LOGINReiga Calister duduk dalam diam. Wajahnya menegang, tatapannya kosong menatap lurus ke depan. Ia menolak perjalanan bulan madu ini sejak awal, tapi tekanan dari Mama Naya membuatnya tak punya pilihan. Ia tahu benar harapan di balik hadiah kelas bisnis super.
Sejak tadi Reiga hanya menunduk menatap ponselnya, raut wajahnya terlihat cemas. “Reiga, kamu baik-baik saja?” tanyanya hati-hati. “...Hm.” Jawaban singkat itu bahkan tanpa menoleh.Hati Fhi mencubit pelan. Ia menghela napas, lalu menenangkan dirinya sendiri. Daripada tenggelam dalam sepi yang mencekik, ia berusaha menikmati hidangan mewah di hadapannya. “Wah, ini enak sekali,” gumamnya pelan sambil tersenyum, meski tahu senyum itu hanya untuk dirinya sendiri. Makanan memang selalu menjadi pelipur lara terbaik baginya. Setelah mendarat di pulau tropis yang romantis, Reiga langsung memesan taksi menuju hotel. Tanpa basa-basi ia duduk di kursi depan, meninggalkan Fhi sendiri di kursi belakang. Sopir hanya melirik sekilas lewat kaca spion, lalu kembali fokus menyetir dalam diam. Tiba di hotel, resepsionis menyambut mereka dengan hangat. “Selamat datang, Tuan dan Nyonya Calister. Semoga bulan madu Anda menyenangkan.” Fhi tersenyum tipis. Setidaknya sambutan orang lain masih terasa manusiawi. Namun hatinya kembali merosot ketika melihat kamar yang dipesan Reiga satu kamar, tapi dengan dua tempat tidur terpisah. “Dua kasur?” bisiknya nyaris tak terdengar. Reiga hanya menaruh ponsel di meja, lalu menjatuhkan tubuhnya ke salah satu ranjang. Tak ada penjelasan. Tak ada kata. “Aku mandi dulu, ya.” Tak ada jawaban, hanya layar ponsel yang kembali memantulkan cahaya di wajah Reiga. … Pagi menyapa dengan sinar matahari yang menari di balik tirai. Fhi membuka matanya dan melihat Reiga masih terlelap di tempat tidurnya. Ia bangkit dan bersiap untuk pergi ke pantai seperti yang direncanakan. Tapi sebelum pergi, ia menyentuh bahu Reiga lembut. “Reiga, aku mau ke pantai, ayo ikut?” Reiga membuka mata setengah dan berkata datar, “Diam. Pergi saja sendiri.” Fhi menahan napas, dadanya seperti diremas. Namun ia mengangguk pelan dan melangkah pergi. Tak ada gunanya memaksa seseorang yang jelas-jelas tak ingin bersamanya. Langkahnya membawanya menuju pantai. Pantai itu indah. Laut membiru, ombak mengusap pasir dengan ritme yang tenang. Fhi duduk di bawah payung pantai, mengenakan topi lebar dan kacamata hitam. Tiba-tiba, seseorang menghampiri. “Hai, aku Charles. Kau sendirian?” tanya pria bule dengan senyum ramah. Fhi mengangkat jari tangannya, memperlihatkan cincin di jari manisnya. “Ah, sayang sekali. Seorang wanita cantik seperti kamu ternyata sudah bersuami.” Charles tertawa. Fhi hanya tersenyum samar. “Tapi kenapa kau sendiri?” “Entahlah,” jawab Fhi lirih. Charles tampak peka. Ia tak bertanya lebih jauh, hanya duduk dan mulai berbagi cerita lucu. Fhi tertawa untuk pertama kalinya sejak ia tiba di tempat ini. Hari berlalu tanpa terasa. Menjelang sore, Charles menyerahkan kartu namanya. “Kalau kamu ingin tertawa lagi, hubungi saja. Aku akan meluncur.” Fhi tertawa kecil, membalas dengan memberikan kartu namanya juga, lalu mereka berpisah. Saat kembali ke hotel, ia merasa sedikit lebih ringan. Langkah Fhilia terhenti di depan hotel, Reiga memeluk seorang wanita berparas menawan. Senyum lembut yang tak pernah ia lihat ditujukan padanya, kini terpatri di wajah pria itu. Hatinya bergetar hebat, “Siapa wanita itu dan kenapa pelukan itu terasa begitu penuh arti?”Pagi ini, Fhi bangun lebih cepat dari biasanya. Matahari bahkan belum sepenuhnya mengintip dari balik jendela. Ia berdiri di depan cermin, merapikan rambut, mencuci muka, dan memakai parfum lembut beraroma bunga apel. Ada sesuatu yang berbeda di hatinya seperti ada harapan kecil yang ia takutkan akan patah, tapi tetap ia genggam erat.Saat berjalan melewati pintu kamar Reiga, langkahnya tertahan.“Fhilia.”Suara itu. Dalam, tenang, dan… dekat.Fhi menoleh cepat. Pintu kamar Reiga terbuka sedikit, dan lelaki itu berdiri di sana dengan kemeja kerja tetapi dasi masih terurai.“Ya, ada apa?”Reiga mendekat, menyodorkan dasinya. “Bantu pasangkan.”Hati Fhi mencelos. “A aku? Tapi...”“Cepat, aku terlambat.” Nada suaranya tenang, namun ada kehangatan samar yang tak pernah Fhi dengar sebelumnya.Dengan tangan sedikit gemetar, Fhi mendekat. Jarak mereka hanya sejengkal. Ia bisa merasakan hangat napas Reiga, sementara jemarinya perlahan melingkarkan dasi di bawah kerah kemeja. Detak jantungnya
CHAPTER 20 – Tiba-Tiba BerubahYang menakutkan bukan ketika seseorang membencimu… tapi ketika seseorang yang semula acuh tiba-tiba berubah, seolah-olah tengah menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih gelap.....Sudah satu minggu. Satu minggu Reiga menghilang dari rumah, tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa penjelasan setelah malam yang menyedihkan itu. Fhi mulai belajar menerima sunyi, bahkan hampir percaya bahwa Reiga tak akan kembali.Namun pagi ini, langkahnya terhenti begitu ia melihat sosok itu.Reiga.Ia duduk santai di meja makan, bersandar tenang di kursi, membaca sesuatu di dalam tabletnya seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Tidak ada raut canggung. Tidak ada pembicaraan soal malam itu. Tidak ada penjelasan atas kepergiannya.Hanya… Reiga. Dingin, tenang, dan tiba-tiba ada.“Selamat pagi, Tuan…” Bi Inah berkata pelan, mencoba mencairkan suasana.Reiga tidak menatap siapa pun saat berbicara. “Buatkan aku sarapan.”“Baik, Tuan,” jawab Bi Inah cepat.Reiga menutup t
Kadang, luka paling dalam bukan berasal dari kata-kata kasar atau perlakuan menyakitkan… tetapi dari orang yang memilih untuk lupa saat kita mengingat segalanya...Pintu kamar terbanting keras.“Masuk,” suara Reiga dingin, tapi tergesa. Ia menggenggam pergelangan tangan Fhi, menyeretnya masuk seolah takut ada yang melihat percakapan mereka.Fhi terkejut, namun tidak melawan. Di balik matanya yang sembab, hanya ada satu tanya,apa dia benar-benar tidak mengingat apa pun?“Jelaskan,” suara Reiga bergetar, menahan marah atau takut? “Apa yang… terjadi kemarin malam?”Fhi menatapnya, sayu. “Kau benar-benar tidak ingat apapun?.”Reiga mengernyit. “Aku… aku hanya ingat kita bicara sebentar. Kau menangis. Setelah itu ...”“Setelah itu kau memperkosaku Reiga.” Fhi menarik napas berat. “Lalu kau ...”Wajah Reiga mengeras. Ia menggeleng pelan ingatan samarnya apakah benar terjadi. “Aku? tidak mungkin.”“Kau menyakitiku Reiga,” Fhi memotong, suaranya bergetar. Keheningan turun seketika.Reiga te
Fhilia terbangun dengan napas berat. Cahaya matahari yang menembus tirai jendela terasa terlalu terang untuk matanya yang bengkak. Tenggorokannya kering, seolah semalaman ia menangis tanpa suara. Untuk sesaat, ia berharap kejadian kemarin hanyalah mimpi buruk. Tapi nyeri yang merambat dari tubuh hingga dadanya membuyarkan harapan itu."Kenapa aku masih di sini? Kenapa aku masih hidup setelah semalam?"Fhi mengusap wajahnya, merasakan gurat perih di pipi bekas tamparan yang ia tutupi dengan bedak tipis. Sakitnya bukan hanya di tubuh, tapi juga di hati, yang kini sepi, dingin, dan hancur.Namun waktu tidak menunggu luka untuk sembuh.Hari ini ia harus bekerja bersama Louis di perusahaan, berdiri seolah hidupnya baik-baik saja.Pelan, ia bangkit, meraih kemeja kerja, dan menata rambut panjangnya dengan tangan gemetar.Tangga rumah terasa lebih panjang dari biasanya. Aroma wangi masakan pagi menyambutnya padahal ini masih terlalu pagi.“Bi Inah… saya yang masak saja,” ucap Fhi pelan, meng
Hingar-bingar lampu klub malam menari liar di dinding, seakan ikut menertawakan kebodohan Reiga malam itu. Musik berdentum keras, memenuhi setiap rongga kepalanya yang sudah terlalu lama bergema oleh nama yang sama, Fhilia.Di kanan-kirinya, dua wanita berpakaian minim tertawa genit, menggoda dengan tawa palsu yang membuatnya muak.Ia meneguk alkohol lagi dan lagi, berharap rasa panas di tenggorokan bisa membakar habis bara yang menyiksa dadanya.“Sialan kau, Fhilia,” gumamnya, dengan suara yang nyaris tak terdengar di tengah bising musik.“Bahkan wanita yang aku cintai… pergi juga karena kau.”Ia menghantam meja, membu
Entah harus berapa lama lagi Fhi menahan perasaan tidak nyaman ini.Setiap pagi terasa sama duduk di meja kerja yang dingin, menyapa rekan-rekan dengan senyum tipis yang hambar, karena perusahanan tempat kerjanya kali ini harus bekerja sama dengan perusahaan suaminya. Suami yang hanya sebuah status di atas kertas, Reiga.Hanya mendengar namanya saja sudah cukup membuatnya tidak bersemangat.“Hari ini kita akan lihat lokasi proyek kerja sama dengan Angkasa Group,” ucap Fhi pelan, nada suaranya datar. Ia mencoba terdengar profesional, meski hatinya terasa seperti diikat simpul yang kencang.Louis yang duduk di seberangnya menatap wajah Fhi yang tampak pucat.“Kalau kamu tidak nyaman, aku bisa lihat sendiri saja Fhi,” ujarnya lembut. “Aku tahu… ada sesuatu tidak nyaman diantara kalian.”Fhi menatap layar laptop-nya, pura-pura sibuk membaca data.“Tidak apa-apa. Aku akan ikut. Aku ingin tetap profesional.”Walaupun kata “profesional” itu terasa getir di lidahnya, ia menelannya tanpa banya







