Segala pikiran dan perasaan berkecamuk menjadi satu. Ingin segera kulabrak mereka saat ini juga. Tapi aku sadar diri aku hanya sendirian. Tidak memiliki kekuatan apa pun.
Dengan pikiran kalut aku mencoba mencari tahu apa yang bisa kulakukan saat ini. Kulihat ponsel di tangan. Aku harus menghubungi seseorang yang bisa berpikir logis dan bergerak cepat atas semua ini. Segera saja kucari nomor telepon ketua RT yang memang tinggal tak jauh dari rumah.
"Pak, maaf mengganggu malam-malam. Tolong saya, Pak! Suami saya ...," ucapku panik saat telepon diangkat.
"Kenapa dengan Pak Dani, Bu? Sakit?"
"Bukan, Pak.. suami saya. Dia ada di rumah Haya, istri Pak Emil yang sedang berlayar itu. Entah apa yang sedang mereka lakukan. Aku takut membayangkannya."
"Ha ... jam segini mereka berduaan?!"
"Iya, Pak. Tolong saya, Pak. Saya tak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya takut melihat mereka sedang macam-macam."
"Baik, Bu! Bu Shania yang tenang dulu ya, saya akan segera ke sana."
Aku pun menunggu Pak RT datang dengan perasaan kalut di dalam rumah. Bolak-balik aku melihat ke arah pintu belakang, memastikan apa Dani sudah kembali atau belum. Di satu sisi aku berharap dia segera kembali dan memberitahukanku bahwa tak ada yang dilakukannya di rumah Haya. Tapi di sisi lain, aku ingin semua ini jelas, terang benderang, jika dia memang bermain kotor di sana, aku ingin mengetahuinya dengan mata kepalaku sendiri hingga aku tahu sikap apa yang harus kuambil padanya nanti.
Kulihat dua orang security komplek menghampiriku. Mereka bilang diminta Pak RT untuk segera datang, sementara beliau sedang bersiap. Kuceritakanlah apa duduk permasalahannya pada mereka berdua. Dan sama sepertiku mereka pun pasti berpikir bahwa suamiku di sana sedang melakukan yang tidak semestinya.
Tak lama Pak RT pun datang. Dengan tegas ia memberi instruksi pada kami apa yang harus dilakukan. Pak Dadang dan Pak Enjang kedua security itu diminta untuk masuk melalui pintu belakang sama seperti yang dilakukan Dani. Tak lupa mereka pun memastikan kamera ponsel dalam keadaan nyala agar ada bukti tentang apa yang sedang dilakukan oleh Dani dan Haya di rumahnya tengah malam seperti ini.
Sementara itu, aku dan Pak RT akan masuk melalui pintu depan dengan mengetuk pintu layaknya orang yang sedang bertamu.
Tangan dan kakiku tak bisa berhenti gemetar, sebisa mungkin aku menguatkan diri untuk segala kemungkinan yang akan terjadi nanti. Perutku sedari tadi sudah terasa mual, ingin memuntahkan semua isinya. Namun aku tahan. Tak ada waktu untuk sekedar muntah saat ini. Karena jika kehilangan momen, maka semua bisa kacau.
Tok ... tok ... tok ...
Pak RT mengetuk pintu rumah Haya dengan keras. Jantungku berdebar kencang menunggu pintu dibuka. Namun tak ada jawaban. Sementara itu aku tak tahu apa yang terjadi dengan Pak Dadang dan Pak Enjang di dalam sana.
"Assalamualaikum ..., Bu Haya ..., tolong buka pintunya!" teriak Pak RT lantang. Dan masih tak jawaban.
Cukup lama kami menunggu dibukanya pintu, hingga tiba-tiba kulihat lampu ruang tamu rumah Haya menyala. Lalu pintu pun akhirnya dibuka, Pak Dadang membuka pintu lalu menatapku dengan tatapan penuh iba.
Tanpa memedulikan apa pun, gegas aku masuk ke rumah Haya, tak sabar ingin mengetahui apa yang dilakukan mereka berdua. Atas arahan Pak Enjang, aku masuk ke kamar utama, Dan di situlah aku melihat semuanya. Melihat Dani dan Haya dalam keadaan yang tidak senonoh.
"Shania ..., ka-kamu ... ada di sini juga?!" Dani tersentak saat melihatku. Ia berusaha menutupi tubuhnya sendiri.
Betapa aku jijik melihat kondisinya kini. Ia bertelanjang dada dengan hanya memakai celana boxer saja. Menatapku dengan tatapan kaget dan rasa bersalah. Sementara itu kulihat Haya tengah sibuk berpakaian. Penampilannya sebelas dua belas kacaunya dari Dani.
"Ma-maafkan aku, Shania," ucap Dani seraya menghampiriku sembari mengatupkan kedua tangan di depan dada.
"Keterlaluan kamu, Mas!" murkaku. Emosiku sudah di ubun-ubun kini. Ingin marah tapi aku tak bisa mengungkapkannya.
"Shania... maafkan aku! Semua ini tak sengaja. Seharusnya kami tak melakukan apa pun!" racau Dani tak jelas.
"Shania, kamu mau 'kan memaafkan aku?" tanyanya lagi sambil berusaha menggengam tanganku.
Namun, langsung kusentakkan tangannya dengan keras. Tak sudi aku bersentuhan lagi dengannya. Entah lelaki seperti apa yang ada di hadapanku ini.
"Jangan sentuh aku!" bentakku kasar. Aku sudah sangat jengah dengannya. Sekarang saja dia memohon permintaan maaf dariku. Tapi sebelumnya apa dia ingat padaku ketika melakukan hal menjijikkan dengan wanita itu?
Dani tak menyerah, kembali ia mencoba memegang tanganku. Tak dapat lagi aku tahan emosiku, lantas kuayunkan tangan ini, menampar wajah lelaki yang telah berani mengkhianati janji suci kami.
PLAK
Dani tersentak atas apa yang kulakukan padanya, ia memegang pipinya yang kutampar barusan. Pasti sakit sekali karena tanganku pun merasakan panas setelahnya.
"Shania ..." lirihnya. Menatapku sendu.
"Kamu benar-benar keterlaluan, Mas! Tak kusangka kamu tega berbuat segila ini. Apa kurangnya aku sebagai istrimu sampai kamu mencari yang lain? Kukira hanya dengan Risa kamu bermain di belakangku. Tahunya kamu juga bermain gila dengan tetangga kita sendiri!"
"Shania ..., a-apa maksudmu soal Risa?" Wajah Dani mendadak makin tegang saat kusebutkan nama Risa.
"Kamu pikir aku tak tahu, Mas kalau kamu ada main juga dengan Risa? Setiap malam kamu bertelepon ria dengan Risa. Aku tidak tidur, Mas! Aku tahu kelakuan bejatmu!"
Dani menunduk malu, ia tak berani lagi menatapku kini.
Sementara itu kulihat Haya di belakang sana tertawa puas melihat aku menyudutkan suamiku. Kesal melihatnya, segera saja kulangkahkan kaki ini menghampirinya.
"Kamu juga, dasar wanita gatal, kalau kamu kesepian jangan cari suami orang untuk menemanimu, hah!"
Dengan keras kujambak rambutnya. Haya sampai berlutut menahan sakit dan menjerit keras. Pak RT segera meleraiku.
"Bu Shania, tenang, Bu. Biar kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin," ujarnya sembari mencoba memisahkan aku dengan Haya. Dengan enggan kulepaskan tanganku dari rambutnya, padahal belum keluar semua rasa kesalku pada wanita gatal itu.
"Pak Dani, Bu Haya, kalian berdua harus ikut saya ke kantor RW! Kita selesaikan semua di sana!
"Jangan Pak, jangan... kumohon. Biar saya selesaikan masalah ini dengan istri saya sendiri saja!" Dani memohon pada Pak RT.
"Tidak bisa, Pak. Masalah Anda dengan istri, silakan Anda selesaikan sendiri. Tapi karena Anda melakukan hal tidak senonoh di lingkungan komplek ini, maka itu adalah masalah dengan kami dan para warga."
Mendengar penjelasan Pak RT, Dani pun terduduk lesu, sedangkan Haya menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Mungkin merasa malu. Seharusnya mereka mendapat balasan yang setimpal atas perbuatan mereka itu!
****bersambung****
Tiga bulan kemudian.Aku baru saja pulang dari persidangan pembacaan hukuman untuk Haya dan mulai berkutik kembali dengan pekerjaanku yang cukup menumpuk karena selalu terpotong karena kasus Haya ini. Tapi, selama mengikuti persidangan Haya, aku jadi tahu bahwa setelah bebas dari penjara kemarin ternyata Haya dan Dani masih berhubungan, bahkan saat Dani telah menikah dengan Salsa pun mereka masih sering bertemu. Menjijikan sekali.Lalu ternyata saat hari percobaan pembunuhan itu Haya yang memasang GPS pada ponsel Dani mengikutinya sampai ke Bogor. Ia marah besar saat mengetahui Dani malah menikah dengan wanita lain dan bukannya menepati janji untuk menikah dengan dirinya. Akhirnya Haya pun mengatur rencana untuk membunuh Dani. Pada malam setelah pernikahan, Haya memberikan minuman berisi obat tidur pada semua orang yang ada di rumah tempat berlangsungnya pernikahan Dani. Lalu setelah semuanya terlelap dia pun menyerang Dani dengan berbekal pistol yang didapatn
Setelah melepas semua emosinya akhirnya Salsa tertidur di kursi ruang tengah. Kini Ibu dan Bapak yang menemaninya karena aku harus menyusui Dewa.Ibu dan Bapak sangat terluka ketika mengetahui ulah Dani. Lagi, mereka harus menerima anaknya disakiti oleh lelaki yang sama. Seharusnya Salsa mengikuti ucapan kami yang melarangnya menikah dengan lelaki berengs3k itu agar semua ini tak terjadi.Saat sedang menyusui, tiba-tiba kulihat ada panggilan telepon dari Emil. Gegas aku mengangkatnya."Shania, kau tahu Haya sudah tertangkap?" tanya Emil.Ah ..., aku hampir saja melupakan kasus Haya. Meninggalnya Kayla dan kabar Dani menikah lagi membuat aku melupakan masalah yang satu itu."Syukurlah kalau dia sudah tertangkap. Di mana memang dia sembunyi?" tanyaku penasaran."Di Bogor.""Wah ..., jauh juga ya dia melarikan diri. Syukurlah polisi bisa menemukan dia," ucapku merasa lega. Setidaknya satu persatu masalah selesai."Tapi, Shania ...," ucap Emil terput
POV ShaniaRumah kini kembali sepi setelah Kayla dimakamkan dan para pelayat pun berangsur pulang. Suasana duka masih terasa menyelimuti seisi rumah.Rasanya ada yang aneh, setelah sebelumnya kami selalu mendengar celoteh Kayla yang mulai terdengar, kini semua tinggallah hening.Sedangkan Salsa, sejak pulang dari rumah sakit terus mengurung diri di kamar. Ia bahkan tak ikut dalam prosesi pemakaman, lebih memilih berdiam diri dan meratapi semuanya.Sejujurnya aku khawatir pada kondisinya. Sungguh aku akan merasa lebih tenang jika Salsa mengungkapkan emosinya, menangis, meraung-raung atau apa pun itu. Bukannya hanya berdiam diri seperti saat ini.Berulang kali Bapak dan Ibu memintanya keluar dan berkumpul bersama kami. Tapi sama sekali tak ada respon darinya.[Kak, apa Tuhan sedang menghukumku?]Sebuah pesan tiba-tiba masuk ke ponselku saat aku tengah membereskan perlengkapan Dewa. Dari Salsa.[Tapi kenapa harus K
Sungguh aku tak habis pikir apa yang ada di benaknya hingga Haya bisa berpikir seperti itu. Ia terus saja menagih janjinya agar aku mau menikahinya.Seperti saat ini, aku hanya bisa menarik nafas panjang atas permintaannya ini. Tak mungkin kan aku menikahinya di saat aku sudah menikah dengan Salsa lalu sebentar lagi saja aku akan menikahi Mirna?Aku memang suka bersama wanita, tapi tidak untuk menjadikan mereka istriku semuanya.[Aku ..., mencintaimu, Dani. Aku melakukan ini semua agar bisa segera hidup denganmu] ucapnya lagi melalui pesan.Mama yang melihat aku terus sibuk dengan ponselku, seketika mengambilnya paksa dari tanganku."Kamu jangan sibuk dengan ponsel terus, Dani! Sebentar lagi kamu menikah! Biar Mama saja yang pegang ponselmu ini. Agar nanti Salsa atau siapa pun tak akan mengganggumu!" ujar Mama sambil memasukkan ponselku dalan tasnya.****Keesokan harinya prosesi akad nikah dan resepsi berjalan lancar. K
Kadang terbersit rasa bersalah pada Salsa jika ingat sebentar lagi aku akan menduakannya. Dia saja belum aku bahagiakan dengan baik. Aku masih belum mendapat pekerjaan yang layak, dan harus membuatnya terus bertengkar dengan Shania karena belum bisa memberikannya rumah yang layak.Ya ..., walau memang rumah yang ditempatinya kini pun masih bisa dibilang rumahku juga sih, karena aku membelinya berdua dengan Shania. Salahnya aku waktu itu malah membiarkan sertifikat rumah ini atas namanya. Tapi ... toh nasi sudah menjadi bubur. Yang penting aku masih bisa tinggal di sini bersama anak dan istriku.Saat menikah dengan Salsa aku sempat berjanji menjadikan ia wanita satu-satunya. Tapi ternyata terpaksa kini aku harus menarik janjiku sendiri. Semua itu kulakukan demi baktiku pada kedua orang tuaku. Juga demi ... Mirna, gadis manis yang polos itu.Sesaat sebelum aku berangkat, Kayla terus menangis. Segala cara sudah aku dan Salsa coba agar anak itu terdiam dan bis
POV Dani[Dani, jangan lupa hari Kamis nanti kita akan ke Bogor. Keluarga Mirna sudah mempersiapkan segala keperluan untuk pernikahan kalian!]Kubaca ulang pesan yang dikirimkan oleh Mama beberapa saat yang lalu dan segera menghapus isi pesan tersebut sebelum Salsa membacanya.Ya, Mama terus memaksaku untuk menikah dengan Mirna, anak dari salah satu kolega Ayah."Mumpung masih ada yang mau menjadi istrimu, Dani! Kau tahu sepak terjangmu sangat parah sekali. Untung saja orang tuanya percaya pada ayahmu. Jadi mau saja menjadikanmu menantunya!" terang Mama saat memberitahukan perihal pernikahan ini."Bapaknya Mirna itu punya perternakan sapi yang besar. Kamu kalau sudah menikah dengan Mirna yang akan mengurusnya. Hidupmu akan kembali seperti dulu lagi jika menikah dengannya!" terang Mama tanpa kuminta sedikit pun.Tentu saja aku menolak ide wanita yang telah melahirkanku itu dengan keras. Aku kan sudah bertekad untuk bertobat, hanya ing