แชร์

Bab 6

ผู้เขียน: Stary Dream
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-07-31 19:51:49

Dengan berat hati, Harum tak mengizinkan anaknya untuk mengikuti kegiatan belajar di luar. Termasuk berekreasi ke kebun binatang. Terpaksa Harum memberi alasan kalau mereka ada acara keluarga. Supaya Shanum tidak terlalu malu.

Tapi tetap saja Shanum memprotes.

"Kamu kan masih batuk, sayang.." Harum membujuk. "Kalau misalkan nanti batuknya tambah parah gimana?"

Sebenarnya sebelum Gibran jatuh sakit. Shanum sudah batuk terlebih dahulu, akan tetapi tak separah sepupunya.

Shanum hanya bisa cemberut.

"Maaf, ya.. ibu janji suatu saat nanti ibu akan ajak kamu jalan-jalan." Harum mengeluarkan jari kelingkingnya.

"Janji ya, bu?" Shanum mengaitkan jarinya pada ibunya. Sedih pasti. Tapi mau bagaimana lagi.

Melihat anaknya yang selalu legowo menerima keputusan orang tuanya membuat Harum menjadi sedih. Di usianya sekecil ini, Shanum selalu dituntut untuk mengerti kondisi orang tuanya. Namun, Harum berjanji. Jika ia punya uang nanti. Dia akan membuat Shanum bahagia.

Tapi, bagaimana caranya? Sedangkan Harum saja tidak bekerja.

Sembari berjalan kaki menuju rumah. Harum menyelidik area sekitarnya. Warung pinggir jalan, tempat fotokopian atau usaha yang berada disana. Apa saja yang membuka lowongan kerja. Harum ingin melamar.

Ucapan suaminya tadi sungguh berbekas. Harum di cap sebagai beban keluarga. Tahunya cuma minta uang saja.

Sungguh sakit sekali hati ini dibuat Adam. Harum ini istrinya. Sudah kewajiban Adam memberi nafkah. Tapi setiap dimintai nafkah, Harum harus memelas bahkan terkadang merengek dulu. Bak pengemis saja!

Sesampainya di rumah, ternyata Adam sudah bersiap pergi ke rumah sakit. Gibran rupanya harus dirawat inap setelah melewati serangkaian observasi.

"Hati-hati di jalan." Sahut Harum ketika suaminya berpamitan.

Adam bersikap biasa saja. Mungkin setelah marah-marah dan mengumpat tadi perasaannya jadi lega. Berbeda dengan Harum yang masih merasa sakit hati.

Hari beranjak malam. Tak ada satupun yang kembali di rumah sakit. Hanya Harum dan Shanum saja.

"Batuk kamu kok makin berat, nak?" Harum jadi kaget mendengar suara batuk anaknya.

"Sakit disini, bu." Shanum menunjuk tenggorokannya. Wajahnya memerah.

Harum lalu menyentuh dahi anaknya dan tersentak. "Astaghfirullah! Kamu demam, nak?"

Shanum hanya berkedip. Tubuhnya lemas. 

Melihat itu, Harum lekas menghubungi suaminya.

"Coba kamu kasih minum banyak-banyak dulu. Pasti dia jajan sembarangan." Jawab Adam saat Harum menelponnya.

"Sudah, mas. Tapi panasnya tinggi banget."

"Kasih penurun panas aja dulu yang ada di rumah."

Harum terpaksa menurut. Dia lalu mengambil obat penurun panas.

Tak lama, Adam dan Farida kembali. Tapi hanya sebentar karena Zulfa tak ingin menjaga anaknya sendirian di rumah sakit. Jadilah Farida ikut menunggu.

"Mas.. badan Shanum masih panas. Padahal sudah aku kasih obat." Harum jelas cemas dengan keadaan putrinya.

"Sabar aja dulu. Mungkin obatnya baru bekerja." Jawab Adam sedikit kesal. Dia sungguh lelah sekali, ini saja mau mengantar Farida lagi ke rumah sakit. Ini malah dia mendapat kabar anak kandungnya malah ikut jatuh sakit.

Nyatanya demam Shanum tidak kunjung turun. Berkali-kali Adam harus menerima keluhan istrinya di telpon.

"Shanum sakit juga?" Tanya Zulfa.

"Iya. Tadi kulihat dia memang batuk-batuk." Jawab Adam datar.

"Kayaknya Gibran ketularan Shanum." Cetus Zulfa tiba-tiba.

Adam menatap Zulfa dengan tatapan yang tak enak dipandang. "Kenapa begitu? Yang duluan sakit kan Gibran?"

"Shanum yang sakit duluan, dam. Dia udah batuk dari sebelum Gibran." Farida menimpali.

Nah, Adam jadi ingat kalau waktu itu Shanum batuk saat merengek minta dibelikan eskrim.

"Anak itu.."

"Pasti dia jajan sembarangan di sekolah." Ucap Farida curiga.

"Dia bawa bekal, bu." Sahut Adam.

"Tapi, kan kita nggak tahu bagaimana di luar. Bisa jadi dia jajan sembarangan."

Adam tak mau menjawab. Apalagi dilihatnya ponsel miliknya kembali berdering.

"Ada apa lagi sih, Rum?" Adam berdecak.

"Mas, Shanum nggak turun-turun demamnya. Batuknya juga berat banget." Harum hampir menangis di ujung telpon.

"Ya, kamu kompres dulu, Rum. Kasih minum banyak-banyak. Kalau nggak ada perubahan besok aja ke dokter."

Mendengar ucapan Adam, Farida mengangguk setuju.

"Sudah, mas.. tapi Shanum.."

"Aku capek, Rum. Mohon pengertianmu! Disini Gibran baru dirawat. Demamnya juga nggak turun! Kamu jangan nambahin masalah. Urus aja anakmu itu!" Potong Adam sebelum Harum menyelesaikan kalimatnya.

Sambungan dimatikan sepihak oleh Adam. Setelah itu, Adam memijit kepalanya yang pusing.

"Istirahat aja dulu kamu disini. Tuh, mumpung ranjang pasien di sebelah kosong. Besok aja kamu pulang." Ucap Farida.

Kebetulan, Gibran mendapatkan perawatan di kelas 2 dan ada ranjang kosong di sebelahnya. Adam lalu merebahkan dirinya ke ranjang tersebut. Dia butuh yang namanya istirahat.

Harum terisak dalam tangisnya. Dia sendirian sekarang. Sambil menyeka air matanya, dia kembali membalik handuk yang digunakan untuk mengkompres anaknya.

"Eh.. hidung kamu berdarah, nak?"

Mata Harum membulat sempurna saat melihat darah menetes dari hidung Shanum.

"Ya Allah!" Pekik Harum.

Dia lalu mengambil tissue dan menyumbat lubang hidung anaknya yang berdarah. Sementara tangan yang lain menekan tombol di layar ponsel. Siapa lagi kalau bukan Adam yang dihubunginya.

Setelah dua kali dihubungi, Adam tidak mengangkat panggilan. Dan Harum harus membuat keputusan. Dia akan membawa anaknya ke rumah sakit walau tanpa di dampingi suaminya.

Pukul sudah menunjukkan angka 10 malam. Untung saja masih ada angkot yang lewat disekitaran rumah mertuanya ini. Harum bergegas membawa Shanum ke rumah sakit terdekat.

Tepat saja. Setelah menjalani beberapa pemeriksaan, Shanum terdiagnosa demam berdarah dan hari ini adalah masa kritisnya. Sebab hari ini adalah demam hari keempat.

Shanum pun dirawat di rumah sakit ini. Tangannya yang gempal dipasang infus. Karena penurun panas yang tak mempan diberikan dari mulut, maka dilanjutkan pemberian melalui infus.

Tak lama, Shanum dipindahkan ke ruang rawat inap. Sambil meratapi anaknya yang tengah tertidur. Harum menahan tangisnya. Mengerjap beberapa kali agar air mata ini tak luruh.

Anak yang ia sayangi sekarang sudah terikat dengan alat-alat medis. Dia hanya sendirian. Sementara suaminya, sedang menjaga keponakannya. Bahkan marah ketika Harum meminta bantuannya.

Sungguh, Harum sakit hati atas sikap suaminya. Selama ini, dia selalu bersabar dalam menghadapi ujian rumah tangga. Mungkin ini adalah proses mereka untuk mendapatkan hal yang lebih baik.

Namun nyatanya, Harum harus selalu diminta mengerti atas kesusahan suami dan keluarganya. Selalu diminta mengalah dan rela menjadi nomor kesekian. 

Harum merasa diri dan anaknya telah diterlantarkan oleh suaminya sendiri. Tapi sekarang tidak lagi.. Harum harus bangkit dan menjadi kuat. Setidaknya ia harus terus berjuang demi anak semata wayangnya.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Aku Tak Butuh Nafkah Darimu   Bab 37 (Ending)

    "Langsung pergi, nak?" Nani jadi merasa situasi menjadi canggung."Iya. Aku permisi dulu." Ucap Rendra tanpa membalas tatapan istrinya.Sontak saja Nani dan Harum saling melirik setelah kepergian Rendra."Apa dia mendengar kita tadi?""Mungkin aja." Jawab Harum jadi merasa bersalah. Jelas Rendra mendengarkan perbincangan dua wanita ini tadi.Malam tiba, Adam mengirim pesan pada Rendra yang mengabarkan bahwa dia ingin menghabiskan waktunya satu hari dengan Shanum."Adam ngabarin aku barusan." Ucap Rendra sambil merebahkan diri di sisi Harum. "Besok dia minta izin bertemu dengan Shanum.""Nggak masalah. Besok hari libur juga." Sahut Harum datar. Dia masih menyimak isi majalahnya."Kalau kamu mau ikut silahkan."Dahi Harum mengernyit, dia menatap Rendra yang kini berbalik memunggunginya."Untuk apa juga aku ikut?""Mungkin ada yang ingin kamu tanyakan pada mantan suamimu."Oh, Harum mengerti. Rendra pasti tengah marah sekarang. Segera saja dia melipat majalahnya dan bergeser sedikit mend

  • Aku Tak Butuh Nafkah Darimu   Bab 36

    Mata Harum menatap mantan suaminya dengan penuh pertanyaan. Sementara, Adam menjadi salah tingkah."Bu, Adam.. Taksi kita sudah di depan." Sahut Zulfa memecah rasa canggung ini."Kami permisi dulu. Terima kasih Rendra, Harum." Ucap Adam segera mengambil alih kursi roda ibunya."Hati-hati di jalan." Rendra menimpali."Nanti aku hubungi. Aku minta izin ingin bertemu Shanum lagi.""Boleh saja. Nggak masalah." Rendra jelas tak mau memisahkan hubungan antara ayah dan anak.Selesai berpamitan dengan suaminya. Rendra memutuskan untuk mengajak anak dan istrinya pulang. Namun, sepanjang perjalanan Harum hanya diam. Dia baru tahu jika Adam selama ini bekerja sebagai tukang ojek online."Kamu diam aja, sayang?" Rendra menegur."Nggak apa-apa." Sahut Harum segera memperbaiki sikapnya."Kamu mau ke toko atau pulang ke rumah?" Tawar Rendra. Kebetulan dia memang harus kembali praktek setelah ini."Aku mau ke rumah ibu aja. Udah lama nggak mampir.""Aku antar ke rumah ibu kalau begitu."Rendra memacu

  • Aku Tak Butuh Nafkah Darimu   Bab 35

    "Kamu nggak mau besuk ibumu?""Kamu tadi sudah, kan?""Aku belum melihat. Tadi kan aku bilang cuma belikan obat." Jelas Rendra."Kamu aja, deh. Sampaikan salam kami untuk ibu Farida."Rendra menghela nafas. Ia ikut berbaring di samping istrinya."Kamu masih marah?" Rendra mengelus lengan istrinya."Marah dengan siapa?" Tanya Harum acuh."Sayang.. ibu Farida sedang kritis sekarang. Aku minta kamu mendo'akannya.""Iya. Nanti aku do'akan.""Sayang!"Terpaksa Harum meladeni suaminya, padahal dia sudah bersikap selayaknya walau rasa tak senang itu terlihat di wajahnya."Ikhlaskan semua yang terjadi di masa lalu. Maafkan seluruh kesalahan orang-orang yang menyakitimu. Aku tahu luka di hatimu belum sembuh betul. Tapi kalau kamu belum bisa mengiklaskan semuanya, luka itu akan semakin sakit jika digores.""Aku cuma masih sedikit kecewa aja." Akhirnya Harum jujur. Sudah satu tahun lebih, tapi rasa marah, dongkol, kecewa akan perbuatan mantan suami serta keluarganya masih membekas di hati Harum.

  • Aku Tak Butuh Nafkah Darimu   Bab 34

    "Mbak Zulfa!" Terengah-engah Adam menghapiri Zulfa yang tengah melamun di ruang tunggu. Farida kini sudah terbaring lemah di ruang intensif."Adam!" Air mata Zulfa tumpah ruah ketika melihat adiknya datang. Sudah satu tahun, Adam tidak pulang ke kota. Selama itu juga Adam tak tahu penyakit berat apa yang menimpa Farida karena wanita itu tak mau membebani Adam yang tengah berjuang disana."Apa yang terjadi mbak?""Ibu tiba-tiba sesak tadi. Sekarang masuk ICU.""Sakit apa ibu?""Gagal ginjal..""Astaghfirullah." Kepala Adam menjadi sakit, ia seperti di hantam benda berat."Maaf, Adam.." lirih Zulfa. "Selama ini kami menyembunyikan kebenarannya darimu.""Jadi ibu sudah lama sakit begini? Kenapa baru kasih tahu aku, mbak?" Teriak Adam sedih."Kami nggak mau merepotkanmu.""Astaga! Tapi ibu itu juga ibuku. Aku berhak tahu." Adam meremas rambutnya dengan frustasi. "Jadi sekarang bagaimana kata dokter?""Ibu harus cuci darah, tapi tekanan darahnya masih rendah. Belum lagi.." Zulfa memberikan

  • Aku Tak Butuh Nafkah Darimu   Bab 33

    Malam ini Shanum menginap di rumah neneknya setelah menghabiskan waktu seharian dengan Adam di luar. Ayah Shanum ini mengajaknya pergi ke taman bermain dan juga tempat lain yang dulu suka sekali mereka singgahi. Tak lupa makan bakso langganan yang menjadi kesukaan Shanum."Kamu senang sekolah di tempat barumu?" Tanya Farida."Senang, nek.""Disana pasti cuma orang-orang kaya yang bisa masuk. Nenek dengar biaya masuknya aja mahal.""Nggak tahu juga, nek." Untung saja Shanum tak perduli dengan hal seperti itu. Masih bisa bersekolah saja dia bersyukur."Nanti bilang sama ibumu, kalau lebaran mampir kesini ya.""Iya, nek."Shanum menjawab sembari bermain dengan Gibran. Anak kecil itu juga sudah masuk usia 4 tahun, tengah aktif-aktifnya."Shanum.. sini dulu."Shanum akhirnya menghentikan aktivitas bermainnya dan mendekat kepada Farida."Kenapa, nek?""Kamu nggak kangen sama nenek? Dari datang tadi kamu cuma main sama Gibran.""Kangen, nek.""Kenapa nggak meluk?"Sekejap Shanum tampak berpi

  • Aku Tak Butuh Nafkah Darimu   Bab 32

    Anggaplah, Rendra saat ini sudah mendapatkan lampu hijau dari Nani. Sekarang tinggal bertanya pada ibunya sendiri. Takutnya perbedaan status ini membuat Suryani tak menyetujui hubungannya dengan Harum."Jadi kamu mau kepikiran untuk nikah? Mama nggak salah dengar, kan?" Suryani memastikan."Ya. Tapi wanita yang kusuka.. mungkin nggak sesuai ekspektasi mama.""Maksudmu? Dia bukan istri orang, kan?""Bukanlah, ma." Rendra tertawa pelan. "Tapi pernah jadi istri orang.""Janda maksudmu?"Mendengar intonasi suara Suryani, Rendra tiba-tiba jadi keringat dingin."Harum?""Eh!" Rendra terlonjak kaget. "Main nyebutin nama aja.. padahal aku belum kasih inisial ini loh.""Ya siapa lagi wanita yang buat kamu nggak bisa move on? Memang kamu pikir mama nggak curiga saat pertama kamu datang ke mama minta pekerjaan buat Harum? Terus kamu bilang minta mama untuk ajarin Harum jadi wanita mandiri?""Tapi saat itu aku belum ada rasa, ma. Koreksi. Harum masih jadi istri orang lain. Jadi aku nggak mau berh

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status