Aku tak menyangka, kelakuan bejatku bersama Haya akan ketahuan. Dua security komplek, Pak RT dan juga Shania, memergokiku yang sedang bersama Haya.
Padahal ini pertama kalinya kami melakukannya. Setelah sekian lama aku menahan diri menolak ajakan Haya karena tak mau kejadian seperti ini terjadi. Tapi nahas, yang kutakutkan benar saja terjadi.
Shania marah besar, ia menampar pipiku keras. Aku tahu, aku memang salah telah melakukan hal ini. Tapi aku pun tak sepenuhnya salah, karena Haya terus saja menggodaku. Menawarkan sesuatu yang sulit untuk kutolak.
Kucing tak akan menolak ikan, 'kan?
Tapi ternyata tak sampai di situ, Shania juga mengetahui hubunganku dengan Risa, karyawannya sendiri. Aku benar-benar kecolongan. Jadi selama ini Shania tahu setiap malam aku menelepon Risa untuk menghilangkan penatku.
Apa jangan-jangan dia juga tahu bahwa kami sering jalan keluar?
Nasib buruk kini benar-benar menimpaku. Entah apa yang terjadi dengan rumah tanggaku setelah ini. Harusnya aku mendengar perkataan teman-teman untuk berhenti bermain-main dengan wanita dan setia pada Shania. Dia wanita baik, seharusnya aku tidak mengkhianatinya.
Tapi aku tak bisa menahan diri. Sungguh godaan wanita di luar sana begitu besar. Apa lagi jika para wanita itu dengan suka rela mendatangiku. Apa aku harus menolak rezeki nomplok?
"Pak Dani, Bu Haya, kalian berdua harus ikut saya ke kantor RW! Kita selesaikan semua di sana!"
Satu lagi masalah yang harus kuhadapi. Aku sungguh ketakutan, terbayang olehku aku akan dihakimi oleh warga sekitar nantinya.
"Jangan Pak, jangan... kumohon. Biar saya selesaikan masalah ini dengan istri saya sendiri saja!"
Kupikir ini harusnya tidak menjadi besar. Masalah ini hanyalah masalahku dengan Shania. Tidak ada hubungannya dengan RT atau pun RW.
"Tidak bisa, Pak. Masalah Anda dengan istri, silakan Anda selesaikan sendiri. Tapi karena Anda melakukan hal tidak senonoh di lingkungan komplek ini, maka itu adalah masalah dengan kami dan para warga."
Mati aku, tampaknya aku tak bisa mengelak lagi. Apa semua warga akan mengetahui perbuatanku? Apa nanti aku akan viral? Bagai mana dengan orang tuaku juga orang tua Shania nanti? Lalu bagaimana juga dengan pekerjaanku?
Sungguh aku menyesal dengan semua yang kuperbuat bersama Haya, seharusnya aku tetap pada prinsipku, tidak bermain dengan orang dekat.
Setelah berpakaian lengkap aku dan Haya di bawa oleh security untuk mengikuti mereka. Tak kusangka di luar sudah ada banyak orang, yang berkumpul. Mereka menyalakan blitz ponselnya, memotretku. Padahal ini tengah malam. Kenapa mereka tidak tidur dan malah ikut mengurusi urusan orang lain saja?
Semua orang menyoraki aku. Mengataiku dengan umpatan dan sumpah serapah. Kenapa mereka sok peduli dengan urusanku? Padahal belum tentu hidup mereka juga lurus.
"Dani, bagaimana ini?" tanya Haya saat posisi kami cukup dekat.
Sebenarnya aku kesal padanya. Ini juga karena ulahnya. Coba dia tidak menggodaku, semua ini tak akan terjadi.
"Ya, mau gimana lagi, kita memang salah," ucapku dengan malas padanya.
"Aku takut suamiku tahu, Dani!" ucapnya lirih.
Ah ... bahkan istriku sudah tahu kebusukanku. Aku hanya bisa berharap Shania bisa berpikir jernih dan mau mempertahankan pernikahan kami.
Sesampainya di kantor RW aku benar-benar layaknya sedang berada di persidangan. Semua mata tertuju padaku dan Haya. Sungguh aku merasa malu dijadikan bual-bualan seperti ini.
"Saya sangat kecewa dengan apa yang sudah Pak Dani dan Bu Haya lakukan. Kalian berdua adalah pasangan yang sama-sama sudah menikah. Tidak seharusnya melakukan hal tidak senonoh seperti ini. Perbuatan kalian sudah saya sampaikan juga kepada Pak Lurah juga Pak Emil, suami Bu Haya. Walau belum mendapat respons tapi kami sudah menyampaikannya!" terang Pak RW sambil duduk tepat di hadapanku dan Haya.
"Pak ..., kumohon jangan bilang suami saya!" pekik Haya, penuh harap.
Makin lama aku makin kesal dengannya. Dia berisik sekali, padahal jelas di bersalah. Aku tahu selain denganku dia juga sering bermain dengan lelaki lain. Hanya apes saja nasibku kini terjebak dengannya.
"Saya tidak hanya akan melaporkan perbuatan Anda ke Pak Emil saja. Jika Bu Shania menyetujui saya juga akan melaporkan perbuatan kalian ke polisi atas dasar perzinaan. Perbuatan kalian ini harus mendapat hukuman. Agar menjadi pelajaran bagi kalian dan juga yang lainnya."
Aku tersentak saat mendengar ucapan Pak RW barusan. Apa? Dilaporkan polisi? Ini tidak benar. Ini seharusnya tidak terjadi.
Aku tahu ada banyak orang yang melakukan hal serupa denganku, namun mereka aman-aman saja. Ini tidak benar. Aku tak mau masuk penjara. Ini hanya masalah sepele.
"Sekarang semua keputusan ada pada Bu Shania, karena Pak Emil sampai saat ini belum bisa dihubungi," tegas Pak RW.
Kulihat Shania kini sedang berdiri di sisi Pak Rw bersama istrinya. Entah kenapa Ia tampak sangat pucat. Ia terus menatapku dengan tatapan tajamnya.
Shania, hanya dia harapanku kini. Seharusnya dia tidak akan memperkarakan masalah ini. Kami sama-sama saling mencintai. Pastinya ia mau memberikanku kesempatan kedua.
"Shania, maafkan kesalahanku. Jangan kamu laporkan aku! Aku mencintaimu. Aku janji akan berubah menjadi lebih baik lagi," bujukku.
Shania harus memaafkanku. Masa depanku dipertaruhkan kini. Kulihat Shania melangkah mendekatiku ia menatapku dengan tatapan tajamnya.
"Tolong jangan bawa-bawa cinta, Mas. Jika kamu memang mencintaiku kamu tak akan melakukan hal menjijikkan itu!"
"Shania...! Tolong, tolong jangan laporkan kami. Aku akan memberi apa pun yang kamu mau. Berapa pun yang kamu minta!" kini Haya mencoba membujuk Shania. Ia sampai berlutut di kaki Shania. Sepertinya ia begitu ketakutan jika harus mendekam di hotel prodeo.
"Kamu pikir semua bisa selesai dengan materi, hah?" bentak Shania sambil menjauhkan tubuhnya dari Haya "Aku tidak akan membuat semua ini menjadi mudah. Karena aku telah memutuskan untuk ...--"
Brak.
Belum selesai Shania bicara, ia tiba-tiba terhuyung dan jatuh ke lantai. Gegas aku menghampirinya, ternyata Shania sudah tak sadarkan diri. Dengan sigap kuangkat tubuhnya dalam gendonganku. Shania harus segera mendapat pertolongan.
****
Kini aku berada di salah satu klinik dekat perumahan. Bersama beberapa warga, kami mengantar Shania agar segera mendapat pengobatan.
Tiba-tiba dokter memanggilku, dan memintaku untuk segera datang ke ruang periksa. Kulihat Shania sudah tersadar, namun ia tampak lemah dan pucat. Shania memalingkan wajahnya saat melihatku masuk.
"Pak, tadi kami sudah memeriksa kondisi Ibu Shania, kami juga sudah melakukan beberapa tes. Selamat ya, Pak, Ibu Shania kini tengah mengandung. Usianya kandungannya sekitar enam minggu."
Sungguh, berita ini menjadi oase penyejuk di tengah masalah yang sedang aku hadapi. Inilah pertolongan yang Tuhan berikan untukku. Shania akhirnya hamil, dan pasti dengan kehamilannya ini dia akan mengurungkan niatnya memerkarakan kasusku dengan Haya.
Empat tahun kami menunggu buah hati, tak mungkin dia mau membiarkan ayah dari anaknya mendekam di penjara.
Kutatap wajah Shania lekat, ia masih tak mau menatapku. Tapi dapat kulihat ia mengusap-usap perutnya lembut. Ia pasti bahagia akan kehamilannya ini.
"Shania, mari kita memperbaiki rumah tangga kita, demi anak kita yang sedang kau kandung!"
***Bersambung****
Tak kusangka, aku hamil tepat di saat aku mengetahui bahwa suamiku telah bermain gila dengan wanita lain. Entah ini anugerah atau musibah. Karena bahkan kini aku tak bisa berpikir apa-apa lagi.Kulihat binar bahagia di mata Dani ketika mengetahui berita kehamilanku. Ia segera menghampiri dan menggenggam tanganku. Sebenarnya aku jijik bersentuhan dengannya lagi. Tapi aku begitu lemah sampai-sampai tak memiliki tenaga untuk sekedar menyingkirkan tangan lelaki bej*t itu dari tanganku."Shania, kita akan menjadi orang tua. Shania! Impian kita selama ini terwujud," ucapnya penuh kebahagiaan. Tapi tidak denganku. Sungguh rasanya aku ingin bertanya pada Tuhan, kenapa ia harus memberikan kehamilan padaku saat ini. Saat aku sudah bulat berpisah dari suamiku. Kenapa bayi itu harus ada di perutku di saat aku tidak menginginkannya?"Shania ... kamu masih marah padaku? Kumohon Shania, maafkan aku. Aku berjanji akan berubah. Demi anak kita, Shania!" bujuknya sambil mengecup punggung tanganku.Den
"Bapak memukuli Mas Dani, sampai babak belur." jawabnya singkat, wajahnya masih nampak bete. Barangkali ia merasa terganggu karena masalah ini membuat waktu tidurnya hilang. Salsa memang hobi tidur, dan sangat sulit dibangunkan. Pasti tadi ia juga di paksa ikut oleh Bapak dan Ibu kemari. "Baguslah, aku malah berharap aku yang akan melakukannya," timpalku kesal.*****Kini aku sudah berada di rumah. Tepat pukul lima subuh kami beranjak pulang kembali. Rasanya aku ingin sekali beristirahat. Merebahkan tubuhku sebentar saja. Karena sudah beberapa hari ini aku tidak tidur dengan benar.Ayah sedang berada di luar bersama pihak RT dan RW. Entah apa yang sedang dibicarakan dan dilakukan mereka. Kuserahkan semua kasus ini pada Ayah. Karena aku sudah tak mau lagi memikirkannya.Sementara itu ibu membuatkan segelas susu dan teh hangat. Ia juga memasangkan aromaterapi di kamar agar membuatku lebih nyaman, lalu membiarkanku beristirahat tanpa membahas masalah Dani lagi. Aku memang memintanya unt
"Kak Shania, apa yang kamu lakukan?"Tiba-tiba Salsa datang, memekik kaget. Ia lalu menghampiriku dan dengan sigap mengambil pisau dalam genggamanku. "Jangan gegabah, Kak! Kakak bisa saja masuk penjara jika seperti ini!" bentaknya lagi."Mas Dani, pergi sana, jangan dekati kakakku lagi!" Salsa membentak Dani keras sambil memelototinya. Dani pun tanpa membantah sedikit pun segera berlalu meninggalkan kami.Aku seketika terduduk lemas di lantai dapur sungguh melelahkan semua ini. Fisik, hati dan pikiran terkuras habis hanya karena masalah yang suamiku buat."Kak, kamu baik-baik saja?" tanya Salsa serqya berjongkok disampingku."Bagaimana aku bisa baik-baik saja, Salsa? Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri suamiku bermain gila dengan wanita lain? ""Bagaimana aku bisa baik-baik saja sementara dia juga ternyata main gila dengan karyawanku sendiri?""Bagaimana mungkin aku bisa baik-baik saja sedangkan aku sekarang hamil dari benih seorang baj*ngan seperti Dani?""Ini gila, Salsa ... i
"Tidak, masalah ini harus selesai dengan hukum. Anak kalian harus menerima akibatnya hukuman yang setimpal karena perbuatannya!" tegas Bapak."Shania, kudengar kamu hamil, kamu harus memikirkan anakmu. Jika Dani dipenjara kasian anakmu nanti," lontar Mama, seraya mendekatiku, memegang tangaku keras."Cih ..., persetan dengan Dani. Aku lebih kasihan jika anak ini lahir dan mengetahui ayahnya adalah lelaki bajing4n!" bentakku, sambil menghempaskan tangan mama mertua dari tanganku."Shania, jaga ucapanmu. Dani hanya khilaf, semua manusia punya kesalahan!" elak Mama, membela anaknya."Apa aku harus memaafkan kesalahannya setelah aku melihat dengan mata kepalaku sendiri dia berbuat mesum? Apa Mama akan memaafkan jika itu terjadi pada diri mama sendiri? Harus Mama dan Papa tahu, Dani tak hanya berselingkuh dengan satu wanita. Tapi dua. Dan entah ada berapa lagi yang tidak aku ketahui!" Kukeluarkan semua emosiku pada mereka."Tapi penjara bukan solusi, Shania! Kita cari solusi lainnya bersam
"Dasar ed*n lo berbuat bej*t di lingkungan sini, gak tahu apa kalau kita semua kena dosanya karena lo zina?""Rajam aja sampai mati, itu hukuman paling pantas untuk pezina!""Ayo telanjangi, gunduli, lalu arak keliling kampung para pezina itu!"Begitulah kiranya suara-suara yang kudengar dari para warga yang kini mulai ramai memenuhi pelataran kantor RW.Tadi selepas aku menemui Shania dan membujuknya lagi agar tak melaporkanku pada polisi, aku kembali dibawa ke kantor RW, karena suasana di rumah mulai tidak kondusif. Warga sekitar mulai berdatangan mengerumuni rumahku dan juga rumah Haya. Nampaknya berita semalam sudah menyebar dan mereka ingin tahu tentang apa yang semalam terjadi.Bersama Haya, kini aku hanya terdiam menunggu instruksi atas apa yang akan mereka lakukan pada kami. Di dalam kantor RW ini aku hanha mendengarkan amukkan emosi warga pada perbuatan yang telah aku dan Haya lakukan. Sumpah serapah, dan juga nama-nama hewan terus terdengar bersahut-sahutan disebutkan untuk
"Hei ..., syukur-syukur aku hanya meludahimu! Seharusnya kamu kuhajar juga seperti aku melakukannya pada anakku!" jawab Papa tak kalah murka.Suara pintu diketuk tiba-tiba terdengar. Pak Dadang security yang menggerebekku semalam pun masuk."Lapor Pak, warga di luar tak terkendali. Mereka menuntut agar bisa mengarak Pak Dani dan Bu Haya keliling komplek perumahan terlebih dulu!" ucapnya lantang.Apa lagi ini? Mengarakku? Apa yang mereka inginkan sebenarnya? Tidakkah cukup bagi mereka telah menghinaku seperti binatang."Bagaimana, Pak? Mereka tidak akan membuka jalan sebelum permintaannya dituruti," lanjut Pak Dadang lagi.Pak RW dan Pak RT menatapku, seperti berpikir keras. Aku berharap dia bijak, dan tidak akan meluluskan permintaan tidak masuk akal para warga tersebut."Kita coba saja terobos. Semoga mereka mau memberi jalan. Kita harus segera berangkat ke kantor polisi saat ini juga."Segera setelah itu aku diapit oleh beberapa bapak-bapak, begitu juga dengan Haya. Mereka pun memba
Saking fokusnya dengan masalahku, aku dan Salsa melupakan tentang bisnis online kami 'Shasa Dress'. Karyawanku berdatangan dengan wajah bingung karena tak biasanya di rumahku banyak orang.Mereka semua bertanya apakah hari ini mereka bekerja seperti biasa atau tidak. Aku menyerahkan semua keputusan pada Salsa. Biar ia yang handle dulu.Salsa pun memutuskan untuk tetap bekerja seperti biasa saja. Karena deadline untuk launching produk baru semakin dekat. Semua karyawanku yang kini tinggal berjumlah empat orang pun memasuki ruangan untuk bekerja. Sementara itu aku kembali ke kamarku. Belum sempurna kulangkahkan kaki keluar dari ruang kerja, kudengar bisik-bisik dari karyawanku yang membicarakan perihal Risa."Pantas saja Risa akhir-akhir ini gaya hidupnya semakin tinggi. Ternyata karena dia jadi simpanan istri bos kita sendiri." Kuhentikan langkahku untuk mendengar semuanya. "Iya, masa tiba-tiba saja Risa bisa membeli sepeda motor dan semua pakaiannya berubah menjadi pakaian bermerk.
Aku hanya tersenyum licik mendengar ancamannya barusan. Sungguh sama sekali aku tak gentar. Ia tak tahu saja apa yang sudah kumiliki. Aku pun yakin bisa menghidupi anak yang tengah kukandung ini sendiri walau tanpa mengandalkan uang sepeser pun dari mereka."Yang seharusnya pergi dari rumah ini justru adalah Mas Dani. Karena sertifikat rumah ini sudah resmi atas namaku. Lagi pula aku juga ikut andil dalam membayar cicilan serta membangun rumah ini sehingga bisa menjadi sebesar ini," tandasku dengan penuh percaya diri.Mama membelalak kaget atas fakta yang aku ucapkan barusan. Wajahnya seketika berubah kesal. Ia pun hanya memalingkan wajahnya kesal, tak dapat berkata-kata lagi."Kuharap Mama tidak gegabah mengusir diriku dari rumahku sendiri. Karena justru aku yang akan mengusir Mas Dani dari rumah ini sekarang juga!""Salsa, tolong kemasi semua barang-barang Mas Dani dan berikan pada ibunya!" titahku pada Salsa. Kulihat Salsa nampak ragu-ragu bergerak. Ia bergantian melihatku dan Mama