“Yang benar saja, Ayah? Masa Satya mau dinikahkan dengan perempuan kampungan macam dia sih,” protesnya seraya melirik Ayumi dengan sinis.
“Satya!” sahut Hadi dengan nada sedikit meninggi. Mengingatkan anak semata wayangnya agar tidak merendahkan orang lain.
“Yah, Satya ini anak satu-satunya Ayah lho. Pewaris tunggal PT. Megabuana. Masa iya mau menikah dengan perempuan seperti ini.” Satya terus protes sembari menghina penampilan Ayumi.
Ayumi sendiri hanya bisa menahan geram karena terus diremehkan oleh Satya. Padahal, dia sendiri memiliki andil dari perusahaan garmen yang dibangun oleh keluarga Hadi Wijaya.
Dulu, Ayumi tinggal dan dibesarkan di sebuah panti asuhan khusus kaum dhuafa dan anak yatim. Hadi Wijaya sendiri adalah donatur tetap di panti asuhan sekaligus pesantren itu.
Melihat bakat Ayumi yang begitu bagus dalam mendesain pakaian, dia pun menyekolahkan Ayumi di sebuah universitas negeri di Surabaya untuk lebih mengasah kemampuannya dalam mendesain pakaian. Dan setelah lulus, Ayumi ditarik ke perusahaannya untuk menjadi seorang designer muda yang berbakat.
Berkat jasa Ayumilah, perusahaan yang dirintis oleh Hadi kini semakin berkembang pesat.
“Satya, jaga ucapanmu! Biar bagaimana pun, Ayumi sangat berjasa pada perusahaan kita. Dan Papa ingin kalian menikah. Atas dasar karena kamu satu-satunya pewaris PT.Megabuana, maka Papa juga tidak akan menyerahkan warisan keluarga kita itu dengan mudah ke tanganmu!”
Dia sudah paham bagaimana tabiat anak semata wayangnya. Maka dari itu, Hadi berniat menjodohkan Satya dengan Ayumi, karena selain pandai membuat desain pakaian, dia juga pandai mengelola perusahaan yang sudah susah payah dia rintis dari nol. Terbukti, sejak masuknya Ayumi ke perusahaannya, usaha garmen yang dia jalankan naik drastis.
“Ayah, aku ini CEO perusahaan besar. Apa kata orang-orang kalau aku menikah dengan bawahanku?”
“Sudahlah. Ayah tidak peduli. Pokoknya kalian harus menikah. Ayah yang akan persiapkan semuanya,” tegasnya.
“Ini nggak adil, Yah!” Kesalnya. Lalu pergi meninggalkan Hadi dan Ayumi begitu saja.
“Ayumi, Ayah harap ... kamu juga tidak memprotes apapun keputusan Ayah,” katanya menatap anak angkatnya dengan penuh harap.
Ayumi yang sejak tadi menundukkan kepalanya, kini memberanikan diri mengangkat kepalanya dan membalas tatapan ayah angkatnya.
“Tapi, Yah. Bagaimana dengan Mas Satya? Jelas-jelas dia tidak bisa menerima Ayumi,” sahutnya dengan resah.
“Sudah. Itu biar jadi urusan Ayah. Yang terpenting kamu mau. Ayah berharap sekali padamu agar bisa memperbaiki perilaku Satya. Dia sudah banyak merugikan perusahaan dengan menghambur-hamburkan uang perusahaan untuk hal yang tidak penting. Maka setelah kamu menjadi istrinya nanti, perusahaan akan Ayah alihkan padamu. Ayah percayakan padamu.”
“Tap-tapi, Yah ....”
“Sudah, Satya biar menjadi urusan Ayah!” tegasnya. Lalu menarik napas dalam dan mengembuskannya dengan sedikit kasar.
Dan … apapun keputusan yang sudah dibuat oleh Hadi tidak bisa ditentang oleh Ayumi atau siapapun. Terlebih, Ayumi sangat berhutang budi pada laki-laki yang sudah mengangkatnya menjadi anak itu. Selain sekarang Ayumi memiliki karir yang bagus, dia juga bisa lebih membuat panti asuhan yang sudah membesarkannya menjadi terjamin hidupnya berkat sumbangan darinya.
Ayumi hanya bisa mengembuskan napas panjang. Pasrah dengan semua keputusan ayah angkatnya. Meski dalam hati dia masih ragu karena sikap Satya yang kentara sekali jika laki-laki itu memang tak pernah menyukai kehadirannya.
Hatinya yang baru saja retak karena diputuskan oleh Aditya. Kini tambah retak karena perjodohan ini.
Ya Allah … hamba pasrahkan kepada-Mu. Hanya Engkau dzat yang Maha tahu apa yang terbaik untuk hamba. Berikan hamba kemudahan untuk menjalaninya ….
***
Satu bulan setelah peristiwa itu, pernikahan antara Satya dan Ayumi pun digelar mewah di sebuah ballroom hotel bintang lima yang ada di daerah Surabaya. Para tamu undangan terlihat sangat menikmati hidangan yang telah disediakan setelah ijab kabul diucapkan oleh Satya.
Sepasang pengantin baru itu pun duduk di pelaminan dengan anggun sembari menyalami beberapa tamu undangan yang ingin memberi ucapan selamat pada kedua mempelai. Lalu meminta foto bersama.
Sesekali Ayumi mencuri pandang pada pria tampan yang berdiri mengapit lengan tangannya saat diminta foto bersama oleh beberapa tamu undangan. Laki-laki bercambang tipis itu hanya meliriknya sekilas. Lalu kembali menghadap kamera dengan senyum merekah di wajah tampan keturunan timur tengah itu.
Tampan juga suamiku ….
Ayumi hanya bisa memuji laki-laki yang kini sudah sah menjadi suaminya dalam hati. Tak terasa, kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. Otaknya berkelana, andaikan saja Satya menerima pernikahan ini dengan senang hati. Pasti rumah tangganya akan bahagia. Namun, dia cepat-cepat menyingkirkan ekspektasinya itu mengingat bagaimana sifat Satya padanya selama ini.
Ayumi pun memilih untuk kembali fokus pada kamera saat titah dari fotografer menyuruhnya untuk bergaya.
“Mbaknya menghadap Mas Satya, ya. Terus tangan kanannya pegang bahu Mas Satya. Tatapannya tetap ke kamera,” titahnya sembari mengarahkan tangan kanan Ayumi pada bahu kanan Satya.
Sesi foto paling kaku yang pernah dijalani Ayumi mau pun Satya. Senyum yang terkembang di bibir mereka pun jelas mengisyaratkan keterpaksaan. Terlebih Satya. Meski tersenyum, namun jelas di matanya tersimpan rasa jengah dan ingin resepsi pernikahan ini berakhir.
Dia sudah lelah dan ingin segera istirahat.
Setelah menjalani acara resepsi yang digelar selama lima jam, Ayumi dan Satya pun digiring ke sebuah kamar hotel paling mewah yang ada di hotel tersebut.
“Sudah sana istirahat. Jangan lupa cepat-cepat kasih cucu sama Ayah, ya,” ujar Hadi Wijaya dengan senyum merekah melepas sepasang pengantin baru itu memasuki kamar pengantinnya. Terlihat jelas bagaimana bahagianya laki-laki paruh baya itu melihat anak semata wayangnya menikah dengan perempuan pilihannya.
Satya hanya mengembuskan napas panjang seraya memutar bola matanya. Terlihat jengah dengan kalimat terakhir yang dilontarkan sang Papa. Sementara itu, Ayumi hanya tersenyum kaku sambil menundukkan kepalanya.
“Ya sudah sana. Ayah mau balik lagi menemui tamu undangan,” pamitnya. “Satya, ingat pesan Ayah, ya!” imbuhnya sambil menepuk bahu anak laki-lakinya sebelum benar-benar pergi.
Tanpa menunggu Ayumi, Satya melangkah memasuki kamar berukuran besar itu terlebih dulu. Ayumi pun mengikutinya dengan perasaan tak menentu.
Aroma lavender langsung tercium kala dia memasuki kamar mewah yang sudah dipenuhi dengan mawar merah. Bahkan, di atas tempat tidur pun ada banyak kelopak bunga mawar merah yang dibentuk cinta.
Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Terbesit dalam hatinya, jika ini pernikahan antara dirinya dan Aditya, pasti akan lebih indah dan lebih romantic. Sayang, dia menikah bukan dengan laki-laki yang dicintainya.
Namun, meski begitu, Ayumi akan berusaha menjalani pernikahan ini dengan baik. Dia juga sudah bertekad untuk mengabdikan hidupnya hanya untuk mencintai suaminya, siapapun itu. Dia akan berusaha melupakan Aditya yang mungkin juga sudah bahagia dengan pasangan pilihan kedua orang tuanya.
“Mas ….”
Ayumi mendekat dan berniat membantu suaminya melepas jas pernikahannya. Namun, tanganya ditepis dengan kasar oleh Satya, laki-laki yang kini sudah sah menjadi suaminya.
“Jangan sentuh aku!” tegasnya sambil menatap Ayumi dengan tajam. “Kita memang hidup satu atap sekarang, tapi jangan harap aku akan mencintaimu, Ayumi. Jangan harap pula aku akan menyentuhmu! Kita hanya suami istri di atas kertas. Ingat itu!”
Satya pun tiba di rumah Clara dan langsung menemani kekasihnya itu berbelanja sekalian jalan-jalan di mall.“Maaf, ya. Kamu jadi nunggu lama,” ujarnya dengan perasaan bersalah. Kemudian mengecup kening Clara dengan lembut.“Memang macet banget tadi di jalan?”“Iya, Sayang. Tadi juga ada beberapa hal penting yang harus aku urus sebelum pulang. Maaf, ya,” katanya lagi sambil menatap wajah kekasihnya dengan harapan bisa dimaafkan.“Iya, iya. Aku maafkan. Tapi jadi kan kamu temani aku belanja?” tanyanya membalas tatapan Satya.“Jadi dong pasti! Kan aku memang sudah meluangkan waktu untuk kamu,” sahutnya dengan senyum merekah.“Tapi, istri kamu itu nggak tahu kan kalau kita pergi?” Dia kembali melayangkan pertanyaan dengan nada sinis.Satya menggeleng. Kemudian merangkul bahu Clara dengan mesra. “Nggak, Sayang. Ya udah yuk nanti keburu malam. Katanya mau belanja!” ajaknya dan langsung menuntunnya memasuki mobil.Mereka pun melaju kea rah mall besar yang menjual barang-barang branded kesuk
Ayumi sendiri memutuskan untuk pulang sendiri menggunakan ojek online. Padahal, Satya menunggunya di mobil. Laki-laki itu merasa bersalah karena melihat Ayumi menangis.Entah kenapa, air mata Ayumi kali ini baru berhasil menggugah hatinya.Dia pun membuntuti Ayumi dari belakang saat ojek online yang ditumpangi istrinya itu tidak berbelok ke arah apartemen miliknya. Tapi ke panti asuhan tempat istrinya dibesarkan.“Ngapain dia ke sini?” gumamnya sambil terus memperhatikan langkah sang Istri yang turun dari motor dan memasuki area panti asuhan yang sekarang bisa menampung dua ratus orang lebih.Bangunannya sudah lebih besar dan lebih bagus karena sumbangan dari Hadi Wijaya yang merupakan donatur utama di panti asuhan tersebut.Satya pun ikut turun setelah memastikan Ayumi masuk. Kemudian diam-diam mengikuti langkah Ayumi yang langsung dikerubungi anak-anak kecil.Senyum Ayumi merekah setelah bertemu dengan anak-anak kecil yang ada di panti asuhan.“Mbak ada bawa mainan sama jajan buat
Sita pun menyusul Ayumi ke mobil yang ada di parkiran setelah membayar sejumlah uang di kasir. Dia menatap Ayumi yang tengah berjongkok di samping mobil dengan bahunya yang bergetar. Lalu mendekatinya.“Ay,” panggilnya pelan. Ayumi pun menolah dengan wajahnya yang basah karena air mata. Kemudian merengkuh sahabatnya ke dalam pelukannya. Dia membiarkan sahabatnya meluapkan kesedihannya selama beberapa saat. Hingga hampir sepuluh menit Ayumi baru reda tangisnya.“Balik ke kantor, yuk! Kita sudah terlambat,” katanya dengan terbata-bata. Karena masih menyisakan isak tangis.“Kamu nggak apa-apa? Atau mau aku antar ke apartemen saja? Biar kamu bisa istirahat,” tawar Sita menatap sahabatnya dengan cemas. Khawatir terjadi sesuatu dengan sahabat yang sudah dia anggap seperti saudara sendiri itu.Ayumi menggeleng pelan. Meski sorot matanya masih terlihat sayu juga sedikit bengkak karena baru saja menangis. “Aku nggak apa-apa kok, Ta. Udah, yuk!”Sita menganggukkan kepalanya. Lalu menekan kunci
Begitu juga dengan Sita. Dia tak kalah terkejutnya, sama halnya dengan Ayumi. Kedua matanya menatap wajah Aditya dengan perasaan heran juga penasaran denga napa yang menjadi alasan dokter muda itu batal menikah. Biar bagaimana pun, dia tahu banyak tentang kisah cinta mereka. Saling mengagumi dalam diam hingga menjalin kedekatan dan berniat meneruskan hubungan mereka ke hubungan yang lebih serius lagi. Sayang, orang tua Aditya tidak merestui hubungan keduanya hanya karena Ayumi dibesarkan di panti asuhan yang asal-usulnya saja tidak jelas. Dan berakhir dengan perjodohan Aditya dengan anak dari salah satu rekan bisnis ayahnya. “Kenapa, Mas?” Pertanyaan itu keluar secara spontan dari mulut Sita. Lalu perempuan itu membekap mulutnya yang lancing. “Maaf … ma-maksudku-“ “Tidak apa. Mungkin pertanyaan itu juga turut mewakili Ayumi,” sahutnya santai. Namun tatapannya terus mengarah pada Ayumi yang sejak tadi menundukkan kepalanya sambil memainkan jari-jemarinya yang lentik. Perempuan itu
Ayumi yang merasa sudah tidak sanggup lagi menahan perasaannya pun memilih mencurahkan apa yang terjadi dengan pernikahannya pada Sita.Karena dia yakin, sahabatnya itu bisa menjaga rahasia. Dia sudah mengenal Sita sejak mereka kecil dan hidup bersama di panti asuhan.Saling berbagi apapun yang mereka miliki. Dan saling berbagi keluh kesah. Dari kecil hingga mereka dewasa.“Ay, kamu nggak lagi bercanda kan?” Sita kembali malayangkan pertanyaan untuk memastikan apa yang dia dengar dari sahabatnya itu adalah hal kebenaran.Ayumi mengangguk lemah. “Aku sebenarnya sudah lelah dengan semua sandiwara ini, Ta. Tapi aku nggak tahu harus bagaimana,” jawab pelan. Nafsu makannya tiba-tiba lenyap entah ke mana.Pandangannya menerawang pada kedua angsa yang masih berenang bersama. Menikmati romansa yang tercipta tanpa merasa terganggu dengan suasana yang ada.“Sudah lima bulan kalian menikah dan kamu masih perawan? Apa Pak Satya sama sekali tidak penasaran? Tidak tertarik padamu? Itu mustahil, Ay!
Beberapa hari berlalu, Ayumi yang merasa sudah membaik pun masuk ke kantor karena jenuh di apartemen. Merasa bosan karena tidak ada tetangga atau siapapun yang bisa diajak untuk mengobrol. “Mau ke mana dandan rapi begitu?” tanya Satya dengan tatapan sinis. “Aku ikut ke kantor, ya, Mas. Bosan di rumah,” pintanya menatap suaminya dengan penuh harap. “Ck, ke kantor kok Cuma bosan. Ke kantor itu kerja,” cibirnya. Ayumi mengembuskan napas panjang. “Ya memang mau kerja, Mas. Kan selama beberapa hari ini aku juga kerja meski hanya di rumah.” Dia kembali menjadi Ayumi yang cerewet. Moodnya benar-benar kembali setelah bertemu dengan Aditya. Entah karena apa. “Ya sudah, ayo! Aku sudah telat,” tukasnya. Lalu berjalan terlebih dulu menuju lift. Ayumi pun mengikuti langkahnya dan mengunci pintu apartemennya terlebih dulu. Kemudian menyusul suaminya. Sesampainya di parkiran, mereka pun melangkah bersama menuju mobil. Meski tidak sempat bergendengan tangan dan bertukar kata mesra, tapi entah k