Home / Romansa / Aku Tanpa Cintamu / Bertemu Mantan Suami

Share

Bertemu Mantan Suami

Author: NH. Soetardjo
last update Last Updated: 2023-04-11 10:03:52

Seperti umumnya persahabatan, saat menginap adalah kesempatan kami untuk melepas rindu. Bercengkrama hampir lupa waktu. Apalagi setelah menikah, banyak di antara kami yang sudah sulit untuk bertemu karena telah tinggal berjauhan.

Namira dan keluarganya kini menetap di Bandung. Sarah dan Lidya tinggal di Jakarta, sementara Indah ikut suaminya yang dipindahtugaskan ke Surabaya. Hanya Winda dan Hani yang masih tinggal di kota ini. Walau turut sedih atas perceraianku dengan Mas Zaid, di lain sisi mereka senang akhirnya kami kembali tinggal berdekatan. Beda kecamatan, tapi masih satu kota. Artinya akan banyak waktu bagi kami untuk sering berkumpul seperti malam ini.

“Sayangnya Namira dan Sarah nggak bisa nginep, ya …,” ujar Lidya tampak kecewa. Ia sedang menyisir rambutnya yang panjang.

“Ya, gimana pun, namanya istri harus ikut kata suami, lah. Pak bos ngajak pulang sekarang ya, harus cabut,” Indah menanggapi. Seketika suasana hening. Winda mengalihkan tatapannya padaku.

“Eh, sorry, Zee. Gue nggak maksud bikin Lo sedih,” Indah langsung mendekatiku karena merasa bersalah. Ia memelukku dari samping tempat tidur.

“Hei … nggak apa-apa, kok. Semua udah selesai. Gue udah nggak mikirin laki-laki itu,” jawabku seraya membalas pelukan Indah.

“Jadi … Lo udah buka hati nih buat pria lain?” Winda langsung melemparkan senyum jahilnya. Aku mencebik.

“Nggak apa lagi, Zee. Masa iddah Lo juga dah lewat. Kalau udah ada yang lebih baik, kenapa nggak? Zelda dan Ziva butuh figur ayah tentunya,” Lidya menanggapi.

“Apaan, sih?” Aku pura-pura membereskan perlengkapan yang baru saja dipakai untuk membersihkan wajah.

“Yang tadi ngobrol sama Lo di kolam renang kayaknya pas tuh, buat jadi papa barunya anak-anak,” Indah ikut bersuara lagi. Tak kusangka dia melihat Handi tadi.

“Iya, Zee. Ganteng pula,” ujar Winda yang disambut tawa Indah dan Lidya. Aku segera melempar bantal-bantal pada ketiganya.

Begitulah, saat bersama mereka, aku seperti ditarik ke masa seragam putih abu-abu yang penuh tawa. Berada di antara sahabat yang selalu ceria, membuatku sejenak melupakan lara. Aku memang tidak jujur jika mengatakan saat ini baik-baik saja. Tak mudah untuk berdiri tegak setelah layarku terhantam karang hingga berkeping-keping. Haruskah aku membuka hati untuk dapat kembali mengarungi samudera?

Hingga hampir dini hari, aku tak dapat memejamkan mata. Pikiranku mengembara pada hari-hari terakhir saat bahtera diguncang prahara. Zaid sudah menghilangkan rasa. Menghancurkan segenggam kepercayaan dengan bara api. Membuatku tak mampu bertahan dalam istana kepalsuan yang ia bangun. Akhirnya kupilih untuk mengambil wudu dan mendekat pada Sang Pemilik Kedamaian.

***

Pagi ini kami sarapan di resto hotel bersama keluarga pengantin. Setelah berbincang sejenak dengan Hani dan Pras, aku mengambil menu lalu melangkah ke arah sudut resto. Di sana ketiga sahabatku sudah lebih dulu berkumpul.

Winda memilih nasi goreng sebagai menu sarapannya. Dia memang unik, hanya suka nasi yang berwarna atau berasa. Tidak suka nasi putih.

Lidya tampak asyik menikmati menu American Breakfast. Sementara Indah sama sepertiku, memilih aneka buah sebagai menu sarapan. Sudah hampir dua tahun terakhir kami berdua mengubah pola makan. Menghindari nasi, gorengan, tepung, dan minyak dalam setiap makanan yang kami konsumsi kecuali terpaksa tak ada menu lainnya.

"Lo dijemput jam berapa, Win?" tanya Indah pada Winda yang sedang asyik mengunyah makanannya.

"Sebentar lagi, sih. Dia udah jalan ke sini, kok."

"Kita harus ketemuan sebulan sekali, ya minimal?"

"Setuju. Di tempat Zee aja," Lidya menatapku. "Lo jadi mindahin butik ke sini, kan?"

"Bukan pindah. Yang di Jakarta tetep buka, kok. Di sini aku buka baru."

"Terus, selama Lo di sini, siapa yang urus di Jakarta? Bukan perempuan laknat itu, kan?" Indah tampak gusar. Tatapannya terlihat kesal.

"Nggak, lah. Dia udah gue pecat sejak chat itu kebongkar. Ada Irma, karyawan gue yang lain. Sementara ini dia yang handle semua."

"Gue sumpahin dapet karma tuh cewek!" Indah masih gusar. Obrolan kami tiba-tiba terputus saat sebuah sapa mengalihkan perhatianku.

“Hai, Zee!” sapanya tepat di depan meja kami. Aku mendongak untuk melihat wajah orang itu.

“Handi?”

“Boleh gabung?” Handi bertanya bahkan saat aku masih terkejut dengan kehadirannya.

“Boleh, kok. Duduk aja, Mas,” sahut Winda yang melihatku masih belum memberikan jawaban.

“Aku juga baru ambil sarapan, dan pas ngeliat kalian, langsung aja ke sini.”

“Masnya yang semalem ngobrol lama sama Zee di pinggir kolam, ya?” tanya Indah dengan wajah polosnya.

“Indah!” interupsiku karena malu. Handi tersenyum.

“Kalian pulang jam berapa?”

“Habis sarapan kami langsung pamit sama pengantin, kok,” tukasku cepat sebelum didahului dengan jawaban aneh dari tiga sahabatku. Handi mengangguk.

Dia lalu memperkenalkan dirinya pada Winda, Indah, dan Lidya.

“Masnya teman Hani atau Pras?” Indah tampak antusias, sementara aku heran dengan sapaannya pada Handi? Biasanya tuh anak pakai lo gue, kenapa tiba-tiba jadi mas?

“Saya dan Pras kuliah di jurusan yang sama saat S2,” jawab Handi lalu meminum jus buah dari gelasnya. Hari ini laki-laki itu mengenakan kaus berkerah warna hitam yang dipadu dengan celana jeans biru navy. Di tangannya kulihat jam hitam yang juga dipakainya semalam. Penampilannya simple, tapi tampak elegan dan … tampan.

"Tinggalnya di mana, Mas?" Lidya sejenak menghentikan aktivitas makannya.

"Di Kranggan. Mampir aja kapan-kapan."

"Siap," kali ini Indah sudah berubah cerah wajahnya. Tak lagi gusar seperti saat membicarakan si perusak rumah tanggaku tadi.

“Gue ke atas duluan ya, Zee? Sakit perut, nih!” ujar Winda tiba-tiba. Aku menatapnya heran. Piringnya sudah kosong. Cepat sekali dia makan, pikirku.

“Gue sama Lidya juga duluan ya, Zee? Belum packing soalnya. Lo santai, aja. Kami tungguin, kok," Indah ikut berdiri kali ini. Tanpa menunggu jawabanku, ketiganya langsung pergi setelah berpamitan pada Handi yang kini menatapku tajam.

Suasana berubah canggung. Sepertinya ketiga sahabatku itu sengaja meninggalkan kami, agar bisa berbincang hanya berdua saja tanpa gangguan. Entah kenapa tiba-tiba perutku terasa kenyang sekarang, padahal irisan buah masih tersisa banyak di piring.

“Boleh aku main ke rumahmu?” tanya Handi tiba-tiba. Sangat mengejutkan. Bagaimana aku harus menjawab? Tak mungkin mempersilakan orang yang baru dikenal beberapa jam untuk bertandang ke rumah.

“Saya belum punya rumah,” sahutku datar. Handi mengernyitkan dahi, membuat kedua alis matanya yang tebal seakan menyatu. Sedetik kemudian dia tertawa.

“Oke. Aku ingin mengunjungimu, di mana pun kau tinggal.”

“Tidak hari ini,” jawabku datar. Terserah jika Handi menganggapku galak atau sombong sekalipun. Waspada terhadap orang baru tak salah tentunya, kan?

"Hai, Zee? Apa kabar?" sebuah suara yang sangat akrab terdengar dari sisi kanan. Segera aku menoleh. Rasanya bumi seperti berhenti berputar. Untuk apa dia di sini?

Handi ikut menoleh ke arah pemilik suara. Tatapannya kemudian beralih padaku yang sedang membeku.

"Kenalkan, saya Zaid. Suami Zee," ucap laki-laki itu sambil duduk di antara kami, padahal belum ada yang mempersilakan. Handi menyambut uluran tangannya.

"Maaf, ralat. Mantan suami," tukasku cepat.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Tanpa Cintamu   Batal Nikah

    Setelah tubuh Handi hilang di balik pintu, aku mempersilakan Mas Zaid duduk. Lelaki di depanku ini, ia yang dulu dengan sepenuh hati aku cintai. Ayah dari Ziva dan Zelda. Darinya aku berharap surga setelah kehidupan yang fana ini berakhir. Namun, semua harus kulepaskan dengan kerelaan hati. Tak mungkin bertahan kalau masing-masing tak lagi merasa nyaman. Pastinya yang didapat hanya kesia-siaan. Kini, ketika telah telah resmi bercerai, kami hanyalah kawan yang sepakat sama-sama memberikan yang terbaik untuk Ziva dan Zelda. Tak lagi bersama membangun asa. Melupakan semua rasa yang pernah ada.Sakit? Tentu saja. Bahkan hatiku sempat hancur berkeping-keping. Ia yang pernah menghapus setiap butiran dari mataku, justru berakhir menjadi penyebab semua tangis. "Zee ...."Suaranya terdengar parau, membuatku tersadar dari lamunan. Ia tak pernah tampak selemah sekarang. Mata yang sekarang sayu itu, Deli senantiasa berbinar penuh semangat. Ia membuka tas, lalu mengeluarkan sebuah amplop besa

  • Aku Tanpa Cintamu   Yah, Ketahuan

    Aku memotret barang-barang pemberian Handi itu. Sengaja kufoto secara terpisah. Pertama kukirim foto buah-buahan itu padanya ditambah sebaris kalimat. Thanks kirimannya. Harusnya kamu nggak perlu repot-repot.Tak lama tanda centang di samping pesan itu sudah berubah menjadi biru. Namun, sampai beberapa menit tak juga ada balasan yang masuk. Dengan kesal, kuletakkan ponsel itu dan beralih pada pekerjaan. Aku memeriksa beberapa berkas yang sudah disiapkan Murni. Ternyata ada undangan untuk mengisi sebuah acara enterpreneur di Bandung akhir pekan ini. Entah dari mana mereka mendapatkan informasi tentangku. Setelah memberi tanda pada kalender, aku beralih pada rencana pemesanan bahan untuk produk baru. Karena kemarin batal ke Bandung, hari ini aku memilih menelepon bagian pemasaran pabrik tekstil yang menjadi rekananku.Tak terasa, pembicaraan tentang bahan, kesiapan produksi, dan proses pengirimannya telah memakan waktu lebih dari lima belas menit. Aku menarik napas panjang setelah sa

  • Aku Tanpa Cintamu   Calon Suami Pilihan

    "Kamu pulang sama siapa, Nduk.""Eh, i-itu ... Handi yang antar, Bu.""Sekarang, mana dia?""Udah pulang.""Kenapa nggak disuruh masuk dulu. Kamu harusnya buatin teh dulu.""Wes, tho, Bu. Biarin aja. Udah malem juga. Ora penak karo tonggo.""Huss, nggak boleh gitu sama calon suami.""Hah? Calon suami? Maksudnya gimana, Bu?""Lho, Nak Handi belum ngomong sama kamu?""Ngomong apa, Bu?""Yo, wes. Kamu istirahat aja dulu. Sudah malam. Besok aja kita obrolin lagi."Sebenarnya aku masih ingin mengorek keterangan lebih lanjut dari ibu. Siapa yang dimaksud calon suami oleh ibu? Tak mungkin itu Handi, 'kan? Ibu menguap panjang. Pasti tidurnya terganggu dengan kehadiranku di malam selarut ini. Akhirnya kuputuskan untuk besok saja meminta penjelasan dari ibu tentang ucapannya tadi. Aku masuk ke kamar dan melihat Ziva tertidur pulas. Sementara Zelda tidur di kamar ibu. Selama aku pergi ke Jakarta, gadis kecil itu hanya mau tidur bersama nenek dan kakeknya.Aku tersenyum menatap wajah Ziva yang

  • Aku Tanpa Cintamu   Dilamar

    Pagi setelah sarapan, aku sudah langsung check out dari hotel. Bandung sudah tak menjadi tujuan berikutnya. Pikiran dan hati saat ini sudah bukan tertuju pada pakerjaan, jadi aku memilih untuk pulang ke Temanggung. Biarlah lain kali saja ke sana. Saat aku baru saja masuk ke dalam mobil, seseorang mengetuk kaca jendela. Mas Zaid? Kenapa dia sampai ke parkiran di basemen ini?Kubuka jendela mobil, dan mengamati mantan suamiku itu dari atas ke bawah. Ia membawa sebuah kantong besar bertuliskan brand terkenal sebuah produk mainan. Ah, iya. Aku baru ingat kalau Mas Zaid ingin menitipkan sesuatu untuk Ziva dan Zelda."Kok, Mas tahu aku ada di sini?" "Aku tadi ke resepsionis, tapi katanya kamu udah check out. Untung belum terlambat.""Iya. Aku ada urusan yang harus diselesaikan.""Jadi ke Bandung?""Nggak kayaknya. Aku harus segera pulang ke Temanggung.""Zee, sebenarnya ....""Kenapa, Mas?""Sebenarnya aku khawatir kamu nyetir sendirian sejauh ini. Kalau kamu nggak keberatan, biar aku tem

  • Aku Tanpa Cintamu   Penjelasan

    Ternyata saat aku tidur tadi, di luar turun hujan. Kini jalanan basah. Sebasah luka yang baru saja Handi goreskan. Ah, kenapa aku kembali mengingat sosoknya?Aku fokus di balik kemudi, tapi ingatan justru berputar pada pertemuan-pertemuan dengan Handi. Kenapa selama ini aku tak bisa menangkap fakta bahwa ia punya maksud jahat? Sulit bagiku untuk menerima kenyataan bahwa Handi bersepakat dengan Asih. Seketika aku kembali merasa muak.Kecewa, marah, sedih, dan merasa dikhianati. Semua perasaan itu terus terbawa hingga aku masuk ke dalam sebuah restoran cepat saji. Aku mencoba membebaskan dada ini dari rasa yang menyiksa. Mungkin aku harus menjauh dari Handi karena kehadirannya setelah ini pasti akan membuat sayatan luka itu semakin dalam. Suasana resto cukup lengang malam ini. Mungkin karena baru saja hujan di luar sana. Aku makan dengan perasaan hampa, sambil sesekali memperhatikan jalan di luar sana. Detik berikutnya beralih pada antrian pengunjung yang entah kenapa didominasi driver

  • Aku Tanpa Cintamu   Pengejaran

    Ingin rasanya aku masuk kedalam ruangan itu dan meminta penjelasan pada keduanya. Namun, ingatan pada Asih yang sudah memporak-porandakan rumah tanggaku, membuat niat itu batal. Sebaiknya aku pergi saja dari rumah ini. Saat memutar badan hendak keluar, entah bagaimana kakiku terantuk dahan pintu. Rasa sakitnya membuat aku meringis, tapi tak seperih hati yang merasa dikhianati. Dengan menahan pedih, aku bergegas hendak keluar. Saat itulah Handi muncul di pintu. Ia pasti mendengar suara benturan di pintu. "Zee? Ka-kamu ...."Aku menatapnya dengan pandangan yang mulai buram. Sebisa mungkin kutahan agar tak luruh agar tak menjadi derai yang menganak sungai. Aku harus kuat di mata dua orang yang bersekongkol ini. "Ya. Aku sudah mendengar semuanya, Han. Nggak nyangka ternyata kamu sejahat itu. Kenapa? Ada salah apa aku ke kamu?"Ternyata aku sulit menahan jatuhnya kristal dari mata. Sebisa mungkin berusaha untuk tak terisak. Lalu saat sosok perempuan itu muncul di belakang Handi, aku sud

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status