Share

Bab 4

Author: Arif
Perhatian Mama langsung teralihkan oleh kehadiran Yolanda. Tatapannya pun berpindah dari diriku.

“Cantik.”

Yolanda berdiri di sana, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis ke arahku.

“Mira, kenapa pakai baju setebal itu?”

Ucapan itu seketika membuat semua orang menoleh ke arahku.

Mata kami bertemu. Tatapan Yolanda penuh ejekan, hatiku mencelos. Tapi kali ini, aku tidak lagi menanggapi dengan sikap menyerang seperti dulu.

Aku menarik napas, menenangkan diri, baru hendak bicara, tapi Yolanda sudah lebih dulu menggamit lengan Mama, wajahnya dihiasi senyum manis.

“Mama, aku juga sudah siapkan satu baju untuk Mira, lho.”

Mama mengangguk puas, tampak senang.

Yolanda kembali menatapku, sorot matanya menyimpan niat buruk.

“Mira, mau coba pakai nggak?”

Aku mengepalkan jemariku, teringat luka-luka di tubuhku. Dengan tenang, aku menolak, “Nggak usah, terima kasih.”

Wajah Yolanda sekilas tampak kecewa, tapi cepat-cepat ia memaksakan senyum.

“Kalau begitu, ya sudah.”

Wajah Julian ikut menggelap. Ia sempat melirik ke arahku, sorot matanya seperti memberi peringatan. Tapi karena ini rumah Keluarga Mentari, dia menahan diri.

Mama menatap gaunku yang menjuntai hingga mata kaki. Keningnya berkerut. Tak tahan, ia pun mulai menegur.

“Yolanda itu maksudnya baik, lho.”

Tepat waktu, wajah Yolanda tampak sedikit pucat, seperti seorang anak yang baru saja dibentak. Ia hanya tersenyum kaku, seolah berusaha menutupi kesedihannya.

“Mama, nggak apa-apa. Wajar kalau Mira membenciku.”

Aku tak lagi seperti dulu, tak membantah Mama, tak juga mencaci Yolanda yang berpura-pura. Aku hanya terdiam sejenak, lalu menjawab dengan datar:

“Kalau begitu, terima kasih, Yolanda.”

Nada suaraku membuat Mama tertegun, bahkan Julian tampak sedikit terkejut.

Sepanjang makan, Mama terus berusaha menyenangkan hatiku, bahkan rajin sekali mengambilkan lauk untukku. Kali ini, aku pun berubah. Aku tunduk sopan, mengucap “terima kasih” setiap kali dia menyodorkan sesuatu.

Mama nyaris curiga aku sedang sakit. Ia bahkan menyentuh keningku, dan setelah memastikan suhuku normal, dia justru menghela napas cemas. Tak jadi memarahiku, malah mengembalikan kartu bank yang dulu diambil dariku, meletakkannya ke telapak tanganku.

“Mira, waktu kamu kabur dari rumah, Papa dan Mama benar-benar panik.”

“Kami nggak akan mengekang kamu lagi. Ini kartumu, Papa juga udah transfer uang tambahan ke dalamnya.”

Aku menggenggam kartu itu erat lalu perlahan melepaskannya.

Terlambat. Kartu ini datang terlalu terlambat.

Yolanda masih menggenggam sumpit, ruas jarinya pucat menegang. Dia tak berhenti menatapku, hingga akhirnya mata kami bertemu. Saat itu barulah ia kembali tersenyum, penuh kepura-puraan.

“Kak Julian, kamu belum kasih hadiah ulang tahun buat Mira, kan?”

Ia sedikit mencondongkan tubuh ke arah Julian. Kalung di lehernya, karena gerakannya, jatuh menggantung ke depan, begitu mencolok.

Aku mengenal kalung itu. Kami melihatnya bersama di sebuah lelang. Saat itu aku sangat menyukainya, tapi uangku tak cukup. Julian bilang, selama aku bersikap manis dan menurut, dia akan memberikannya sebagai hadiah ulang tahunku.

Tapi sekarang, kalung itu menggantung di leher Yolanda.

Julian menoleh padaku, seolah ingin menjelaskan.

“Kalung itu, lebih cocok dipakai Yolanda, jadi…”

“Jadi kamu kasih ke dia, ya?”

Aku menunduk, menurunkan pandangan. Suaraku ringan, nyaris seperti angin lewat.

“Nggak masalah. Terserah Tuan Julian mau kasih ke siapa pun.”

Tak perlu kau jelaskan. Aku tahu kau memang membenciku.

Setelah menyeka tanganku, aku berdiri.

“Aku sudah selesai makan. Mama, Tuan Julian, silakan lanjut.”

Seperti yang kuduga, Julian memberiku tatapan terkejut, tapi entah kenapa, juga puas.

Di tikungan lantai dua, aku bertemu dengannya.

Ia bersandar santai di dinding, memainkan pemantik. Saat melihatku keluar, ia menghembuskan asap rokok ke udara. Aku berhenti di tempatku berdiri, tak lagi seperti dulu yang selalu lari mendekat padanya. Ia mengangkat alis, tampak sedikit heran, tapi tetap dengan ekspresi puas.

“Mira, akhirnya kamu belajar jadi anak baik juga.”

Ia menyelipkan kembali pemantiknya, melangkah mendekat. Bau rokok yang tajam menusuk hidung, membuatku panik dan refleks mundur. Ia berhenti, tak lagi melangkah, lalu memasukkan pemantik ke saku.

Tatapannya tinggi, seolah sedang memberi belas kasih.

“Kalung itu biar Yolanda yang pakai. Tapi, karena kamu cukup patuh hari ini, aku bisa kasih kamu hadiah pengganti.”
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 14

    “Luka yang kamu alami juga akibat dari aku dan ibumu yang terlalu memanjakan Yolanda.”“Kamu masih bisa memaafkan Papa dan Mama?”Ibu menatapku penuh harap.Aku menundukkan kepala.“Mama, masih ingat kartu ATM yang dulu pernah kamu kasih ke aku?”“Kalau waktu itu aku benar-benar memilikinya, semua ini mungkin tidak akan terjadi.”“Maksudku, sekarang sudah terlambat.”Kasih sayang yang kalian berikan datang terlalu lambat.Dan aku sudah tidak membutuhkannya lagi.“Jimmy, aku ngantuk…”Aku pun berbaring, membelakangi mereka.Di belakangku, terdengar isakan tertahan dari Ibu.Aku diam-diam menyeka air mataku, tapi tetap tidak mengubah pendirianku.Di dunia ini, tidak semua hal layak untuk dimaafkan.Dan Julian, dia tahu betul bahwa akulah yang harus menanggung akibat dari semua ini.Dia tahu bahwa akulah yang terjun dari lantai dua karena perbuatannya.Makanya dia tak pernah berani muncul di hadapanku, hanya diam-diam mengambil keputusan untuk menghancurkan Yolanda sepenuhnya.Hari sidang

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 13

    “Uang yang kupinjam itu kugunakan untuk mengurus pemakaman Kakek. Tapi bahkan sebelum waktunya tiba, mereka sudah datang menagih.”“Sebenarnya aku bisa saja kabur, atau bersembunyi. Tapi mereka bilang, kalau aku berani kabur, mereka akan bongkar makam Kakek.”“Aku nggak punya jalan lain, dan satu-satunya harapan yang kupunya, aku gantungkan padamu, Julian.”Nadaku sangat pelan, nyaris seperti bisikan.“Itulah keputusan paling salah yang pernah kubuat.”“Aku nggak tahu kenapa nomor Papa dan Mama selalu nggak bisa dihubungi. Satu-satunya yang bisa kuhubungi, cuma kamu.”“Tapi cuma satu kalimat dari kamu sudah cukup membuatku menderita selama setengah bulan.”“Makan makanan anjing, belajar cara makan seperti anjing, diperlakukan seperti anjing yang diikat, semua itu masih termasuk ringan.”Aku menyibakkan selimut, turun dari tempat tidur dan menyalakan lampu.Lalu aku berdiri di depan Julian, melepas sarung tangan dari tangan kiriku.Jari kelingkingku masih bengkok, bentuknya menyeramkan

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 12

    Dan di saat tangannya menyentuhku, aku pun langsung pingsan.Saat aku kembali sadar, aku sudah berada di sebuah kamar.Aku berkedip beberapa kali, baru menyadari bahwa semua ini ternyata bukan mimpi.Dan ketika aku duduk di atas ranjang, suara Julian pun terdengar.“Syukurlah kamu akhirnya sadar, Mira.”Aku duduk di sana, tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun.Ternyata aku memang tak pantas mendapatkan hidup yang bahagia.Semua hal indah bersama Jimmy ternyata hanya mimpi belaka.Sekarang aku sudah terbangun, dan aku harus kembali lagi ke dalam kegelapan itu.Kupeluk selimut erat-erat sambil menangis tanpa suara.Julian menunggu lama, tapi aku tetap diam.Ia perlahan mendekat, duduk di tepi ranjang, tampak ragu saat hendak menyentuhku.“Jangan sentuh aku.”Suara serakku nyaris tak terdengar.“Setiap kali kamu menyentuhku, rasanya aku ingin muntah.”Julian pun terdiam, membeku di tempat.“Mira, aku benar-benar nggak tahu kalau telepon itu akan membuatmu...”Aku menoleh, memandang w

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 11

    “Kak, Kak Julian, dia mau membunuhku…”Yolanda menangis terisak-isak.“Bangun sekarang juga.”Aku terpaku, tak bergerak sedikit pun. Julian mulai kehilangan kesabaran, dan langsung hendak menarikku paksa.Tapi tiba-tiba, sebuah sentuhan hangat mendarat di lenganku. Aku menoleh dan tepat berhadapan dengan tatapan penuh iba dari Jimmy. Dengan lembut, dia membantuku berdiri, merapikan rambutku yang berantakan, lalu menenangkan.“Tenang, aku di sini. Sekarang semuanya sudah baik-baik saja, jangan takut.”Mataku langsung memanas, dan air mata pun tumpah tanpa bisa ditahan. Aku langsung memeluk Jimmy erat-erat.Tatapan Julian tiba-tiba membeku, hawa dingin terpancar dari matanya saat ia bertanya tajam,“Mira, siapa dia?”“Kau nggak tahu malu, ya? Peluk-pelukan dengan pria di depan umum begitu!”Jimmy tetap tenang, sambil menepuk-nepuk punggungku untuk menenangkanku, ia melirik Julian dengan senyum dingin.“Pak Julian, ya? Mira sudah bilang padaku bahwa kalian sudah memutuskan pertunangan.”“

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 10

    Aku mencengkeram erat gagang pintu, buku-bukuku memutih, tak lagi berwarna darah.Julian. Lagi-lagi Julian.Apakah ini balasan atas rasa cintaku yang membutakan selama bertahun-tahun? Semakin aku menghindar, semakin tak bisa lepas darinya.Yolanda menahan pintuku dengan bahunya, menggoyang-goyangkan mangga di tangannya. Tatapannya padaku seperti sedang menonton sebuah lelucon.“Kenapa terlihat tidak senang sekali menyambutku? Padahal aku bawakan buah kesukaanmu, mangga.”Aku ingin menutup pintu, tapi pintu itu sama sekali tak bergeming.Aku menatapnya tajam dan menjawab dengan gemas, menggertakkan gigi.“Kau pasti salah ingat. Aku alergi mangga.”“Ah, masa sih?”Yolanda mengangkat alisnya, pura-pura terkejut. Ia mendekat ke telingaku, lalu berbisik penuh kemenangan,“Mira, kau bahkan sanggup merangkak di lantai seperti anjing demi sesuap nasi, alergi mangga itu apa artinya?”Mataku membelalak, pupilku menyusut tajam. Tubuhku bergetar hebat. Masa lalu yang memalukan itu kembali ditarik

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 9

    Jadi, akulah yang memutuskan untuk mengakhiri semua kontak dengannya.Pelan-pelan, aku mulai melupakan semua kenangan tentang Jimmy.Tapi setelah beberapa hari bersama dia lagi, aku mulai menurunkan tembok pertahananku.Bahkan sekarang, aku sudah bisa ngobrol ringan dengan paman penjual buah di pinggir jalan.Dan kami berdua, seolah sudah sepakat untuk tak menyebutkan soal perpisahan dulu.Aku duduk santai di sofa, memandangi Jimmy yang sibuk ke sana kemari.Saat dia membawa vacuum cleaner ke arahku, aku langsung mengangkat kaki sambil tersenyum padanya.“Jimmy, aku pengin makan stroberi.”Ia mencubit pipiku, nada suaranya setengah menggertak, setengah manja.“Sekarang ini musim apa? Mana ada stroberi!”“Aku nggak peduli. Pokoknya mau!”“Iya iya iya, makan, makan. Kamu emang nenek moyangnya aku ya.”Nada pasrah Jimmy membuatku tiba-tiba merasa seolah tak pernah ada perpisahan di antara kami.Beberapa hari ini, dia selalu datang setelah pulang kerja untuk menjaga dan menemaniku.Dan dar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status