Kenan berdiri di depan cermin yang berada di toilet. Dia hendak memperbaiki pakaiannya, tetapi mulai menyadari sesuatu.
“Kapan ini terjadi?” ucap Kenan.
Pandangannya tertuju pada bayangan dirinya sendiri, terutama pada noda samar berwarna merah muda yang menempel di dada kemeja putihnya itu. Sebuah bekas lipstik. Ia menghela napas panjang, dan ingatan kejadian tadi kembali membanjiri benaknya.
Flashback
Ketika tubuh Natasya didorong oleh Kenan, wajah mereka menjadi begitu dekat. Terlalu dekat hingga bibir gadis itu tanpa sadar menyentuh dadanya. Sentuhan yang cepat, namun meninggalkan bekas. Baik di bajunya, maupun di pikirannya. Hanya saja, Kenan tidak menyadari hal itu.
“Sial,” gumam Kenan pelan, menunduk sambil mengusap noda itu dengan jarinya.
Saat itu, ponselnya tiba-tiba bergetar.
Laura.
Dengan cepat ia menekan tombol hijau. “Halo Ken,” sapa Laura lebih dulu.
“Asistenku mengatakan jika dia melihatmu di kantorku tadi,” lanjutnya. “Jadi dimana kamu sekarang?”
“Aku sudah pergi. Ada pekerjaan mendadak,” jawab Kenan cepat, berusaha terdengar tenang.
“Begitu ya? Padahal aku ingin mengajakmu makan siang,”
Kenan mencengkeram ponsel lebih erat. “Aku akan datang lagi lain kali,”
Sementara itu, tepat di depan ruang kerja Laura yang memang dilapisi kaca, Natasya berdiri sembari mendengarkan potongan percakapan itu.
Dia dengan satu alis terangkat dan senyum geli di sudut bibirnya. “Pekerjaan mendadak, ya?” gumamnya pelan sambil terkikik, mengingat kembali siapa yang membuat Kenan mendadak menunda pertemuan mereka barusan.
Begitu Laura berbalik, dia mendapati Natasya berdiri bersandar santai pada pintu dengan tangan bersilang.
“Kamu?” desis Laura.
“Apa kamu menunggu seseorang?” balas Natasya santai, menatap Laura dengan tatapan penuh tantangan.
“Sedang apa kamu disini?” tanya Laura.
Natasya tersenyum, menurunkan tangannya. “Tidak ada alasan. Mungkin... aku merindukan saudaraku?”
Laura terkekeh penuh ejekan. “Sejak kapan kita jadi saudara, Natasya?”
Natasya mendekat, membiarkan hills tingginya berdetak di lantai marmer ruangan Laura. “Aku hanya ingin menyapa. Jangan terlalu berlebihan.”
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Laura mendekat dengan wajah memerah karena emosi. “Kamu hanya membuat onar di sini!”
Mendengar itu, Natasya tertawa. “Kamu takut aku merebut apa yang kamu miliki lagi, Laura?” bisik Natasya tajam.
Laura mengerang marah dan mendorong bahu Natasya dengan kasar. “Dasar wanita tidak waras!” teriak Laura.
Tanpa berpikir panjang, Natasya membalas mendorong. Lalu semuanya terjadi dengan cepat. teriakan, suara barang jatuh, berkas-berkas berhamburan, dan keduanya mulai saling mencengkeram rambut dan semua hal yang bisa mereka gapai.
Asisten Laura, seorang wanita bernama Rina yang juga teman sekolahnya, masuk dan mencoba melerai. “Berhenti! Kalian berdua!” teriak Rina panik, nyaris tertabrak kursi kerja Laura yang terguling.
Rina mencoba untuk mengentikan Laura, tetapi mulai kehabisan tenaga karena tidak bisa menyeimbangi tenaga bosnya itu. Bahkan dia menjadi kewalahan karena harus menghalangi Natasya juga.
“Kenapa kamu begitu membenciku?” tanya Natasya.
Laura menjadi semakin menggila ketika mendengar pertanyaan itu. “Jangan berpura-pura tidak tahu jawabannya!” balas Laura.
Di tengah kekacauan itu, tiba-tiba terdengar suara sepatu pantofel yang berderap cepat dan mendekat. Kevin, ketua pemasaran yang juga teman lama Natasya, muncul dengan napas terengah-engah. Matanya terbelalak melihat situasi.
“Natasya! Cukup!” serunya sambil menarik tubuh wanita itu dari Laura.
Kevin memeluk Natasya erat, sementara Rina memeluk Laura dan menenangkan atasannya yang kini menangis marah.
“Lepaskan aku, Kevin,” bisik Natasya, tetapi Kevin justru mengeratkan pelukannya.
“Tenanglah. Ini hari pertamamu, Nat,” kata Kevin mengingatkan.
Natasya menatap sekeliling dan menyadari bahwa sekeliling ruangan itu sudah dipenuhi banyak karyawan. Bahkan dia juga melihat ada yang merekam perkelahian mereka.
Merasa bahwa Natasya sudah mulai tenang, Kevin lantas melepaskan pelukannya.
Di hadapan mereka, Natasya bisa melihat wajah Laura yang mulai berubah gelap karena amarah. Pakaian dan rambutnya berubah kusut, dan membuat Natasya tertawa meremehkan.
“Kamu masih saja ganas seperti dulu!” kata Natasya.
Laura berdecak kesal dan akan menyerang Natasya lagi, tetapi berhasil ditahan oleh Rina.
Karena tidak ingin membuat suasana kembali memanas, Kevin lantas mengajak Natasya untuk pergi dari sana.
“Ayolah.. aku akan mengantarmu ke ruangan,” kata Kevin.
Dengan enggan, Natasya membiarkan Kevin menggandengnya keluar dari ruangan kaca Laura yang kini berantakan. Tidak jauh. Ruangan kerja Laura dan Natasya hanya berjarak beberapa langkah, dan sialnya itu berhadapan.
Begitu Natasya dan Kevin keluar dari ruangan Laura, Rina dengan sigap mengusir semua orang. Dia berusaha menenangkan Laura sebisanya.
“Arghhh! Dia merusak suasana hatiku pagi ini!” teriak Laura.
Bahkan dari tempat duduknya, dia bisa melihat Natasya dan Kevin yang begitu akrab dan saling bergandengan mesra.
Entah kenapa hidup terus saja membuat Laura berantakan, dan dia yakin bahwa hidupnya akan lebih berantakan mulai hari ini.
Begitu Natasya dan Kevin sampai di ruangan kerja Natasya, pintu ruangan langsung saja ditutup. Kevin berbalik dan menatap Natasya dalam. “Kamu baik-baik saja?” tanya Kevin.
Natasya hanya mengangguk, lalu duduk di sofa kecil di sudut ruangannya. “Aku tidak pernah menyangka akan bertengkar sedramatis itu,” ucap Natasya.
Dia terdiam sejenak dan mulai memikirkannya kembali. “Pertengkaran di hari pertama. Benar-benar hebat,” kata Natasya sembari tertawa.
Kevin tertawa pendek. “Kamu memang tidak berubah,” kata Kevin.
Natasya memperbaiki posisi duduknya ketika mendengar hal itu. “Tentu saja tidak. Aku menjadi lebih dewasa sekarang,” balas Natasya.
Mereka berbincang sejenak, hingga akhirnya Natasya memiringkan kepala. Matanya memperhatikan Kevin dari atas hingga bawah. Jas biru gelap yang dia kenakan, postur tegap, dan potongan rambut itu, semuanya terlihat begitu familiar.
“Kevin...” panggil Natasya.
“Iya?”
“Pagi tadi... aku tidak sengaja melihat Laura. Di lift.” lanjut Natasya lagi.
Kevin terdiam.
“Dia bersama pria yang penampilannya mirip denganmu. Ah tidak, kalian memang sangat mirip,” Natasya bangkit dan mendekat, berdiri hanya beberapa inci dari Kevin. “Jangan katakan, kamu dan Laura..”
Sebuah ketegangan melingkupi ruangan itu. Bahkan Kevin menjadi kikuk karena Natasya yang terus menatapnya dengan serius.
Hanya saja belum sempat Natasya mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, ponsel Natasya lebih dulu berdering, menandakan dia menerima panggilan telepon dari seseorang.
“Ahh, kamu tidak akan bisa lolos lain kali,” ucap Natasya.
Natasya berpaling dan menatap layar ponselnya. Nama sang ayah muncul dan Natasya sepertinya tahu apa yang akan ayahnya katakan.
“Natasya!” teriak Thomas Watson di seberang panggilan.
“Datang ke ruangan daddy sekarang!” lanjutnya lagi yang langsung memutus sepihak panggilan mereka.
Natasya mendengus kesal, dan Kevin menatapnya dengan sebelah alis yang terangkat, menunjukkan bahwa dia penasaran apa yang sedang terjadi dengan temannya itu.
“Bukankah kamu sudah bisa menebak? Aku akan diceramahi lagi setelah ini,” kata Natasya.
Begitu pintu kamar mandi terbuka, Natasya langsung tertegun melihat Kenan berdiri tepat di depannya. Tubuh tinggi itu bersandar santai di dinding, dengan kedua tangan disilangkan di depan dada. Rambutnya masih berantakan, namun tatapannya begitu lekat seolah menunggu sejak tadi.“Akhirnya,” ucap Kenan dengan nada ringan, tetapi mata itu jelas menyimpan sesuatu yang berbeda. Pandangannya menatap dari ujung kepala hingga ujung kaki Natasya, yang kini hanya mengenakan handuk melilit tubuhnya. Kenan menelan ludah, nyaris terdengar jelas bagi Natasya.Natasya langsung mengangkat tangan, menahan tubuh Kenan agar tidak semakin mendekat. “Berhenti di sana,” ucap Natasya.Kenan mengerjap, seolah tidak percaya dengan penolakan terang-terangan itu. “Kamu mandi dulu sana.” kata Natasya lagi.Tapi tetap saja, Kenan masih tampak enggan pergi dari sana.“Babe, aku sudah menunggumu lama. Harusnya kamu mengajakku mandi bersama tadi. Jadi kita bisa menghemat waktu,” kata Kenan panjang.Kalimat itu a
Cahaya pagi menembus tirai, membentuk guratan keemasan di lantai marmer kamar itu. Udara di ruangan terasa hangat, namun seprai itu sudah tampak begitu kusut. Natasya membuka mata perlahan, menatap langit-langit yang asing, bukan langit-langit rumah yang biasa ia tempati, melainkan milik mansion mewah Kenan. Dia menatap ke arah jam yang terletak di atas nakas, dan mendapati sekarang sudah pukul sembilan pagi. “Berapa lama dia melakukannya semalam?” pikir Natasya. Dia terdiam beberapa saat, hingga menyadari bahwa mereka melakukannya selama tujuh jam tanpa henti. “Arggh, dia benar-benar buas,” batin Natasya. Dia menghela napas berat. Tubuhnya masih terasa lelah, sebagian karena malam yang panjang. Ia menoleh sedikit, dan di sebelahnya, Kenan masih terlelap. Rambutnya berantakan, napasnya teratur, dan satu tangannya memeluk Natasya dengan erat, seolah ingin memastikan ia tetap ada di sana. Natasya mengamati wajah itu beberapa detik. Ada ketenangan yang jarang ia lihat ketika Ken
Uap hangat memenuhi kamar mandi, tapi pikiran Natasya tetap jernih. Ia berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri. Rambutnya mulai lepas dari sanggul, dan gaunnya sudah longgar di bagian atas.“Dia pasti berharap malam ini jadi awal segalanya,” gumam Natasya pelan, kali ini dengan nada dingin, bukan cemas. Tentu saja dia sudah bisa menebak isi pikiran Kenan.“Tapi kalau dia mengira aku akan langsung menuruti kemauannya, dia salah besar.” sambungnya lagi.Dia menatap ke belakang, ke arah pintu dengan sinis, seolah itu bisa langsung menembus ke arah Kenan.Natasya menarik napas panjang, lalu merapikan gaunnya agar tidak jatuh. Tatapannya tidak goyah sedikit pun.“Aku tidak menolak dia sebagai suami. Aku hanya tidak suka caranya. Selalu ingin buru-buru, selalu merasa bisa memutuskan segalanya sendiri. Kalau dia benar-benar mencintaiku, dia harus belajar menghargai waktuku.” ucap Natasya panjang.Ia meraih handuk, lalu menekannya perlahan ke wajah. Uap air dan rasa lelah d
Beberapa menit berlalu dalam hening yang terasa panjang. Kenan akhirnya hanya bisa pasrah, sembari menggenggam tangan Natasya. “Babe, kita tidak pulang ke rumah yang biasa,” ucap Kenan tenang. “Aku ingin kita memulainya di tempat baru yang lebih baik,” jelas Kenan lagi. Kenan terus berbicara, karena dia tahu Natasya masih mendengarkan. Istrinya itu hanya tidak ingin berbicara banyak dengannya sekarang. Sama sekali tidak ada respons, selain suara napas teratur yang terdengar di pangkuan Kenan. Mobil itu terus melaju keluar dari pusat kota. Jalan mulai sepi, berganti deretan pepohonan tinggi. Hingga akhirnya, pagar besi hitam setinggi hampir tiga meter terbuka otomatis. Mereka memasuki halaman luas yang diterangi lampu taman. Di tengahnya berdiri sebuah mansion megah, bangunan bergaya klasik dengan pilar-pilar putih, lampu-lampu yang berpijar dengan mewah di malam hari, dan dinding kaca yang memantulkan cahaya hangat dari dalam. Karena mereka sudah tiba, Kenan akhirnya membangun
Malam sudah larut ketika resepsi berakhir. Lampu-lampu di area pesta mulai diredupkan, dan musik berhenti mengalun. “Babe, ayo pergi,” kata Kenan sembari menyodorkan tangannya.Natasya yang memang saat itu berdiri di samping Kenan, tidak langsung menyambut uluran tangan pria yang kini sudah berstatus sebagai suaminya itu. Melihat Natasya yang tampak enggan, Kenan akhirnya meraih tangannya, menggiringnya keluar dari area resepsi. Ia tak berkata apa-apa, hanya memberikan senyum tipis pada beberapa keluarga yang masih berdiri di dekat pintu keluar. Di parkiran, sebuah limousine hitam sudah menunggu. Pintu belakang dibuka untuk mereka. Mobil itu bahkan sudah dihias layaknya mobil pengantin baru.Melihat itu, Natasya menatap dengan sedikit kebingungan.“Kita tidak bermalam di sini?” tanya Natasya memastikan.Mendengar itu, Kenan langsung menggelengkan kepala sebagai jawaban. Saat itu juga, keluarga mereka mulai
Musik resepsi masih mengalun pelan saat Natasya kembali duduk di kursinya. Kenan sibuk berbicara sebentar dengan Rival, tapi pandangannya tetap sesekali mengarah pada Natasya. Baru saja Natasya ingin mengambil minumannya, sebuah suara akrab memanggil dari belakang. “Kak Nat!” Natasya menoleh, dan matanya langsung membesar, menangkap pandang seseorang. “Kian?” balas Natasya. Pemuda berwajah cerah itu berjalan cepat melewati kerumunan tamu, senyumnya lebar. Begitu tiba di hadapan Natasya, tanpa ragu ia meraih dan memeluknya erat. Tubuhnya hangat, aroma parfum yang familiar menyeruak, membawa ingatan lama mereka.Meski sebenarnya, mereka sudah bertemu di pernikahan Laura dan Kevin waktu itu.“Kak, akhirnya kamu menikah juga,” kata Kian sembari tertawa.Mendengar itu, Natasya langsung membalas dengan ikut tertawa. Namun, pelukan dan senyuman itu ternyata mendapat tatapan yang berbeda dari arah lain. Dari sudut matanya, N