Share

bab 5

Author: Rvn
last update Last Updated: 2025-09-18 21:27:22

***

Keenan masih duduk bersama dua sahabatnya. Kehidupan sekolah seperti ini sangat membosankan menurutnya. Suara riuh obrolan di kantin, dentingan sendok garpu, dan bau makanan bercampur menjadi satu semuanya terasa sama setiap hari.

Pandangan matanya melayang keluar jendela, menatap lapangan yang kosong. Sesekali ia menanggapi candaan sahabatnya, tapi pikirannya jauh melayang. Bagi Keenan, sekolah hanyalah rutinitas tanpa tantangan, seperti menonton film yang sudah dihafalnya dari awal sampai akhir.

Namun, tatapannya kembali terseret ke arah meja paling pojok. Alea, gadis yang biasanya menghilang di perpustakaan, kini duduk bersama dua orang temannya, wanita pendiam dan gak pernah bergaul itu bagaimana bisa mendapat teman secepat itu. Keenan mengernyit, penasaran. Entah kenapa, kehadiran gadis itu di sini terasa… tidak biasa.

Pertunangan mereka memang dirahasiakan dari semua orang. Tidak ada yang tahu, bahkan sahabat terdekat sekalipun. Bagi Keenan, itu bukan sesuatu yang ia banggakan atau ingin umumkan terlalu banyak alasan yang membuatnya memilih diam.

Alea pun sama. Ia menjalani hari-harinya seperti biasa, seolah di antara mereka tidak ada ikatan apa pun. Di sekolah, mereka hanyalah dua orang yang kebetulan saling kenal, tanpa interaksi berarti.

Namun, di balik diam itu, ada janji yang terikat sejak lama. Janji yang dibuat bukan atas dasar cinta, melainkan kesepakatan keluarga. Dan setiap kali Keenan melihat Alea, ia tidak bisa memutuskan apakah itu beban… atau takdir yang diam-diam ingin ia pahami.

Bel pulang sekolah berbunyi, riuh langkah kaki siswa memenuhi lorong. Keenan berjalan santai sambil memasukkan tangan ke saku celana, sesekali menyapa teman yang lewat. Dari jauh, matanya sudah menangkap sosok Alea yang keluar dari kelasnya.

Gadis itu berjalan cepat, seperti biasa ingin segera lenyap dari keramaian. Tas digendong di satu bahu, wajahnya datar tanpa ekspresi.

Keenan menunggu hingga Alea melewati gerbang, lalu menghentikan langkahnya tepat di samping.

"Alea." Suaranya pelan tapi tegas.

Alea terhenti, menoleh sebentar dengan tatapan dingin. "Kenapa?"

"Naik mobil gue." Keenan menunjuk sedan hitam yang sudah menunggu tak jauh dari mereka.

Alea mendesah pelan. "Aku bisa pulang sendiri."

"Gue nggak nanya lo bisa apa nggak,"Keenan menatapnya dalam, nada suaranya sedikit memaksa. "Gue bilang ikut."

Hening sejenak. Alea menatap jalan di depannya, ragu. Beberapa siswa masih berkeliaran di sekitar gerbang, dan ia tahu terlalu lama berdiri dengan Keenan bisa mengundang tanya.

Dengan enggan, ia melangkah mengikuti Keenan. Pintu mobil dibuka sopir, dan Alea masuk tanpa banyak bicara.

Begitu mobil melaju, suasana di dalam seketika sunyi. Hanya suara mesin dan jalanan yang terdengar. Keenan bersandar, menatap lurus ke depan. Alea duduk dengan punggung kaku, menatap keluar jendela.

"Kenapa maksa aku naik?" akhirnya Alea bertanya tanpa menoleh.

Keenan menoleh sekilas, ekspresinya sulit ditebak.

"aku hanya ingin mengantarmu pulang"

"tidak perlu, aku ada supir"

"bukankah kalau aku yang antar lebih bagus, orangtua mu pasti senang kan"

Alea terdiam. memang benar kalau dia di antar pulang Keenan ada kemungkinan dia bebas dari hukuman.

mobilpun sampai di halaman rumah luas Alea, barengan dengan sampai nya mobil hitam yang di tumpangi Dava.

Dava menatap Alea yang keluar dari mobil Keenan, tatapannya menusuk membuat Alea merinding.

Begitu Alea melangkah keluar, udara sore mendadak terasa lebih berat. Pandangan Dava yang dingin membuat langkahnya goyah sesaat, seolah setiap gerakan kecilnya sedang dihakimi.

Keenan berdiri tegak di samping mobil, menatap Dava tanpa gentar. Keduanya saling berhadapan beberapa detik sunyi, tapi penuh tensi.

"Alea." Suara Dava akhirnya terdengar, tenang tapi tajam.

"Turun dari mobil orang lain tanpa seizin keluarga… bukan kebiasaan yang baik."

Alea menggigit bibir, menunduk. Kata-kata itu bukan sekadar teguran, ada ancaman tersembunyi di balik nada tenangnya.

"Aku hanya mengantar, dan aku adalah tunangannya" sela Keenan, nadanya datar tapi mantap. "Bukan sesuatu yang perlu diperbesar"

Tatapan Dava beralih pada Keenan. Senyum tipis muncul, tapi dingin. "Oh, jadi sekarang kamu sudah jatuh hati pada adikku"

Keenan tidak mundur sedikit pun.

"bukankah harusnya kakak senang? itu kan yang keluarga kalian inginkan"

Alea menahan napas, jantungnya berdegup kencang. Dua sosok itu berdiri seperti dua kutub yang siap bertabrakan, dan ia terjebak di tengah.

"Masuk, Alea" Dava memutuskan percakapan dengan nada perintah. "Ayah sudah menunggu"

Alea melirik sekilas ke arah Keenan. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi lidahnya kelu. Akhirnya ia hanya melangkah masuk ke rumah, punggungnya terasa berat oleh tatapan dua pria di belakangnya.

Begitu pintu rumah tertutup, Dava menoleh sekali lagi ke arah Keenan. "Jaga jarakmu," katanya singkat, sebelum berbalik menyusul Alea.

Keenan hanya menatap punggung Dava yang menjauh, matanya mengeras.

***

Alea memasuki ruangan kerja yang terlihat megah namun menyesakkan. Rak rak penuh buku tersusun rapi, meja besar dari kayu mahal berdiri di tengah, dan aroma tembakau samar masih tertinggal di udara.

Ayahnya duduk di kursi besar, menatap tumpukan dokumen sebelum akhirnya mengalihkan pandangan tajam ke arah Alea.

"Duduk," ucapnya singkat, suaranya berat dan berwibawa.

Alea menurut, melangkah pelan dan duduk di kursi seberang meja. Hatinya berdebar, setiap kali masuk ke ruangan ini rasanya seperti memasuki ruang interogasi, bukan ruang kerja seorang ayah.

"Malam besok ada acara ulang tahun perusahaan Papa. Papa harap kamu datang bersama Keenan," ucap ayahnya tegas.

"Tapi, Pa…" Alea mencoba membantah.

"Papa lihat tadi kamu pulang diantar dia. Itu artinya kamu juga bisa menggandeng dia ke acara itu."

Alea terdiam. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana cara membujuk Keenan untuk ikut.

"Kamu tahu akibatnya kalau sampai tidak bisa, Alea. Ingat, Papa mengangkatmu jadi anak bukan cuma-cuma."

Degg! Ancaman itu lagi. Walaupun sudah sering ia dengar, tetap saja kalimat itu begitu menakutkan untuknya.

Alea meremas jemarinya di pangkuan, menunduk dalam-dalam agar ayahnya tidak melihat matanya yang mulai berkaca-kaca. Tenggorokannya tercekat, tapi ia tahu tak ada gunanya melawan.

"Baik, Pa…" suaranya lirih, hampir tak terdengar.

Ayahnya kembali menatap dokumen di atas meja, seolah pembicaraan barusan hanyalah perintah sederhana, bukan sesuatu yang sedang menekan hati seorang anak. "Bagus. Jangan kecewakan Papa."

Alea bangkit perlahan. Setiap langkah menuju pintu terasa berat, seolah kakinya dipaksa melangkah oleh beban yang tak terlihat. Begitu pintu tertutup di belakangnya, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantung yang kacau.

Di lorong yang sepi, Alea menyandarkan tubuhnya ke dinding dingin.

terlihat sosok laki laki dingin menatap dirinya.

"kak Dava, aku ngalangin jalan kakak ya?"

Dava hanya terdiam, dia pun melengos pergi.

Alea menunduk dalam, menggigit bibirnya yang terasa kering. Punggung Dava menjauh tanpa sepatah kata pun, hanya menyisakan dingin yang menempel di dadanya.

Ia menarik napas, mencoba menghapus rasa sesak yang baru saja ditinggalkan lelaki itu. Dava selalu seperti itu tatapannya tajam, sikapnya acuh, seakan kehadiran Alea hanyalah bayangan yang mengganggu jalannya.

Alea melangkah perlahan ke kamarnya. Begitu pintu tertutup rapat, ia langsung menjatuhkan diri di tepi ranjang. Kedua tangannya menutupi wajah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku bukan Alea   bab 6

    *** Terdengar suara ketukan pelan di pintu. Sebelum Alea sempat menyahut, pintu itu sudah terbuka, dan Reyhan melangkah masuk tanpa menunggu izin. "Kamu belum tidur, Lea?" suaranya lembut, tapi terdengar ada sesuatu yang disembunyikan di balik nada tenangnya. Dalam lamunan, tatapanku terhenti pada sosok Reyhan. Tiba tiba ingatan itu muncul di pertengahan novel, dia mati karena overdosis obat. Kematian yang tragis, menyedihkan, dan terasa begitu sia sia. Dadaku sesak membayangkannya. Reyhan yang ada di hadapanku sekarang begitu hangat, begitu baik padaku. dan aku tidak ingin akhir yang kelam itu menjemputnya. Aku harus melakukan sesuatu agar takdirnya berubah. "Kak Reyhan? Ada apa ke sini?" Alea bangkit sedikit, menatap kakaknya yang kini duduk di tepi ranjangnya. Reyhan tersenyum tipis. "Besok kakak mau pergi, Mungkin, sekitar sebulan kakak nggak pulang" Alea menatapnya heran. "Pergi ke mana?" "Traveling" jawab Reyhan ringan, menatap langit langit seolah sedang

  • Aku bukan Alea   bab 5

    ***Keenan masih duduk bersama dua sahabatnya. Kehidupan sekolah seperti ini sangat membosankan menurutnya. Suara riuh obrolan di kantin, dentingan sendok garpu, dan bau makanan bercampur menjadi satu semuanya terasa sama setiap hari. Pandangan matanya melayang keluar jendela, menatap lapangan yang kosong. Sesekali ia menanggapi candaan sahabatnya, tapi pikirannya jauh melayang. Bagi Keenan, sekolah hanyalah rutinitas tanpa tantangan, seperti menonton film yang sudah dihafalnya dari awal sampai akhir. Namun, tatapannya kembali terseret ke arah meja paling pojok. Alea, gadis yang biasanya menghilang di perpustakaan, kini duduk bersama dua orang temannya, wanita pendiam dan gak pernah bergaul itu bagaimana bisa mendapat teman secepat itu. Keenan mengernyit, penasaran. Entah kenapa, kehadiran gadis itu di sini terasa… tidak biasa. Pertunangan mereka memang dirahasiakan dari semua orang. Tidak ada yang tahu, bahkan sahabat terdekat sekalipun. Bagi Keenan, itu bukan sesuatu yang ia b

  • Aku bukan Alea   bab 4

    Keesokan harinya seperti biasa rumah terlalu tenang untuk ukuran tempat tinggal manusia, aku berjalan menyusuri koridor dengan seragam lengkap untuk berangkat sekolah. Mobil sudah siap, memang di luar aku terlihat sebagai putri dari keluarga kaya yang disayang, yang tidak kekurangan apa pun. Tapi hanya aku yang tahu... apa arti dari senyum palsu yang kupakai setiap pagi. Apa artinya berjalan anggun melewati pelayan-pelayan yang diam-diam tahu, tapi memilih pura-pura buta. Apa artinya duduk di bangku belakang mobil mewah, ketika hatiku tertinggal di ruang bawah tanah yang gelap dan dingin itu. "Selamat pagi, Nona Alea," sopir tua yang sudah bekerja belasan tahun menyapaku sambil membukakan pintu. Aku tersenyum kecil, menunduk sopan. "Pagi, Pak Arman." Seperti biasa, dia tidak menatapku lebih dari sepersekian detik. Entah karena menghormatiku... atau karena tahu terlalu banyak dan takut terlibat. Perjalanan ke sekolah selalu hening. Hanya suara mesin dan bisikan pelan dari r

  • Aku bukan Alea   bab 3

    *** Saat makan malam, suasana terasa sunyi. Keluarga angkatku terdiri dari empat orang: ayah, ibu, dan dua kakak laki-laki angkat. Kakak pertamaku sangat dingin, meskipun masih memperlakukanku dengan baik. Tapi entah kenapa, walau ia tak pernah menyakitiku secara langsung, aku selalu merasa takut saat berada di dekatnya. Ada aura berbeda darinya seperti iblis yang menyamar dalam wujud manusia yang rapi. Kehadirannya membuatku tidak nyaman, seolah ada sesuatu yang disembunyikan di balik tatapan dinginnya. Berbeda dengan kakak keduaku. Dia sangat nakal dan cerewet, suka menjahiliku hampir setiap hari. Tapi anehnya, aku justru merasa lebih tenang bersamanya. Aku tidak setakut itu padanya. Bahkan, di antara semua anggota keluarga ini, aku justru lebih mempercayai dia. Saat makan malam masih berlanjut dalam keheningan yang canggung, suara sendok beradu pelan dengan piring porselen menjadi satu-satunya yang terdengar. Tidak ada yang berbicara, tidak ada yang saling menatap. Hanya ke

  • Aku bukan Alea   bab 2

    Setengah jam. Hanya permintaan sederhana. Namun nada tegas Alea tadi, mata yang berkilat penuh amarah bercampur ketakutan menyisakan sesuatu dalam dirinya. Ia melirik Alea sekilas. Gadis itu kini duduk dengan punggung tegak, seolah menahan napas, menunggu waktu berjalan lebih cepat. Jari-jarinya meremas ujung gaunnya, gemetar halus, tapi wajahnya dipaksa tetap datar. Keenan mendengus pelan. "aneh" gumamnya hampir tak terdengar. Alea menoleh cepat. "Apa?" Keenan menatapnya lurus. "Kau. Biasanya diam saja, tapi tiba-tiba berani melempar sepatu dan memerintahku seperti seorang majikan. Apa kau lupa siapa aku?" Alea menahan tatapannya, tak mau terlihat gentar. "Kalau aku diam terus, aku yang hancur. Jadi… untuk sekali ini saja, biarkan aku memerintah." Kalimat itu membuat Keenan terdiam sejenak. Ada kejujuran pahit di dalamnya, sesuatu yang jarang ia dengar dari orang-orang di sekelilingnya apalagi dari seorang wanita yang dipaksa menjadi tunangannya. Hening me

  • Aku bukan Alea   aku bukan alea

    *** Novel ini harusnya hanya fiksi. Kisah klasik tentang pria kaya yang dingin dan wanita yang tak diinginkan siapa pun. Aku pernah membacanya berkali-kali, bahkan hafal dialog beberapa tokohnya. Tapi sekarang, entah bagaimana, aku berada di dalamnya. Bukan sebagai pemeran utama wanita yang akan mencuri hati sang tokoh pria. tapi sebagai Alea, Figuran yang akan dibuang di akhir cerita. Alea. Seorang gadis pendiam yang dibesarkan dalam dinginnya rumah keluarga angkat. Sejak kecil, dia tahu bahwa keberadaannya tidak diinginkan. Dia bukan anak. Dia bukan saudara. Dia hanya "investasi" untuk suatu hari nanti dijual demi membangun koneksi bisnis dengan keluarga Keenan, pewaris perusahaan terbesar dalam cerita ini, sekaligus tokoh utama cerita ini. Dan k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status