Share

Aku Tanpa Cintamu
Aku Tanpa Cintamu
Penulis: NH. Soetardjo

Pulang

Penulis: NH. Soetardjo
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-11 09:18:50

"Sampai kapan pun, aku nggak akan menceraikan kamu," ucap Mas Zaid kala itu, dan kini masih terngiang dengan jelas.

"Kalau begitu, aku yang akan mengajukan gugatan," tegasku.

"Silakan, tapi kamu nggak akan mendapat hak perwalian atas Ziva dan Zelda."

Mas Zaid memandangku tajam. Gerak bahu dan dadanya terlihat jelas kalau amarah masih menguasai jiwa lelaki itu. Terbalik bukan? Harusnya aku yang marah.

"Mas mengancamku? Silakan saja. Toh, aku sudah mengantongi semua bukti perselingkuhan Mas dengan perempuan laknat itu."

Itu setahun lalu. Kini, aku telah memilih. Pilihan itu membawaku kembali ke sini. Ke sebuah rumah di mana aku dilahirkan.

"Kita mau ke rumah Uti, Ma?" tanya Ziva tadi malam. Aku memberinya jawaban dengan anggukan kepala. Bocah lelaki berambut ikal itu mengepalkan tangan sambil menarik tangannya ke bawah.

"Yes!" serunya seiring senyum yang terlukis di wajah ovalnya.

Halaman rumah ini masih sama seperti saat terakhir aku pulang. Cat dindingnya tak berubah. Tentu saja karena Ayah penggemar biru. Sangat kecil kemungkinannya ia mengganti dengan warna lain.

Sejenak aku menatap tanaman lengkeng yang masih berdiri tegak di samping rumah. Juga pohon duku yang tinggi besar di sudut halaman depan. Bedanya kini teras tampak lebih indah dengan aneka pohon bunga yang ditanam Ibu.

Wanita berusia lima puluh lima tahun itu menyambut di pintu. Ia mengambil alih tas yang kubawa. Aku mengikuti langkahnya menuju ruang tamu, lalu duduk di kursi kayu dengan ukiran khas Jepara.

"Wah, cantiknya cucu Uti." Ibu mengambil Zelda dari gendonganku setelah meletakkan tas di meja. Tangannya yang sudah mulai keriput mengelus pipi anakku.

Aku hanya tersenyum menatap keduanya, lalu bangkit. Ziva masih di dalam mobil. Ia tertidur karena kelelahan setelah ikut menempuh perjalanan panjang dari Jakarta.

"Kamu mau kemana, Nduk?" tanya Ibu dengan tatapan heran.

"Mau bangunin Ziva, Bu," jawabku lirih. Khawatir Zelda akan bangun mendengar suaraku.

"Masya Allah. Kok, Ibu sampai lupa ya, sama Ziva?" seru Ibu agak terkejut.

Kami memang sudah lama tidak datang ke rumah ini. Hampir dua tahun. Mungkin itu sebabnya Ibu lupa, atau karena terlalu senang melihat Zelda?

Baru saja aku membuka pintu mobil, Bapak memasuki halaman rumah. Laki-laki yang terlihat semakin renta itu baru saja pulang dari langgar. Kucium takzim tangannya.

"Sudah, sini. Bapak saja yang gendong Ziva. Kamu pasti lelah," ujar lelaki pertama dalam hidupku itu, sambil menyelempangkan sorbannya ke bahu. Aku hanya menurut.

Mengekor Bapak yang menggendong Ziva, aku berjalan ke kamar utama. Ruangan yang khusus dibuat untukku sesaat sebelum menikah. Di sanalah kami selalu tidur saat pulang ke kampung ini. Entah itu bersama Mas Zaid atau tidak.

Kenapa juga aku harus mengingat sosoknya saat ini? Bukankah semua sudah usai? Aku telah memilih untuk berpisah dengannya. Memutuskan menggugat cerai laki-laki yang telah menghalalkanku delapan tahun lalu.

"Kamu beneran ingin kita bercerai, Zi?" Masih kuingat ekspresi di wajahnya saat melihat berkas di tanganku.

"Ya. Nggak guna mempertahankan orang yang tidak layak dipertahankan."

Aku tak pernah menyangka ini akan jadi akhir kisah rumah tangga dengannya. Si cinta pertama. Orang yang berjanji akan selalu ada untukku. Dia yang berkata, tak akan pernah membuat amarah dalam diriku muncul walau hanya sekali saja

Sungguh, Mas Zaid memang menepati kata-katanya, tapi hanya tujuh tahun. Amarah pertamaku muncul, saat kutemukan percakapan itu di aplikasi hijau awal tahun lalu. Chat mesra dengan perempuan yang sudah kuanggap selayaknya adik kandung. Dia yang bahkan gajinya tiap bulan ditransfer dari rekeningku. Yang mendapat perhatianku melebihi kasih sayang seorang sahabat.

"Terima kasih sudah diberi kesempatan bekerja di sini Bu. Kalau nggak, mungkin saya bisa jadi gembel," ucap perempuan itu saat pertama kali datang di ruang kerjaku. Ternyata waktu telah mengubahnya menjadi pagar yang makan tanaman.

Yang paling menyakitkan dari semua episode luka ini adalah, kenyataan bahwa Mas Zaid masih menyimpan seluruh percakapan mereka di ponselnya hingga sekarang. Bahkan sebelum laki-laki itu meninggalkan rumah kami, pesan dari kekasih gelapnya masih sempat kubaca.

[Chat-nya nggak mau dihapus, Beb?]

[Nggak usah.]

[Kenapa?]

[Buat dibaca lagi saat aku rindu.]

[Kamu semanis itu ternyata ya, Beb? Bahkan chat dariku pun tak mau dihapus.]

Seketika bumi seperti berputar lebih cepat.

***

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku Tanpa Cintamu   Ratu di Istanamu

    "Hah, kamu pikir akan berhasil? Mereka anak-anak kandungku. Sudah sepantasnya anak tinggal bersama ayah kandungnya.""Zianka juga ibu kandung mereka jika anda tidak lupa, Bung! Aku akan sediakan pengacara terbaik di negeri ini untuk mempertahankan dia sebagai wali sah untuk Ziva dan Zelda!""Ibu kandung pun pasti akan berkurang perhatiannya ada anak-anaknya jika dia menikah lagi. Kalian akan sibuk berdua saja sebagai pengantin baru, kan? Bukankah artinya lebih baik Ziva dan Zelda bersamaku, ayah kandungnya yang bisa penuh memberikan curahan kasih sayang tanpa terbagi?"Handi seketika tertawa. "Oke. Kita buktikan saja di meja hijau nanti. Kami tunggu tanggal mainnya."Sambungan telepon terputus. Bukan Handi yang melakukannya. Mungkinkah Mas Zaid gentar?"Kamu yakin tentang itu, Han?""Tentu. Seperti halnya kamu, Ziva dan Zelda adalah mutiara yang harus dipertahankan. Aku nggak bisa tanpa kalian bertiga, Sayang."Kembali Handi merengkuhku dalam pelukannya. Lelaki ini, yang cintaku mulai

  • Aku Tanpa Cintamu   Papa Muda

    "Pokoknya kamu ke sini aja cepetan.""I-iya, Bu."Tiba-tiba jantungku bertalu. Kedua tangan gemetar. Pikiranku campur aduk dan tidak tahu harus melakukan apa.Kuputuskan untuk menepi. Menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Tidak. Aku harus kuat dengan skenario apa pun yang telah disiapkan-Nya. Dengan mengucap basmallah lalu kembali merapal doa bepergian, kutekan pedal gas perlahan. Allah tidak akan memberi hamba-Nya cobaan yang tak akan sanggup ditahan bukan?Sambil terus beristighfar, aku mencoba fokus pada lalu lintas di depan. Namun, bayangan Handi di kepala membuat hatiku benar-benar kacau. Hingga aku selamat sampai di tempat parkir rumah sakit, itu pastilah hanya karena Tuhan yang menjaga. Aroma obat yang berpadu dengan desinfektan untuk lantai segera menerpa indera penciumanku begitu masuk lobi. Setengah berlari aku berusaha mencapai lift. Untung saja sepi, hingga tak harus antri.Dengan napas yang terengah, aku berhasil mencapai ruangan tempat Handi dirawat. Perlahan ku

  • Aku Tanpa Cintamu   Mungkinkah

    Keheningan menyergap kami, termasuk Ziva dan Zelda. Dua kakak beradik itu hanya menatap ke Mas Zaid dan aku bergantian beberapa kali. Tidak. Suasana ini tidak boleh terlalu lama. Aku harus mencairkannya. "Ziva, Zelda, salim dulu sama Ayah, dong. Lupa, ya?"Dengan enggan kedua bocah kecil itu beranjak dari atas tempat tidur dan melangkah ke arah Mas Zaid. Pada dasarnya aku pun tak menginginkan ada jarak antara ayah dan anak-anaknya. Namun, frekuensi pertemuan yang semakin berkurang, membuat Ziva dan Zelda jarang bertanya tentang kehadiran ayahnya. Ada kabut tipis di mata Mas Zaid yang sempat kutangkap sebelum pandangannya beralih pada anak-anak. "Kalian udah makan belum? Ayah bawa donat cantik. Mau?"Ziva dan Zelda saling pandang, lalu beralih padaku. Dengan cepat kuberi anggukan kepala pada mereka. "Zelda mau digendong Ayah?"Aku berdebar menunggu jawaban gadis kecil itu. Detik berikutnya kepala Zelda mengangguk ragu. Ah, untung saja. Aku benar-benar tidak ingin Mas Zaid mengira p

  • Aku Tanpa Cintamu   Malam Pertama

    Bagai mendapat kekuatan penuh, aku bangkit dan setengah berlari menghampiri lelaki yang masih mengenakan pakaian operasi itu. Ibu menyusulku dengan langkah yang tak kalah tergesa. Di belakangnya ada Ibu Andini dengan gurat penuh harap di wajah."Bagaimana keadaan Handi, Dok?"Lelaki yang kutaksir usianya belum mencapai lima puluh tahun itu tersenyum. Dalam hati aku masih merapal doa yang egois, agar Tuhan tak mengambil Handi dari kami. Orang-orang yang mencintainya. "Alhamdulillah, Pak Handi sudah melewati masa kritisnya. Namun, untuk saat ini kesadarannya belum pulih dan butuh waktu agak lebih banyak. Jadi, saya harap semuanya bersabar dan berikan doa yang terbaik untuknya."Seketika kepalaku berdenyut. Kedua kakiku lemas tak bertenaga, seakan tak sanggup menahan beban tubuh. Apa maksud ucapan dokter tadi? Perlahan aku merosot ke lantai dan bersimpuh tanpa peduli apapun. Samar masih kudengar dokter bertanya tentang siapa saja anggota keluarga Handi. Tentu saja Bu Andini yang mengac

  • Aku Tanpa Cintamu   Bertahanlah Untukku

    "Kalian bersenang-senang di atas deritaku. Saatnya aku melakukan pembalasan.Handi bangkit dari duduknya, dan bergerak perlahan ke arah perempuan itu."Asih, tenanglah. Kamu jangan emosi. Yang ada di sini semuanya adalah keluargamu. Please, taruh pistolmu dan kita bicarakan baik-baik. "Tidak! Sudah saatnya kamu dan ibumu membayar semuanya, Han."Ibu Andini tak jadi memasangkan kalung berlian di tangannya pada leherku. Ia memberikan benda itu pada perempuan di sebelah kirinya. Wanita berusia lima puluh lima tahun itu kemudian melangkah ke arah Asih, tapi kemudian berhenti saat pistol diarahkan padanya. "Apa yang inginkan dariku dan Handi?"Asih tertawa terbahak. Suaranya terdengar mengerikan."Aku menginginkan kebahagiaan yang telah kalian rebut. Satu-satunya orang terakhir yang bisa membahagiakan aku juga direnggut. Bahkan saat aku sudah mulai mendapatkannya dari suami, kalian pengaruhi dia untuk melakukan tes DNA. Semuanya jahat padaku."Aku tak bisa menahan diri untuk tidak bicara

  • Aku Tanpa Cintamu   Kubuat Kau Tersiksa

    Ruangan yang awalnya hening, mulai bergemuruh dengan suara pengunjung. Mereka menyemangatiku untuk menerima lamaran Handi. Tidak bisa terbayangkan lagi bagaimana rona wajahku saat ini. Tak mungkin juga aku membiarkan lelaki itu terus berlutut. Akhirnya perlahan aku mengangguk. "Terima kasih, Zee."Handi berdiri lalu meraih tangan kiriku. Ia menyematkan berlian seharga dua ratus dua puluh satu juta itu di jari manisku. Detik berikutnya Handi mengecup punggung tanganku dan langsung disambut tepuk tangan seluruh yang hadir. Lelaki itu kemudian berkata lirih. "Aku akan segera siapkan acara lamaran resmi ke rumahmu.""Han, nggak harus secepat itu.""Kalau memungkinkan, bahkan aku ingin menikahimu saat ini juga.""Ih, apaan, sih?"Handi tertawa, tepat saat itu beberapa orang wartawan mendekat ke arah kami. Mereka bertanya banyak hal, mulai dari acara lelang kali ini, bisnisku, hingga lamaran Handi barusan. Aku hanya menjawab seperlunya, demikian pula Handi. Sementara di atas panggung pemb

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status