Hari itu, Natasya duduk di ruangannya, menatap layar komputer sambil menggulirkan sketsa interior yang harus dia periksa. Dia begitu fokus hingga tidak sadar waktu sudah berlalu begitu cepat.
Tok. Tok. Terdengar suara ketukan di pintu ruangan kerja Natasya.
“Masuk,” ujar Natasya seraya membetulkan posisi duduknya.
Kevin masuk dengan membawa dua kotak makanan. “Hai!” sapa Kevin. “Aku tahu kamu sedang sibuk bekerja, jadi aku membawakan makan siang,” ujar Kevin, tersenyum.
Natasya mengangguk dan membalas senyum itu. “Terima kasih, Kevin. Kau selalu tahu apa yang kubutuhkan.”
Mereka duduk di sofa kecil di dalam ruangannya yang berdinding kaca transparan. Siapa pun yang lewat bisa langsung melihat keberadaan mereka.
Tanpa menunggu lama, Kevin dengan cekatan menata makanan yang dia bawa. Natasya bahkan menatap hidangan itu dengan bersemangat.
“Aku akan membelikan makanan lain kali,” kata Natasya.
Mereka makan sambil sesekali bercanda. Kevin tampak nyaman berada di dekat Natasya, dan dari luar, kebersamaan mereka tampak seperti sepasang kekasih yang sedang menikmati istirahat makan siang.
Apa yang tidak mereka tahu, Kenan berada di seberang ruangan, tepat di dalam ruang kerja Laura. Pintu ruangan terbuka, dan dari balik kaca, matanya langsung menangkap sosok Natasya bersama Kevin. Tawanya, senyumnya, dan cara Kevin menatapnya membuat darahnya mendidih.
“Apa yang kamu lihat?” tanya Laura penasaran.
Mendengar itu, Kenan langsung tersadar. “Bukan apa-apa,” jawab Kenan singkat, lalu berdiri. “Aku harus kembali bekerja.”
Laura menatapnya sekilas. “Jangan lupa. Makan malam dengan ayahku malam ini.”
Kenan hanya mengangguk dan hendak melangkah pergi. Sementara itu, Natasya yang baru selesai makan, dikagetkan oleh suara ketukan di pintu.
Aura, asistennya, muncul.
“Maaf mengganggu, bu. Ayahmu meminta untuk menemuinya di ruangan setelah makan siang.” ucap Aura menjelaskan.
Natasya mengangguk. “Terima kasih, Aura.”
Ketika hendak menuju ruangan ayahnya, Natasya berjalan berdampingan dengan Kevin. Tepat di depan lift, mereka berpapasan dengan Laura dan Kenan. Waktu seakan melambat. Empat pasang mata saling menatap, dan ketegangan langsung terasa di udara.
Mata Natasya sempat melirik jari manis Laura. Hanya sjaa tidak ada cincin yang melingkar disana. Hatinya menertawakan rasa penasarannya sendiri. “Lagipula, dia pasti akan membuat keributan jika sudah dilamar,” batinnya.
Laura tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi hanya tersenyum sinis sebelum dia kembali berbincang dengan Kenan.
Karena Kevin juga harus kembali bekerja, dia lantas berpamitan dengan Natasya, “Aku kembali dulu ke ruangan,” ucap Kevin.
Natasya mengiyakan perkatakan itu, “Baiklah. Aku akan menelponmu begitu selesai,” kata Natasya yang entah apa maksudnya.
Meski begitu, Kevin hanya mengangguk mengiyakan, dan pergi menuju ruangannya yang memang berada di lantai yang sama. Bertepatan dengan itu, Kenan juga sudah masuk ke dalam lift yang akan turun.
Jika sebelumnya Laura menahan semua ucapannya, kini dia bergegas memasuki lift dan dengan segera menekan tombol tutup.
“Bagaimana jika naik tangga?” ujar Laura dengan nada mengejek, sebelum pintu lift itu benar-benar menutup.
Natasya tertawa begitu melihat kejadian itu. “Sialan. Dia seperti penyihir jahat dengan hidung panjang!”
Dia melirik arlojinya sejenak, dan sebuah ide muncul di pikirannya. Akhirnya dia menuju ke arah tangga darurat dan mulai menaikinya perlahan.
“Apa jika aku mengutuknya setiap menaiki tangga, itu akan berhasil?” ujar Natasya penasaran.
“Rambut besar, hidung panjang, mata merah..” ucap Natasya mengeluarkan semua isi pikirannya.
Satu hal yang tidak dia ketahui, ada seseorang yang mengikutinya sejak tadi. Dia, Kenan.
Begitu lift yang dinaiki Laura beranjak, Kenan langsung menekan tombol agar lift yang dia naiki kembali terbuka. Dia bahkan mendengar semua perkataan Laura pada Natasya, yang menjadi alasannya menaiki tangga.
“Entah apa yang dia pikirkan,” gumam Kenan.
Hanya saja entah kenapa saat itu, Kenan terus saja tertawa karena mendengar ucapan Natasya yang tampak tidak masuk akal. Ternyata dongeng yang kadang dia dengar saat kecil itu, begitu membekas di pikiran Natasya.
Begitu Natasya sampai di ruang direktur, ayahnya sudah menunggu. Melihat kedatangan Natasya yang begitu terlambat dibandingkan Laura, membuat Thomas geram.
“Apa yang kamu lakukan sejak tadi?” tanya Thomas.
“Tidak banyak. Hanya saja seseorang menyuruhku menaiki tangga,” balas Natasya sembari melihat ke arah Laura, yang sedang duduk dengan tenang.
Thomas menatap ke arah Laura, dan melihat bagaimana putrinya itu tidak bergeming, dia lantas menghela napas pasrah.
“Duduklah,,” ujarnya serius. “Aku punya proyek penting yang akan kalian tangani.”
Natasya duduk berhadapan dengan Laura, dan itu membuat hawa panas di antara mereka sangat terasa.
“Laura,” ucap Thomas, “kamu akan menangani desain seragam untuk maskapai milik Leonardo Corp.” sambungnya.
Laura tampak senang mendengarnya. Meski sebenarnya dia juga sudah menduga bahwa dia yang akan menanganinya.
“Kamu, Natasya, akan bertanggung jawab atas desain interior ruangan CEO Leonardo Corp.”
Seketika, ekspresi Laura berubah drastis. “Apa? Bukankah itu terlalu besar untuk Natasya?”
“Tidak,” jawab Thomas tegas. “Natasya sudah memiliki pengalaman lebih dari itu.”
Tapi tetap saja, Laura terus bersikeras menolak keputusan itu. “Tetap saja. Aku tidak ingin menangani klien yang sama dengannya,” kata Laura.
Karena dia sudah cukup bosan dengan perdebatan yang tidak berujung itu, Natasya lantas berdiri.
Melihat itu, Thomas lantas menegurnya, “Mau pergi kemana kamu?”
“Kembali ke ruangan,” balas Natasya dengan nada datar.
Mendengar itu, Thomas langsung memberikan sebuah dokumen pada Natasya. “Bawa ini dan pelajari kontraknya,” kata Thomas.
Tetapi bukannya mengiyakan, Natasya hanya diam sembari menatap dokumen itu. “Tidak perlu. Aku juga berniat menolaknya,” balas Natasya.
Ternyata tidak hanya Laura yang menolak keputusan ayah mereka, tetapi juga Natasya. Padahal dia sudah mengira bahwa Natasya akan langsung menerima kontrak kerja itu.
“Berikan alasan yang jelas kenapa kamu menolaknya,” kata Thomas penuh keseriusan.
Kini Natasya melirik sekilas ke arah Laura. “Bukankah itu sudah jelas?” ucap Natasya. “Aku tidak ingin terlibat dengan kekasih orang lain,” lanjut Natasya, nadanya tajam.
Laura berdiri, tangannya mengepal. “Apa maksudmu?”
“Aku yakin kamu cukup pintar untuk mengerti, Laura,” jawab Natasya santai.
Natasya meninggalkan ruangan itu tanpa menunggu mereka berbicara lagi. Hanya sekali dia hampir melakukan kesalahan besar bersama dengan Kenan, dan dia tidak akan pernah mengulanginya lagi.
"Semoga saja aku tidak dipaksa lagi," kata Natasya.
Dia bahkan tidak yakin jika ayahnya akan menyetujui penolakannya begitu saja.
Begitu Natasya berjalan kembali ke ruangannya, dia melihat bayangan seorang pria yang tampak tidak asing.
“Itu Kenan?” tanya Natasya pada dirinya sendiri.
Dia menggeleng setelahnya dan mencoba untuk tidak lagi memikirkan pria itu. Bahkan jika dia memang masih berada di sana, itu sama sekali bukan urusan Natasya.
Bahkan jika ini neraka, Natasya tidak seharusnya menyeret orang lain untuk ikut dengannya.
Dua hari telah berlalu sejak Kenan yang terus bergelut dengan pemikirannya itu. Kini, dia mulai bisa kembali fokus dengan pekerjaan yang tanpa sadar sudah dia lupakan.Tiba-tiba saja, Kenan mendengar suara ketukan di pintu ruangan kerjanya itu.“Permisi bos!” ucap Rival. Asisten pribadi Kenan.Kenan meliriknya sejenak, meski tidak benar-benar berminat. “Ada apa?” tanya Kenan singkat. Dia seolah ingin mengatakan pada Rival agar tidak bertele-tele.Rival mengambil tempat di hadapan Kenan, meskipun berusaha tidak mengganggu atasannya itu.“Begini, untuk proyek desain ruangan kerjamu, apakah kamu sudah menemukan seseorang?” tanya Rival.Rival memang tidak terlalu kaku ketika hanya berbincang berdua dengan Kenan seperti saat ini. Itu karena mereka memang seumuran, dan sudah bekerja sama cukup lama.Mendengar pertanyaan itu, Kenan lantas menghentikan kegiatannya. Dia melepaskan kacamatanya sejenak, sebelum mulai berbicara.
Kenan melempar jas mahalnya ke sembarang arah, membiarkannya jatuh tanpa peduli. Satu per satu, ia melepas pakaiannya, seolah ingin melepaskan beban yang menyesakkan dadanya. “Ini mulai melelahkan,” ujarnya.Langkahnya menuju kamar mandi terasa berat, namun ia tetap melangkah. Begitu air shower menyentuh kulitnya, kenangan siang tadi kembali menghantui pikirannya.Flashback: Siang Hari di Kantor"Apa kamu yang meminta Daddy agar menyuruh Natasya mendesain ruangan kerjamu?" tanya Laura dengan nada tidak suka, yang bisa didengar jelas oleh Kenan.Bahkan tanpa berpikir panjang, Kenan lantas menganggukan kepala. “Itu benar." balas Kenan tanpa ragu sedikitpun.Mendengar itu, Laura tentu saja terkejut. Dia sudah menduga bahwa Natasya pasti akan menggunakan cara licik agar bisa mendapatkan perhatian Kenan.Meski begitu, Laura tidak ingin menghancurkan suasana bail di antara mereka saat ini. Jadi sebisa mungkin, dia mengendalikan emosinya.“Apa kamu serius? atau itu karena ada seseorang yang
Natasya berjalan dengan langkah santai menuju ruang kerja Kevin. Sepasang high heelsnya berdenting ringan di atas lantai marmer, seolah tidak membawa beban apapun. Namun kenyataannya, pikirannya dipenuhi pertanyaan.Setibanya di depan pintu kaca buram yang tentu saja ruangan kerja Kevin, ia mengetuk pelan lalu membukanya.“Kevin!” panggil Natasya dengan ramah.Kevin yang sedang membaca laporan di mejanya, menoleh cepat. “Iya, Nat?” jawab Kevin.Dia beranjak dari posisi duduknya dan segera menghampiri Natasya. “Apa kamu memerlukan sesuatu?” tanya Kevin langsung.Mendengar itu, Natasya lantas mengangguk seraya tersenyum lebar, “Aku membutuhkanmu,” balas Natasya.Dia melirik arloji yang melingkar di tangannya sejenak, sebelum kembali melanjutkan kalimatnya, “Ayolah. Ikut denganku sebentar,” ucap Natasya, meskipun dia juga tidak berniat memberikan penjelasan.Kini dahi Kevin mulai berkerut, tetapi ia mengangguk dan bergegas mengambil barang-barangnya, tanpa banyak bertanya lagi.Akhirnya
Malam semakin larut ketika Laura masih duduk di dalam ruangannya, dengan tubuh yang mulai terasa berat akibat alkohol yang ia teguk sejak satu jam lalu. Matanya sembab, napasnya berat, dan bibirnya bergetar penuh kekesalan. “Argghhh. Dia benar-benar pembawa masalah!” teriak Laura.Kini Laura bisa berteriak sesukanya, karena dia tahu bahwa Natasya sudah pulang sejak tadi. Kini hanya tersisi dirinya di sana.Untung saja Laura berhasil menahan diri siang tadi, sehingga dia tidak melakukan hal yang bodoh. Dia hampir saja menolak proyek besar dari sang ayah, hanya karena proyek itu melibatkan Natasya.“Ini gila! Apa dia pikir aku bisa bekerja sama dengan perempuan itu?” gumam Laura sambil meneguk lagi gelas winenya yang entah sudah keberapa.Kepalanya terasa begitu penuh sejak tadi, dan dia tidak tahu lagi kemana harus meluapkan semua emosinya itu.Bahkan cahaya dari layar laptop miliknya masih menyala, memperlihatkan desain setengah jadi yang ia abaikan begitu saja. Kini Laura kembali m
Hari itu, Natasya duduk di ruangannya, menatap layar komputer sambil menggulirkan sketsa interior yang harus dia periksa. Dia begitu fokus hingga tidak sadar waktu sudah berlalu begitu cepat.Tok. Tok. Terdengar suara ketukan di pintu ruangan kerja Natasya.“Masuk,” ujar Natasya seraya membetulkan posisi duduknya.Kevin masuk dengan membawa dua kotak makanan. “Hai!” sapa Kevin. “Aku tahu kamu sedang sibuk bekerja, jadi aku membawakan makan siang,” ujar Kevin, tersenyum.Natasya mengangguk dan membalas senyum itu. “Terima kasih, Kevin. Kau selalu tahu apa yang kubutuhkan.”Mereka duduk di sofa kecil di dalam ruangannya yang berdinding kaca transparan. Siapa pun yang lewat bisa langsung melihat keberadaan mereka.Tanpa menunggu lama, Kevin dengan cekatan menata makanan yang dia bawa. Natasya bahkan menatap hidangan itu dengan bersemangat.“Aku akan membelikan makanan lain kali,” kata Natasya.Mereka makan sambil sesekali bercanda. Kevin tampak nyaman berada di dekat Natasya, dan dari lu
Thomas meletakkan ponselnya di meja kerja dengan kasar. Layar ponsel masih menampilkan video Natasya dan Laura yang saling menyerang di kantor, tepatnya di ruangan kerja Laura. Wajah pria itu tampak merah padam.“Apa kamu serius, Natasya?” bentaknya marah.Natasya berdiri di depan meja, menegakkan tubuh. “Aku tidak memulainya. Aku hanya menyapa.” balas Natasya.“Menyapa?” Thomas menyipitkan mata. “Itu terlihat seperti kamu sengaja memancingnya,” kata Thomas.Natasya tertawa ketika mendengar kalimat itu. “Apa rekaman itu menunjukkan kejadiannya sejak awal?” tanya Natasya.“Atau apakah aku yang memulainya, hanya karena aku datang ke ruangannya?” lanjut Natasya.Thomas mengusap wajahnya kasar, dan menarik napas senenak. “Apa ini alasan sebenarnya Daddy memanggilmu kembali?”Napas Natasya memburu. Ia menggigit bibir, menahan segala emosi yang hampir meledak.“Bagaimana jika mengirimku ke cabang di luar negeri?” tawar Natasya.Thomas menggeleng. “Tidak. Daddy tidak akan berubah pikiran. Ka