Fhilia berdiri kaku di ruang tamu, tubuhnya bergetar seperti daun diterpa angin. Matanya membeku pada pemandangan di depannya. Reiga, suaminya, berdiri begitu dekat dengan seorang wanita asing yang kecantikannya nyaris tak masuk akal. Gaun sederhana yang ia kenakan justru menonjolkan keanggunannya, rambut hitam panjangnya jatuh sempurna, dan matanya berkilat seperti menyimpan sesuatu yang hanya bisa dibaca Reiga.
“Dia wanita yang aku cintai,” suara Reiga terdengar dingin, jelas, menusuk telinga Fhilia hingga membuat lututnya nyaris lemas. Wanita itu terkejut, matanya melebar, menatap Reiga dengan ekspresi campuran antara terkejut dan ngeri. Ia tak menyangka pria itu akan mengucapkan kalimat setegas itu di hadapan seorang istri yang sah. Fhilia mengepalkan tangan hingga jemarinya memutih. Ia mencoba keras menahan air mata agar tidak jatuh.“Kau tidak pernah bilang kalau sudah memiliki wanita yang kau cintai,” ucapnya lirih, suaranya bergetar, nyaris pecah. Reiga menatapnya dengan sorot tajam. “Aku sudah bilang padamu sejak awal, jangan menikah denganku. Aku tidak pernah ingin pernikahan ini terjadi. Kau sendiri yang memilih tetap melangkah.” “Apa kau pikir aku akan menyerah begitu saja?!” suara Fhilia meninggi, kali ini emosinya tidak bisa lagi ia tahan. “Aku sudah jadi istrimu, Reiga. Apa kau pikir aku akan membiarkan pernikahan ini hancur hanya karena kau tidak bisa melepaskan masa lalumu?” Suasana membeku. Fhilia menunduk sejenak, dadanya naik turun, melihat wanita itu tidak melepaskan diri dari sisi Reiga. Jemari halusnya justru perlahan menggenggam lengan pria itu sebuah isyarat bahwa ia takut dengan nada suara Fhi. Reiga menarik napas panjang, tatapannya tetap menusuk. “Kalau begitu, bersiaplah. Karena aku tidak akan pernah berpaling darinya.” Darah Fhilia mendidih. Kata-kata itu seperti belati menusuk jantungnya. Namun di balik air mata yang hampir jatuh, api kecil mulai menyala. Ia mendongak, menatap Reiga dengan mata berkilat tajam. “Kalau begitu, bersiaplah kau juga, Reiga. Karena aku tidak akan kalah darinya.” Keduanya terdiam. Hanya detik jam dinding yang bergema nyaring, mengiris keheningan ruang tamu yang mencekam. Fhilia menghela napas pendek, lalu dengan langkah gemetar ia berbalik menuju pintu. Ia tahu, jika tetap berdiri di sana, tangisnya akan pecah dan ia tak ingin terlihat lemah di hadapan mereka. Jemarinya hampir menyentuh gagang pintu ketika sebuah suara memanggilnya. “Fhilia.” suara wanita itu lirih, ragu, tapi penuh maksud. “Ada sesuatu yang kau tidak tahu. Aku ...” Kalimat itu terputus mendadak. Ponsel Reiga berdering keras, memotong udara yang tegang. Tanpa sedikit pun keraguan, pria itu meraih ponselnya. “Halo?” suaranya dingin, cepat, seakan Fhilia tak lagi ada di ruangan itu. Lebih perih lagi ketika Reiga menggenggam tangan wanita itu. “Ayo,” ucapnya singkat, lalu menuntunnya menjauh, meninggalkan Fhilia sendirian di dekat pintu. Fhilia membeku, napasnya memburu, dadanya naik turun tak beraturan. Jemarinya mencengkeram gagang pintu begitu keras hingga memutih, seolah itu satu-satunya pegangan yang bisa menyelamatkannya dari runtuh. "Apa aku benar-benar tak terlihat di mata mereka?" pikirnya getir. Jantungnya berdegup liar, kepalanya dipenuhi ribuan pertanyaan dan skenario buruk yang saling bertabrakan. Ia menggigit bibir, menahan perih yang mengalir di dada. “Bisakah aku… bertahan dalam pernikahan ini?” bisiknya nyaris tanpa suara, tenggelam dalam bunyi jam dinding yang kembali berdetak, dingin dan tak peduli.Pagi itu, Fhilia menatap pantulan wajahnya di cermin. Makeup tipis menutupi lelah di wajahnya, tapi tidak mampu meredam keruwetan dalam pikirannya, yang terus berputar dengan memikirkan sifat dingin Reiga. Ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Bi Inah muncul dengan senyum hangat, membawa segelas susu hangat.“Nona, jangan berangkat kerja dengan perut kosong. Minumlah dulu.”Fhilia tersenyum kecil. “Terima kasih, Bi. Rasanya seperti punya ibu lain di rumah asing ini.”Bi Inah menepuk bahunya lembut. “Kalau begitu, anggap saja saya memang ibumu. Dan ibu selalu ingin anaknya kuat.”Hati Fhilia menghangat, tapi sekaligus pedih. Ia butuh pelukan seperti itu, sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan dari Reiga....Kantor terasa sedikit berbeda pagi ini. Beberapa karyawan masih membicarakan bos baru yang penuh wibawa, sementara Fhilia sibuk menata berkas di meja kerjanya.“Selamat pagi, Fhi.”Suara itu kembali membuatnya terhenti. Louis berdiri di depan pintu dengan senyum khasnya senyum yang
“Louis.” Nama itu lolos begitu saja dari bibir Fhi, seolah waktu berhenti sesaat. Pria di hadapannya tersenyum tipis, tatapannya hangat seperti dulu. “Halo, Fhilia. Aku bos barumu mulai hari ini.” Jantung Fhi berdebar kencang. Dunia benar-benar berputar aneh, mempertemukannya kembali dengan seseorang di masa lalu nya yang tak pernah ia ceritakan pada siapa pun. Sepersekian detik kemudian, bibir Fhi melengkung, menyembunyikan keterkejutannya dengan senyum hangatnya, ia mengulurkan tangan. “Lama tidak berjumpa, Tuan Louis.” Louis menyambut uluran tangan itu dengan hangat. “Lama tidak berjumpa, Fhilia.” Suaranya sama seperti dulu tenang, penuh keakraban yang menenangkan. … Jam dinding berdetak. Hari bergulir pelan, namun ruang kerja mereka penuh dengan kesibukan. “Jadi sekarang kau sekretarisku,” ujar Louis di sela-sela menandatangani berkas. “Tentu saja. Karena bosku sebelumnya, Pak Andrew, sudah kamu gantikan,” jawab Fhi sambil menahan nada suaranya tetap profesional.
Fhi terbangun dengan tubuh yang seakan diremukkan. Setiap sendi berdenyut, setiap helaan napas terasa berat. Samar-samar, telinganya menangkap suara lembut seorang wanita. “Nona… nona, apakah sudah bangun?” suara itu bergetar, penuh kekhawatiran. Kelopak matanya bergerak, menyesuaikan cahaya redup dari lampu meja di kamar. Perlahan, pandangannya menangkap sosok wanita paruh baya yang duduk di sisi ranjangnya. Wajah penuh garis halus, mata teduh namun resah. “Siapa… Anda?” suara Fhi lemah, hampir tak terdengar. Wanita itu tersenyum tipis, menyembunyikan kegugupannya. “Saya Bi Inah, asisten baru di rumah ini, nona.” Fhi mencoba mengangkat tubuhnya, tapi rasa sakit langsung menyerang. Bi Inah cepat-cepat menopangnya. “Jangan dipaksakan. Nona perlu istirahat. Perlu saya panggilkan dokter, atau keluarga nona? Siapa yang bisa saya hubungi?” pertanyaan demi pertanyaan meluncur begitu cepat, nyaris seperti rentetan peluru. Fhi menggeleng pelan. “Tidak… tidak usah, Bi. Saya hanya
Rumah itu tak lagi terasa seperti rumah. Bagi Fhilia, setiap dinding kini menjelma penjara, setiap jendela hanya menghadirkan bayangan luka. Sejak pengakuan pahit itu, Reiga tidak ragu mengajak wanita itu tinggal bersama. Mereka menempati kamar utama, berbagi ruang dan rahasia, sementara Fhi terasing di kamar sebelah sendiri, terjaga tiap malam oleh tawa lembut dari seberang dinding. Di meja makan, usaha Fhi menata piring dan menyajikan masakan selalu kandas. “Reiga, aku sudah masak setidaknya coba sedikit,” ucapnya suatu malam, suaranya pelan penuh harap. Pria itu bahkan tidak menoleh. “Aku sudah makan di luar,” dan piring yang ia siapkan tetap utuh, dingin, tak tersentuh. Setiap rutinitas yang Fhi jalani menyapu, menyiram tanaman, menata buku tak lebih dari upaya sia-sia untuk merawat hatinya yang retak. Komentar dingin Reiga dan jarak yang disengaja membuat kesabarannya tergerus. Perlahan, bara kecil berubah menjadi api yang sulit dikendalikan. Suatu sore, langkah mere
Fhilia berdiri kaku di ruang tamu, tubuhnya bergetar seperti daun diterpa angin. Matanya membeku pada pemandangan di depannya. Reiga, suaminya, berdiri begitu dekat dengan seorang wanita asing yang kecantikannya nyaris tak masuk akal. Gaun sederhana yang ia kenakan justru menonjolkan keanggunannya, rambut hitam panjangnya jatuh sempurna, dan matanya berkilat seperti menyimpan sesuatu yang hanya bisa dibaca Reiga. “Dia wanita yang aku cintai,” suara Reiga terdengar dingin, jelas, menusuk telinga Fhilia hingga membuat lututnya nyaris lemas. Wanita itu terkejut, matanya melebar, menatap Reiga dengan ekspresi campuran antara terkejut dan ngeri. Ia tak menyangka pria itu akan mengucapkan kalimat setegas itu di hadapan seorang istri yang sah. Fhilia mengepalkan tangan hingga jemarinya memutih. Ia mencoba keras menahan air mata agar tidak jatuh.“Kau tidak pernah bilang kalau sudah memiliki wanita yang kau cintai,” ucapnya lirih, suaranya bergetar, nyaris pecah. Reiga menatapnya d
Reiga Calister duduk dalam diam. Wajahnya menegang, tatapannya kosong menatap lurus ke depan. Ia menolak perjalanan bulan madu ini sejak awal, tapi tekanan dari Mama Naya membuatnya tak punya pilihan. Ia tahu benar harapan di balik hadiah kelas bisnis super. Sejak tadi Reiga hanya menunduk menatap ponselnya, raut wajahnya terlihat cemas. “Reiga, kamu baik-baik saja?” tanyanya hati-hati. “...Hm.” Jawaban singkat itu bahkan tanpa menoleh.Hati Fhi mencubit pelan. Ia menghela napas, lalu menenangkan dirinya sendiri. Daripada tenggelam dalam sepi yang mencekik, ia berusaha menikmati hidangan mewah di hadapannya. “Wah, ini enak sekali,” gumamnya pelan sambil tersenyum, meski tahu senyum itu hanya untuk dirinya sendiri. Makanan memang selalu menjadi pelipur lara terbaik baginya. Setelah mendarat di pulau tropis yang romantis, Reiga langsung memesan taksi menuju hotel. Tanpa basa-basi ia duduk di kursi depan, meninggalkan Fhi sendiri di kursi belakang. Sopir hanya melirik sekila