Tepat pukul 8 pagi, Adam dan Farida tiba di rumah. Pintu depan beberapa kali diketuk dan tak terdengar sahutan dari dalam. Akhirnya, Farida sadar jika rumah sedang kosong. Kunci pintu berada di pot bunga gantung tempat biasanya mereka memang menaruh kunci ketika bepergian.
"Istrimu kemana?" Farida penasaran karena tumben sekali menantunya ini tidak di rumah. Adam pun bingung. Istrinya tak pernah pergi tanpa izin. Ia lalu mengambil ponsel dan menghubungi Harum. Namun, Nihil jawaban. Bukan dia tak tahu kalau Harum menelponnya semalaman, tapi dia sengaja tak mengangkatnya. Kepala Adam begitu sakit dan dia ketiduran. Paginya, dia sudah sibuk membeli sarapan untuk Farida dan Zulfa di rumah sakit. Ini saja, Farida harus kembali ke rumah sakit lagi. Mereka kembali hanya untuk menaruh pakaian kotor saja. "Abis makan siang aja kita ke rumah sakit lagi." Farida menghela nafas setelah merendam pakaian kotor dari rumah sakit. Adam mengiyakan. "Kamu nggak apa izin kerja terus?" "Kepotong cuti, bu." Sahut Adam letih. Satu minggu kemarin dia sibuk mengurus Gibran. Beberapa hari ini tidak kerja karena bolak-balik ke rumah sakit. "Apa nggak sayang?" Tanya Farida jadi khawatir. Apalagi status anaknya cuma pegawai honor. "Mau gimana lagi." Adam mengedikkan bahu. "Aku mau tidur dulu. Nanti bangunin aja kalau mau minta antar." Adam masuk ke kamar. Sementara lupakan dulu soal istri dan anaknya. Mungkin saja Harum tengah ke sekolah. Kemarin kan Harum bilang Shanum ada kegiatan belajar di luar. Bisa jadi mereka tengah bersenang-senang di kebun binatang. Sekitar 2 jam terlelap, samar-samar Adam melihat Harum masuk ke kamar dan mengepak pakaian. Pakaian dirinya dan juga Shanum dalam satu tas jinjing besar. "Harum?" Adam sampai mengucek matanya. Dia beringsut bangun dari tidur. Harum hanya berdeham. Dahi Adam mengernyit karena melihat istrinya menyusun pakaian dalam tas jinjing. "Kamu mau kemana?" "Ke rumah sakit." Jawab Harum datar. "Nggak usah. Aku sama ibu juga mau ke rumah sakit habis makan siang. Kamu di rumah saja." Harum menoleh dan menatap suaminya dengan sedih. Tapi dia tetap melanjutkan pekerjaannya. "Harum.." tegur Adam lagi setelah sadar Harum mendiamkannya. "Shanum dirawat di rumah sakit." "Apa??" Adam terlonjak kaget dibuatnya. "Sakit apa?" Oh, Adam masih ingat kalau anaknya ini memang demam semalaman. Tapi sungguh ia tak tahu kalau Shanum sampai dirawat. "Demam berdarah." "Ya Tuhan.." Adam sampai mengelus dada. "Di rawat dimana? Kenapa kamu nggak kasih tahu aku?" Pantas saja istri dan anaknya tak terlihat di rumah sejak pagi. "Aku sudah nelpon mas semalam. Tapi nggak kamu angkat." Jawab Harum datar. Selesai mengemasi pakaian. Harum langsung berpamitan dengan suaminya. "Tunggu, Harum. Biar mas antar." Adam bangkit dari tempat tidur. "Nggak usah. Mas bilang mau ke rumah sakit sama Ibu habis makan siang." tolak Harum. "Iya. Tapi aku mau lihat kondisi Shanum dulu. Baru lihat Gibran." "Nggak usah, mas. Mereka pasti membutuhkanmu dibanding Shanum." "Apa maksudmu ngomong begitu?" Adam jadi tak suka mendengar nada bicara istrinya. Harum lalu menatap suaminya dengan getir. Tapi dia tak mengatakan apapun dan memilih keluar dari kamar. Sesampainya di ruang tengah, ia melihat ibu mertuanya muncul. "Rum, tolong keringin baju di mesin cuci. Bajunya mau dibawa lagi ke rumah sakit. Eh!" Farida sadar ketika melihat menantunya membawa tas jinjing besar. "Kamu mau kemana?" "Ke rumah sakit, bu. Shanum dirawat." "Astaga! Sakit apa?" "Demam berdarah.." "Ya, Tuhan.." Farida terkejut mendengarnya. Tak lama, Adam muncul dengan setelan lengkap menggunakan jaket. Dia sudah memegang kunci motor. "Ayo, Rum. Kita berangkat." Adam tak mau mendengar penolakan istrinya. Ia jelas khawatir dengan keadaan anak kandungnya. Harum juga tak berniat membantah. Ia langsung melewati mertuanya yang masih tertegun menuju pintu luar. Baru saja menghidupkan mesin motor. Farida berteriak memanggil dari dalam. "Adam!!" Farida hampir histeris. "Kenapa, bu?" Adam mematikan mesin motor. Farida lalu berlari kecil menuju pintu keluar. "Kita ke rumah sakit sekarang. Gibran kejang!" "Apa?" Mata Adam sampai melotot mendengar ucapan ibunya. Tapi ia sadar sudah berniat ingin melihat anaknya. "Pergilah, mas. Biar aku naik angkot." Harum sudah tak mau memusingkan lagi raut wajahnya saat ini. Pikirannya hanya satu, dia harus segera kembali ke rumah sakit karena Shanum terpaksa ia tinggal sendiri. Itu sebab semalam, Harum tak sempat membawa pakaian dan barang yang dibutuhkan lainnya. Tak menyangka juga kalau Shanum berakhir di rawat. Untung saja, teman sekamar Shanum dirawat memiliki orang tua yang baik. Jadi, Harum bisa menitipkan anaknya sebentar untuk mengambil barang di rumah. "Nanti aku susul ke rumah sakit." Ucap Adam yang tahu kalau istrinya kecewa. Tapi Harum mana perduli. Dia tetap berjalan keluar pagar dan menyelusuri lorong sampai jalan besar dimana ada angkot yang akan melintas. * Zulfa menangis ketika melihat Gibran kejang. Salahnya yang tak melaporkan ke perawat kalau Gibran demam tinggi. Untuk itu dia harus menerima celotehan dari ibu juga adiknya. "Sudah aman, kan? Aku mau lihat Shanum." Ucap Adam. "Nanti dulu.. kalau Gibran kejang lagi gimana?" Tanya Farida. "Ada petugasnya, kan?" "Nanti aja.. Lebih baik kamu beli makan siang untuk kita. Kasihan Zulfa jadi stress." Adam menarik nafas secara kasar lalu keluar dari kamar rawat. Sebelum benar-benar keluar, Adam berbalik lagi "Lebih baik kasih tahu juga sama mas Handi kalau anaknya sakit!" Sambung Adam kesal. Sembari menunggu makanan yang tengah di pesan, Adam menghubungi Harum. Sayang sekali, Harum tak mengangkat panggilan dari Adam. Kalau begitu kirim pesan saja, nanti pasti dibaca. Mungkin Harum tengah repot mengurus Shanum. Yah, dia bisa menebak setelah sadar betapa repotnya Zulfa mengurus Gibran dirumah sakit. Tak hanya Harum, Adam juga menghubungi Handi. Setidaknya kakak iparnya itu juga harus tahu kalau anaknya tengah sakit. Terlepas dari masalah rumah tangga mereka. Anak itu tetap menjadi pengikat. "Gibrannya tidur, tapi badannya masih panas." Bisik Farida. Adam hanya berdeham. "Makanlah dulu." Farida menerima dua bungkus makanan dari Adam. "Cuma dua? Kamu nggak makan?" "Aku mau lihat Shanum. Sekalian aja nanti beliin makan untuk Harum." Saat membeli makan tadi Adam teringat istrinya. Harum mungkin tidak sempat makan karena mengurus anaknya yang sakit. "Nanti aja perginya. Tunggu demam Gibran turun. Kalau tiba-tiba kami butuh kamu gimana?" "Ibu tinggal telpon. Nanti aku datang." "Adam.." Farida jadi susah hati. "Shanum dirawat, bu. Demam berdarah! Sama parahnya." Adam jadi kesal akibat sikap ibunya. "Ya sudah, pergilah. Nanti kasih tahu ibu kabarnya si Shanum.." Akhirnya, Farida mengalah. Suara seseorang dari belakang membuat Adam, Farida dan Zulfa menoleh. Terutama Zulfa yang begitu terkejut melihat kedatangan orang tersebut. "Kamu? Ngapain kamu disini?" Teriak Zulfa. "Aku mau lihat anakku." Handi melirih. Matanya begitu sedih menatap anaknya yang tengah berbaring di ranjang pesakitan. "Baru sadar kamu kalau punya anak? Sebaiknya kamu pulang urus ibumu. Dia pasti nyari!" "Zulfa.." Farida menegur karena Zulfa yang terlihat emosi. "Kenapa kamu nggak bisa mengerti ? Mau sampai kapan, Zulfa? Aku kesini cuma mau lihat anakku!" "Nggak aku izinkan! Pergi kamu!" Adam pun hanya menggeleng melihat pertengkaran keduanya. Dia jadi merasa malu. Apalagi semua pengunjung kamar ini malah menatap mereka. Ada-ada saja."Kamu jangan seperti itu, Zulfa. Bagaimanapun, Gibran itu anakku!" Handi berkata tegas. Zulfa menggeleng. "Bukannya sudah aku bilang kalau aku mau bercerai?"Astaga! Farida sampai menoleh kanan-kiri. Pas sekali ini jam besuk pasien. Pertengkaran ini menjadi tontonan gratis pengunjung rumah sakit."Sudah cukup kalian ini.." Farida berkata lembut. "Handi hanya ingin menjenguk anaknya. "Menafkahi saja nggak pernah. Sok-sok an mau menjenguk!" Ketus Zulfa. "Lagian tau dari mana kamu kalau Gibran dirawat? Sebelum-sebelumnya kamu nggak pernah nanya-nanya soal anakmu!" "Adam yang ngasih tahu aku tadi." Jawab Handi. Yang disebut namanya langsung membuang muka."Kamu!" Hardik Zulfa pada Adam."Terserah kalau kalian mau bertengkar. Tapi, ingat! Ini rumah sakit. Nggak malu dari tadi dilihat orang." Ucap Adam jengah. Niatnya baik ingin mempertemukan ayah dan anak, eh malah ujungnya jadi ribut.Gibran yang tertidur sontak menangis terkejut atas keributan ini. Zulfa pun langsung memeluk anaknya
Tepat pukul 8 pagi, Adam dan Farida tiba di rumah. Pintu depan beberapa kali diketuk dan tak terdengar sahutan dari dalam. Akhirnya, Farida sadar jika rumah sedang kosong. Kunci pintu berada di pot bunga gantung tempat biasanya mereka memang menaruh kunci ketika bepergian."Istrimu kemana?" Farida penasaran karena tumben sekali menantunya ini tidak di rumah. Adam pun bingung. Istrinya tak pernah pergi tanpa izin. Ia lalu mengambil ponsel dan menghubungi Harum. Namun, Nihil jawaban. Bukan dia tak tahu kalau Harum menelponnya semalaman, tapi dia sengaja tak mengangkatnya.Kepala Adam begitu sakit dan dia ketiduran. Paginya, dia sudah sibuk membeli sarapan untuk Farida dan Zulfa di rumah sakit.Ini saja, Farida harus kembali ke rumah sakit lagi. Mereka kembali hanya untuk menaruh pakaian kotor saja."Abis makan siang aja kita ke rumah sakit lagi." Farida menghela nafas setelah merendam pakaian kotor dari rumah sakit.Adam mengiyakan."Kamu nggak apa izin kerja terus?""Kepotong cuti, bu
Dengan berat hati, Harum tak mengizinkan anaknya untuk mengikuti kegiatan belajar di luar. Termasuk berekreasi ke kebun binatang. Terpaksa Harum memberi alasan kalau mereka ada acara keluarga. Supaya Shanum tidak terlalu malu.Tapi tetap saja Shanum memprotes."Kamu kan masih batuk, sayang.." Harum membujuk. "Kalau misalkan nanti batuknya tambah parah gimana?"Sebenarnya sebelum Gibran jatuh sakit. Shanum sudah batuk terlebih dahulu, akan tetapi tak separah sepupunya.Shanum hanya bisa cemberut."Maaf, ya.. ibu janji suatu saat nanti ibu akan ajak kamu jalan-jalan." Harum mengeluarkan jari kelingkingnya."Janji ya, bu?" Shanum mengaitkan jarinya pada ibunya. Sedih pasti. Tapi mau bagaimana lagi.Melihat anaknya yang selalu legowo menerima keputusan orang tuanya membuat Harum menjadi sedih. Di usianya sekecil ini, Shanum selalu dituntut untuk mengerti kondisi orang tuanya. Namun, Harum berjanji. Jika ia punya uang nanti. Dia akan membuat Shanum bahagia.Tapi, bagaimana caranya? Sedangk
Kendali keuangan dipegang lagi oleh Farida sebagai yang tertua. Selama itu juga, Harum bisa melihat Zulfa dan ibunya yang senang sekali ke pasar untuk berbelanja. Padahal, kebutuhan dirasa cukup kemarin dibeli oleh Harum.Harum hanya bisa berpikiran positif. Mungkin ada keperluan yang lain di luar sana. Yang pasti, dia patut bersyukur karena uang saku untuk anaknya sudah ia sisihkan. Begitu juga uang untuk membeli skincare. Harum juga masih ingat untuk memberikan uangnya untuk tante Sri yang katanya tengah kesulitan ekonomi. Sesuai janjinya pada Mulya.Namun ada satu pengeluaran yang tak terduga. Ya, sumbangan sekolah sebelum siswa melalukan ujian akhir. Harum terpaksa harus meminta lagi kepada suaminya."Akal-akalan gurunya aja itu. Nggak usah kasih." Sanggah Adam. Dia tak percaya. Masalahnya, Shanum ini bersekolah di sekolah negeri.Sebab tak diberi uang, terpaksa Harum mengeluarkan uang yang ia tabung untuk keperluan Shanum kegiatan b
Sudah satu bulan tinggal bersama. Harum semakin tidak nyaman saja dibuatnya. Apalagi mertuanya ini malah condong untuk selalu mengikuti kemauan dari anak sulung serta cucu laki-lakinya.Bukannya Harum tak tahu kalau ada sosis dan nugget di dalam freezer. Tapi dia enggan untuk menyentuh walau anaknya ini terus mendesak."Ayolah buu.. mau makan sosis goreng." Pinta Shanum memelas."Itu punya Gibran, sayang." "Minta sedikit aja.." Mau tak mau Harum jadi meminta izin pada Zulfa untuk membagi sosis milik Gibran untuk anaknya."Ambil aja nggak papa. Itu ibu yang beli kok."Bahu Harum merosot. Dia pikir Zulfa yang membeli. Rupanya, malah mertuanya. Itu artinya, yang dipakai adalah uang suaminya. Kalau begitu Harum tak sungkan lagi.Baru saja mau nikmat makan sosis, Farida sudah menegur."Jangan banyak-banyak. Itu punya Gibran. Kasian dia lagi susah makan.""Iya, bu
Sudah dua minggu Zulfa dan anaknya tinggal dirumah ini. Selama itu juga stok bahan makanan terkuras.Contohnya ini, beras yang biasanya cukup satu karung untuk satu bulan malah habis dalam dua minggu. Minta pada Adam, lelaki ini malah mendumel."Nggak mungkin juga ibu minta sama mbakmu, nak!" Sanggah Farida."Aku nggak bermaksud perhitungan, bu. Tapi gimana ya? Ini masih tengah bulan. Masih lama gajian. Gajiku semuanya kan sdh ku kasih ke ibu.""Ya sudah, kalau gitu kita nggak usah makan aja semua." Farida jadi merajuk."Bukan begitu maksudnya, bu." Adam jadi tak enak hati. Takut Farida tersinggung."Harusnya kamu jangan hitung-hitungan gitu dong sama mbakmu. Inget nggak atas jasa siapa kamu bisa kuliah kalau bukan karena Zulfa? Dia sampai mengalah demi kamu. Dia ikut nyari uang untuk biayain kamu kuliah." Kalau sudah begini, Adam hanya bisa menghela nafas panjang. "Ya sudah. Adam liha