Kendali keuangan dipegang lagi oleh Farida sebagai yang tertua. Selama itu juga, Harum bisa melihat Zulfa dan ibunya yang senang sekali ke pasar untuk berbelanja. Padahal, kebutuhan dirasa cukup kemarin dibeli oleh Harum.
Harum hanya bisa berpikiran positif. Mungkin ada keperluan yang lain di luar sana. Yang pasti, dia patut bersyukur karena uang saku untuk anaknya sudah ia sisihkan. Begitu juga uang untuk membeli skincare. Harum juga masih ingat untuk memberikan uangnya untuk tante Sri yang katanya tengah kesulitan ekonomi. Sesuai janjinya pada Mulya. Namun ada satu pengeluaran yang tak terduga. Ya, sumbangan sekolah sebelum siswa melalukan ujian akhir. Harum terpaksa harus meminta lagi kepada suaminya. "Akal-akalan gurunya aja itu. Nggak usah kasih." Sanggah Adam. Dia tak percaya. Masalahnya, Shanum ini bersekolah di sekolah negeri. Sebab tak diberi uang, terpaksa Harum mengeluarkan uang yang ia tabung untuk keperluan Shanum kegiatan belajar di luar. Apalagi, kalau tidak menyumbang maka anak tersebut tidak boleh ikut ujian. Harum jadi takut. Satu minggu menjelang tanggal muda. Semua dompet rasanya tercekik. Apalagi pegawai yang hidupnya mengandalkan dari gaji ke gaji. Farida sudah merengek, uang gaji dari anaknya habis. Sementara persediaan makanan mulai menipis. Susu Gibran mulai habis. "Ya gimana lagi? Istrimu kan kemarin ngasih sisanya satu juta. Sedangkan susu Gibran belum dibeli. Terus sosis di kulkas juga kebanyakan Shanum yang makan. Wajar kalau cepat habis." Jawab Farida ketika Adam memprotes. "Lama-lama aku capek, bu. Setiap hari yang kalian keluhkan itu masalah uang. Sementara yang kerja cuma aku sendirian." Adam jadi kesal. Fisiknya lelah, tapi mentalnya lebih lelah. Dia sudah seirit mungkin. Bahkan diam-diam mengurangi jatah rokoknya. Tapi, kenapa ia merasa pengeluaran semakin lebar. Setiap ia gajian, bukan dirinya yang menikmati. Tapi pasti dipertengahan bulan, dia akan dicecar lagi akan kekurangan di rumah ini. Seperti saat ini, awal tahun datang kembali. Gaji sudah ditangan Adam. Ia harus menyerahkan gaji ini sebelum Farida mengomel. "Mas.." tegur Harum melihat suaminya tengah menghitung uang. "Hmm?" Adam tengah sibuk saat ini. "Apa aku boleh cicip gajimu? Sedikit aja.." "Ngomong apa sih? Cicip-cicip!" "Iya.. sebelum dikasih ke ibu. Pisahin untuk uang saku dan susu Shanum. Sama untukku sedikit aja." "Memang kamu buat apa?" Tanya Adam memandang lekat istrinya. "Pegangan aja, mas." "Kalau cuma pegangan nanti aku kasih." Harum tersenyum mendengar ucapan suaminya. "Jangan lupa Shanum mau study di luar. Rencananya mereka ke kebun binatang, mas." "Ya, nanti aku kasih." Adam segera memasukkan uang tersebut ke dalam amplop coklat dan memberikannya pada Farida. Namun wanita paruh baya itu merasa uang yang diberikan Adam tidaklah cukup. Tak sebanyak yang biasa. "Aku juga perlu beli rokok dan bensin, bu." "Biasanya nggak sebanyak ini kamu motongnya?" Farida jadi curiga. "Terus?" "Nggak apa-apa. Ibu cuma mau kasih tahu. Kalau istrimu butuh sesuatu, dia bisa langsung minta ke ibu." Tapi dalam mimpi saja bisa seperti itu. Harum mana berani minta uang ke mertuanya. Dengan suaminya saja dia takut-takut apalagi dengan mertuanya. Ditambah lagi ada Zulfa disana. Terkoyak lah harga dirinya. "Adam!!" Teriak Zulfa sembari menggedor pintu kamar adiknya. "Kenapa?" Tanya Adam dengan suara seraknya. Tengah malah dan sedang nyenyak tidur malah diganggu. "Gibran panas tinggi. Ayo kita bawa ke rumah sakit." "Apa?" Adam terkejut. Dia lalu berlari menuju kamar Zulfa dan mendapati Gibran yang sudah menggigil karena demam tinggi. Malam itu juga mereka berangkat ke rumah sakit. Untunglah, Gibran langsung ditangani dan diperbolehkan pulang saat itu juga. Bukan hanya demam, Gibran juga batuk. Itu sebab ia suka sekali makan makanan cepat saji. "Nanti kasih tahu mas Handi kalau anaknya sakit." Adam mengingatkan. Zulfa hanya berdeham tapi tidak janji. Sebenarnya, rumah tangga dirinya dengan Handi tengah krisis. Dia ragu masih bisa diperjuangkan atau tidak. Dua hari pulang dari rumah sakit bukannya membaik. Gibran malah bertambah parah. Dia malah menjadi sesak. Sudah tiga dokter spesialis yang didatangi oleh Adam, tapi obat yang diberikan sepertinya tak ada yang cocok. "Kasih tahu mas Handi ajalah. Biar dia yang bawa anaknya berobat." Adam menyerah. Dalam satu minggu ini dia sudah mengeluarkan uang hampir dua juta untuk pengobatan Gibran. "Nggak usah. Mbak masih bisa ngajaknya berobat." Ketus Zulfa. "Terus yang bayar?" Tanya Adam sambil melotot. "Kalau kamu nggak ikhlas ya sudah, dam!" Zulfa jadi naik pitam. "Aku bukannya nggak ikhlas, mbak. Tapi mas Handi itu masih berstatus suamimu. Kalian tanggung jawabnya!" "Kami akan bercerai." "Apa??" Farida dan Adam sama-sama kaget mendengarnya. "Puas kalian?" Zulfa langsung menangis dan berlari ke kamarnya. Sedangkan Farida terduduk di kursinya sembari memijit keningnya. Kepalanya jadi pusing. Sementara Adam sudah tak bisa berkata apa-apa. Pantas saja Handi seperti tak perduli lagi. Rupanya mereka akan berpisah. Baru saja ingin mendaratkan tubuhnya di atas kasur, Harum menegur. "Nanti aja ngomongnya. Mas lagi kesal." Adam langsung berbalik memunggungi istrinya. Padahal, Harum belum bicara apa-apa. Tadinya dia ingin menagih janji suaminya. Ia ingin meminta uang untuk biaya kegiatan Shanum di luar. Sudah satu minggu ini ditahannya karena ia tahu Adam tengah repot mengurus Gibran. Kalau begitu besok sajalah. Mudah-mudahan suaminya tidak lupa. Rupanya, Gibran demam semalaman. Pintu kamar Adam diketuk lagi. Mau tak mau, Adam bangkit dan membawa Gibran ke gawat darurat tengah malam ini juga. Mereka khawatir kalau panas Gibran terlalu tinggi. Nanti anak itu bisa kejang. "Gimana keadaan Gibran, mas?" Tanya Harum ketika suaminya baru saja pulang sendirian. Tampak rambut suaminya acak-acakan. Matanya bengkak karena kurang tidur. Wajahnya kusut. "Masih observasi." Terdengar keletihan dari suara Adam. "Sarapan dulu. Aku sudah buatkan." Tawar Harum. Adam pergi dari pukul 1 malam dan baru kembali setengah tujuh pagi. Sudah dipastikan perutnya kelaparan. Adam patuh dan duduk di meja makan. Dia makan dan menyesap kopinya perlahan. Harum ingin sekali mengutarakan niatnya. Tapi, ia tak tega melihat keadaan suaminya yang tengah kacau seperti ini. Namun bagaimana lagi? Hari ini terakhir pendaftaran kegiatan Shanum di luar. Anaknya sudah bersemangat untuk ikut. Harum takut menyakiti hati putrinya jika ia tak ikut ke kebun binatang bersama teman-temannya. "Mas.." akhirnya Harum memberanikan diri. "Hari ini terakhir pendaftaran kegiatan Shanum karena dua hari lagi mereka akan berangkat. Aku izin minta uang ya, mas.." dengan lirih Harum mengatakannya. Suara dentingan sendok membuat Harum terkejut setengah mati. "Kamu nggak liat aku lagi apa?" Harum sampai menelan ludah. Apalagi terdapat kilatan tajam dari mata suaminya. "Kamu tuh bisanya cuma minta duit aja! Jangan jadi beban, Harum! Kepalaku sudah pusing ngurusin urusan orang-orang di rumah ini! Jangan buat aku jadi naik pitam!" Mata Harum berair melihat betapa merahnya mata suaminya saat ini. Apalagi rahang suaminya begitu mengeras. "Maaf, mas." Harum jadi tertunduk. "Kerjaannya cuma minta duit aja!" Ucap Adam kesal. Dia lansung mendorong kursi makan secara kasar dan membanting pintu kamar mandi. Di dalam kamar mandi pun, Harum masih mendengar suaminya mengoceh. Tak terasa, air mata Harum pun berlelehan jatuh ke pipinya."Kamu jangan seperti itu, Zulfa. Bagaimanapun, Gibran itu anakku!" Handi berkata tegas. Zulfa menggeleng. "Bukannya sudah aku bilang kalau aku mau bercerai?"Astaga! Farida sampai menoleh kanan-kiri. Pas sekali ini jam besuk pasien. Pertengkaran ini menjadi tontonan gratis pengunjung rumah sakit."Sudah cukup kalian ini.." Farida berkata lembut. "Handi hanya ingin menjenguk anaknya. "Menafkahi saja nggak pernah. Sok-sok an mau menjenguk!" Ketus Zulfa. "Lagian tau dari mana kamu kalau Gibran dirawat? Sebelum-sebelumnya kamu nggak pernah nanya-nanya soal anakmu!" "Adam yang ngasih tahu aku tadi." Jawab Handi. Yang disebut namanya langsung membuang muka."Kamu!" Hardik Zulfa pada Adam."Terserah kalau kalian mau bertengkar. Tapi, ingat! Ini rumah sakit. Nggak malu dari tadi dilihat orang." Ucap Adam jengah. Niatnya baik ingin mempertemukan ayah dan anak, eh malah ujungnya jadi ribut.Gibran yang tertidur sontak menangis terkejut atas keributan ini. Zulfa pun langsung memeluk anaknya
Tepat pukul 8 pagi, Adam dan Farida tiba di rumah. Pintu depan beberapa kali diketuk dan tak terdengar sahutan dari dalam. Akhirnya, Farida sadar jika rumah sedang kosong. Kunci pintu berada di pot bunga gantung tempat biasanya mereka memang menaruh kunci ketika bepergian."Istrimu kemana?" Farida penasaran karena tumben sekali menantunya ini tidak di rumah. Adam pun bingung. Istrinya tak pernah pergi tanpa izin. Ia lalu mengambil ponsel dan menghubungi Harum. Namun, Nihil jawaban. Bukan dia tak tahu kalau Harum menelponnya semalaman, tapi dia sengaja tak mengangkatnya.Kepala Adam begitu sakit dan dia ketiduran. Paginya, dia sudah sibuk membeli sarapan untuk Farida dan Zulfa di rumah sakit.Ini saja, Farida harus kembali ke rumah sakit lagi. Mereka kembali hanya untuk menaruh pakaian kotor saja."Abis makan siang aja kita ke rumah sakit lagi." Farida menghela nafas setelah merendam pakaian kotor dari rumah sakit.Adam mengiyakan."Kamu nggak apa izin kerja terus?""Kepotong cuti, bu
Dengan berat hati, Harum tak mengizinkan anaknya untuk mengikuti kegiatan belajar di luar. Termasuk berekreasi ke kebun binatang. Terpaksa Harum memberi alasan kalau mereka ada acara keluarga. Supaya Shanum tidak terlalu malu.Tapi tetap saja Shanum memprotes."Kamu kan masih batuk, sayang.." Harum membujuk. "Kalau misalkan nanti batuknya tambah parah gimana?"Sebenarnya sebelum Gibran jatuh sakit. Shanum sudah batuk terlebih dahulu, akan tetapi tak separah sepupunya.Shanum hanya bisa cemberut."Maaf, ya.. ibu janji suatu saat nanti ibu akan ajak kamu jalan-jalan." Harum mengeluarkan jari kelingkingnya."Janji ya, bu?" Shanum mengaitkan jarinya pada ibunya. Sedih pasti. Tapi mau bagaimana lagi.Melihat anaknya yang selalu legowo menerima keputusan orang tuanya membuat Harum menjadi sedih. Di usianya sekecil ini, Shanum selalu dituntut untuk mengerti kondisi orang tuanya. Namun, Harum berjanji. Jika ia punya uang nanti. Dia akan membuat Shanum bahagia.Tapi, bagaimana caranya? Sedangk
Kendali keuangan dipegang lagi oleh Farida sebagai yang tertua. Selama itu juga, Harum bisa melihat Zulfa dan ibunya yang senang sekali ke pasar untuk berbelanja. Padahal, kebutuhan dirasa cukup kemarin dibeli oleh Harum.Harum hanya bisa berpikiran positif. Mungkin ada keperluan yang lain di luar sana. Yang pasti, dia patut bersyukur karena uang saku untuk anaknya sudah ia sisihkan. Begitu juga uang untuk membeli skincare. Harum juga masih ingat untuk memberikan uangnya untuk tante Sri yang katanya tengah kesulitan ekonomi. Sesuai janjinya pada Mulya.Namun ada satu pengeluaran yang tak terduga. Ya, sumbangan sekolah sebelum siswa melalukan ujian akhir. Harum terpaksa harus meminta lagi kepada suaminya."Akal-akalan gurunya aja itu. Nggak usah kasih." Sanggah Adam. Dia tak percaya. Masalahnya, Shanum ini bersekolah di sekolah negeri.Sebab tak diberi uang, terpaksa Harum mengeluarkan uang yang ia tabung untuk keperluan Shanum kegiatan b
Sudah satu bulan tinggal bersama. Harum semakin tidak nyaman saja dibuatnya. Apalagi mertuanya ini malah condong untuk selalu mengikuti kemauan dari anak sulung serta cucu laki-lakinya.Bukannya Harum tak tahu kalau ada sosis dan nugget di dalam freezer. Tapi dia enggan untuk menyentuh walau anaknya ini terus mendesak."Ayolah buu.. mau makan sosis goreng." Pinta Shanum memelas."Itu punya Gibran, sayang." "Minta sedikit aja.." Mau tak mau Harum jadi meminta izin pada Zulfa untuk membagi sosis milik Gibran untuk anaknya."Ambil aja nggak papa. Itu ibu yang beli kok."Bahu Harum merosot. Dia pikir Zulfa yang membeli. Rupanya, malah mertuanya. Itu artinya, yang dipakai adalah uang suaminya. Kalau begitu Harum tak sungkan lagi.Baru saja mau nikmat makan sosis, Farida sudah menegur."Jangan banyak-banyak. Itu punya Gibran. Kasian dia lagi susah makan.""Iya, bu
Sudah dua minggu Zulfa dan anaknya tinggal dirumah ini. Selama itu juga stok bahan makanan terkuras.Contohnya ini, beras yang biasanya cukup satu karung untuk satu bulan malah habis dalam dua minggu. Minta pada Adam, lelaki ini malah mendumel."Nggak mungkin juga ibu minta sama mbakmu, nak!" Sanggah Farida."Aku nggak bermaksud perhitungan, bu. Tapi gimana ya? Ini masih tengah bulan. Masih lama gajian. Gajiku semuanya kan sdh ku kasih ke ibu.""Ya sudah, kalau gitu kita nggak usah makan aja semua." Farida jadi merajuk."Bukan begitu maksudnya, bu." Adam jadi tak enak hati. Takut Farida tersinggung."Harusnya kamu jangan hitung-hitungan gitu dong sama mbakmu. Inget nggak atas jasa siapa kamu bisa kuliah kalau bukan karena Zulfa? Dia sampai mengalah demi kamu. Dia ikut nyari uang untuk biayain kamu kuliah." Kalau sudah begini, Adam hanya bisa menghela nafas panjang. "Ya sudah. Adam liha