Share

Bab 3

Author: Arif
"Maaf... aku akan bersihkan mobilmu nanti."

"Aku bisa duduk di mobil belakang. Maaf ya, mobilmu jadi kotor."

Julian terdiam sejenak, menatapku dengan curiga.

Setelah hening beberapa saat, dia tiba-tiba mengulurkan tangan, seolah ingin menyentuh dahiku.

Melihat tangan itu semakin mendekat, seluruh tubuhku menegang.

Aku tahu, aku tidak seharusnya menghindar.

Karena jika aku menghindar, Julian pasti akan marah, dan dulu, hal yang paling kutakuti adalah kemarahannya.

Begitu dia marah, dia akan menghancurkan harga diriku habis-habisan, membuatku merasa sangat hina dan terluka.

Aku duduk kaku di kursi, terus-menerus mengingatkan diriku: jangan menghindar, jangan menghindar.

Tapi saat jari-jarinya menyentuh kulitku, rasa jijik itu kembali datang, seperti dililit ular.

Aku refleks memalingkan wajah, menghindari sentuhannya.

Tangan Julian terhenti di udara, tidak bergerak.

Saat tatapan matanya jatuh padaku, aku bisa merasakan amarah dan kejengkelannya.

Pusing. Dunia seperti berputar.

Aku menggelengkan kepala, dan wajah Julian di hadapanku perlahan menghilang, tergantikan oleh bayangan Kakek yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, tubuhnya penuh selang.

Aku ingat dengan sangat jelas karena aku tak bisa meminjam uang dan tidak sanggup bayar biaya rumah sakit, mereka menghentikan pengobatannya.

Aku berlutut di samping tempat tidurnya, menangis sangat jelek.

Kakek sudah kesulitan bicara, tapi tetap berusaha tersenyum.

Dengan suara parau, dia bertanya.

"Mereka baik-baik saja sama Mira?"

Aku menutup wajah dengan tangan, menangis tanpa suara.

Meski Ayah dan Ibu lebih peduli pada Yolanda, meski Yolanda selalu menatapku dengan dingin dan curiga, meski Julian sangat membenciku, meski semua orang tidak menyukaiku, aku tetap menahan tangis dan menjawab dengan suara gemetar.

"Mereka baik sama aku."

Kakek mengulurkan tangannya, seolah ingin mengelus kepalaku.

"Mira cucuku ini sekarang juga anak yang disayang orangtuanya."

Belum sempat aku mendekat, belum sempat membiarkannya menyentuh rambutku sekali lagi, dia sudah lebih dulu menutup mata untuk selamanya.

Aku berkedip pelan, setetes air mata jatuh tanpa suara.

Kata-kata keras yang tadi sudah di ujung lidah Julian tiba-tiba ditelan kembali.

Dia hanya menatapku sekilas, lalu dengan suara dingin memerintahkan sopir.

"Cepat."

Aku mengusap air mata dengan lengan bajuku, lalu mengecilkan diri ke pojok kursi, berusaha seolah tak terlihat.

Pandanganku buram, aku memeluk lutut sendiri, dan tiba-tiba terpikir sesuatu.

Kalau saja dulu Julian mau menolongku, apa Kakek mungkin masih bisa diselamatkan?

Kalau iya, mungkin aku tak perlu pinjam uang rentenir.

Mungkin semua ini tak akan terjadi.

Tapi hidup ini tidak mengenal "kalau saja".

Mobil berhenti mendadak, dan karena gaya dorong ke depan, dahiku terbentur ke sandaran kursi.

Luka lama yang sudah mulai mengering, terasa perih lagi seperti akan terbuka kembali.

Julian sempat melirikku.

"Dahimu kenapa?"

Aku memegang dahi, tak menjawab, hanya menggeleng pelan.

Dia juga tak bertanya lagi.

Tanpa menoleh, dia langsung turun dari mobil dan melangkah masuk ke rumah Keluarga Mentari

tanpa sedikit pun peduli padaku yang masih tertinggal di belakang.

Begitu masuk ke rumah Keluarga Mentari, aku langsung naik ke lantai atas, ingin segera mandi.

Saat melepas pakaian, aku akhirnya mencopot sarung tangan kumal itu dan memperlihatkan tangan kiriku.

Tak ada luka di sana, tapi jari kelingkingku bengkok ke arah yang aneh dan menyeramkan.

Itu aku yang melakukannya sendiri. Aku mematahkan tulangnya dengan tanganku sendiri. Hanya setelah itu mereka tertawa puas, baru mereka mau memberiku sesuap nasi.

Waktu itu, yang ada di dalam pikiranku cuma satu: biarlah tulang yang patah ini menemaniku seumur hidup, agar aku bisa tetap sadar setiap saat.

Aku mengganti pakaian dengan gaun panjang, lalu kembali mengenakan sarung tangan, dan barulah turun ke bawah.

Kebetulan sudah waktunya makan. Ibu langsung melihatku, tatapannya seperti tak percaya. Ia melambaikan tangan padaku, suaranya terdengar sedikit menggerutu.

“Beberapa hari ini ke mana saja? Telepon pun nggak ada.”

Aku membuka mulut, ingin bicara. Tapi entah kenapa, rasa sedih langsung menyergap. Baru saja hendak mengeluarkan satu suku kata, suaraku sudah dipotong.

“Mama, cantik nggak?”

Yolanda melangkah turun dari lantai atas, mengenakan gaun yang belum pernah kulihat sebelumnya, gerak-geriknya anggun bak kupu-kupu yang menari di udara.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 14

    “Luka yang kamu alami juga akibat dari aku dan ibumu yang terlalu memanjakan Yolanda.”“Kamu masih bisa memaafkan Papa dan Mama?”Ibu menatapku penuh harap.Aku menundukkan kepala.“Mama, masih ingat kartu ATM yang dulu pernah kamu kasih ke aku?”“Kalau waktu itu aku benar-benar memilikinya, semua ini mungkin tidak akan terjadi.”“Maksudku, sekarang sudah terlambat.”Kasih sayang yang kalian berikan datang terlalu lambat.Dan aku sudah tidak membutuhkannya lagi.“Jimmy, aku ngantuk…”Aku pun berbaring, membelakangi mereka.Di belakangku, terdengar isakan tertahan dari Ibu.Aku diam-diam menyeka air mataku, tapi tetap tidak mengubah pendirianku.Di dunia ini, tidak semua hal layak untuk dimaafkan.Dan Julian, dia tahu betul bahwa akulah yang harus menanggung akibat dari semua ini.Dia tahu bahwa akulah yang terjun dari lantai dua karena perbuatannya.Makanya dia tak pernah berani muncul di hadapanku, hanya diam-diam mengambil keputusan untuk menghancurkan Yolanda sepenuhnya.Hari sidang

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 13

    “Uang yang kupinjam itu kugunakan untuk mengurus pemakaman Kakek. Tapi bahkan sebelum waktunya tiba, mereka sudah datang menagih.”“Sebenarnya aku bisa saja kabur, atau bersembunyi. Tapi mereka bilang, kalau aku berani kabur, mereka akan bongkar makam Kakek.”“Aku nggak punya jalan lain, dan satu-satunya harapan yang kupunya, aku gantungkan padamu, Julian.”Nadaku sangat pelan, nyaris seperti bisikan.“Itulah keputusan paling salah yang pernah kubuat.”“Aku nggak tahu kenapa nomor Papa dan Mama selalu nggak bisa dihubungi. Satu-satunya yang bisa kuhubungi, cuma kamu.”“Tapi cuma satu kalimat dari kamu sudah cukup membuatku menderita selama setengah bulan.”“Makan makanan anjing, belajar cara makan seperti anjing, diperlakukan seperti anjing yang diikat, semua itu masih termasuk ringan.”Aku menyibakkan selimut, turun dari tempat tidur dan menyalakan lampu.Lalu aku berdiri di depan Julian, melepas sarung tangan dari tangan kiriku.Jari kelingkingku masih bengkok, bentuknya menyeramkan

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 12

    Dan di saat tangannya menyentuhku, aku pun langsung pingsan.Saat aku kembali sadar, aku sudah berada di sebuah kamar.Aku berkedip beberapa kali, baru menyadari bahwa semua ini ternyata bukan mimpi.Dan ketika aku duduk di atas ranjang, suara Julian pun terdengar.“Syukurlah kamu akhirnya sadar, Mira.”Aku duduk di sana, tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun.Ternyata aku memang tak pantas mendapatkan hidup yang bahagia.Semua hal indah bersama Jimmy ternyata hanya mimpi belaka.Sekarang aku sudah terbangun, dan aku harus kembali lagi ke dalam kegelapan itu.Kupeluk selimut erat-erat sambil menangis tanpa suara.Julian menunggu lama, tapi aku tetap diam.Ia perlahan mendekat, duduk di tepi ranjang, tampak ragu saat hendak menyentuhku.“Jangan sentuh aku.”Suara serakku nyaris tak terdengar.“Setiap kali kamu menyentuhku, rasanya aku ingin muntah.”Julian pun terdiam, membeku di tempat.“Mira, aku benar-benar nggak tahu kalau telepon itu akan membuatmu...”Aku menoleh, memandang w

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 11

    “Kak, Kak Julian, dia mau membunuhku…”Yolanda menangis terisak-isak.“Bangun sekarang juga.”Aku terpaku, tak bergerak sedikit pun. Julian mulai kehilangan kesabaran, dan langsung hendak menarikku paksa.Tapi tiba-tiba, sebuah sentuhan hangat mendarat di lenganku. Aku menoleh dan tepat berhadapan dengan tatapan penuh iba dari Jimmy. Dengan lembut, dia membantuku berdiri, merapikan rambutku yang berantakan, lalu menenangkan.“Tenang, aku di sini. Sekarang semuanya sudah baik-baik saja, jangan takut.”Mataku langsung memanas, dan air mata pun tumpah tanpa bisa ditahan. Aku langsung memeluk Jimmy erat-erat.Tatapan Julian tiba-tiba membeku, hawa dingin terpancar dari matanya saat ia bertanya tajam,“Mira, siapa dia?”“Kau nggak tahu malu, ya? Peluk-pelukan dengan pria di depan umum begitu!”Jimmy tetap tenang, sambil menepuk-nepuk punggungku untuk menenangkanku, ia melirik Julian dengan senyum dingin.“Pak Julian, ya? Mira sudah bilang padaku bahwa kalian sudah memutuskan pertunangan.”“

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 10

    Aku mencengkeram erat gagang pintu, buku-bukuku memutih, tak lagi berwarna darah.Julian. Lagi-lagi Julian.Apakah ini balasan atas rasa cintaku yang membutakan selama bertahun-tahun? Semakin aku menghindar, semakin tak bisa lepas darinya.Yolanda menahan pintuku dengan bahunya, menggoyang-goyangkan mangga di tangannya. Tatapannya padaku seperti sedang menonton sebuah lelucon.“Kenapa terlihat tidak senang sekali menyambutku? Padahal aku bawakan buah kesukaanmu, mangga.”Aku ingin menutup pintu, tapi pintu itu sama sekali tak bergeming.Aku menatapnya tajam dan menjawab dengan gemas, menggertakkan gigi.“Kau pasti salah ingat. Aku alergi mangga.”“Ah, masa sih?”Yolanda mengangkat alisnya, pura-pura terkejut. Ia mendekat ke telingaku, lalu berbisik penuh kemenangan,“Mira, kau bahkan sanggup merangkak di lantai seperti anjing demi sesuap nasi, alergi mangga itu apa artinya?”Mataku membelalak, pupilku menyusut tajam. Tubuhku bergetar hebat. Masa lalu yang memalukan itu kembali ditarik

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 9

    Jadi, akulah yang memutuskan untuk mengakhiri semua kontak dengannya.Pelan-pelan, aku mulai melupakan semua kenangan tentang Jimmy.Tapi setelah beberapa hari bersama dia lagi, aku mulai menurunkan tembok pertahananku.Bahkan sekarang, aku sudah bisa ngobrol ringan dengan paman penjual buah di pinggir jalan.Dan kami berdua, seolah sudah sepakat untuk tak menyebutkan soal perpisahan dulu.Aku duduk santai di sofa, memandangi Jimmy yang sibuk ke sana kemari.Saat dia membawa vacuum cleaner ke arahku, aku langsung mengangkat kaki sambil tersenyum padanya.“Jimmy, aku pengin makan stroberi.”Ia mencubit pipiku, nada suaranya setengah menggertak, setengah manja.“Sekarang ini musim apa? Mana ada stroberi!”“Aku nggak peduli. Pokoknya mau!”“Iya iya iya, makan, makan. Kamu emang nenek moyangnya aku ya.”Nada pasrah Jimmy membuatku tiba-tiba merasa seolah tak pernah ada perpisahan di antara kami.Beberapa hari ini, dia selalu datang setelah pulang kerja untuk menjaga dan menemaniku.Dan dar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status