Home / Romansa / Aku Tanpa Cintamu / Laki-laki Asing

Share

Laki-laki Asing

Author: NH. Soetardjo
last update Last Updated: 2023-04-11 09:39:57

Aku bergegas masuk ke balairung salah satu hotel terbesar di kota ini. Letaknya di lantai paling atas. Baru satu pekan pulang ke kampung halaman, ternyata sudah mendapat undangan pesta pernikahan seorang sahabat semasa duduk di bangku SMA. Awalnya aku tidak berniat hadir. Namun, Ibu dan Bapak memaksa.

"Hani rajin mengunjungi Ibu sebulan sekali sejak kamu hijrah ke Jakarta. Masa di hari paling bersejarah dalam hidupnya, malah kamu nggak hadir?"

"Perjalanan ke kota kabupaten lumayan jauh, Bu. Kasihan Ziva dan Zelda. Apalagi pestanya malam hari," jawabku beralasan. 

"Anak-anak nggak usah diajak. Biar Ibu dan Bapak yang akan jaga mereka."

Beberapa hari berikutnya aku masih memikirkan apakah harus datang atau tidak ke acara ini. Tegakah? Bukankah harusnya aku malah membantu Hani mempersiapkan pestanya sejak awal? Bahkan dia mengirimkan seragam khusus untukku yang didaulat sebagai bridesmaid.

"Pokoknya kalian berenam harus datang. Aku udah siapin kamar di hotel yang sama."

Pesan itu Hani kirimkan ke grup. Pertanyaan dari Lidya muncul beberapa detik kemudian. 

"Kamar?"

"Iya. Setelah selesai acara, kalian pastinya lelah. Sudah terlalu larut juga untuk menempuh perjalanan pulang yang cukup jauh."

"Siap, Bos!"

Ibu dan Bapak juga menyarankan aku menginap saja bersama enam sahabatku itu. 

"Dari kota kabupaten ke sini hampir satu jam, Nduk. Kamu menginap saja. Ngeri kalau nyetir malam dengan jalan yang naik turun arah ke desa ini."

Akhirnya aku mengikuti saran Ibu. Kini, gaun tule peach dari Hani kupadukan dengan high heels warna senada. Di mobil ada pakaian ganti juga untuk esok aku pulang. 

Sampai di lokasi, akad dan pestanya belum dimulai. Aku langsung mencari sosok Sarah, Lidya, Namira, Rinda, dan Indah saat sampai di dalam balairung yang kini dihias amat cantik. Nuansa ungu mendominasi pemandangan di dalamnya. Hani memang seorang pecinta purple sejati. Setiap hari selalu saja ada ungu di antara benda atau gaun yang ia kenakan. 

"Zi ...!" Namira yang pertama melihatku langsung berteriak dan melambaikan tangannya. Kudekati rombongan itu, lalu memeluk mereka satu persatu. 

"Di mana Hani?" 

"Masih di ruang rias. Sebentar lagi selesai," jawab Sarah.

"Lo sama siapa, Zi?" tanya Lidya lembut. Dia tampaknya khawatir aku sedih ditanya seperti itu.

"Sendiri."

Aku mengulas senyum senormal mungkin karena tak ingin semua sahabat menjadi khawatir. Meraka banyak memberikan support padaku selama menjalani hari-hari yang paling melelahkan.

"Yah, kenapa Ziva sama Zelda nggak diajak, Zi?" tanya Rinda dan Indah kompak. 

"Iya, Zi. Padahal seru kalau mereka ikut nginep malam ini," ujar Namira.

"Pasti lucu banget mereka, ya? Aku terakhir ketemu Ziva pas Zelda lahir. Pasti sekarang udah besar banget anak itu."

Aku menarik napas perlahan, lalu mengulas senyum sekali lagi.

"Ibu yang minta supaya mereka di rumah aja."

Pembicaraan kami langsung berhenti saat ada info dari panitia bahwa akad akan segera dimulai. Sebentar lagi, Hani akan mengarungi bahtera rumah tangga seperti anggota grup yang lain. Mirisnya di saat personel terakhir menikah, aku justru kembali melajang.  Ada nyeri mengingat kenyataan itu.

Luka itu ternyata masih menganga. Hingga perihnya menelusup pori-pori seakan tak berujung. Walau demikian, aku merasa keputusan ini sudah tepat. Tak mungkin bertahan pada banyak luka yang jalin menjalin akibat perbuatan dua manusia yang tak punya hati. 

***

Akad telah usai. Kini Hani dan suami sedang menjadi raja dan ratu di acara resepsi mereka. Tamu yang ingin memberikan ucapan selamat semakin mengalir. Makanan lezat terus dihidangkan. Entah berapa ribu undangan yang hadir. 

Sebagai anak tunggal dari keluarga yang sangat berkecukupan, kehidupan sosial Hani berada di tingkatan atas. Wajar saja jika pesta ini sangat mewah dan meriah.

"Pengantinnya mirip, ya?" tanya seorang undangan saat aku melangkah di dekatnya. 

"Iya. Katanya jodoh tuh kalau mirip," jawab seorang rekannya.

Aku berlaku dari keduanya dan berjalan menuju pintu samping balairung hotel. Ada kolam renang di sana. Kepala ini rasanya pening sekali setelah beberapa jam berada di tengah kerumunan manusia. Suara musik selama resepsi berlangsung juga semakin membuatku pusing. Belum lagi kaki yang pegal karena mengenakan high heels cukup lama. 

Di tepi kolam, ada kursi panjang yang tampak nyaman untuk tempat beristirahat. Kuputuskan duduk dan menyegarkan otak dengan menikmati langit malam. Sepertinya akan nyaman sekali jika bisa menyandarkan punggung saat ini.

"Nggak suka pesta?" tanya seseorang yang tiba-tiba berdiri di samping kiriku.

Penampilannya termasuk cukup santai di acara semewah ini. Kemeja biru navy yang lengannya digulung sampai ke siku, dipadu dengan celana slimfit warna senada. Rambutnya agak panjang sedikit dan dibiarkan berantakan. Tangan kirinya dimasukkan ke saku celana, sementara yang kanan memegang gelas berisi minuman soda. Tanpa kupersilakan, dia duduk di sebelahku. 

"Saya juga nggak suka pesta," ujarnya lagi. Aku tersenyum canggung. Tak tahu harus bersikap bagaimana. Aroma laki-laki ini sangat menenangkan. Mirip sekali dengan orang yang baru selesai mandi. Segar. Tak peduli dia siapa, yang jelas aku menyukai harum parfumnya. 

"Kamu bisa ngomong, 'kan? Sejak tadi saya seperti bicara seorang diri," ucapnya sambil menoleh ke arahku. Senyum yang sangat tipis terulas di wajahnya.

"Oh ... i-itu ... a-aku hanya sedikit lelah." Kubalas senyumnya dengan sedikit gugup. Dia mengamatiku dari ujung kepala hingga kaki, lalu mengangguk. 

"Hmm ... wajar, sih. Kamu satu dari bridesmaids itu, kan? Pasti datang lebih awal dan sibuk." Ia mengalihkan pandangannya ke arah kolam, lalu menyesap minuman dari gelas. 

"Nggak juga, kok. Hani hanya minta kami mengiringinya saja. Selebihnya hanya .... menikmati pesta."

"Sayangnya kamu bukan jenis orang yang menikmati pesta, bukan?" tebaknya sambil kembali menatapku tajam. Aku hanya mengangguk.

"Tinggal di mana?" tanyanya kemudian. 

"Pringsurat," kusebutkan nama kecamatan saja. Tak nyaman mengatakan detail alamat pada laki-laki asing. Ia tampak terkejut. 

"Lumayan itu, lho. Naik apa ke sini?"

"Mobil."

"Sama pacar, atau suami?" tanyanya lagi. Ada getir merambati hatiku.

"Sendiri."

"Oh, kamu single. Sama, dong. Aku juga jomlo," ujarnya percaya diri. Aku memilih diam. Tak mungkin juga menjelaskan kalau diriku janda anak dua yang ditikung karyawannya sendiri. Kami bahkan belum saling mengenalkan nama. 

"Kenalkan, aku Handi," ujarnya kemudian sambil mengulurkan tangan. Aku menyambutnya dengan perasaan tak menentu. Ada debar aneh saat kulit kami saling bersentuhan. 

"Zianka. Panggil saja Zi."

"Hmm ... namamu unik. Aku suka." Ia mengerjapkan mata sejenak. Ternyata laki-laki ini sangat tampan. Matanya tajam, membuat aku merasa terintimidasi saat ia bicara sambil menatap lekat 

Hening menyelimuti kami untuk beberapa detik. Handi menghabiskan minumnya lalu meletakkan gelas yang telah kosong di atas meja kecil. Aku bahkan baru menyadari ada benda itu di samping kursi yang kami duduki.

"Mau pulang jam berapa? Nyetir sendiri lagi? Sepi banget jalanan ke arah rumahmu di jam seperti ini, lho." Ia cerewet ternyata. Paling tidak, itu kesimpulanku saat ini. 

"Aku menginap bersama teman-teman bridesmaids yang lain. Hani sudah menyewakan kamar untuk kami di hotel ini."

"Wah, sama lagi ternyata. Aku juga menginap di sini. Lantai lima. Kamu?"

"Entahlah," jawabku sambil menggeleng. "Aku bahkan belum bertanya pada yang lainnya."

Handi mengangguk. Hening lagi untuk beberapa saat. Kali ini lebih lama dari sebelumnya. Tiba-tiba ia mengambil ponsel dari saku, lalu mengulurkannya padaku. 

"Tolong ketik nomor teleponmu," ujarnya tanpa basa-basi. Ragu, aku menerima benda pipih itu.

"Untuk apa?" tanyaku sambil menatapnya bingung. Tak pernah ada yang tiba-tiba meminta nomor ponselku seperti ini. 

"Buat nelepon, lah. Boleh, kan? Atau pacarmu akan marah?"

"Aku nggak punya pacar. Baru saja bercerai," jawabku lirih. Mata Handi seketika membulat seakan tak percaya. 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Tanpa Cintamu   Batal Nikah

    Setelah tubuh Handi hilang di balik pintu, aku mempersilakan Mas Zaid duduk. Lelaki di depanku ini, ia yang dulu dengan sepenuh hati aku cintai. Ayah dari Ziva dan Zelda. Darinya aku berharap surga setelah kehidupan yang fana ini berakhir. Namun, semua harus kulepaskan dengan kerelaan hati. Tak mungkin bertahan kalau masing-masing tak lagi merasa nyaman. Pastinya yang didapat hanya kesia-siaan. Kini, ketika telah telah resmi bercerai, kami hanyalah kawan yang sepakat sama-sama memberikan yang terbaik untuk Ziva dan Zelda. Tak lagi bersama membangun asa. Melupakan semua rasa yang pernah ada.Sakit? Tentu saja. Bahkan hatiku sempat hancur berkeping-keping. Ia yang pernah menghapus setiap butiran dari mataku, justru berakhir menjadi penyebab semua tangis. "Zee ...."Suaranya terdengar parau, membuatku tersadar dari lamunan. Ia tak pernah tampak selemah sekarang. Mata yang sekarang sayu itu, Deli senantiasa berbinar penuh semangat. Ia membuka tas, lalu mengeluarkan sebuah amplop besa

  • Aku Tanpa Cintamu   Yah, Ketahuan

    Aku memotret barang-barang pemberian Handi itu. Sengaja kufoto secara terpisah. Pertama kukirim foto buah-buahan itu padanya ditambah sebaris kalimat. Thanks kirimannya. Harusnya kamu nggak perlu repot-repot.Tak lama tanda centang di samping pesan itu sudah berubah menjadi biru. Namun, sampai beberapa menit tak juga ada balasan yang masuk. Dengan kesal, kuletakkan ponsel itu dan beralih pada pekerjaan. Aku memeriksa beberapa berkas yang sudah disiapkan Murni. Ternyata ada undangan untuk mengisi sebuah acara enterpreneur di Bandung akhir pekan ini. Entah dari mana mereka mendapatkan informasi tentangku. Setelah memberi tanda pada kalender, aku beralih pada rencana pemesanan bahan untuk produk baru. Karena kemarin batal ke Bandung, hari ini aku memilih menelepon bagian pemasaran pabrik tekstil yang menjadi rekananku.Tak terasa, pembicaraan tentang bahan, kesiapan produksi, dan proses pengirimannya telah memakan waktu lebih dari lima belas menit. Aku menarik napas panjang setelah sa

  • Aku Tanpa Cintamu   Calon Suami Pilihan

    "Kamu pulang sama siapa, Nduk.""Eh, i-itu ... Handi yang antar, Bu.""Sekarang, mana dia?""Udah pulang.""Kenapa nggak disuruh masuk dulu. Kamu harusnya buatin teh dulu.""Wes, tho, Bu. Biarin aja. Udah malem juga. Ora penak karo tonggo.""Huss, nggak boleh gitu sama calon suami.""Hah? Calon suami? Maksudnya gimana, Bu?""Lho, Nak Handi belum ngomong sama kamu?""Ngomong apa, Bu?""Yo, wes. Kamu istirahat aja dulu. Sudah malam. Besok aja kita obrolin lagi."Sebenarnya aku masih ingin mengorek keterangan lebih lanjut dari ibu. Siapa yang dimaksud calon suami oleh ibu? Tak mungkin itu Handi, 'kan? Ibu menguap panjang. Pasti tidurnya terganggu dengan kehadiranku di malam selarut ini. Akhirnya kuputuskan untuk besok saja meminta penjelasan dari ibu tentang ucapannya tadi. Aku masuk ke kamar dan melihat Ziva tertidur pulas. Sementara Zelda tidur di kamar ibu. Selama aku pergi ke Jakarta, gadis kecil itu hanya mau tidur bersama nenek dan kakeknya.Aku tersenyum menatap wajah Ziva yang

  • Aku Tanpa Cintamu   Dilamar

    Pagi setelah sarapan, aku sudah langsung check out dari hotel. Bandung sudah tak menjadi tujuan berikutnya. Pikiran dan hati saat ini sudah bukan tertuju pada pakerjaan, jadi aku memilih untuk pulang ke Temanggung. Biarlah lain kali saja ke sana. Saat aku baru saja masuk ke dalam mobil, seseorang mengetuk kaca jendela. Mas Zaid? Kenapa dia sampai ke parkiran di basemen ini?Kubuka jendela mobil, dan mengamati mantan suamiku itu dari atas ke bawah. Ia membawa sebuah kantong besar bertuliskan brand terkenal sebuah produk mainan. Ah, iya. Aku baru ingat kalau Mas Zaid ingin menitipkan sesuatu untuk Ziva dan Zelda."Kok, Mas tahu aku ada di sini?" "Aku tadi ke resepsionis, tapi katanya kamu udah check out. Untung belum terlambat.""Iya. Aku ada urusan yang harus diselesaikan.""Jadi ke Bandung?""Nggak kayaknya. Aku harus segera pulang ke Temanggung.""Zee, sebenarnya ....""Kenapa, Mas?""Sebenarnya aku khawatir kamu nyetir sendirian sejauh ini. Kalau kamu nggak keberatan, biar aku tem

  • Aku Tanpa Cintamu   Penjelasan

    Ternyata saat aku tidur tadi, di luar turun hujan. Kini jalanan basah. Sebasah luka yang baru saja Handi goreskan. Ah, kenapa aku kembali mengingat sosoknya?Aku fokus di balik kemudi, tapi ingatan justru berputar pada pertemuan-pertemuan dengan Handi. Kenapa selama ini aku tak bisa menangkap fakta bahwa ia punya maksud jahat? Sulit bagiku untuk menerima kenyataan bahwa Handi bersepakat dengan Asih. Seketika aku kembali merasa muak.Kecewa, marah, sedih, dan merasa dikhianati. Semua perasaan itu terus terbawa hingga aku masuk ke dalam sebuah restoran cepat saji. Aku mencoba membebaskan dada ini dari rasa yang menyiksa. Mungkin aku harus menjauh dari Handi karena kehadirannya setelah ini pasti akan membuat sayatan luka itu semakin dalam. Suasana resto cukup lengang malam ini. Mungkin karena baru saja hujan di luar sana. Aku makan dengan perasaan hampa, sambil sesekali memperhatikan jalan di luar sana. Detik berikutnya beralih pada antrian pengunjung yang entah kenapa didominasi driver

  • Aku Tanpa Cintamu   Pengejaran

    Ingin rasanya aku masuk kedalam ruangan itu dan meminta penjelasan pada keduanya. Namun, ingatan pada Asih yang sudah memporak-porandakan rumah tanggaku, membuat niat itu batal. Sebaiknya aku pergi saja dari rumah ini. Saat memutar badan hendak keluar, entah bagaimana kakiku terantuk dahan pintu. Rasa sakitnya membuat aku meringis, tapi tak seperih hati yang merasa dikhianati. Dengan menahan pedih, aku bergegas hendak keluar. Saat itulah Handi muncul di pintu. Ia pasti mendengar suara benturan di pintu. "Zee? Ka-kamu ...."Aku menatapnya dengan pandangan yang mulai buram. Sebisa mungkin kutahan agar tak luruh agar tak menjadi derai yang menganak sungai. Aku harus kuat di mata dua orang yang bersekongkol ini. "Ya. Aku sudah mendengar semuanya, Han. Nggak nyangka ternyata kamu sejahat itu. Kenapa? Ada salah apa aku ke kamu?"Ternyata aku sulit menahan jatuhnya kristal dari mata. Sebisa mungkin berusaha untuk tak terisak. Lalu saat sosok perempuan itu muncul di belakang Handi, aku sud

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status