LOGINPagi yang tenang diselimuti aroma melati dari taman belakang kediaman keluarga Reiga. Namun, ketenangan itu segera terusik oleh suara tegas Mama Naya yang terdengar jelas dari ruang makan.
“Hari ini kamu harus mengantar Fhi ke vendor dan fitting baju kalian. Jangan macam- macam. Perlakukan dia baik-baik, Reiga,” ucapnya lantang. Reiga hanya menoleh singkat. Tak ada bantahan, tapi juga tak ada persetujuan. Ia berdiri perlahan, meraih kunci mobil dari atas meja, lalu melangkah pergi dengan langkah tegap dan wajah yang tak terbaca. Mata Mama Naya mengikuti kepergian putranya. Napasnya ditahan sejenak sebelum ia menggerutu pelan, “Anak itu sudah sebesar ini masih saja keras kepala seperti dulu.” Papa Alex menatap istrinya dan hanya berkata lembut, “Sabar, Naya. Kadang cinta butuh waktu untuk diakui, bahkan oleh pemilik hatinya sendiri.” Sementara itu, di sisi lain kota, Fhilia berdiri di depan rumahnya dengan raut wajah penuh harap. Rambut hitamnya dikuncir rendah dengan sentuhan elegan. Gaun pastel yang membalut tubuh rampingnya tampak sederhana, namun rapi. Riasan tipis menonjolkan kecantikan alaminya. Pagi ini adalah pertama kalinya Reiga akan menjemputnya. Degup jantungnya terasa berlebihan. Mama dan Papa berulang kali berpesan agar ia berhati-hati, namun Fhilia hanya tersenyum, berusaha meyakinkan mereka bahwa ia baik-baik saja. Tak lama, sebuah mobil hitam mewah berhenti perlahan di depannya. Kaca mobil menurun, memperlihatkan wajah Reiga yang dingin dan tanpa ekspresi. Fhilia menarik napas dalam, lalu masuk dengan hati-hati. “Pagi...” ucapnya pelan, berusaha membuka percakapan. Namun Reiga hanya melajukan mobil tanpa menjawab. Suasana hening menelan mereka sepanjang perjalanan, membuat dada Fhilia kian sesak. ... Langit mendung ketika hari pernikahan tiba, seolah alam pun menyimpan keraguan. Di balik jendela besar kamar pengantin, Fhilia berdiri menatap dirinya di cermin tinggi berhias ukiran emas. Gaun putih elegan membalut tubuhnya, menjuntai hingga lantai. Riasan tipis menghiasi wajahnya, namun tak mampu menutupi bayangan gelisah di matanya. Mama masuk dengan langkah tenang, membawa buket mawar putih segar. “Sayang kau sudah sangat cantik,” bisiknya, mengusap pundak putrinya dengan lembut. Fhilia tersenyum tipis. “Terima kasih, Ma.” “Kalau kamu ragu, masih ada waktu untuk mundur Mama dan Papa tidak akan memaksamu.” Fhilia menggeleng. “Tidak, Ma. Aku sudah memutuskan. Aku akan tetap menjalani ini.” Di kediaman Calister, Reiga berdiri di depan cermin besar. Setelan jas hitam pekat membalut tubuh tegapnya. Wajahnya tampan, tapi dingin. Matanya menatap bayangan sendiri tanpa ragu, seolah ia siap menjalani sebuah kewajiban, bukan kebahagiaan. Papa Alex mengetuk pintu. “Reiga, sudah waktunya.” Reiga tak menoleh. “Aku tahu.” “Jangan bawa amarah ke pelaminan. Pernikahan ini harus berjalan lancar.” Reiga menghela napas singkat. “Ini bukan keputusanku.” Aula pernikahan berkilau megah. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya keemasan, musik lembut mengalun, dan tamu-tamu berdatangan dengan senyum penuh doa. Semuanya tampak sempurna kecuali hati pengantin pria yang dingin. Pintu terbuka. Fhilia melangkah di lorong tengah, digandeng Papa. Gaun putihnya berkilau, wajahnya bersinar lembut meski kesedihan bersemayam di matanya. Reiga berdiri di altar, menatap tanpa senyum. Dalam hening yang khidmat, cahaya lilin dan bunga putih menjadi saksi. Pastor menuntun janji suci, dan dengan mata saling bertaut, keduanya menjawab, “Aku bersedia.” Tepuk tangan bergema. Semua orang tersenyum bahagia. Semua kecuali kedua mempelai. ... Malam hari, di kamar pengantin, Fhilia duduk di pinggir ranjang, memeluk dirinya sendiri. Reiga berdiri di balkon, menatap lampu kota. “Terima kasih, karena sudah tetap datang hari ini,” ucap Fhilia lirih. Reiga berbalik tanpa sepatah kata apapun, tatapannya dingin. Fhilia menunduk. “Aku tidak akan mengganggu hidupmu. Aku hanya ingin menjalani ini dengan baik.” “Jangan pernah berharap aku akan menyentuhmu atau mencintaimu.” Kalimat itu menusuk, namun Fhilia menahannya. “Aku tidak menuntut cinta. Tapi aku akan tetap menjadi istrimu yang layak dihormati.” Tiba-tiba ponsel Reiga berdering. Ia segera bangkit, mengambil ponsel, lalu melangkah ke balkon untuk mengangkatnya. Suaranya berubah lebih halus dan rendah nyaris berbisik, tak ingin terdengar oleh Fhilia. Fhilia memeluk dirinya semakin erat. “Siapa yang menelpon di malam pertama pernikahan mereka? Mengapa Reiga menjauh hanya untuk menjawabnya?”Pagi ini, Fhi bangun lebih cepat dari biasanya. Matahari bahkan belum sepenuhnya mengintip dari balik jendela. Ia berdiri di depan cermin, merapikan rambut, mencuci muka, dan memakai parfum lembut beraroma bunga apel. Ada sesuatu yang berbeda di hatinya seperti ada harapan kecil yang ia takutkan akan patah, tapi tetap ia genggam erat.Saat berjalan melewati pintu kamar Reiga, langkahnya tertahan.“Fhilia.”Suara itu. Dalam, tenang, dan… dekat.Fhi menoleh cepat. Pintu kamar Reiga terbuka sedikit, dan lelaki itu berdiri di sana dengan kemeja kerja tetapi dasi masih terurai.“Ya, ada apa?”Reiga mendekat, menyodorkan dasinya. “Bantu pasangkan.”Hati Fhi mencelos. “A aku? Tapi...”“Cepat, aku terlambat.” Nada suaranya tenang, namun ada kehangatan samar yang tak pernah Fhi dengar sebelumnya.Dengan tangan sedikit gemetar, Fhi mendekat. Jarak mereka hanya sejengkal. Ia bisa merasakan hangat napas Reiga, sementara jemarinya perlahan melingkarkan dasi di bawah kerah kemeja. Detak jantungnya
CHAPTER 20 – Tiba-Tiba BerubahYang menakutkan bukan ketika seseorang membencimu… tapi ketika seseorang yang semula acuh tiba-tiba berubah, seolah-olah tengah menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih gelap.....Sudah satu minggu. Satu minggu Reiga menghilang dari rumah, tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa penjelasan setelah malam yang menyedihkan itu. Fhi mulai belajar menerima sunyi, bahkan hampir percaya bahwa Reiga tak akan kembali.Namun pagi ini, langkahnya terhenti begitu ia melihat sosok itu.Reiga.Ia duduk santai di meja makan, bersandar tenang di kursi, membaca sesuatu di dalam tabletnya seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Tidak ada raut canggung. Tidak ada pembicaraan soal malam itu. Tidak ada penjelasan atas kepergiannya.Hanya… Reiga. Dingin, tenang, dan tiba-tiba ada.“Selamat pagi, Tuan…” Bi Inah berkata pelan, mencoba mencairkan suasana.Reiga tidak menatap siapa pun saat berbicara. “Buatkan aku sarapan.”“Baik, Tuan,” jawab Bi Inah cepat.Reiga menutup t
Kadang, luka paling dalam bukan berasal dari kata-kata kasar atau perlakuan menyakitkan… tetapi dari orang yang memilih untuk lupa saat kita mengingat segalanya...Pintu kamar terbanting keras.“Masuk,” suara Reiga dingin, tapi tergesa. Ia menggenggam pergelangan tangan Fhi, menyeretnya masuk seolah takut ada yang melihat percakapan mereka.Fhi terkejut, namun tidak melawan. Di balik matanya yang sembab, hanya ada satu tanya,apa dia benar-benar tidak mengingat apa pun?“Jelaskan,” suara Reiga bergetar, menahan marah atau takut? “Apa yang… terjadi kemarin malam?”Fhi menatapnya, sayu. “Kau benar-benar tidak ingat apapun?.”Reiga mengernyit. “Aku… aku hanya ingat kita bicara sebentar. Kau menangis. Setelah itu ...”“Setelah itu kau memperkosaku Reiga.” Fhi menarik napas berat. “Lalu kau ...”Wajah Reiga mengeras. Ia menggeleng pelan ingatan samarnya apakah benar terjadi. “Aku? tidak mungkin.”“Kau menyakitiku Reiga,” Fhi memotong, suaranya bergetar. Keheningan turun seketika.Reiga te
Fhilia terbangun dengan napas berat. Cahaya matahari yang menembus tirai jendela terasa terlalu terang untuk matanya yang bengkak. Tenggorokannya kering, seolah semalaman ia menangis tanpa suara. Untuk sesaat, ia berharap kejadian kemarin hanyalah mimpi buruk. Tapi nyeri yang merambat dari tubuh hingga dadanya membuyarkan harapan itu."Kenapa aku masih di sini? Kenapa aku masih hidup setelah semalam?"Fhi mengusap wajahnya, merasakan gurat perih di pipi bekas tamparan yang ia tutupi dengan bedak tipis. Sakitnya bukan hanya di tubuh, tapi juga di hati, yang kini sepi, dingin, dan hancur.Namun waktu tidak menunggu luka untuk sembuh.Hari ini ia harus bekerja bersama Louis di perusahaan, berdiri seolah hidupnya baik-baik saja.Pelan, ia bangkit, meraih kemeja kerja, dan menata rambut panjangnya dengan tangan gemetar.Tangga rumah terasa lebih panjang dari biasanya. Aroma wangi masakan pagi menyambutnya padahal ini masih terlalu pagi.“Bi Inah… saya yang masak saja,” ucap Fhi pelan, meng
Hingar-bingar lampu klub malam menari liar di dinding, seakan ikut menertawakan kebodohan Reiga malam itu. Musik berdentum keras, memenuhi setiap rongga kepalanya yang sudah terlalu lama bergema oleh nama yang sama, Fhilia.Di kanan-kirinya, dua wanita berpakaian minim tertawa genit, menggoda dengan tawa palsu yang membuatnya muak.Ia meneguk alkohol lagi dan lagi, berharap rasa panas di tenggorokan bisa membakar habis bara yang menyiksa dadanya.“Sialan kau, Fhilia,” gumamnya, dengan suara yang nyaris tak terdengar di tengah bising musik.“Bahkan wanita yang aku cintai… pergi juga karena kau.”Ia menghantam meja, membu
Entah harus berapa lama lagi Fhi menahan perasaan tidak nyaman ini.Setiap pagi terasa sama duduk di meja kerja yang dingin, menyapa rekan-rekan dengan senyum tipis yang hambar, karena perusahanan tempat kerjanya kali ini harus bekerja sama dengan perusahaan suaminya. Suami yang hanya sebuah status di atas kertas, Reiga.Hanya mendengar namanya saja sudah cukup membuatnya tidak bersemangat.“Hari ini kita akan lihat lokasi proyek kerja sama dengan Angkasa Group,” ucap Fhi pelan, nada suaranya datar. Ia mencoba terdengar profesional, meski hatinya terasa seperti diikat simpul yang kencang.Louis yang duduk di seberangnya menatap wajah Fhi yang tampak pucat.“Kalau kamu tidak nyaman, aku bisa lihat sendiri saja Fhi,” ujarnya lembut. “Aku tahu… ada sesuatu tidak nyaman diantara kalian.”Fhi menatap layar laptop-nya, pura-pura sibuk membaca data.“Tidak apa-apa. Aku akan ikut. Aku ingin tetap profesional.”Walaupun kata “profesional” itu terasa getir di lidahnya, ia menelannya tanpa banya







