Share

Laki-laki Asing

Aku bergegas masuk ke balairung salah satu hotel terbesar di kota ini. Letaknya di lantai paling atas. Baru satu pekan pulang ke kampung halaman, ternyata sudah mendapat undangan pesta pernikahan seorang sahabat semasa duduk di bangku SMA. Awalnya aku tidak berniat hadir. Namun, Ibu dan Bapak memaksa.

"Hani rajin mengunjungi Ibu sebulan sekali sejak kamu hijrah ke Jakarta. Masa di hari paling bersejarah dalam hidupnya, malah kamu nggak hadir?"

"Perjalanan ke kota kabupaten lumayan jauh, Bu. Kasihan Ziva dan Zelda. Apalagi pestanya malam hari," jawabku beralasan. 

"Anak-anak nggak usah diajak. Biar Ibu dan Bapak yang akan jaga mereka."

Beberapa hari berikutnya aku masih memikirkan apakah harus datang atau tidak ke acara ini. Tegakah? Bukankah harusnya aku malah membantu Hani mempersiapkan pestanya sejak awal? Bahkan dia mengirimkan seragam khusus untukku yang didaulat sebagai bridesmaid.

"Pokoknya kalian berenam harus datang. Aku udah siapin kamar di hotel yang sama."

Pesan itu Hani kirimkan ke grup. Pertanyaan dari Lidya muncul beberapa detik kemudian. 

"Kamar?"

"Iya. Setelah selesai acara, kalian pastinya lelah. Sudah terlalu larut juga untuk menempuh perjalanan pulang yang cukup jauh."

"Siap, Bos!"

Ibu dan Bapak juga menyarankan aku menginap saja bersama enam sahabatku itu. 

"Dari kota kabupaten ke sini hampir satu jam, Nduk. Kamu menginap saja. Ngeri kalau nyetir malam dengan jalan yang naik turun arah ke desa ini."

Akhirnya aku mengikuti saran Ibu. Kini, gaun tule peach dari Hani kupadukan dengan high heels warna senada. Di mobil ada pakaian ganti juga untuk esok aku pulang. 

Sampai di lokasi, akad dan pestanya belum dimulai. Aku langsung mencari sosok Sarah, Lidya, Namira, Rinda, dan Indah saat sampai di dalam balairung yang kini dihias amat cantik. Nuansa ungu mendominasi pemandangan di dalamnya. Hani memang seorang pecinta purple sejati. Setiap hari selalu saja ada ungu di antara benda atau gaun yang ia kenakan. 

"Zi ...!" Namira yang pertama melihatku langsung berteriak dan melambaikan tangannya. Kudekati rombongan itu, lalu memeluk mereka satu persatu. 

"Di mana Hani?" 

"Masih di ruang rias. Sebentar lagi selesai," jawab Sarah.

"Lo sama siapa, Zi?" tanya Lidya lembut. Dia tampaknya khawatir aku sedih ditanya seperti itu.

"Sendiri."

Aku mengulas senyum senormal mungkin karena tak ingin semua sahabat menjadi khawatir. Meraka banyak memberikan support padaku selama menjalani hari-hari yang paling melelahkan.

"Yah, kenapa Ziva sama Zelda nggak diajak, Zi?" tanya Rinda dan Indah kompak. 

"Iya, Zi. Padahal seru kalau mereka ikut nginep malam ini," ujar Namira.

"Pasti lucu banget mereka, ya? Aku terakhir ketemu Ziva pas Zelda lahir. Pasti sekarang udah besar banget anak itu."

Aku menarik napas perlahan, lalu mengulas senyum sekali lagi.

"Ibu yang minta supaya mereka di rumah aja."

Pembicaraan kami langsung berhenti saat ada info dari panitia bahwa akad akan segera dimulai. Sebentar lagi, Hani akan mengarungi bahtera rumah tangga seperti anggota grup yang lain. Mirisnya di saat personel terakhir menikah, aku justru kembali melajang.  Ada nyeri mengingat kenyataan itu.

Luka itu ternyata masih menganga. Hingga perihnya menelusup pori-pori seakan tak berujung. Walau demikian, aku merasa keputusan ini sudah tepat. Tak mungkin bertahan pada banyak luka yang jalin menjalin akibat perbuatan dua manusia yang tak punya hati. 

***

Akad telah usai. Kini Hani dan suami sedang menjadi raja dan ratu di acara resepsi mereka. Tamu yang ingin memberikan ucapan selamat semakin mengalir. Makanan lezat terus dihidangkan. Entah berapa ribu undangan yang hadir. 

Sebagai anak tunggal dari keluarga yang sangat berkecukupan, kehidupan sosial Hani berada di tingkatan atas. Wajar saja jika pesta ini sangat mewah dan meriah.

"Pengantinnya mirip, ya?" tanya seorang undangan saat aku melangkah di dekatnya. 

"Iya. Katanya jodoh tuh kalau mirip," jawab seorang rekannya.

Aku berlaku dari keduanya dan berjalan menuju pintu samping balairung hotel. Ada kolam renang di sana. Kepala ini rasanya pening sekali setelah beberapa jam berada di tengah kerumunan manusia. Suara musik selama resepsi berlangsung juga semakin membuatku pusing. Belum lagi kaki yang pegal karena mengenakan high heels cukup lama. 

Di tepi kolam, ada kursi panjang yang tampak nyaman untuk tempat beristirahat. Kuputuskan duduk dan menyegarkan otak dengan menikmati langit malam. Sepertinya akan nyaman sekali jika bisa menyandarkan punggung saat ini.

"Nggak suka pesta?" tanya seseorang yang tiba-tiba berdiri di samping kiriku.

Penampilannya termasuk cukup santai di acara semewah ini. Kemeja biru navy yang lengannya digulung sampai ke siku, dipadu dengan celana slimfit warna senada. Rambutnya agak panjang sedikit dan dibiarkan berantakan. Tangan kirinya dimasukkan ke saku celana, sementara yang kanan memegang gelas berisi minuman soda. Tanpa kupersilakan, dia duduk di sebelahku. 

"Saya juga nggak suka pesta," ujarnya lagi. Aku tersenyum canggung. Tak tahu harus bersikap bagaimana. Aroma laki-laki ini sangat menenangkan. Mirip sekali dengan orang yang baru selesai mandi. Segar. Tak peduli dia siapa, yang jelas aku menyukai harum parfumnya. 

"Kamu bisa ngomong, 'kan? Sejak tadi saya seperti bicara seorang diri," ucapnya sambil menoleh ke arahku. Senyum yang sangat tipis terulas di wajahnya.

"Oh ... i-itu ... a-aku hanya sedikit lelah." Kubalas senyumnya dengan sedikit gugup. Dia mengamatiku dari ujung kepala hingga kaki, lalu mengangguk. 

"Hmm ... wajar, sih. Kamu satu dari bridesmaids itu, kan? Pasti datang lebih awal dan sibuk." Ia mengalihkan pandangannya ke arah kolam, lalu menyesap minuman dari gelas. 

"Nggak juga, kok. Hani hanya minta kami mengiringinya saja. Selebihnya hanya .... menikmati pesta."

"Sayangnya kamu bukan jenis orang yang menikmati pesta, bukan?" tebaknya sambil kembali menatapku tajam. Aku hanya mengangguk.

"Tinggal di mana?" tanyanya kemudian. 

"Pringsurat," kusebutkan nama kecamatan saja. Tak nyaman mengatakan detail alamat pada laki-laki asing. Ia tampak terkejut. 

"Lumayan itu, lho. Naik apa ke sini?"

"Mobil."

"Sama pacar, atau suami?" tanyanya lagi. Ada getir merambati hatiku.

"Sendiri."

"Oh, kamu single. Sama, dong. Aku juga jomlo," ujarnya percaya diri. Aku memilih diam. Tak mungkin juga menjelaskan kalau diriku janda anak dua yang ditikung karyawannya sendiri. Kami bahkan belum saling mengenalkan nama. 

"Kenalkan, aku Handi," ujarnya kemudian sambil mengulurkan tangan. Aku menyambutnya dengan perasaan tak menentu. Ada debar aneh saat kulit kami saling bersentuhan. 

"Zianka. Panggil saja Zi."

"Hmm ... namamu unik. Aku suka." Ia mengerjapkan mata sejenak. Ternyata laki-laki ini sangat tampan. Matanya tajam, membuat aku merasa terintimidasi saat ia bicara sambil menatap lekat 

Hening menyelimuti kami untuk beberapa detik. Handi menghabiskan minumnya lalu meletakkan gelas yang telah kosong di atas meja kecil. Aku bahkan baru menyadari ada benda itu di samping kursi yang kami duduki.

"Mau pulang jam berapa? Nyetir sendiri lagi? Sepi banget jalanan ke arah rumahmu di jam seperti ini, lho." Ia cerewet ternyata. Paling tidak, itu kesimpulanku saat ini. 

"Aku menginap bersama teman-teman bridesmaids yang lain. Hani sudah menyewakan kamar untuk kami di hotel ini."

"Wah, sama lagi ternyata. Aku juga menginap di sini. Lantai lima. Kamu?"

"Entahlah," jawabku sambil menggeleng. "Aku bahkan belum bertanya pada yang lainnya."

Handi mengangguk. Hening lagi untuk beberapa saat. Kali ini lebih lama dari sebelumnya. Tiba-tiba ia mengambil ponsel dari saku, lalu mengulurkannya padaku. 

"Tolong ketik nomor teleponmu," ujarnya tanpa basa-basi. Ragu, aku menerima benda pipih itu.

"Untuk apa?" tanyaku sambil menatapnya bingung. Tak pernah ada yang tiba-tiba meminta nomor ponselku seperti ini. 

"Buat nelepon, lah. Boleh, kan? Atau pacarmu akan marah?"

"Aku nggak punya pacar. Baru saja bercerai," jawabku lirih. Mata Handi seketika membulat seakan tak percaya. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status