Thomas meletakkan ponselnya di meja kerja dengan kasar. Layar ponsel masih menampilkan video Natasya dan Laura yang saling menyerang di kantor, tepatnya di ruangan kerja Laura. Wajah pria itu tampak merah padam.
“Apa kamu serius, Natasya?” bentaknya marah.
Natasya berdiri di depan meja, menegakkan tubuh. “Aku tidak memulainya. Aku hanya menyapa.” balas Natasya.
“Menyapa?” Thomas menyipitkan mata. “Itu terlihat seperti kamu sengaja memancingnya,” kata Thomas.
Natasya tertawa ketika mendengar kalimat itu. “Apa rekaman itu menunjukkan kejadiannya sejak awal?” tanya Natasya.
“Atau apakah aku yang memulainya, hanya karena aku datang ke ruangannya?” lanjut Natasya.
Thomas mengusap wajahnya kasar, dan menarik napas senenak. “Apa ini alasan sebenarnya Daddy memanggilmu kembali?”
Napas Natasya memburu. Ia menggigit bibir, menahan segala emosi yang hampir meledak.
“Bagaimana jika mengirimku ke cabang di luar negeri?” tawar Natasya.
Thomas menggeleng. “Tidak. Daddy tidak akan berubah pikiran. Kamu tahu syaratnya. Tetap di sini, setahun. Jangan buat semuanya makin rumit.” jelas Thomas.
Sudah Natasya duga, jika tidak ada gunanya berdebat dengan pria di hadapannya itu. “Apa ini caramu menyapa putrimu, setelah tidak bertemu selama 13 tahun?” ucap Natasya.
Dia terdiam sejenak sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. “Aku tahu kamu bukan ayah yang baik. Tapi tidak bisakah kamu berpura-pura sekali saja? Mungkin kamu tidak akan punya kesempatan lagi lain kali,” sambung Natasya yang langsung meninggalkan ruangan kerja ayahnya.
…
Malam harinya, Natasya berdiri di depan cermin besarnya, mematut diri. Gaun merah dengan belahan tinggi menyapu pahanya. Hanya satu tali tipis membingkai bahunya, membuat kulit putihnya tampak kontras. Ia ingin melupakan semua yang terjadi pagi tadi. Laura, Ayahnya, dan seluruh kekacauan itu.
“Masa bodo dengan semua itu!” ucap Natasya seraya mengambil dompet miliknya.
Ia berjalan pergi dan akhirnya memutuskan untuk melangkah masuk ke dalam salah satu klub malam eksklusif di pusat kota. Musik menggema, lampu-lampu menari di udara, dan aroma parfum mewah bercampur alkohol memenuhi ruangan. Suasana yang sama sekali tidak asing bagi dirinya.
Tak butuh waktu lama baginya untuk menarik perhatian. Tapi perhatian yang ia dapatkan justru datang dari satu sosok yang tak ia sangka, Kenan.
“Sial. Apa dia selalu ada di semua tempat?” kesal Natasya.
Natasya berusaha menghindar dan bergegas agar Kenan tidak menyadari keberadaannya. Untung saja itu berhasil.
Ketika sudah dua jam dia berada di sana, Natasya hendak pergi menuju toilet. Hanya saja ketika dia berada di lorong, hal serupa terjadi kembali. Masalahnya, kali ini dia langsung berhadapan dengan Kenan.
“Dia benar-benar hantu,” lirih Natasya.
Jika sebelumnya Kenan memang tidak menyadari keberadaan Natasya, maka kali ini berbeda. Manik matanya melebar ketika melihat wanita yang pagi tadi menarik perhatiannya itu.
Jadilah Kenan melangkah cepat menuju Natasya, meskipun dia menyadari bahwa wanita itu hendak menghindar.
“Ikut aku!” kata Kenan dengan tergesa.
Natasya menjaga jarak dan itu membuat Kenan berdecak kesal. Dia meneliti penampilan wanita itu, dan dadanya menjadi semakin bergemuruh.
“Aku punya urusan lain,” balas Natasya.
Tetapi bukan Kenan jika tidak keras kepala. Dia dengan tanpa berkata apa-apa lagi, menggenggam pergelangan tangann Natasya dan menariknya masuk ke salah satu ruangan VIP. Untung saja ruangan itu kosong saat itu.
Baru saja pintu ruangan itu menutup, Kenan sudah lebih dulu menghempaskan Natasya ke sofa. “Apa kamu benar-benar harus bertengkar dengan Laura di kantor?” tanya Kenan, menatapnya tajam.
Natasya menyandarkan tubuh di sofa empuk itu, sembari menyilangkan kaki. “Apa kamu yakin aku yang memulainya?”
Entah sudah berapa kali dia mengulang perkataan itu, dan tentu saja pada orang yang berbeda. Dia bahkan tidak tahu darimana Kenan mengetahui tentang pertengkarannya dengan Laura.
Kenan menghela napas kasar. “Aku tahu alasanmu menyimpan foto Laura di lift. Kamu merasa dia merebut pacarmu, bukan?”
“Pacarku?” Natasya mengangkat alis dan terdiam beberapa saat. “Maksudmu... Kevin?” lanjutnya memastikan.
Kenan mengangguk meskipun terlihat enggan. “Aku melihatnya memelukmu dengan sangat erat.”
Kini Natasya mengangguk dengan bersemangat. “Kamu benar-benar melihatnya langsung?” ucap Natasya. “Bukankah kamu memiliki urusan mendadak pagi tadi?” sambungnya lagi.
Mendengar pertanyaan itu, Kenan menutup mulutnya rapat-rapat. Hanya saja, itu bukan masalah besar bagi Natasya. “Ah, aku lupa dengan siapa aku bertengkar,” kata Natasya.
Dia sengaja menyindir Kenan, karena teringat bahwa Laura adalah kekasih Kenan. Dia tentu akan melaporkan segalanya kepada pria itu.
“Itu tidak penting dari mana aku mengetahuinya,” balas Kenan.
Natasya tertawa kecil. “Itu benar. Hanya saja aku tidak menduga bahwa kamu lebih peduli dengan siapa aku bersama, daripada menemui pacarmu sendiri untuk menenangkannya,” ledek Natasya.
Kenan menunduk. Sesuatu dalam suaranya terdengar berbeda ketika ia menjawab, “Aku tidak tahu lagi siapa yang kupedulikan.”
Tanpa peringatan, Kenan menarik wajah Natasya dan menciumnya. Keras, mendesak, seolah melampiaskan kemarahan dan rasa bersalah dalam satu gerakan.
Natasya mendorong tubuhnya. “Berhenti. Aku butuh minum.”
Kenan akhirnya berhenti, dan dia mulai memanggil pelayan. Dalam waktu singkat, satu botol vodka disajikan, lalu dua, tiga, hingga lima botol. Tapi keduanya tetap sadar. Toleransi alkohol Natasya terlalu tinggi, dan Kenan terlalu penuh adrenalin.
Pukul tiga dini hari, Natasya bangkit, meraih dompetnya. “Aku harus pulang.”
Kenan berdiri, menghalangi jalannya. “Tidak. Aku akan mengantarmu.” kata Kenan.
Natasya tidak begitu memedulikan kalimat itu, dan berjalan lebih dulu. Hanya saja, dia tidak menyangka bahwa Kenan memang serius dengan perkataannya.
Pria itu menghalangi langkah Natasya sebelum dia berhasil memanggil taksi. “Sudah aku katakan, aku akan mengantarmu,” kata Kenan.
Ketika mereka berada di mobil, Kenan kembali berbicara, “Berikan alamatmu,”
Natasya menatap pria itu, dan beralih menatap sopir. “Rumah keluarga Watson,” ucap Natasya.
Mendengar itu, Kenan lantas terdiam. Seharusnya dia menyadari siapa Natasya, semenjak dia bertengkar dengan Laura. Seorang karyawan biasa tidak mungkin melakukan hal itu pada atasannya.
Entah apa yang sedang Kenan pikirkan, tetapi dia mulai berubah pikiran dan merubah arah mereka. “Kembali ke rumah!” ucap Kenan dengan mantap kepada sopirnya.
Kenan menatap Natasya yang mulai tertidur di sebelahnya, dan melepaskan jasnya untuk dia kenakan. Dia tidak ingin tubuh Natasya terlihat begitu saja, terutama dengan gaun kekurangan bahan yang dia kenakan tu.
Tak lama, mereka sampai di sebuah rumah mewah, yang bangunannya terlihat begitu megah dari luar. Bahkan ketika mobil itu berhenti, Kenan dengan sigap menggendong Natasya tanpa membangunkannya.
Mereka memasuki kamar, dan Kenan tanpa pikir panjang langsung membaringkan Natasya ke ranjang. Tapi saat ia hendak beranjak pergi, Natasya terbangun dan langsung memanggilnya.
“Bukankah ini cincin?” ucap Natasya.
Mendengar itu, Kenan dengan sigap menyentuh saku dan mencari sesuatu di sana. Hanya saja ketika dia tidak menemukan hal yang dia cari, dia lantas mematung sejenak.
“Jadi ini alasan kamu ingin menemui Laura,” ucap Natasya.
Kenan tak menjawab. Natasya meletakkan kembali kotak cincin itu, dan kembali berbaring. “Jadi, kapan kamu akan melamar Laura?” tanya Natasya.
Alih-alih menjawab, Kenan melangkah mendekat ke arah ranjang, dan menatap Natasya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Entah apa yang berhasil mendorong Kenan, tetapi dia kembali mencium bibir Natasya. Kali ini lebih dalam, lebih pelan, tapi penuh emosi yang tak tertahan.
Suasana menjadi lebih panas, dan Natasya dengan segera mendorong dada bidang milik Kenan. “Berhenti. Apa kamu kehilangan akal?” ucap Natasya serak.
“Kenapa? Kamu tidak akan mendesah seperti pagi tadi?” balas Kenan.
Natasya tertawa ketika mendengar hal itu. “Tentu saja tidak. Aku tidak suka merebut bekas saudaraku,” kata Natasya.
Mendengar itu, Kenan langsung mengepalkan tangannya dengan erat. Dia tidak menduga bahwa Natasya akan membalas ucapannya seperti itu.
“Mungkin kamu salah paham, tetapi kamu bukan orang yang aku targetkan sebelumnya,” lanjut Natasya.
Obrolan makan siang mereka belum juga berakhir, ketika ponsel Dion bergetar pelan di atas meja. Ia melirik layar, tersenyum ringan. “Istriku sudah sampai,” ucap Dion sambil menegakkan punggung. Senyuman tampak terbit di wajahnya, dan Natasya bisa melihat betapa dia mencintai istrinya.“Kamu tidak ingin bertemu dengannya sebentar?” tawar Dion tiba-tiba.Sebenarnya Natasya ingin segera pergi. Tapi sepertinya, Dion ingin dirinya bertemu dengan istrinya terlebih dulu.Akhirnya, Natasya kembali setuju, dan menunggu istri Dion sejenak. “Aku akan berbincang sebentar,” jawab Natasya. Dion berdiri, melangkah santai ke arah pintu masuk restoran. Tidak beberapa lama kemudian, seorang wanita berjalan masuk. Anggun, sederhana, dan punya sorot mata lembut yang langsung memikat. Natasya mengenali wajah itu dalam sekejap. Wanita itu.. “Kak Nana?” batin Natasya.Dia, Nana. Wanita yang pernah duduk bersamanya di taman. Hanya beberapa
Dion sedang berada di sebuah restoran siang itu. Sebenarnya dia tidak sendiri. Dia hendak makan siang bersama istrinya, dan datang lebih dulu. Restoran itu tidak terlalu ramai siang ini. Beberapa meja diisi oleh pasangan yang makan perlahan, sisanya oleh para pekerja kantoran yang tampak terburu-buru. Dion duduk di sudut ruangan yang sedikit tersembunyi, tangannya sibuk memainkan ponsel sembari sesekali melirik jam di pergelangan tangan kirinya.“Kenapa masih belum datang?” pikir Dion. Istrinya memang masih belum juga datang. Mereka memang berjanji pagi tadi, setelah sekian lama tidak sempat makan siang bersama karena kesibukan masing-masing.Dion membaca sebuah dokumen di ponselnya dengan serius. “Ah, dia yang mendesain ruangan baru Kenan,” gumam Dion.Seingatnya, ruangan kerja Kenan sudah dia desain begitu pekerjaan konstruksinya selesai. Hanya saja, Kenan tidak berniat menempati ruangan baru itu.Saat itu, Dion sedang membac
Dion tidak langsung pulang ke rumahnya sore itu. Dia memilih untuk langsung mendatangi rumah Kenan.“Lebih baik menyelesaikannya dengan cepat,” pikir Dion. Dion membuka pintu rumah adiknya tanpa mengetuk. Rumah itu tenang, terlalu tenang untuk ukuran tempat tinggal seorang Kenan Leonardo yang biasanya penuh suara dari para pelayan atau denting piring makan malam. Tapi malam ini berbeda. Semua lampu utama dibiarkan redup, dan hanya satu cahaya temaram menyala dari arah ruang tamu.“Di mana dia?” ucap Dion penasaran. Langkah Dion pelan tapi mantap. Dia menuju ruangan kerja Kenan, tetapi menemukan ruangan itu dalam keadaan kosong.“Apa dia sudah tidur?” gumam Dion.Melihat mobil Kenan yang sudah terparkir di halaman, itu menunjukkan jika adiknya itu sudah pulang ke rumah.Baru saja Dion akan naik untuk memeriksa Kenan di kamarnya, dia lantas teringat sesuatu. Sepertinya dia tahu di mana Kenan sekarang.
Brian dan Tuan Bara saling melirik. Seolah baru menyadari bahwa Dion belum tahu banyak soal gadis yang berhasil membolak-balikkan emosi adik kandungnya itu. Brian meneguk sisa tehnya, lalu duduk tegak. “Dia… putri bungsu Thomas.” jelas Brian. Dion mengerutkan alisnya. Nama itu tentu tidak asing. Dion bahkan juga mengenalinya. “Thomas Watson?” ulang Dion memastikan. Tuan Bara mengangguk sambil tersenyum tipis. “Iya. Dan dia juga adik Laura.” jawab kakeknya. Seketika, ekspresi Dion berubah. Ia kini mengerti. Semuanya perlahan tersambung di kepalanya. Sifat aneh Kenan akhir-akhir ini, ledakan amarah yang datang tanpa sebab, dan penolakan dari Natasya yang ternyata menyimpan lebih banyak alasan dari yang ia kira. Dia kembali bersandar di sofa, mencoba berpikir dengan lebih tenang. “Kenapa tidak ada yang memberitahuku sejak awal?” ucap Dion.Jangankan memberitahu, mereka saja terkejut karena setelah berbicara panjang l
Tuan Bara mencoba menarik napas sebelum berbicara kembali. “Ada seorang wanita yang Kenan sukai. Kami memanggilnya ke sini, dan bahkan mengajaknya makan siang.” jelas Tuan Bara. Brian yang duduk di seberang, tampak setuju dengan ucapan ayahnya barusan. “Dan?” Dion menyilangkan kaki, matanya tidak lepas dari wajah ayah dan kakeknya. “Kami hanya ingin mengenalnya lebih baik. Anak itu… tampaknya punya tempat yang besar di hati adikmu,” jawab Brian pelan. Bara tertawa kecil. “Kamu harus lihat wajah Kenan waktu itu. Dia mengirimkan rekaman ciumannya dengan Natasya di lift. Seolah itu bukti tak terbantahkan bahwa mereka ditakdirkan bersama.” kata Bara. “Setidaknya itu yang Kenan pikirkan,” lanjutnya lagi, kali ini sembari tersenyum sendu, Fakta itu membuat Dion mengerutkan kening. Sepertinya, Kenan sudah banyak berubah sekarang. “Kenan… mengirimkan rekaman seperti itu?” tanya Dion memastikan. Bri
Tingkah laku Kenan yang semakin hari semakin memburuk itu, mulai disadari oleh kakak satu-satunya, Dion Leonardo. Dion memang sudah mencium sesuatu yang aneh sejak beberapa hari yang lalu, ketika ia menerima laporan dari kepala divisi keuangan tentang perilaku Kenan yang semakin sulit ditebak. Tapi pagi ini, kekacauan di kantor sudah terlalu ramai untuk diabaikan. Ruangannya hening saat seseorang mengetuk pintu. “Masuk!” ucap Dion mempersilakan. Ketika pintu itu terbuka, di sana muncul Rival. Dia adalah orang yang bisa memberikan informasi lengkap, yang ingin Dion ketahui kebenarannya. Rival melangkah masuk, ragu-ragu. Dion menatapnya tajam tapi tenang. Aura laki-laki dewasa yang terbiasa memimpin perusahaan multinasional tampak dalam setiap gesturnya. Sikapnya memang begitu mirip dengan Kenan, sebelum adiknya itu mulai kehilangan kendali seperti sekarang. Berbeda dengan Kenan yang impulsif dan berapi-api, Dion tampak begitu tenang, begitu penuh perhitungan. Dan hari ini,