Share

Bertemu Mantan Suami

Seperti umumnya persahabatan, saat menginap adalah kesempatan kami untuk melepas rindu. Bercengkrama hampir lupa waktu. Apalagi setelah menikah, banyak di antara kami yang sudah sulit untuk bertemu karena telah tinggal berjauhan.

Namira dan keluarganya kini menetap di Bandung. Sarah dan Lidya tinggal di Jakarta, sementara Indah ikut suaminya yang dipindahtugaskan ke Surabaya. Hanya Winda dan Hani yang masih tinggal di kota ini. Walau turut sedih atas perceraianku dengan Mas Zaid, di lain sisi mereka senang akhirnya kami kembali tinggal berdekatan. Beda kecamatan, tapi masih satu kota. Artinya akan banyak waktu bagi kami untuk sering berkumpul seperti malam ini.

“Sayangnya Namira dan Sarah nggak bisa nginep, ya …,” ujar Lidya tampak kecewa. Ia sedang menyisir rambutnya yang panjang.

“Ya, gimana pun, namanya istri harus ikut kata suami, lah. Pak bos ngajak pulang sekarang ya, harus cabut,” Indah menanggapi. Seketika suasana hening. Winda mengalihkan tatapannya padaku.

“Eh, sorry, Zee. Gue nggak maksud bikin Lo sedih,” Indah langsung mendekatiku karena merasa bersalah. Ia memelukku dari samping tempat tidur.

“Hei … nggak apa-apa, kok. Semua udah selesai. Gue udah nggak mikirin laki-laki itu,” jawabku seraya membalas pelukan Indah.

“Jadi … Lo udah buka hati nih buat pria lain?” Winda langsung melemparkan senyum jahilnya. Aku mencebik.

“Nggak apa lagi, Zee. Masa iddah Lo juga dah lewat. Kalau udah ada yang lebih baik, kenapa nggak? Zelda dan Ziva butuh figur ayah tentunya,” Lidya menanggapi.

“Apaan, sih?” Aku pura-pura membereskan perlengkapan yang baru saja dipakai untuk membersihkan wajah.

“Yang tadi ngobrol sama Lo di kolam renang kayaknya pas tuh, buat jadi papa barunya anak-anak,” Indah ikut bersuara lagi. Tak kusangka dia melihat Handi tadi.

“Iya, Zee. Ganteng pula,” ujar Winda yang disambut tawa Indah dan Lidya. Aku segera melempar bantal-bantal pada ketiganya.

Begitulah, saat bersama mereka, aku seperti ditarik ke masa seragam putih abu-abu yang penuh tawa. Berada di antara sahabat yang selalu ceria, membuatku sejenak melupakan lara. Aku memang tidak jujur jika mengatakan saat ini baik-baik saja. Tak mudah untuk berdiri tegak setelah layarku terhantam karang hingga berkeping-keping. Haruskah aku membuka hati untuk dapat kembali mengarungi samudera?

Hingga hampir dini hari, aku tak dapat memejamkan mata. Pikiranku mengembara pada hari-hari terakhir saat bahtera diguncang prahara. Zaid sudah menghilangkan rasa. Menghancurkan segenggam kepercayaan dengan bara api. Membuatku tak mampu bertahan dalam istana kepalsuan yang ia bangun. Akhirnya kupilih untuk mengambil wudu dan mendekat pada Sang Pemilik Kedamaian.

***

Pagi ini kami sarapan di resto hotel bersama keluarga pengantin. Setelah berbincang sejenak dengan Hani dan Pras, aku mengambil menu lalu melangkah ke arah sudut resto. Di sana ketiga sahabatku sudah lebih dulu berkumpul.

Winda memilih nasi goreng sebagai menu sarapannya. Dia memang unik, hanya suka nasi yang berwarna atau berasa. Tidak suka nasi putih.

Lidya tampak asyik menikmati menu American Breakfast. Sementara Indah sama sepertiku, memilih aneka buah sebagai menu sarapan. Sudah hampir dua tahun terakhir kami berdua mengubah pola makan. Menghindari nasi, gorengan, tepung, dan minyak dalam setiap makanan yang kami konsumsi kecuali terpaksa tak ada menu lainnya.

"Lo dijemput jam berapa, Win?" tanya Indah pada Winda yang sedang asyik mengunyah makanannya.

"Sebentar lagi, sih. Dia udah jalan ke sini, kok."

"Kita harus ketemuan sebulan sekali, ya minimal?"

"Setuju. Di tempat Zee aja," Lidya menatapku. "Lo jadi mindahin butik ke sini, kan?"

"Bukan pindah. Yang di Jakarta tetep buka, kok. Di sini aku buka baru."

"Terus, selama Lo di sini, siapa yang urus di Jakarta? Bukan perempuan laknat itu, kan?" Indah tampak gusar. Tatapannya terlihat kesal.

"Nggak, lah. Dia udah gue pecat sejak chat itu kebongkar. Ada Irma, karyawan gue yang lain. Sementara ini dia yang handle semua."

"Gue sumpahin dapet karma tuh cewek!" Indah masih gusar. Obrolan kami tiba-tiba terputus saat sebuah sapa mengalihkan perhatianku.

“Hai, Zee!” sapanya tepat di depan meja kami. Aku mendongak untuk melihat wajah orang itu.

“Handi?”

“Boleh gabung?” Handi bertanya bahkan saat aku masih terkejut dengan kehadirannya.

“Boleh, kok. Duduk aja, Mas,” sahut Winda yang melihatku masih belum memberikan jawaban.

“Aku juga baru ambil sarapan, dan pas ngeliat kalian, langsung aja ke sini.”

“Masnya yang semalem ngobrol lama sama Zee di pinggir kolam, ya?” tanya Indah dengan wajah polosnya.

“Indah!” interupsiku karena malu. Handi tersenyum.

“Kalian pulang jam berapa?”

“Habis sarapan kami langsung pamit sama pengantin, kok,” tukasku cepat sebelum didahului dengan jawaban aneh dari tiga sahabatku. Handi mengangguk.

Dia lalu memperkenalkan dirinya pada Winda, Indah, dan Lidya.

“Masnya teman Hani atau Pras?” Indah tampak antusias, sementara aku heran dengan sapaannya pada Handi? Biasanya tuh anak pakai lo gue, kenapa tiba-tiba jadi mas?

“Saya dan Pras kuliah di jurusan yang sama saat S2,” jawab Handi lalu meminum jus buah dari gelasnya. Hari ini laki-laki itu mengenakan kaus berkerah warna hitam yang dipadu dengan celana jeans biru navy. Di tangannya kulihat jam hitam yang juga dipakainya semalam. Penampilannya simple, tapi tampak elegan dan … tampan.

"Tinggalnya di mana, Mas?" Lidya sejenak menghentikan aktivitas makannya.

"Di Kranggan. Mampir aja kapan-kapan."

"Siap," kali ini Indah sudah berubah cerah wajahnya. Tak lagi gusar seperti saat membicarakan si perusak rumah tanggaku tadi.

“Gue ke atas duluan ya, Zee? Sakit perut, nih!” ujar Winda tiba-tiba. Aku menatapnya heran. Piringnya sudah kosong. Cepat sekali dia makan, pikirku.

“Gue sama Lidya juga duluan ya, Zee? Belum packing soalnya. Lo santai, aja. Kami tungguin, kok," Indah ikut berdiri kali ini. Tanpa menunggu jawabanku, ketiganya langsung pergi setelah berpamitan pada Handi yang kini menatapku tajam.

Suasana berubah canggung. Sepertinya ketiga sahabatku itu sengaja meninggalkan kami, agar bisa berbincang hanya berdua saja tanpa gangguan. Entah kenapa tiba-tiba perutku terasa kenyang sekarang, padahal irisan buah masih tersisa banyak di piring.

“Boleh aku main ke rumahmu?” tanya Handi tiba-tiba. Sangat mengejutkan. Bagaimana aku harus menjawab? Tak mungkin mempersilakan orang yang baru dikenal beberapa jam untuk bertandang ke rumah.

“Saya belum punya rumah,” sahutku datar. Handi mengernyitkan dahi, membuat kedua alis matanya yang tebal seakan menyatu. Sedetik kemudian dia tertawa.

“Oke. Aku ingin mengunjungimu, di mana pun kau tinggal.”

“Tidak hari ini,” jawabku datar. Terserah jika Handi menganggapku galak atau sombong sekalipun. Waspada terhadap orang baru tak salah tentunya, kan?

"Hai, Zee? Apa kabar?" sebuah suara yang sangat akrab terdengar dari sisi kanan. Segera aku menoleh. Rasanya bumi seperti berhenti berputar. Untuk apa dia di sini?

Handi ikut menoleh ke arah pemilik suara. Tatapannya kemudian beralih padaku yang sedang membeku.

"Kenalkan, saya Zaid. Suami Zee," ucap laki-laki itu sambil duduk di antara kami, padahal belum ada yang mempersilakan. Handi menyambut uluran tangannya.

"Maaf, ralat. Mantan suami," tukasku cepat.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status