Share

Aku Tanpa Cintamu
Aku Tanpa Cintamu
Penulis: NH. Soetardjo

Pulang

"Sampai kapan pun, aku nggak akan menceraikan kamu," ucap Mas Zaid kala itu, dan kini masih terngiang dengan jelas.

"Kalau begitu, aku yang akan mengajukan gugatan," tegasku.

"Silakan, tapi kamu nggak akan mendapat hak perwalian atas Ziva dan Zelda."

Mas Zaid memandangku tajam. Gerak bahu dan dadanya terlihat jelas kalau amarah masih menguasai jiwa lelaki itu. Terbalik bukan? Harusnya aku yang marah.

"Mas mengancamku? Silakan saja. Toh, aku sudah mengantongi semua bukti perselingkuhan Mas dengan perempuan laknat itu."

Itu setahun lalu. Kini, aku telah memilih. Pilihan itu membawaku kembali ke sini. Ke sebuah rumah di mana aku dilahirkan.

"Kita mau ke rumah Uti, Ma?" tanya Ziva tadi malam. Aku memberinya jawaban dengan anggukan kepala. Bocah lelaki berambut ikal itu mengepalkan tangan sambil menarik tangannya ke bawah.

"Yes!" serunya seiring senyum yang terlukis di wajah ovalnya.

Halaman rumah ini masih sama seperti saat terakhir aku pulang. Cat dindingnya tak berubah. Tentu saja karena Ayah penggemar biru. Sangat kecil kemungkinannya ia mengganti dengan warna lain.

Sejenak aku menatap tanaman lengkeng yang masih berdiri tegak di samping rumah. Juga pohon duku yang tinggi besar di sudut halaman depan. Bedanya kini teras tampak lebih indah dengan aneka pohon bunga yang ditanam Ibu.

Wanita berusia lima puluh lima tahun itu menyambut di pintu. Ia mengambil alih tas yang kubawa. Aku mengikuti langkahnya menuju ruang tamu, lalu duduk di kursi kayu dengan ukiran khas Jepara.

"Wah, cantiknya cucu Uti." Ibu mengambil Zelda dari gendonganku setelah meletakkan tas di meja. Tangannya yang sudah mulai keriput mengelus pipi anakku.

Aku hanya tersenyum menatap keduanya, lalu bangkit. Ziva masih di dalam mobil. Ia tertidur karena kelelahan setelah ikut menempuh perjalanan panjang dari Jakarta.

"Kamu mau kemana, Nduk?" tanya Ibu dengan tatapan heran.

"Mau bangunin Ziva, Bu," jawabku lirih. Khawatir Zelda akan bangun mendengar suaraku.

"Masya Allah. Kok, Ibu sampai lupa ya, sama Ziva?" seru Ibu agak terkejut.

Kami memang sudah lama tidak datang ke rumah ini. Hampir dua tahun. Mungkin itu sebabnya Ibu lupa, atau karena terlalu senang melihat Zelda?

Baru saja aku membuka pintu mobil, Bapak memasuki halaman rumah. Laki-laki yang terlihat semakin renta itu baru saja pulang dari langgar. Kucium takzim tangannya.

"Sudah, sini. Bapak saja yang gendong Ziva. Kamu pasti lelah," ujar lelaki pertama dalam hidupku itu, sambil menyelempangkan sorbannya ke bahu. Aku hanya menurut.

Mengekor Bapak yang menggendong Ziva, aku berjalan ke kamar utama. Ruangan yang khusus dibuat untukku sesaat sebelum menikah. Di sanalah kami selalu tidur saat pulang ke kampung ini. Entah itu bersama Mas Zaid atau tidak.

Kenapa juga aku harus mengingat sosoknya saat ini? Bukankah semua sudah usai? Aku telah memilih untuk berpisah dengannya. Memutuskan menggugat cerai laki-laki yang telah menghalalkanku delapan tahun lalu.

"Kamu beneran ingin kita bercerai, Zi?" Masih kuingat ekspresi di wajahnya saat melihat berkas di tanganku.

"Ya. Nggak guna mempertahankan orang yang tidak layak dipertahankan."

Aku tak pernah menyangka ini akan jadi akhir kisah rumah tangga dengannya. Si cinta pertama. Orang yang berjanji akan selalu ada untukku. Dia yang berkata, tak akan pernah membuat amarah dalam diriku muncul walau hanya sekali saja

Sungguh, Mas Zaid memang menepati kata-katanya, tapi hanya tujuh tahun. Amarah pertamaku muncul, saat kutemukan percakapan itu di aplikasi hijau awal tahun lalu. Chat mesra dengan perempuan yang sudah kuanggap selayaknya adik kandung. Dia yang bahkan gajinya tiap bulan ditransfer dari rekeningku. Yang mendapat perhatianku melebihi kasih sayang seorang sahabat.

"Terima kasih sudah diberi kesempatan bekerja di sini Bu. Kalau nggak, mungkin saya bisa jadi gembel," ucap perempuan itu saat pertama kali datang di ruang kerjaku. Ternyata waktu telah mengubahnya menjadi pagar yang makan tanaman.

Yang paling menyakitkan dari semua episode luka ini adalah, kenyataan bahwa Mas Zaid masih menyimpan seluruh percakapan mereka di ponselnya hingga sekarang. Bahkan sebelum laki-laki itu meninggalkan rumah kami, pesan dari kekasih gelapnya masih sempat kubaca.

[Chat-nya nggak mau dihapus, Beb?]

[Nggak usah.]

[Kenapa?]

[Buat dibaca lagi saat aku rindu.]

[Kamu semanis itu ternyata ya, Beb? Bahkan chat dariku pun tak mau dihapus.]

Seketika bumi seperti berputar lebih cepat.

***

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status