Share

Bab 5

Author: Stary Dream
last update Last Updated: 2025-07-18 19:34:34

Kendali keuangan dipegang lagi oleh Farida sebagai yang tertua. Selama itu juga, Harum bisa melihat Zulfa dan ibunya yang senang sekali ke pasar untuk berbelanja. Padahal, kebutuhan dirasa cukup kemarin dibeli oleh Harum.

Harum hanya bisa berpikiran positif. Mungkin ada keperluan yang lain di luar sana. Yang pasti, dia patut bersyukur karena uang saku untuk anaknya sudah ia sisihkan. Begitu juga uang untuk membeli skincare. Harum juga masih ingat untuk memberikan uangnya untuk tante Sri yang katanya tengah kesulitan ekonomi. Sesuai janjinya pada Mulya.

Namun ada satu pengeluaran yang tak terduga. Ya, sumbangan sekolah sebelum siswa melalukan ujian akhir. Harum terpaksa harus meminta lagi kepada suaminya.

"Akal-akalan gurunya aja itu. Nggak usah kasih." Sanggah Adam. Dia tak percaya. Masalahnya, Shanum ini bersekolah di sekolah negeri.

Sebab tak diberi uang, terpaksa Harum mengeluarkan uang yang ia tabung untuk keperluan Shanum kegiatan belajar di luar. Apalagi, kalau tidak menyumbang maka anak tersebut tidak boleh ikut ujian. Harum jadi takut.

Satu minggu menjelang tanggal muda. Semua dompet rasanya tercekik. Apalagi pegawai yang hidupnya mengandalkan dari gaji ke gaji.

Farida sudah merengek, uang gaji dari anaknya habis. Sementara persediaan makanan mulai menipis. Susu Gibran mulai habis.

"Ya gimana lagi? Istrimu kan kemarin ngasih sisanya satu juta. Sedangkan susu Gibran belum dibeli. Terus sosis di kulkas juga kebanyakan Shanum yang makan. Wajar kalau cepat habis." Jawab Farida ketika Adam memprotes.

"Lama-lama aku capek, bu. Setiap hari yang kalian keluhkan itu masalah uang. Sementara yang kerja cuma aku sendirian." Adam jadi kesal. Fisiknya lelah, tapi mentalnya lebih lelah.

Dia sudah seirit mungkin. Bahkan diam-diam mengurangi jatah rokoknya. Tapi, kenapa ia merasa pengeluaran semakin lebar.

Setiap ia gajian, bukan dirinya yang menikmati. Tapi pasti dipertengahan bulan, dia akan dicecar lagi akan kekurangan di rumah ini.

Seperti saat ini, awal tahun datang kembali. Gaji sudah ditangan Adam. Ia harus menyerahkan gaji ini sebelum Farida mengomel.

"Mas.." tegur Harum melihat suaminya tengah menghitung uang.

"Hmm?" Adam tengah sibuk saat ini.

"Apa aku boleh cicip gajimu? Sedikit aja.."

"Ngomong apa sih? Cicip-cicip!"

"Iya.. sebelum dikasih ke ibu. Pisahin untuk uang saku dan susu Shanum. Sama untukku sedikit aja."

"Memang kamu buat apa?" Tanya Adam memandang lekat istrinya.

"Pegangan aja, mas."

"Kalau cuma pegangan nanti aku kasih."

Harum tersenyum mendengar ucapan suaminya. "Jangan lupa Shanum mau study di luar. Rencananya mereka ke kebun binatang, mas."

"Ya, nanti aku kasih."

Adam segera memasukkan uang tersebut ke dalam amplop coklat dan memberikannya pada Farida. Namun wanita paruh baya itu merasa uang yang diberikan Adam tidaklah cukup. Tak sebanyak yang biasa.

"Aku juga perlu beli rokok dan bensin, bu."

"Biasanya nggak sebanyak ini kamu motongnya?" Farida jadi curiga.

"Terus?"

"Nggak apa-apa. Ibu cuma mau kasih tahu. Kalau istrimu butuh sesuatu, dia bisa langsung minta ke ibu."

Tapi dalam mimpi saja bisa seperti itu. Harum mana berani minta uang ke mertuanya. Dengan suaminya saja dia takut-takut apalagi dengan mertuanya. Ditambah lagi ada Zulfa disana. Terkoyak lah harga dirinya.

"Adam!!" Teriak Zulfa sembari menggedor pintu kamar adiknya.

"Kenapa?" Tanya Adam dengan suara seraknya. Tengah malah dan sedang nyenyak tidur malah diganggu.

"Gibran panas tinggi. Ayo kita bawa ke rumah sakit."

"Apa?" Adam terkejut. Dia lalu berlari menuju kamar Zulfa dan mendapati Gibran yang sudah menggigil karena demam tinggi. Malam itu juga mereka berangkat ke rumah sakit.

Untunglah, Gibran langsung ditangani dan diperbolehkan pulang saat itu juga. Bukan hanya demam, Gibran juga batuk. Itu sebab ia suka sekali makan makanan cepat saji.

"Nanti kasih tahu mas Handi kalau anaknya sakit." Adam mengingatkan. 

Zulfa hanya berdeham tapi tidak janji. Sebenarnya, rumah tangga dirinya dengan Handi tengah krisis. Dia ragu masih bisa diperjuangkan atau tidak.

Dua hari pulang dari rumah sakit bukannya membaik. Gibran malah bertambah parah. Dia malah menjadi sesak. Sudah tiga dokter spesialis yang didatangi oleh Adam, tapi obat yang diberikan sepertinya tak ada yang cocok.

"Kasih tahu mas Handi ajalah. Biar dia yang bawa anaknya berobat." Adam menyerah. Dalam satu minggu ini dia sudah mengeluarkan uang hampir dua juta untuk pengobatan Gibran.

"Nggak usah. Mbak masih bisa ngajaknya berobat." Ketus Zulfa.

"Terus yang bayar?" Tanya Adam sambil melotot.

"Kalau kamu nggak ikhlas ya sudah, dam!" Zulfa jadi naik pitam.

"Aku bukannya nggak ikhlas, mbak. Tapi mas Handi itu masih berstatus suamimu. Kalian tanggung jawabnya!"

"Kami akan bercerai."

"Apa??" Farida dan Adam sama-sama kaget mendengarnya.

"Puas kalian?" Zulfa langsung menangis dan berlari ke kamarnya.

Sedangkan Farida terduduk di kursinya sembari memijit keningnya. Kepalanya jadi pusing.

Sementara Adam sudah tak bisa berkata apa-apa. Pantas saja Handi seperti tak perduli lagi. Rupanya mereka akan berpisah.

Baru saja ingin mendaratkan tubuhnya di atas kasur, Harum menegur.

"Nanti aja ngomongnya. Mas lagi kesal." Adam langsung berbalik memunggungi istrinya.

Padahal, Harum belum bicara apa-apa. Tadinya dia ingin menagih janji suaminya. Ia ingin meminta uang untuk biaya kegiatan Shanum di luar. Sudah satu minggu ini ditahannya karena ia tahu Adam tengah repot mengurus Gibran. Kalau begitu besok sajalah. Mudah-mudahan suaminya tidak lupa.

Rupanya, Gibran demam semalaman. Pintu kamar Adam diketuk lagi. Mau tak mau, Adam bangkit dan membawa Gibran ke gawat darurat tengah malam ini juga. Mereka khawatir kalau panas Gibran terlalu tinggi. Nanti anak itu bisa kejang.

"Gimana keadaan Gibran, mas?" Tanya Harum ketika suaminya baru saja pulang sendirian. Tampak rambut suaminya acak-acakan. Matanya bengkak karena kurang tidur. Wajahnya kusut.

"Masih observasi." Terdengar keletihan dari suara Adam.

"Sarapan dulu. Aku sudah buatkan." Tawar Harum.

Adam pergi dari pukul 1 malam dan baru kembali setengah tujuh pagi. Sudah dipastikan perutnya kelaparan.

Adam patuh dan duduk di meja makan. Dia makan dan menyesap kopinya perlahan.

Harum ingin sekali mengutarakan niatnya. Tapi, ia tak tega melihat keadaan suaminya yang tengah kacau seperti ini. Namun bagaimana lagi? Hari ini terakhir pendaftaran kegiatan Shanum di luar. Anaknya sudah bersemangat untuk ikut. Harum takut menyakiti hati putrinya jika ia tak ikut ke kebun binatang bersama teman-temannya.

"Mas.." akhirnya Harum memberanikan diri. "Hari ini terakhir pendaftaran kegiatan Shanum karena dua hari lagi mereka akan berangkat. Aku izin minta uang ya, mas.." dengan lirih Harum mengatakannya.

Suara dentingan sendok membuat Harum terkejut setengah mati. 

"Kamu nggak liat aku lagi apa?"

Harum sampai menelan ludah. Apalagi terdapat kilatan tajam dari mata suaminya.

"Kamu tuh bisanya cuma minta duit aja! Jangan jadi beban, Harum! Kepalaku sudah pusing ngurusin urusan orang-orang di rumah ini! Jangan buat aku jadi naik pitam!"

Mata Harum berair melihat betapa merahnya mata suaminya saat ini. Apalagi rahang suaminya begitu mengeras. 

"Maaf, mas." Harum jadi tertunduk.

"Kerjaannya cuma minta duit aja!" Ucap Adam kesal. Dia lansung mendorong kursi makan secara kasar dan membanting pintu kamar mandi. Di dalam kamar mandi pun, Harum masih mendengar suaminya mengoceh. Tak terasa, air mata Harum pun berlelehan jatuh ke pipinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Tak Butuh Nafkah Darimu   Bab 37 (Ending)

    "Langsung pergi, nak?" Nani jadi merasa situasi menjadi canggung."Iya. Aku permisi dulu." Ucap Rendra tanpa membalas tatapan istrinya.Sontak saja Nani dan Harum saling melirik setelah kepergian Rendra."Apa dia mendengar kita tadi?""Mungkin aja." Jawab Harum jadi merasa bersalah. Jelas Rendra mendengarkan perbincangan dua wanita ini tadi.Malam tiba, Adam mengirim pesan pada Rendra yang mengabarkan bahwa dia ingin menghabiskan waktunya satu hari dengan Shanum."Adam ngabarin aku barusan." Ucap Rendra sambil merebahkan diri di sisi Harum. "Besok dia minta izin bertemu dengan Shanum.""Nggak masalah. Besok hari libur juga." Sahut Harum datar. Dia masih menyimak isi majalahnya."Kalau kamu mau ikut silahkan."Dahi Harum mengernyit, dia menatap Rendra yang kini berbalik memunggunginya."Untuk apa juga aku ikut?""Mungkin ada yang ingin kamu tanyakan pada mantan suamimu."Oh, Harum mengerti. Rendra pasti tengah marah sekarang. Segera saja dia melipat majalahnya dan bergeser sedikit mend

  • Aku Tak Butuh Nafkah Darimu   Bab 36

    Mata Harum menatap mantan suaminya dengan penuh pertanyaan. Sementara, Adam menjadi salah tingkah."Bu, Adam.. Taksi kita sudah di depan." Sahut Zulfa memecah rasa canggung ini."Kami permisi dulu. Terima kasih Rendra, Harum." Ucap Adam segera mengambil alih kursi roda ibunya."Hati-hati di jalan." Rendra menimpali."Nanti aku hubungi. Aku minta izin ingin bertemu Shanum lagi.""Boleh saja. Nggak masalah." Rendra jelas tak mau memisahkan hubungan antara ayah dan anak.Selesai berpamitan dengan suaminya. Rendra memutuskan untuk mengajak anak dan istrinya pulang. Namun, sepanjang perjalanan Harum hanya diam. Dia baru tahu jika Adam selama ini bekerja sebagai tukang ojek online."Kamu diam aja, sayang?" Rendra menegur."Nggak apa-apa." Sahut Harum segera memperbaiki sikapnya."Kamu mau ke toko atau pulang ke rumah?" Tawar Rendra. Kebetulan dia memang harus kembali praktek setelah ini."Aku mau ke rumah ibu aja. Udah lama nggak mampir.""Aku antar ke rumah ibu kalau begitu."Rendra memacu

  • Aku Tak Butuh Nafkah Darimu   Bab 35

    "Kamu nggak mau besuk ibumu?""Kamu tadi sudah, kan?""Aku belum melihat. Tadi kan aku bilang cuma belikan obat." Jelas Rendra."Kamu aja, deh. Sampaikan salam kami untuk ibu Farida."Rendra menghela nafas. Ia ikut berbaring di samping istrinya."Kamu masih marah?" Rendra mengelus lengan istrinya."Marah dengan siapa?" Tanya Harum acuh."Sayang.. ibu Farida sedang kritis sekarang. Aku minta kamu mendo'akannya.""Iya. Nanti aku do'akan.""Sayang!"Terpaksa Harum meladeni suaminya, padahal dia sudah bersikap selayaknya walau rasa tak senang itu terlihat di wajahnya."Ikhlaskan semua yang terjadi di masa lalu. Maafkan seluruh kesalahan orang-orang yang menyakitimu. Aku tahu luka di hatimu belum sembuh betul. Tapi kalau kamu belum bisa mengiklaskan semuanya, luka itu akan semakin sakit jika digores.""Aku cuma masih sedikit kecewa aja." Akhirnya Harum jujur. Sudah satu tahun lebih, tapi rasa marah, dongkol, kecewa akan perbuatan mantan suami serta keluarganya masih membekas di hati Harum.

  • Aku Tak Butuh Nafkah Darimu   Bab 34

    "Mbak Zulfa!" Terengah-engah Adam menghapiri Zulfa yang tengah melamun di ruang tunggu. Farida kini sudah terbaring lemah di ruang intensif."Adam!" Air mata Zulfa tumpah ruah ketika melihat adiknya datang. Sudah satu tahun, Adam tidak pulang ke kota. Selama itu juga Adam tak tahu penyakit berat apa yang menimpa Farida karena wanita itu tak mau membebani Adam yang tengah berjuang disana."Apa yang terjadi mbak?""Ibu tiba-tiba sesak tadi. Sekarang masuk ICU.""Sakit apa ibu?""Gagal ginjal..""Astaghfirullah." Kepala Adam menjadi sakit, ia seperti di hantam benda berat."Maaf, Adam.." lirih Zulfa. "Selama ini kami menyembunyikan kebenarannya darimu.""Jadi ibu sudah lama sakit begini? Kenapa baru kasih tahu aku, mbak?" Teriak Adam sedih."Kami nggak mau merepotkanmu.""Astaga! Tapi ibu itu juga ibuku. Aku berhak tahu." Adam meremas rambutnya dengan frustasi. "Jadi sekarang bagaimana kata dokter?""Ibu harus cuci darah, tapi tekanan darahnya masih rendah. Belum lagi.." Zulfa memberikan

  • Aku Tak Butuh Nafkah Darimu   Bab 33

    Malam ini Shanum menginap di rumah neneknya setelah menghabiskan waktu seharian dengan Adam di luar. Ayah Shanum ini mengajaknya pergi ke taman bermain dan juga tempat lain yang dulu suka sekali mereka singgahi. Tak lupa makan bakso langganan yang menjadi kesukaan Shanum."Kamu senang sekolah di tempat barumu?" Tanya Farida."Senang, nek.""Disana pasti cuma orang-orang kaya yang bisa masuk. Nenek dengar biaya masuknya aja mahal.""Nggak tahu juga, nek." Untung saja Shanum tak perduli dengan hal seperti itu. Masih bisa bersekolah saja dia bersyukur."Nanti bilang sama ibumu, kalau lebaran mampir kesini ya.""Iya, nek."Shanum menjawab sembari bermain dengan Gibran. Anak kecil itu juga sudah masuk usia 4 tahun, tengah aktif-aktifnya."Shanum.. sini dulu."Shanum akhirnya menghentikan aktivitas bermainnya dan mendekat kepada Farida."Kenapa, nek?""Kamu nggak kangen sama nenek? Dari datang tadi kamu cuma main sama Gibran.""Kangen, nek.""Kenapa nggak meluk?"Sekejap Shanum tampak berpi

  • Aku Tak Butuh Nafkah Darimu   Bab 32

    Anggaplah, Rendra saat ini sudah mendapatkan lampu hijau dari Nani. Sekarang tinggal bertanya pada ibunya sendiri. Takutnya perbedaan status ini membuat Suryani tak menyetujui hubungannya dengan Harum."Jadi kamu mau kepikiran untuk nikah? Mama nggak salah dengar, kan?" Suryani memastikan."Ya. Tapi wanita yang kusuka.. mungkin nggak sesuai ekspektasi mama.""Maksudmu? Dia bukan istri orang, kan?""Bukanlah, ma." Rendra tertawa pelan. "Tapi pernah jadi istri orang.""Janda maksudmu?"Mendengar intonasi suara Suryani, Rendra tiba-tiba jadi keringat dingin."Harum?""Eh!" Rendra terlonjak kaget. "Main nyebutin nama aja.. padahal aku belum kasih inisial ini loh.""Ya siapa lagi wanita yang buat kamu nggak bisa move on? Memang kamu pikir mama nggak curiga saat pertama kamu datang ke mama minta pekerjaan buat Harum? Terus kamu bilang minta mama untuk ajarin Harum jadi wanita mandiri?""Tapi saat itu aku belum ada rasa, ma. Koreksi. Harum masih jadi istri orang lain. Jadi aku nggak mau berh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status