Masuk***
Keenan masih duduk bersama dua sahabatnya. Kehidupan sekolah seperti ini sangat membosankan menurutnya. Suara riuh obrolan di kantin, dentingan sendok garpu, dan bau makanan bercampur menjadi satu semuanya terasa sama setiap hari. Pandangan matanya melayang keluar jendela, menatap lapangan yang kosong. Sesekali ia menanggapi candaan sahabatnya, tapi pikirannya jauh melayang. Bagi Keenan, sekolah hanyalah rutinitas tanpa tantangan, seperti menonton film yang sudah dihafalnya dari awal sampai akhir. Namun, tatapannya kembali terseret ke arah meja paling pojok. Alea, gadis yang biasanya menghilang di perpustakaan, kini duduk bersama dua orang temannya, wanita pendiam dan gak pernah bergaul itu bagaimana bisa mendapat teman secepat itu. Keenan mengernyit, penasaran. Entah kenapa, kehadiran gadis itu di sini terasa… tidak biasa. Pertunangan mereka memang dirahasiakan dari semua orang. Tidak ada yang tahu, bahkan sahabat terdekat sekalipun. Bagi Keenan, itu bukan sesuatu yang ia banggakan atau ingin umumkan terlalu banyak alasan yang membuatnya memilih diam. Alea pun sama. Ia menjalani hari-harinya seperti biasa, seolah di antara mereka tidak ada ikatan apa pun. Di sekolah, mereka hanyalah dua orang yang kebetulan saling kenal, tanpa interaksi berarti. Namun, di balik diam itu, ada janji yang terikat sejak lama. Janji yang dibuat bukan atas dasar cinta, melainkan kesepakatan keluarga. Dan setiap kali Keenan melihat Alea, ia tidak bisa memutuskan apakah itu beban… atau takdir yang diam-diam ingin ia pahami. Bel pulang sekolah berbunyi, riuh langkah kaki siswa memenuhi lorong. Keenan berjalan santai sambil memasukkan tangan ke saku celana, sesekali menyapa teman yang lewat. Dari jauh, matanya sudah menangkap sosok Alea yang keluar dari kelasnya. Gadis itu berjalan cepat, seperti biasa ingin segera lenyap dari keramaian. Tas digendong di satu bahu, wajahnya datar tanpa ekspresi. Keenan menunggu hingga Alea melewati gerbang, lalu menghentikan langkahnya tepat di samping. "Alea." Suaranya pelan tapi tegas. Alea terhenti, menoleh sebentar dengan tatapan dingin. "Kenapa?" "Naik mobil gue." Keenan menunjuk sedan hitam yang sudah menunggu tak jauh dari mereka. Alea mendesah pelan. "Aku bisa pulang sendiri." "Gue nggak nanya lo bisa apa nggak,"Keenan menatapnya dalam, nada suaranya sedikit memaksa. "Gue bilang ikut." Hening sejenak. Alea menatap jalan di depannya, ragu. Beberapa siswa masih berkeliaran di sekitar gerbang, dan ia tahu terlalu lama berdiri dengan Keenan bisa mengundang tanya. Dengan enggan, ia melangkah mengikuti Keenan. Pintu mobil dibuka sopir, dan Alea masuk tanpa banyak bicara. Begitu mobil melaju, suasana di dalam seketika sunyi. Hanya suara mesin dan jalanan yang terdengar. Keenan bersandar, menatap lurus ke depan. Alea duduk dengan punggung kaku, menatap keluar jendela. "Kenapa maksa aku naik?" akhirnya Alea bertanya tanpa menoleh. Keenan menoleh sekilas, ekspresinya sulit ditebak. "aku hanya ingin mengantarmu pulang" "tidak perlu, aku ada supir" "bukankah kalau aku yang antar lebih bagus, orangtua mu pasti senang kan" Alea terdiam. memang benar kalau dia di antar pulang Keenan ada kemungkinan dia bebas dari hukuman. mobilpun sampai di halaman rumah luas Alea, barengan dengan sampai nya mobil hitam yang di tumpangi Dava. Dava menatap Alea yang keluar dari mobil Keenan, tatapannya menusuk membuat Alea merinding. Begitu Alea melangkah keluar, udara sore mendadak terasa lebih berat. Pandangan Dava yang dingin membuat langkahnya goyah sesaat, seolah setiap gerakan kecilnya sedang dihakimi. Keenan berdiri tegak di samping mobil, menatap Dava tanpa gentar. Keduanya saling berhadapan beberapa detik sunyi, tapi penuh tensi. "Alea." Suara Dava akhirnya terdengar, tenang tapi tajam. "Turun dari mobil orang lain tanpa seizin keluarga… bukan kebiasaan yang baik." Alea menggigit bibir, menunduk. Kata-kata itu bukan sekadar teguran, ada ancaman tersembunyi di balik nada tenangnya. "Aku hanya mengantar, dan aku adalah tunangannya" sela Keenan, nadanya datar tapi mantap. "Bukan sesuatu yang perlu diperbesar" Tatapan Dava beralih pada Keenan. Senyum tipis muncul, tapi dingin. "Oh, jadi sekarang kamu sudah jatuh hati pada adikku" Keenan tidak mundur sedikit pun. "bukankah harusnya kakak senang? itu kan yang keluarga kalian inginkan" Alea menahan napas, jantungnya berdegup kencang. Dua sosok itu berdiri seperti dua kutub yang siap bertabrakan, dan ia terjebak di tengah. "Masuk, Alea" Dava memutuskan percakapan dengan nada perintah. "Ayah sudah menunggu" Alea melirik sekilas ke arah Keenan. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi lidahnya kelu. Akhirnya ia hanya melangkah masuk ke rumah, punggungnya terasa berat oleh tatapan dua pria di belakangnya. Begitu pintu rumah tertutup, Dava menoleh sekali lagi ke arah Keenan. "Jaga jarakmu," katanya singkat, sebelum berbalik menyusul Alea. Keenan hanya menatap punggung Dava yang menjauh, matanya mengeras. *** Alea memasuki ruangan kerja yang terlihat megah namun menyesakkan. Rak rak penuh buku tersusun rapi, meja besar dari kayu mahal berdiri di tengah, dan aroma tembakau samar masih tertinggal di udara. Ayahnya duduk di kursi besar, menatap tumpukan dokumen sebelum akhirnya mengalihkan pandangan tajam ke arah Alea. "Duduk," ucapnya singkat, suaranya berat dan berwibawa. Alea menurut, melangkah pelan dan duduk di kursi seberang meja. Hatinya berdebar, setiap kali masuk ke ruangan ini rasanya seperti memasuki ruang interogasi, bukan ruang kerja seorang ayah. "Malam besok ada acara ulang tahun perusahaan Papa. Papa harap kamu datang bersama Keenan," ucap ayahnya tegas. "Tapi, Pa…" Alea mencoba membantah. "Papa lihat tadi kamu pulang diantar dia. Itu artinya kamu juga bisa menggandeng dia ke acara itu." Alea terdiam. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana cara membujuk Keenan untuk ikut. "Kamu tahu akibatnya kalau sampai tidak bisa, Alea. Ingat, Papa mengangkatmu jadi anak bukan cuma-cuma." Degg! Ancaman itu lagi. Walaupun sudah sering ia dengar, tetap saja kalimat itu begitu menakutkan untuknya. Alea meremas jemarinya di pangkuan, menunduk dalam-dalam agar ayahnya tidak melihat matanya yang mulai berkaca-kaca. Tenggorokannya tercekat, tapi ia tahu tak ada gunanya melawan. "Baik, Pa…" suaranya lirih, hampir tak terdengar. Ayahnya kembali menatap dokumen di atas meja, seolah pembicaraan barusan hanyalah perintah sederhana, bukan sesuatu yang sedang menekan hati seorang anak. "Bagus. Jangan kecewakan Papa." Alea bangkit perlahan. Setiap langkah menuju pintu terasa berat, seolah kakinya dipaksa melangkah oleh beban yang tak terlihat. Begitu pintu tertutup di belakangnya, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantung yang kacau. Di lorong yang sepi, Alea menyandarkan tubuhnya ke dinding dingin. terlihat sosok laki laki dingin menatap dirinya. "kak Dava, aku ngalangin jalan kakak ya?" Dava hanya terdiam, dia pun melengos pergi. Alea menunduk dalam, menggigit bibirnya yang terasa kering. Punggung Dava menjauh tanpa sepatah kata pun, hanya menyisakan dingin yang menempel di dadanya. Ia menarik napas, mencoba menghapus rasa sesak yang baru saja ditinggalkan lelaki itu. Dava selalu seperti itu tatapannya tajam, sikapnya acuh, seakan kehadiran Alea hanyalah bayangan yang mengganggu jalannya. Alea melangkah perlahan ke kamarnya. Begitu pintu tertutup rapat, ia langsung menjatuhkan diri di tepi ranjang. Kedua tangannya menutupi wajah.*** Alea menunduk sedikit, berusaha mengabaikan tatapan tatapan tajam yang mengikuti setiap langkahnya. Bisik bisik muncul begitu ia lewat berhenti sesaat ketika ia menoleh, lalu kembali muncul lebih pelan namun semakin menusuk. Rasanya seperti semua orang di sekolah tiba tiba berubah menjadi hakim yang siap menjatuhkan vonis. Alea tidak mengerti apa yang terjadi. Dengan dada yang mulai sesak, ia mempercepat langkah dan segera masuk ke kelas. Begitu melihat kedua sahabatnya, ia langsung menghampiri. "Kenapa sih? Kok semua orang ngeliatin aku kayak gitu?" tanya Alea, suaranya bergetar namun berusaha terdengar tenang. Salah satu sahabatnya saling melirik dengan wajah tidak enak. "kamu… beneran gak liat grup sekolah?" Alea mengerutkan kening. "Emang kenapa? Ada apa?" "coba kamu baca sendiri aja" Alea membuka ponselnya. Notifikasi grup sekolah memenuhi layar. Begitu ia membuka pesan paling atas, dunia rasanya berhenti sejenak. Sebuah postingan menyebar cepat, Keenan dan
Begitu sarapan selesai, para pelayan mulai membereskan meja. Nenek masih duduk di kursinya sambil memperhatikan Alea dan Keenan yang sejak tadi terlihat salting satu sama lain tapi sama sama pura pura tenang. "Alea, kamu sama Keenan berangkat bareng ya" ucap nenek tiba tiba. Alea tersentak. "sama Luna juga kan nek" "gak usah aku bisa naik bis kok" ucap Luna dengan senyum di bibirnya. "nanti Luna supir yang antar" ucap nenek. Keenan bangkit sambil meraih tasnya. "Ayo" Nada suaranya datar, tapi kedua telinganya masih merah. *** Di halaman depan, motor Keenan sudah terparkir rapi. Motor hitam itu mengkilap, model sport tapi tidak terlalu besar pas dengan gaya Keenan yang stylish. Alea berhenti di samping motor itu. "Naik motor…?" tanyanya ragu. Keenan memasang helm cadangan pada kepala Alea tanpa menjawab, benar benar tanpa meminta izin dulu. Gerakannya hati hati, seolah takut menyakiti. Tangan Keenan sempat bersentuhan dengan pipi Alea. Alea langsung menahan na
Di sisi kamar yang remang, Nyonya alfarez melangkah masuk ke kamar nenek. Wajahnya tegang, suaranya penuh emosi yang ditahan. "Maksud Ibu apa sih, bawa Alea ke sini?" tanyanya ketus. Nenek menatapnya tanpa bergeming. “Kamu tanya saja pada anakmu" Nyonya alfarez menghela napas keras, matanya memerah oleh kekesalan. "Bu, sepertinya di rumah ini tidak ada yang menghargai perasaan aku, Lama lama Ibu juga mau bawa perempuan itu ke sini… dan anak haramnya, ya kan?" Nenek menatapnya tajam, suaranya rendah tapi tegas. "Diana, jangan samakan Alea dengan perempuan itu. Mereka berbeda. Hanya karena kamu tidak suka seseorang, bukan berarti orang itu buruk" "tuh ibu juga tahu aku tidak suka dia…" "Ibu tahu," potong nenek lembut. "Tapi Ibu juga tahu siapa kamu sebenarnya, Coba buka sedikit saja hatimu untuk Alea, Ibu yakin… dia bisa menjadi teman di kala sepimu" "Alea sama aja sama keluarganya, tamak" "soal itu kamu bisa menilainya sendiri... nyonya alfarez pun tak bicara
Alea mengikuti nenek Keenan menuju mobil keluarga itu. Udara malam terasa menekan, angin dingin membuat kulitnya merinding, tapi bukan karena cuaca melainkan karena apa yang baru saja terjadi. Perjanjian itu, keputusan itu semuanya berlangsung terlalu cepat. Begitu pintu mobil terbuka, Alea sempat menoleh. Di depan pintu rumah, tuan dan nyonya Marvelle berdiri terpaku. Wajah mereka campuran antara keterkejutan, ketamakan, dan ketakutan. Tapi tidak ada sedikit pun belas kasihan yang tersisa dalam diri Alea untuk mereka. Tidak setelah semua yang mereka lakukan. dia masuk ke mobil, dan perjalanan menuju rumah keluarga Keenan dimulai. *** mobil berhenti, pintu depan terbuka otomatis. Lampu lampu taman menyala lembut memandikan halaman luas itu dengan cahaya putih pucat. Alea turun, mengikuti nenek Keenan masuk. Sang nenek berjalan anggun, seolah seluruh tempat ini berputar mengikuti langkahnya. Begitu pintu utama terbuka, sosok seorang wanita muncul di ambang pintu.
*** Alea turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam rumah megah itu. Begitu melewati pintu utama, langkahnya terhenti. Di ruang tamu, nenek Keenan sedang duduk sambil mengobrol dengan kedua orangtua angkatnya. "Alea, sini nak…" panggil sang nenek sambil tersenyum. Alea mendekat pelan. Tatapannya berpindah ke kedua orangtuanya yang terlihat gelisah dan tidak nyaman. "Nenek sudah berbicara dengan orangtuamu" ucap sang nenek lembut. "Keluarga kami bukan keluarga biasa, jadi calon anggota keluarga harus dibimbing sejak awal. Akan lebih baik jika kamu tinggal bersama kami, di bawah pengawasan keluarga" Senyumnya begitu tenang, seolah keputusan itu sudah final. "Alea, bisa kita bicara sebentar?" suara nyonya Marvelle memecah udara. Alea menoleh. Tatapannya sempat menangkap senyum kecil di ujung bibir nenek itu senyum yang membuatnya curiga. Apakah ini rencana Keenan? Apa dia bekerja sama dengan neneknya? "Boleh saya bicara sebentar dengan anak saya?" pinta nyonya Marvelle.
Di masa sekarang, ingatan itu menghantam Keenan seperti gelombang dingin yang menampar kesadarannya. Ia menutup mata, mencoba mengusir sakit di dadanya, sakit yang sebenarnya sudah ia kenal sejak kecil namun tidak pernah ia akui. Karena untuk pertama kalinya… ia mulai curiga. Bagaimana kalau Alea tidak pernah membencinya? Bagaimana kalau semua waktu itu… Alea hanya ketakutan? Dan bagaimana kalau ketakutan yang sama masih menghantui Alea sampai hari ini? Keenan meremas ponselnya. Kecurigaan yang tadinya samar kini berubah menjadi rasa tidak tenang yang menikam. Dava. Setiap kali Alea terlihat ketakutan… Setiap kali Alea menutup diri… Setiap kali Alea bersikap aneh, seolah menyembunyikan sesuatu… Dava selalu ada di sekitarnya. Kenapa aku baru sadar sekarang…? pikir Keenan, rahangnya mengeras. Ia membuka mata, menatap pantulan dirinya di layar ponsel. Wajahnya datar, tapi tatapannya gelap. Ada naluri protektif yang selama ini ia tekan, kini mulai merangkak nai







