kedua matanya sesaat. Panggilan lembut lelaki itu telah membuyarkan bayang-bayang kenangan indah antara dirinya dengan laki-laki itu, Aditya.

“Maafkan aku,” lirih Aditya lagi sembari meraih jemari Ayumi dan menggenggamnya dengan lembut. Itu sentuhan fisik pertama mereka setelah satu tahun menjalin hubungan. Seakan memberitahu jika dia pun merasakan kesedihan atas keputusannya.

Ayumi tak menjawab, dia malah memalingkan wajahnya ke samping sembari melepas genggamannya. Berusaha menahan air mata yang sudah menganak sungai pada kelopak matanya agar tidak jatuh membasahi pipinya yang mulus.

Dari awal, harusnya dia sadar diri. Tak pantas baginya yang berasal dari panti asuhan itu bersanding dengan seorang dokter muda yang pastinya hidup berkecukupan, bahkan bergelimang harta. Karena ayah Aditya sendiri dalah salah satu donatur di panti asuhan tempat dia dibesarkan.

Ayumi menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Berharap bisa sedikit melegakkan dadanya yang mendadak terasa sesak. Padahal, dia tadi sudah bahagia sekali karena tiba-tiba Aditya mengajaknya makan di luar. Namun, ternyata karena ada hal penting yang akan dia utarakan.

“Mama dan Papa menginginkan aku untuk menikah dengan anak dari salah satu kolega bisnis Papa agar bisa menyelamatkan perusahan Papa yang hampir kolaps.”

Tanpa diminta, Aditya menjelaskan alasannya memutuskan hubungannya dengan Ayumi. Tampak jelas dari sorot kedua matanya yang berkaca-kaca, jika dia sangat terpaksa menjalani pernikahan ini nantinya.

Seketika itu, pertahanan Ayumi roboh. Dia sudah tidak sanggup lagi membendung air matanya yang melesat begitu saja melewati pipinya yang mulus.

Aditya memejamkan kedua matanya sesaat. Sungguh, melihat wanita yang sangat dicintainya menangis karena dirinya itu lebih menyakitkan dari apapun. Dia sangat merasa bersalah pada Ayumi.

Harusnya, dia bisa melindungi dan menjaga Ayumi dengan baik. Mengingat gadis yang dicintainya itu statusnya yatim piatu. Kedua orang tuanya bahkan entah di mana. Karena Ayumi sudah berada di panti asuhan sejak usia dua tahun.

Ingin sekali dia menyentuh pipi mulus Ayumi demi menghapus jejak air matanya. Namun, dia tak  bisa. Dia tahu itu tidak baik.

Ayumi menggeleng pelan. Dia langsung menyeka air matanya yang lolos begitu saja meski sudah dia tahan sekuat dia mampu. Terpaksa dia menarik kedua sudut bibirnya.

“Pergilah, Mas Adit. Aku tidak apa. Air mataku ini adalah air mata haru. Karena akhirnya Mas Adit mendapatkan jodoh yang sepadan. Jodoh yang sesuai dengan kriteria keluarga Mas Adit. Insyallah … aku ikhlas,” ujarnya dengan bibir sedikit gemetar saat mengatakannya.

Kening Aditya membentuk kerutan tipis seraya menatap wajah Ayumi dengan heran. Dia tahu betul bagaiamana perasaan Ayumi padanya. Sama seperti perasaannya pada Ayumi. Hanya saja, takdir tak berpihak padanya.

Dia tahu, jika Ayumi tengah menyembunyikan kesedihannya karena dirinya memutuskan hubungan dan membatalkan niatnya untuk menikahi kekasih hatinya. Tangannya kembali meraih jemari Ayumi dan menggenggamnya dengan lembut.

“Ay, percayalah … jika di hatiku hanya ada namamu. Hanya namamu yang selalu aku selipkan di dalam doa,” katanya tetap berusaha meyakinkan Ayumi jika cintanya memang masih utuh dan sebesar itu untuknya.

“Mas …,” lirihnya sambil menggelengkan kepalanya pelan. Ayumi tak tahu lagi harus berkata apa. Hatinya sudah terlalu sakit mendengar kenyataan jika lelaki yang cintainya ternyata akan menikah dengan perempuan lain dan meninggalkannya dengan sejuta kenangan yang entah dia sendiri bisa melupakannya atau tidak.

Sanggupkah dia menjalani hari-hari seperti saat sebelum kedatangan Aditya dan mengusik hatinya? Entahlah ….

Perlahan, Aditya kembali melepas genggaman tangannya. Lalu meraih paparbag yang ada di sebelah tempat duduknya. Menyodorkannya di hadapan Ayumi. “Sajadah merah ini telah menjadi saksi bisu atas air mata, juga doa-doa harapan yang aku langitkan untuk kita sebelum ini. Aku harap, kamu mau menyimpannya sebagai kenang-kenangan terakhir dariku.”

Ayumi tak langsung menerimanya. Ditatapnya dengan gamang paperbag yang berisi sajadah merah itu. Hingga dia pun meraihnya dengan tangannya yang sedikit gemetar seraya air matanya kembali jatuh membasahi pipinya yang putih dan mulus. Namun, dia segera menghapusnya. Tak ingin terlihat serapuh itu di hadapan Aditya setelah mengetahui kenyataan yang sebenarnya.

“Pakailah saat kamu menghadap Allah. Dengan begitu, hati kita akan kembali terhubung satu sama lain.”

Bagaimana bisa dia melakukan itu? Sementara Aditya sendiri akan menjadi milik wanita lain.

Meski begitu, dia tetap menerima pemberian terakhir mantan kekasihnya dan berniat menerimanya saja. Kemudian menyimpan semua kenangan indah bersama dengan Aditya dengan rapat-rapat.

Karena setelah ini, mungkin dia akan berusaha melupakan Aditya dan segela kenangannya. Tentu saja untuk kewarasan dirinya sendiri. Karena dia tidak ingin mengingat atau bahkan menyimpan satu nama laki-laki yang telah dimiliki perempuan lain.

Dia tidak mau hatinya terus tersakiti. Ayumi sudah bertekad jika setelah ini dia akan memulai hari-harinya lagi. Karena bagaimana pun keadaannya, hidup akan terus berjalan sebagaimana takdirnya.

“Semoga bahagia dengan pernikahanmu, Mas. Tetaplah jadi laki-laki yang bertanggungjawab pada siapapun nanti yang menjadi istrimu. Buang aku jauh-jauh dari hatimu, Mas. Mulai saat ini, kita hanya masa lalu.”

***

Setelah pertemuannya dengan Aditya, Ayumi melangkahkan kakinya menuju perumahan Elit yang ada di willayah Surabaya demi memenuhi panggilan ayah angkatnya yang katanya akan membahas hal penting.

Dia pun tak bisa menghindar atau pun menolak jika ayah angkatnya sudah memberikan titah. Biar bagaimana pun, keadaannya yang sekarang jauh lebih baik juga karena hasil campur tangan laki-laki yang kini usianya memasuki kepala lima.

Ayumi merasa berhutang budi. Sehingga untuk membalas semua kebaikan Hadi Wijaya, dia pun akan patuh dengan segala perintahnya. Asalkan itu baik dan tidak melarang syairat agama.

“Assamu’alaikum, Ayah,” sapa Ayumi dengan senyum merekah saat Hadi Wijaya sudah menunggunya di ambang pintu utama rumah dua tingkatnya. Ayumi menyalami tangan Hadi Wijaya dan mencium punggung tangannya dengan takzim, layaknya pada orang tua sendiri.

“Wa’alaikumsalam, Ay. Masuk, Nak …,” balasnya. Lalu mengajak anak angkatnya itu untuk duduk di sebuah gazebo yang ada di samping rumah tersebut, tepatnya di dekat kolam renang. Agar suasananya sedikit rileks.

“Ada hal penting apa, Ayah?” tanya Ayumi setelah mereka berbasa-basi menanyakan kegiatan Ayumi dengan sederet pekerjaan yang diberikannya di kantornya.

“Jadi, sebenarnya … Ayah berniat untuk men-“

Belum sempat Hadi melanjutkan kalimatnya, sebuah suara masuk dan menanyakan hal yang sama dengan Ayumi. Membuat Hadi dan Ayumi langsung menoleh ke arah sumber suara.

“Nah, kebetulan kalian sudah berkumpul. Sini duduk dulu, Satya. Ayah akan bicara hal penting pada kalian,” jawab Hadi sambil menatap anak semata wayangnya yang masih berdiri di ambang pintu.

Laki-laki yang memiliki brewok tipis di sekitar pipinya itu menatap sekilas pada Ayumi dengan tatapan arogannya. Kemudian berjalan melewatinya begitu saja dan duduk di sisi ayahnya.

“Ada apa memang, Yah? Kok sampai perempuan kampungan itu ada di sini?” tanyanya seraya menatap Ayumi tak suka. Membuat Ayumi menundukkan kepalanya dalam. Ada sedikit sembilu yang menusuk hatinya saat mendengar kalimat yang dilontarkan laki-laki bernama Satya itu.

“Jaga bicaramu, Satya! Ayah tidak pernah mengajarimu untuk menghina seseorang!” ujar Hadi memperingatkan anaknya. “Apalagi, dia akan menjadi calon istrimu,” imbuhnya dengan tenang.

Namun, berhasil membuat Ayumi dan Satya melebarkan kedua matanya. Mereka menatap Hadi dengan tatapan tak percaya.

“Apa-apa?” pekik keduanya secara bersamaan.

“Yang benar saja, Ayah? Masa aku mau dinikahkan dengan perempuan kampungan macam dia!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status