Bab 7
"Raka, please! Kamu nggak usah terlalu perhatian sama aku. Aku tidak ingin membuat masalah pagi ini." Sania merebut piring dari tangan Raka ketika pria itu berjalan menuju meja makan.Sania terpaksa melakukan ini, meskipun sebenarnya di hati merasa senang dengan sikap baik adik iparnya. Akan tetapi jika mengingat ucapan ibu mertuanya tadi malam, membuatnya nyalinya menjadi ciut.
"Membuat sarapan itu sudah menjadi tugasku. Dan bukankah aku sudah melakukan apa yang kamu minta? Aku sudah sarapan, Raka. Tenagaku sudah kuat. Kamu nggak usah segitunya khawatir. Oke?!" ucap Sania lagi.
Pria itu mendengus kasar. Penolakan dan protes Sania sama sekali tidak menyurutkan niatnya untuk membantu Sania menyiapkan sarapan. Dia mengambil gelas dan sendok, lalu membawanya ke meja makan.
Tak ada seorangpun di tempat itu, kecuali mereka berdua. Raka merasa itu sudah cukup aman. Dia bisa membantu Sania tanpa sepengetahuan orang-orang yang tinggal di rumah ini.
Lagi pula, dia melakukannya tidak setiap hari, bahkan pagi ini dia akan berangkat bekerja, lalu malamnya dia akan menginap di apartemen. Raka lebih senang menginap di apartemennya, karena tidak tahan dengan sikap ibundanya sendiri yang selalu memintanya untuk menikah.
Bukan ia tidak mau menikah, hanya saja belum menemukan seseorang yang tepat. Setiap wanita yang dekat dengannya selalu mengincar harta dan fisiknya, bukan dirinya apa adanya. Bahkan tidak sedikit wanita yang rela melemparkan diri ke ranjangnya. Itu yang tidak Raka suka.
Raka menginginkan seorang wanita yang mau menerima ia apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Wanita yang mencintai dirinya dengan hatinya, seperti...
Pria itu menggeleng samar seraya menghela nafas.
Sangat tidak baik jika dia membandingkan dirinya dengan sang kakak. Randy sebenarnya sangat beruntung mendapatkan Sania yang selalu mengerti dan mau mengalah. Sayangnya kakaknya terlalu jumawa dan serakah, menikahi dua orang wanita, padahal Sania dan Mutia itu saudara sepupu.
Raka meletakkan beberapa gelas dan sendok ke meja makan, lalu mengangkat wadah besar berisi nasi goreng, meskipun Sania sudah melarangnya.
"Sudah cukup, Raka. Kamu nggak perlu melakukan apapun lagi. Sekarang duduklah. Aku akan mengambilkan nasi goreng untukmu," perintah wanita itu seperti seorang ibu kepada anaknya.
Pria itu tersenyum lalu menarik kursi dan duduk. Sania mengambilkan nasi goreng kemudian memberinya topping berupa irisan telur dadar suwir ayam dan bawang goreng serta kerupuk.
"Terima kasih," ucap Raka sumringah.
Wanita itu tersenyum kemudian mengangguk, lalu berturut-turut orang-orang di rumah ini berdatangan, menghampiri meja makan. Asih, Nuri, Randy dan Mutia. Beruntung kali ini Mutia tidak tantrum. Dia nampak melahap nasi goreng buatan Sania, bahkan sampai minta tambah. Mungkin dia kelelahan sehabis begadang melayani nafsu besar suaminya.
Sania undur diri setelah memastikan semuanya makan dengan lahap. Dia melangkah menuju dapur dan mencuci semua peralatan masaknya.
"Aku sudah selesai." Suara Raka kembali terdengar dari arah meja makan.
Bibir Sania tersenyum mengenang perhatian yang ditunjukkan oleh Raka barusan. Baru kali ini ada orang yang membantunya menyiapkan sarapan. Biasanya dia hanya sendiri melakukan itu.
"Aku berangkat kerja dulu ya, Sania. Kalau ada apa-apa, kamu bisa telepon aku." Suara bariton itu kembali terdengar. Kali ini suaranya terdengar jelas. Entah sejak kapan pria itu memasuki dapur. Sania menoleh sekilas, lalu membasuh tangannya hingga bersih.
"Iya, hati-hati di jalan." Wanita itu tersenyum.
Raka pun mengangguk. Dan tanpa menoleh dia pun segera berlalu dari tempat itu. Sementara satu persatu orang-orang sudah selesai sarapan. Sania membereskan meja makan dan mengangkut sisa makanan untuk ditaruh di lemari penyimpanan.
***
Hari-hari berlalu tanpa terasa. Sania sudah mulai berdamai dengan jalan hidupnya, meski sepi di malam-malamnya tak bisa ia pungkiri. Bagaimanapun dia wanita normal dan merindukan belaian seorang lelaki.
Apapun yang terjadi, ini adalah pilihannya. Dia harus bisa bertahan. Dia harus kuat.
Jika dia lebih memilih berpisah daripada dimadu, ibunya pasti akan terpukul. Wanita setengah tua itu memang mengetahui jika Randy menikah lagi, tetapi Sania selalu bilang jika tujuan pernikahan itu adalah untuk mendapatkan keturunan. Lagi pula, sosok Randy di mata ibunya memang terkenal sangat baik.
Sangat tidak mudah untuk mengubah cara pandang ibunya tentang Randy
"Mas sejak kapan berada di sini?" Sania baru saja selesai mandi dan kaget saat mendapati sang suami sudah berada di kamarnya.
Seminggu sudah berlalu dan baru kali ini Randy berkunjung ke kamarnya. Sania menatap jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 malam.
"Mas mau menginap di sini?" Dada wanita itu seketika berdebar. Dia lantas melangkah menuju pintu dan menutup pintu rapat-rapat.
"Memangnya mau mengajak kamu jalan-jalan? Lucu kamu ini, Sania," tukas pria itu seraya berdiri. Sudah seminggu ia tidak menyentuh Sania dan nalurinya sebagai seorang lelaki tergiur melihat pemandangan di hadapannya.
Sania hanya mengenakan jubah mandi dan di dalamnya pasti tidak mengenakan apapun. Pria itu menatap istri pertamanya penuh arti, tatapan yang lekat tatkala menyadari jika sebenarnya istri pertamanya tidak kalah cantik. Hanya saja Sania memang tidak pernah merawat wajah dan tubuhnya, beda dengan Mutia yang rutin perawatan ke salon.
Jujur, Sania merasa jijik saat tangan pria itu menjelajah wajah dan tubuhnya. Namun ia berusaha menepiskan rasa itu. Dia harus membuktikan kepada semua orang bahwa ia tidak mandul. Kalau Randy tidak menggaulinya, bagaimana mungkin dia bisa hamil?
Wanita itu memejamkan mata saat bibir mereka bertemu. Randy menciumnya dengan begitu rakus, seperti orang yang lama tidak menyentuh bibir wanita. Padahal Sania berani bertaruh, jika pria itu sudah menggempur istri keduanya sebelum masuk ke kamar ini. Tetapi sepertinya Randy tidak pernah merasa puas
Hasrat Randy memang besar dan Sania mengakui hal itu. Sayang sekali sebenarnya jika akhirnya kenyataan membuktikan bahwa Randy lah yang sebenarnya bermasalah.
Sania menggigit bibirnya tatkala mulut pria itu mulai turun. Ada gelenyar aneh yang membanjiri sekujur tubuhnya, membuat wanita itu merasakan perutnya seperti dipenuhi ribuan kupu-kupu. Tubuhnya mengejang lantas memekik lirih.
Sania mencapai kepuasannya untuk pertama kali.
Randy menyeringai dan tersenyum puas melihat wajah dan tubuh cantik yang terbaring tanpa busana itu mendapat pelepasan pertamanya. Dia pun mulai menanggalkan kain penutup di tubuhnya, lalu kembali merangkak ke tempat tidur.
"Mas! Mas, kamu di mana?!" Suara ketukan berlalu-talu membuat Randy yang sudah bersiap-siap memasukkan senjata pusakanya ke liang surgawi milik istri pertamanya seketika mengurungkan niat.
"Mutia," gumam Sania. Wanita itu seketika memasang wajah cemberut. Kesal, tentu saja.
Malam ini seharusnya waktu gilirannya, tetapi kenapa Mutia justru masih mencari suaminya?
Sania mendorong tubuh Randy yang berada di atas tubuhnya, kemudian bangkit. Dia mengambil jubah mandinya dan mengenakannya asal, lalu berjalan menuju pintu.
"Ada apa, Mutia?" tegur Sania.
"Mana Mas Randy?" Mutia tidak sekedar bertanya, tetapi tubuhnya sudah merangsak masuk ke dalam kamar.
"Mas, kamu di sini?" Mutia memekik. Namun Randy segera bertindak untuk membekap mulut wanita itu.
"Mutia, malam ini adalah jatah giliranku. Jadi wajar jika suamiku ada di kamar ini," tegas wanita itu mengingatkan.
"Suamimu?" Kening wanita itu berkerut. Mutia berjalan menuju Sania dan berhenti saat jarak keduanya kurang dari satu meter.
"Bukankah kita sudah berbagi tugas? Kamu yang mengurusi rumah ini dan aku yang melayani kebutuhan ranjangnya Mas Randy? Kamu lupa dengan kesepakatan kita?" balas Mutia tak mau kalah.
Sania tertawa hambar, lantas menepuk bahu wanita itu sekilas.
"Aku tidak pernah merasa menyetujui, jadi aku tidak pernah menganggap itu sebagai sebuah kesepakatan. Lagi pula Mas Randy berhak masuk ke kamar ini, karena aku masih istrinya dan aku pun berhak atas waktu dan kunjungannya. Sebaiknya kamu tahu diri, Mutia. Sebagai istri kedua, tidak pantas kamu memonopoli suamimu, karena Mas Randy itu suamiku, bukan hanya suamimu!"
Bab 39"Mau ke toko kosmetik, Tante. Barusan kan aku beres-beres kamar. Nah, ternyata skincare ku nggak ada, hilang gitu. Nggak tahu tuh siapa yang ngambil." Sania menyebut tanpa tedeng aling-aling.Percuma juga beralasan ini itu, toh pada kenyataannya beberapa produk perawatan wajahnya hilang dan kemungkinan diambil oleh tante Wina."Kamu nuduh Tante yang udah ngambil skincare kamu?! Sok kegayaan pakai skincare segala. Percuma, Sania. Kamu pikir skincare murahan kamu itu bisa membuat kamu lebih cantik daripada Mutia?! Nggak ngaruh sama perhatian Randy sekarang pada Mutia, apalagi mereka akan segera punya anak!" balas perempuan paruh baya itu. Bicaranya sedikit ngegas, meski bagi perempuan paruh baya itu biasa saja.Namun Sania melihat gerak-gerik perempuan itu, yang refleks memegang tas tangannya lebih erat.Tak salah lagi, pasti Tante Wina pelakunya. Hanya saja dia malas untuk membuktikan dengan cara menggeledah tas milik perempuan itu.Lebih baik beli yang baru, habis perkara."Aku
Bab 38"Kalau mau kalung juga, minta aja sama Mas Randy! Bilang sama dia, Tante! Aku nggak ikut-ikutan ya, karena bukan urusanku. Jadi jangan dilibatin aku. Apalagi sampai menyuruh aku untuk meminta kepada Mas Randy supaya membelikan kalung untuk Tante!" Perempuan itu menatap dua perempuan paruh baya itu bergantian."Ingat, yang menjadi istri kesayangan Mas Randy itu sekarang adalah Mutia. Kehadiranku udah nggak berarti bagi Mas Randy. Asal Tante tahu, sekarang aku bahkan sedang menimbang-nimbang untuk mengajukan perceraian!""Percaya diri sekali kamu, Sania. Mentang-mentang sekarang sudah punya tabungan sendiri, jadi berani minta cerai sama anakku begitu?!" dengus mama Asih. Dia masih memegang buku tabungan milik Sania. Sebenarnya dia iri karena Sania bisa mengumpulkan uang, bisa menabung, sementara dia tidak bisa. Memang, lebih dari separuh gaji Randy diberikan kepadanya, tetapi itu dialokasikan untuk memenuhi semua keperluan seisi rumah ini. "Ya jelas dong! Tapi sayangnya Mas Rand
Bab 37Perempuan itu hanya mengangguk. Tak ada tanggapan. Dia memilih cepat-cepat masuk ke dalam rumah.Tidak mungkin ia meladeni perempuan tetangga sebelah rumahnya. Dia tak bisa berbohong lagi. Kebohongan satu akan berujung pada kebohongan yang lain.Terlalu banyak dosanya. Pekerjaan pagi ini bisa di handle Aya dan Lia. Dia hanya kebagian membuat bumbu. Membuat bumbu memang pekerjaan yang harus ditangani sendiri, karena menyangkut rahasia dapurnya. Tidak ada orang yang bisa di percayai seratus persen, bukan?Setelah selesai membuat bumbu, Sania kembali ke kamarnya. Dia mulai menyusun bantal, melipat selimut, dan ya... Aroma Raka tertinggal di pembaringan ini. Dia mencium selimut itu, mencoba menghadirkan sosok Raka disini."Bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta pada adik iparku sendiri?" Sania mengerang lirih. "Kenapa aku bisa luluh padanya? Bagaimana kalau orang-orang tahu hubungan kami?" Sania mengenang sapaaan tetangganya barusan. Mungkin hari ini masih aman, tapi entahlah kal
Bab 36"Aya!" pekik Sania. Matanya seketika melotot.Ingin rasanya memarahi dua gadis itu, tapi dia tidak sanggup. Aya dan Lia, dua kakak beradik itu benar-benar menggemaskan dan sangat disayanginya, namun sekaligus menyebalkan jika sudah seperti ini."Tenang, Kak. Ayo tarik nafas dulu." Lia memeluk Sania dari belakang. Dia baru saja selesai mencuci piring. Tangannya yang basah ikut membuat lengan Sania juga basah."Kami sayang Kakak. Kami hanya punya Kakak, dan kami ingin Kakak bahagia bagaimanapun caranya. Jangan marahin Aya ya, Kak," lirih Lia. Sementara saudaranya hanya menunduk takut."Tapi akibatnya itu membuat Raka bisa bebas keluar masuk rumah ini. Itu kesalahanmu, Aya!""Memangnya kenapa kalau Kak Raka bebas keluar masuk ke rumah ini? Dia bukan pencuri loh.""Siapa bilang dia bukan pencuri? Dia itu mencuri sesuatu yang ada di sini, Aya." Sania menunjuk dadanya. Suaranya serak. "Kamu paham maksud Kakak?""Itu hal yang wajar, Kak. Aku melihat Kak Raka itu orangnya baik. Dia say
Bab 35 "Raka... kenapa nekat datang malam-malam begini?!" Sania sangat terkejut. Dia baru saja keluar dari kamar, tetapi Raka sudah muncul di ruang tamu. Artinya, pria itu sudah membuka pintu rumah lebih dulu, padahal Sania memastikan pintu rumah sudah terkunci dengan benar. Pria itu melepaskan helm dan jaketnya, sehingga yang tersisa kini hanya kaus ketat yang mencetak tubuh kekarnya serta celana panjang yang pas membalut bagian bawah tubuh Raka. "Memang sudah niat, karena aku tahu kamu pasti akan menginap di rumah ini. Aku bahkan meminta Aya agar meletakkan kunci di luar rumah, di tempat yang sudah aku tentukan," ujarnya tanpa beban. "Aya?" Sania langsung ternganga. Sampai sejauh itu dua asisten rumah catering-annya ini mendukung hubungannya dengan Raka. Ya Tuhan, ini sudah tidak benar. Dia sudah menasehati dua gadis itu, bahwa perbuatannya dengan Raka bukan hal baik untuk di tiru. Memberikan kunci cadangan untuk Raka sama artinya dengan mengundang harimau masuk ke da
Bab 34"Cie cie... romantis amat. Seperti dunia milik berdua, yang lainnya pada ngontrak, seperti kami ini," celetukan Lia disertai tawa kecil Aya."Kalian...." Mata Sania seketika melotot. Refleks dia memukul lengan pria itu, lalu beberapa detik kemudian dia menunduk. Malu sekali rasanya. Seharusnya mata dua gadis itu tak perlu ternoda oleh adegan tak pantas.Menyesal sekali. Dia merasa sudah mencontohkan hal yang terbaik pada dua gadis itu."Tidak apa-apa. Aya dan Lia bisa dipercaya, kan?" ujar pria itu terdengar sangat santai sembari menunjuk dua gadis yang masih tetap asyik dengan pekerjaannya."Aman, Kak. Kita semua bisa dipercaya, asalkan bayarannya cocok....""Dasar mata duitan!" sembur Sania. Wanita itu merasa semakin malu, malu tak terkira. Dan sekali lagi dia mencubit lengan Raka yang tetap dengan ekspresinya seolah tanpa dosa.Kenapa pria itu sangat percaya diri?Sania benar-benar tidak habis pikir."Setiap orang butuh duit. Itu pengalaman kami saat masih di jalanan." Tawa