Malam semakin larut ketika Laura masih duduk di dalam ruangannya, dengan tubuh yang mulai terasa berat akibat alkohol yang ia teguk sejak satu jam lalu. Matanya sembab, napasnya berat, dan bibirnya bergetar penuh kekesalan.
“Argghhh. Dia benar-benar pembawa masalah!” teriak Laura.
Kini Laura bisa berteriak sesukanya, karena dia tahu bahwa Natasya sudah pulang sejak tadi. Kini hanya tersisi dirinya di sana.
Untung saja Laura berhasil menahan diri siang tadi, sehingga dia tidak melakukan hal yang bodoh. Dia hampir saja menolak proyek besar dari sang ayah, hanya karena proyek itu melibatkan Natasya.
“Ini gila! Apa dia pikir aku bisa bekerja sama dengan perempuan itu?” gumam Laura sambil meneguk lagi gelas winenya yang entah sudah keberapa.
Kepalanya terasa begitu penuh sejak tadi, dan dia tidak tahu lagi kemana harus meluapkan semua emosinya itu.
Bahkan cahaya dari layar laptop miliknya masih menyala, memperlihatkan desain setengah jadi yang ia abaikan begitu saja.
Kini Laura kembali mengepalkan tangannya dengan kuat. “Entah apa yang akan dia rencanakan,” ucap Laura. “Dia tidak mungkin menyerah begitu saja,” sambungnya lagi.
Tentu saja dia tidak akan bisa melupakan bagaimana Natasya menolak proyek itu begitu saja di depan ayah mereka. Dia terlihat begitu santai saat itu.
Ketika jarum jam mendekati angka dua belas malam, Laura memutuskan untuk pulang. Ia melangkah keluar dari ruangannya dengan langkah sempoyongan, tidak terlalu memperhatikan sekitarnya. Bahkan satu tangannya berusaha menopang kepalanya, yang terasa semakin berat.
Ketika ia sampai di lift, pintu terbuka dan memperlihatkan Kevin yang juga hendak turun. Tatapan Kevin langsung tertuju pada wajah Laura yang tampak kacau.
“Kamu mabuk,” ucap Kevin sambil menahan pintu lift.
Laura mendongak. “Sedikit... atau mungkin banyak,” jawabnya dengan suara pelan.
Kevin menghela napas dan segera menopang tubuh Laura agar tidak jatuh. “Apa kamu bisa berjalan?” tanya Kevin memastikan.
Entah apakah Laura mendengarnya atau tidak, tetapi dia hanya mengangguk meski masih sempoyongan.
“Sudahlah. Aku akan mengantarmu pulang,” kata Kevin.
Dengan enggan Laura bersandar pada dada Kevin. Wangi parfumnya membuat pikirannya sedikit lebih tenang. Mereka berdua masuk ke dalam lift, dan sepanjang perjalanan turun, tidak ada satu pun kata yang terucap. Begitu pintu lift terbuka di lobi, Kevin dengan cekatan mengajak Laura menuju mobilnya.
Hanya saja, Laura menolak. “Apartemenku dekat. Hanya seberang gedung ini. Kita bisa jalan kaki.”
Kevin pun mengangguk dan mengikutinya. Mereka berjalan menyeberangi jalan, dan benar saja, apartemen Laura berada tepat di gedung seberang kantor mereka.
Sebenarnya tanpa diduga, tujuan mereka ternyata searah. Kevin juga baru saja pindah beberapa hari yang lalu ke apartemen tersebut.
Sementara itu, di belakang mereka, tanpa diketahui, Kenan berdiri di sisi lobi, menyaksikan semuanya sejak mereka meninggalkan gedung. Ketika melihat Kevin memapah tubuh Laura yang terhuyung, Kenan lantas menghentikan langkahnya.
“Apa ini?” ujar Kenan.
Dia tidak terkejut karena melihat kedekatan Kevin dan Laura, tetapi terkejut karena dadanya tidak bergemuruh marah layaknya ketika dia melihat kedekatan Natasya dengan Kevin. Dia bahkan tidak tahu pasti tentang perasaannya.
Kenan mengikuti mereka dalam diam, menjaga jarak agar tak ketahuan.
Di dalam kepala Kevin, dia mulai memikirkan sesuatu. Semoga saja pikirannya itu tidak benar. Tetapi ketika Laura memberitahu lantai apartemennya, Kevin menjadi semakin tegang.
“Kamarnya tidak mungkin berdekatan denganku, kan?” pikir Kevin.
Sialnya ketika mereka hampir mendekati kamar milik Kevin, Laura malah menghentikan langkahnya. “Disini,” ucap Laura. “Ini kamarku,” sambungnya lagi.
Kini Kevin tidak bisa lagi memikirkan apapun. Dia hanya tidak menduga bahwa kamar mereka benar-benar berhadapan.
Mungkin jika Laura bukan saudara tiri yang sering bermusuhan dengan Natasya, Kevin bisa saja bersikap masa bodoh. Masalahnya, wanita itu memang bermusuhan dengan teman dekatnya.
Karena sudah mengantarkan Laura ke kamarnya dengan selamat, Kevin lantas berniat untuk kembali. Masalahnya saat itu, Laura sama sekali tidak ingin beranjak dari sandarannya. Kevin yang melihat itupun lantas kebingungan.
“Apa ada yang tertinggal?” tanya Kevin memastikan,
Hanya saja bukannya menjawab pertanyaan Kevin, ataupun berniat berpamitan dan berterimakasih, Laura malah menarik Kevin agar mendekat, dan mencium bibirnya dengan penuh gairah. Ciuman itu tidak singkat, tidak sekadar basa-basi.
Kenan berdiri tegap di sudut lorong yang tampak sunyi, sembari memantau mereka.
Hanya saja pada saat itu, langkah sepatu lain terdengar mendekat dari belakang. Seseorang berdiri di samping Kenan dan ikut mengintip ke arah yang sama.
“Apa yang sedang kamu lihat?” suara itu membuat Kenan terkejut.
“Natasya…” desis Kenan lirih.
Natasya ikut memiringkan tubuhnya, melongok ke arah depan lorong. Ketika pandangannya menangkap pemandangan Laura dan Kevin yang masih berciuman, matanya membelalak.
“A-“
Belum sempat Natasya bersuara, Kenan langsung menarik tubuhnya dan menutup mulutnya dengan tangannya.
“Sstt…” bisik Kenan di telinganya.
Jantung Natasya berdegup kencang, bukan hanya karena kejutan dari adegan yang ia lihat, tetapi juga karena kedekatan tubuh mereka saat ini. Ia bisa mencium aroma tubuh Kenan yang kini mulai familiar baginya. Rasanya hangat dan memabukkan.
Mereka berdua terdiam, menahan napas, hingga akhirnya pintu apartemen Laura tertutup dan suara langkah kaki menghilang.
Dengan perlahan, Kenan melepaskan tangannya dari bibir Natasya. Perempuan itu menatapnya tajam.
“Kamu tahu tentang hubungan mereka?” tanya Natasya datar.
Kenan tidak menjawab, hanya memandang wajah Natasya yang terlihat kesal sekaligus kecewa.
“Bukankah dia tidak pantas untukmu?” ucap Kenan akhirnya.
“Itu urusanku, bukan urusanmu,” balas Natasya cepat.
Ia melangkah hendak menuju apartemen Kevin, tetapi Kenan mencegahnya.
“Kamu mau ke mana?” tanyanya tajam.
“Menyapa Kevin. Aku ingin memastikan dia tidak mabuk juga,” sahut Natasya sambil mencoba berjalan melewatinya.
Namun Kenan langsung berdiri di hadapannya, tubuhnya menjadi penghalang jalan. “Jangan pergi ke sana,” ucapnya tegas.
“Kenapa? Kamu takut aku melakukan hal yang sama seperti mereka?” ucap Natasya, nadanya tajam, namun tidak terlihat kesedihan di matanya.
Kenan menggenggam kedua pergelangan tangannya dan menatapnya dalam-dalam. “Kali ini saja. Tolong dengarkan aku,” ucap Kenan.
Natasya menepis tangannya sembari tertawa. “Apa ini? Kamu bahkan bukan siapa-siapaku,” bisiknya.
Natasya hendak melanjutkan kalimatnya lagi, tetapi Kenan lebih dulu menarik tubuhnya ke dalam pelukannya. Tanpa kata, tanpa peringatan, ia mencium bibirnya. Kali ini bukan dengan kemarahan atau gairah sesaat. Entah apa, tetapi Natasya bisa merasakan perbedaannya. Hanya saja, itu tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Natasya mencoba mendorongnya, tetapi Kenan semakin mengeratkan pelukannya. Ciuman itu terasa dalam dan mengguncang. Ketika akhirnya ia menarik diri, napasnya tersengal.
“Jangan lakukan ini,” lirih Natasya.
Kenan menatapnya, tidak berniat melepaskan.
“Kalau begitu, jangan pergi padanya malam ini,” ucapnya penuh permohonan.
Obrolan makan siang mereka belum juga berakhir, ketika ponsel Dion bergetar pelan di atas meja. Ia melirik layar, tersenyum ringan. “Istriku sudah sampai,” ucap Dion sambil menegakkan punggung. Senyuman tampak terbit di wajahnya, dan Natasya bisa melihat betapa dia mencintai istrinya.“Kamu tidak ingin bertemu dengannya sebentar?” tawar Dion tiba-tiba.Sebenarnya Natasya ingin segera pergi. Tapi sepertinya, Dion ingin dirinya bertemu dengan istrinya terlebih dulu.Akhirnya, Natasya kembali setuju, dan menunggu istri Dion sejenak. “Aku akan berbincang sebentar,” jawab Natasya. Dion berdiri, melangkah santai ke arah pintu masuk restoran. Tidak beberapa lama kemudian, seorang wanita berjalan masuk. Anggun, sederhana, dan punya sorot mata lembut yang langsung memikat. Natasya mengenali wajah itu dalam sekejap. Wanita itu.. “Kak Nana?” batin Natasya.Dia, Nana. Wanita yang pernah duduk bersamanya di taman. Hanya beberapa
Dion sedang berada di sebuah restoran siang itu. Sebenarnya dia tidak sendiri. Dia hendak makan siang bersama istrinya, dan datang lebih dulu. Restoran itu tidak terlalu ramai siang ini. Beberapa meja diisi oleh pasangan yang makan perlahan, sisanya oleh para pekerja kantoran yang tampak terburu-buru. Dion duduk di sudut ruangan yang sedikit tersembunyi, tangannya sibuk memainkan ponsel sembari sesekali melirik jam di pergelangan tangan kirinya.“Kenapa masih belum datang?” pikir Dion. Istrinya memang masih belum juga datang. Mereka memang berjanji pagi tadi, setelah sekian lama tidak sempat makan siang bersama karena kesibukan masing-masing.Dion membaca sebuah dokumen di ponselnya dengan serius. “Ah, dia yang mendesain ruangan baru Kenan,” gumam Dion.Seingatnya, ruangan kerja Kenan sudah dia desain begitu pekerjaan konstruksinya selesai. Hanya saja, Kenan tidak berniat menempati ruangan baru itu.Saat itu, Dion sedang membac
Dion tidak langsung pulang ke rumahnya sore itu. Dia memilih untuk langsung mendatangi rumah Kenan.“Lebih baik menyelesaikannya dengan cepat,” pikir Dion. Dion membuka pintu rumah adiknya tanpa mengetuk. Rumah itu tenang, terlalu tenang untuk ukuran tempat tinggal seorang Kenan Leonardo yang biasanya penuh suara dari para pelayan atau denting piring makan malam. Tapi malam ini berbeda. Semua lampu utama dibiarkan redup, dan hanya satu cahaya temaram menyala dari arah ruang tamu.“Di mana dia?” ucap Dion penasaran. Langkah Dion pelan tapi mantap. Dia menuju ruangan kerja Kenan, tetapi menemukan ruangan itu dalam keadaan kosong.“Apa dia sudah tidur?” gumam Dion.Melihat mobil Kenan yang sudah terparkir di halaman, itu menunjukkan jika adiknya itu sudah pulang ke rumah.Baru saja Dion akan naik untuk memeriksa Kenan di kamarnya, dia lantas teringat sesuatu. Sepertinya dia tahu di mana Kenan sekarang.
Brian dan Tuan Bara saling melirik. Seolah baru menyadari bahwa Dion belum tahu banyak soal gadis yang berhasil membolak-balikkan emosi adik kandungnya itu. Brian meneguk sisa tehnya, lalu duduk tegak. “Dia… putri bungsu Thomas.” jelas Brian. Dion mengerutkan alisnya. Nama itu tentu tidak asing. Dion bahkan juga mengenalinya. “Thomas Watson?” ulang Dion memastikan. Tuan Bara mengangguk sambil tersenyum tipis. “Iya. Dan dia juga adik Laura.” jawab kakeknya. Seketika, ekspresi Dion berubah. Ia kini mengerti. Semuanya perlahan tersambung di kepalanya. Sifat aneh Kenan akhir-akhir ini, ledakan amarah yang datang tanpa sebab, dan penolakan dari Natasya yang ternyata menyimpan lebih banyak alasan dari yang ia kira. Dia kembali bersandar di sofa, mencoba berpikir dengan lebih tenang. “Kenapa tidak ada yang memberitahuku sejak awal?” ucap Dion.Jangankan memberitahu, mereka saja terkejut karena setelah berbicara panjang l
Tuan Bara mencoba menarik napas sebelum berbicara kembali. “Ada seorang wanita yang Kenan sukai. Kami memanggilnya ke sini, dan bahkan mengajaknya makan siang.” jelas Tuan Bara. Brian yang duduk di seberang, tampak setuju dengan ucapan ayahnya barusan. “Dan?” Dion menyilangkan kaki, matanya tidak lepas dari wajah ayah dan kakeknya. “Kami hanya ingin mengenalnya lebih baik. Anak itu… tampaknya punya tempat yang besar di hati adikmu,” jawab Brian pelan. Bara tertawa kecil. “Kamu harus lihat wajah Kenan waktu itu. Dia mengirimkan rekaman ciumannya dengan Natasya di lift. Seolah itu bukti tak terbantahkan bahwa mereka ditakdirkan bersama.” kata Bara. “Setidaknya itu yang Kenan pikirkan,” lanjutnya lagi, kali ini sembari tersenyum sendu, Fakta itu membuat Dion mengerutkan kening. Sepertinya, Kenan sudah banyak berubah sekarang. “Kenan… mengirimkan rekaman seperti itu?” tanya Dion memastikan. Bri
Tingkah laku Kenan yang semakin hari semakin memburuk itu, mulai disadari oleh kakak satu-satunya, Dion Leonardo. Dion memang sudah mencium sesuatu yang aneh sejak beberapa hari yang lalu, ketika ia menerima laporan dari kepala divisi keuangan tentang perilaku Kenan yang semakin sulit ditebak. Tapi pagi ini, kekacauan di kantor sudah terlalu ramai untuk diabaikan. Ruangannya hening saat seseorang mengetuk pintu. “Masuk!” ucap Dion mempersilakan. Ketika pintu itu terbuka, di sana muncul Rival. Dia adalah orang yang bisa memberikan informasi lengkap, yang ingin Dion ketahui kebenarannya. Rival melangkah masuk, ragu-ragu. Dion menatapnya tajam tapi tenang. Aura laki-laki dewasa yang terbiasa memimpin perusahaan multinasional tampak dalam setiap gesturnya. Sikapnya memang begitu mirip dengan Kenan, sebelum adiknya itu mulai kehilangan kendali seperti sekarang. Berbeda dengan Kenan yang impulsif dan berapi-api, Dion tampak begitu tenang, begitu penuh perhitungan. Dan hari ini,