Keesokan harinya seperti biasa rumah terlalu tenang untuk ukuran tempat tinggal manusia, aku berjalan menyusuri koridor dengan seragam lengkap untuk berangkat sekolah.
Mobil sudah siap, memang di luar aku terlihat sebagai putri dari keluarga kaya yang disayang, yang tidak kekurangan apa pun. Tapi hanya aku yang tahu... apa arti dari senyum palsu yang kupakai setiap pagi. Apa artinya berjalan anggun melewati pelayan-pelayan yang diam-diam tahu, tapi memilih pura-pura buta. Apa artinya duduk di bangku belakang mobil mewah, ketika hatiku tertinggal di ruang bawah tanah yang gelap dan dingin itu. "Selamat pagi, Nona Alea," sopir tua yang sudah bekerja belasan tahun menyapaku sambil membukakan pintu. Aku tersenyum kecil, menunduk sopan. "Pagi, Pak Arman." Seperti biasa, dia tidak menatapku lebih dari sepersekian detik. Entah karena menghormatiku... atau karena tahu terlalu banyak dan takut terlibat. Perjalanan ke sekolah selalu hening. Hanya suara mesin dan bisikan pelan dari radio. Tapi hari ini berbeda. Hatiku terasa penuh, nyaris meledak. Pagi ini aku bangun dengan satu keputusan: aku tidak bisa terus seperti ini. "Aku ingin berhenti sekolah." Perkataan itu nyaris tak terdengar, hanya gumaman, tapi cukup membuat Pak Arman melirik melalui kaca spion tengah. "Maaf, Nona?" Aku tersadar, menggeleng cepat. "Tidak. Tidak apa-apa." Dia kembali menatap ke depan, tapi aku tahu aku harus mulai dari suatu tempat. Jika aku ingin menciptakan tempatku sendiri di dunia ini, aku harus keluar dari lingkaran mereka. Dari topeng ini. Dari kandang emas yang mereka bangun untuk mengurungku. Aku bukan Alea. Aku hanya seseorang yang terjebak di tubuhnya. Langit pagi masih abu-abu ketika mobil berhenti di depan gerbang sekolah. Seperti biasa, beberapa siswa lain sudah berdatangan, wajah mereka cerah, tawa mereka ringan. Dunia mereka tampak normal, bebas dari belenggu. Aku turun dengan langkah anggun, gaun seragamku jatuh sempurna tanpa lipatan. Seolah aku memang dilahirkan untuk memainkan peran ini. Namun, di dalam dadaku, sesuatu bergetar hebat. Langkahku berhenti sesaat ketika melewati sekelompok siswi yang langsung menunduk sopan. Aku bisa merasakan tatapan mereka di punggungku ada yang iri, ada yang kagum, dan ada pula yang hanya pura-pura. Tapi aku di sini hanya peran piguran, waktu pertama kali aku memasuki sekolah aku tidak punya teman sama sekali, karena Alea yang asli sangat tertutup dan pendiam, dia tidak berteman dengan siapapun. hingga akhirnya aku mencoba berteman dengan mereka, awalnya mereka seperti canggung dan engga berteman tapi sekarang mereka sudah menjadi teman dekatku. "Alea" kedua temanku Clarissa dan Kayla memanggil barengan. suasana hati yang rumit sekarang sedikit terobati. Hari ini sudah pertengahan Juni. Airin atau Alea masih mengingat dengan jelas bahwa pemeran utama wanita baru akan datang pada bulan Agustus. Masih ada waktu sekitar satu bulan sebelum gadis itu muncul. Dia adalah siswi pindahan dari keluarga kurang mampu yang beruntung mendapatkan beasiswa. Kehadirannya kelak akan memicu masalah dengan Keenan Alvarez, si preman sekolah, hingga hubungan mereka berubah dari saling benci menjadi saling jatuh cinta persis seperti kisah klasik dalam novel pada umumnya. Aku tersenyum tipis mendengar suara Clarissa dan Kayla. Mereka berdua mendekat dengan wajah ceria, seolah tak ada beban yang menekan pundak mereka. Sungguh berbeda denganku yang setiap langkahnya terasa seperti memikul rahasia besar. "Alea, kamu nggak apa-apa? Dari tadi kok bengong," tanya Kayla sambil menepuk pelan lenganku. Aku menggeleng cepat, menyembunyikan kegalauan di balik senyum yang kulatih bertahun-tahun. "Nggak, cuma lagi kepikiran aja." Clarissa mengerling nakal. "Kepikiran apa? Clarissa dan Kayla saling pandang lalu cekikikan, seolah tahu sesuatu yang tidak kuketahui. Tapi mereka tidak menekannya lebih jauh. Di dalam kelas, suasana masih cukup lengang. Beberapa siswa sudah duduk di bangku mereka, sibuk dengan gawai atau buku. Aku meletakkan tas di meja, lalu menghela napas panjang. Satu bulan lagi. Hanya tujuh hari sebelum roda cerita mulai berputar ke arah yang seharusnya. Begitu gadis itu datang, aku tahu semua perhatian akan tertuju padanya. Hidupnya mungkin penuh kesulitan, tapi dia akan mendapatkan sesuatu yang selalu kuinginkan: kebebasan memilih takdirnya sendiri. *** aku menatap Clarissa temanku yang terlihat polos dan ceria, tapi jangan salah Clarissa juga termasuk bagian dari cerita ini, dia adalah antagonis dari novel ini, aku tidak tahu apa yang membuat dia menjadi antagonis tapi yang ku tahu Clarissa adalah teman yang baik. Kenapa orang yang terlihat sebaik dan sepolos ini bisa menjadi antagonis? Apa karena cintanya yang begitu besar pada Keenan? Kalau dia tahu aku adalah tunangan Keenan apa yang akan terjadi? Pemikiran Alea terus berkecamuk. Tak lama Keenan dan ke dua sahabatnya memasuki kantin dan membuat heboh semua siswa hanya Alea yang acuh dan asik dengan makanannya. Keenan menatap ke arah Alea dia heran melihat Alea di kantin yang biasanya anak itu berada di perpustakaan untuk belajar, wanita membosankan menurutnya. Alea merasakan tatapan itu, tapi tetap menunduk, fokus pada makanannya. Keenan baru saja memasuki kantin bersama Raiden dan Farel. Suasana langsung ramai, suara bisik-bisik dan cekikikan siswi memenuhi ruangan. Ia tidak menanggapi—hanya berjalan santai menuju meja langganannya. Matanya sekilas menyapu ruangan, lalu berhenti pada sosok Alea. Alisnya terangkat tipis. Aneh… biasanya dia di perpustakaan. Tidak ada senyum, tidak ada sapa. Hanya tatapan singkat yang segera ia alihkan kembali. Baginya, itu tidak lebih dari hal kecil yang tak perlu dipikirkan. Clarissa, yang duduk di hadapannya, langsung melirik ke arah pintu. Senyum tipis terbit di wajahnya begitu melihat Keenan. "Keenan datang," bisiknya pada Kayla, suaranya nyaris penuh kegirangan. Kayla ikut menoleh. "Iya, seperti biasa, semua mata ke dia." Alea terdiam melihat tingkah Clarissa yang yang terlihat salah tingkah. Tak lama diapun bersuara. "Kamu suka dia?" Tanya Alea. " Memangnya ada di sini yang gak suka dia" ucap Clarissa "Memangnya apa bagusnya dia" ucap Alea membuat Clarissa dan Kayla menatapnya. "kamu beneran nggak lihat dia sesempurna itu?" tanya Clarissa, menatap Alea seolah mendengar hal paling aneh di dunia. Alea mengangkat bahu santai. "Yang aku lihat cuma cowok sombong yang punya banyak fans" Kayla terkekeh, menutupi mulutnya. "kamu berani banget ngomong gitu di sekolah ini. Hati-hati, fansnya banyak banget" Clarissa mendengus kecil, tapi matanya masih mengikuti Keenan yang kini duduk bersama Raiden dan Farel di meja seberang. "Kamu nggak ngerti. Dia itu… pintar, keren, berwibawa. Semua cewek pasti mau jadi pacarnya." Alea memutar sendok di dalam mangkuknya, menahan senyum tipis. Kalau mereka tahu aku ini tunangannya, kira-kira ekspresi mereka bakal seperti apa? Clarissa menoleh lagi ke Alea. "Kamu nggak pernah ngobrol sama dia, kan?" "kenapa? Memangnya aku harus?" balas Alea tenang. Clarissa terdiam sejenak, bibirnya melengkung membentuk senyum yang sulit dibaca. "Nggak… cuma penasaran aja." Alea menatap balik, kali ini lebih dalam. Senyum Clarissa tetap manis, tapi Alea menangkap kilatan kecil di matanya kilatan yang membuatnya yakin, cepat atau lambat, akan ada badai di antara mereka.*** Terdengar suara ketukan pelan di pintu. Sebelum Alea sempat menyahut, pintu itu sudah terbuka, dan Reyhan melangkah masuk tanpa menunggu izin. "Kamu belum tidur, Lea?" suaranya lembut, tapi terdengar ada sesuatu yang disembunyikan di balik nada tenangnya. Dalam lamunan, tatapanku terhenti pada sosok Reyhan. Tiba tiba ingatan itu muncul di pertengahan novel, dia mati karena overdosis obat. Kematian yang tragis, menyedihkan, dan terasa begitu sia sia. Dadaku sesak membayangkannya. Reyhan yang ada di hadapanku sekarang begitu hangat, begitu baik padaku. dan aku tidak ingin akhir yang kelam itu menjemputnya. Aku harus melakukan sesuatu agar takdirnya berubah. "Kak Reyhan? Ada apa ke sini?" Alea bangkit sedikit, menatap kakaknya yang kini duduk di tepi ranjangnya. Reyhan tersenyum tipis. "Besok kakak mau pergi, Mungkin, sekitar sebulan kakak nggak pulang" Alea menatapnya heran. "Pergi ke mana?" "Traveling" jawab Reyhan ringan, menatap langit langit seolah sedang
***Keenan masih duduk bersama dua sahabatnya. Kehidupan sekolah seperti ini sangat membosankan menurutnya. Suara riuh obrolan di kantin, dentingan sendok garpu, dan bau makanan bercampur menjadi satu semuanya terasa sama setiap hari. Pandangan matanya melayang keluar jendela, menatap lapangan yang kosong. Sesekali ia menanggapi candaan sahabatnya, tapi pikirannya jauh melayang. Bagi Keenan, sekolah hanyalah rutinitas tanpa tantangan, seperti menonton film yang sudah dihafalnya dari awal sampai akhir. Namun, tatapannya kembali terseret ke arah meja paling pojok. Alea, gadis yang biasanya menghilang di perpustakaan, kini duduk bersama dua orang temannya, wanita pendiam dan gak pernah bergaul itu bagaimana bisa mendapat teman secepat itu. Keenan mengernyit, penasaran. Entah kenapa, kehadiran gadis itu di sini terasa… tidak biasa. Pertunangan mereka memang dirahasiakan dari semua orang. Tidak ada yang tahu, bahkan sahabat terdekat sekalipun. Bagi Keenan, itu bukan sesuatu yang ia b
Keesokan harinya seperti biasa rumah terlalu tenang untuk ukuran tempat tinggal manusia, aku berjalan menyusuri koridor dengan seragam lengkap untuk berangkat sekolah. Mobil sudah siap, memang di luar aku terlihat sebagai putri dari keluarga kaya yang disayang, yang tidak kekurangan apa pun. Tapi hanya aku yang tahu... apa arti dari senyum palsu yang kupakai setiap pagi. Apa artinya berjalan anggun melewati pelayan-pelayan yang diam-diam tahu, tapi memilih pura-pura buta. Apa artinya duduk di bangku belakang mobil mewah, ketika hatiku tertinggal di ruang bawah tanah yang gelap dan dingin itu. "Selamat pagi, Nona Alea," sopir tua yang sudah bekerja belasan tahun menyapaku sambil membukakan pintu. Aku tersenyum kecil, menunduk sopan. "Pagi, Pak Arman." Seperti biasa, dia tidak menatapku lebih dari sepersekian detik. Entah karena menghormatiku... atau karena tahu terlalu banyak dan takut terlibat. Perjalanan ke sekolah selalu hening. Hanya suara mesin dan bisikan pelan dari r
*** Saat makan malam, suasana terasa sunyi. Keluarga angkatku terdiri dari empat orang: ayah, ibu, dan dua kakak laki-laki angkat. Kakak pertamaku sangat dingin, meskipun masih memperlakukanku dengan baik. Tapi entah kenapa, walau ia tak pernah menyakitiku secara langsung, aku selalu merasa takut saat berada di dekatnya. Ada aura berbeda darinya seperti iblis yang menyamar dalam wujud manusia yang rapi. Kehadirannya membuatku tidak nyaman, seolah ada sesuatu yang disembunyikan di balik tatapan dinginnya. Berbeda dengan kakak keduaku. Dia sangat nakal dan cerewet, suka menjahiliku hampir setiap hari. Tapi anehnya, aku justru merasa lebih tenang bersamanya. Aku tidak setakut itu padanya. Bahkan, di antara semua anggota keluarga ini, aku justru lebih mempercayai dia. Saat makan malam masih berlanjut dalam keheningan yang canggung, suara sendok beradu pelan dengan piring porselen menjadi satu-satunya yang terdengar. Tidak ada yang berbicara, tidak ada yang saling menatap. Hanya ke
Setengah jam. Hanya permintaan sederhana. Namun nada tegas Alea tadi, mata yang berkilat penuh amarah bercampur ketakutan menyisakan sesuatu dalam dirinya. Ia melirik Alea sekilas. Gadis itu kini duduk dengan punggung tegak, seolah menahan napas, menunggu waktu berjalan lebih cepat. Jari-jarinya meremas ujung gaunnya, gemetar halus, tapi wajahnya dipaksa tetap datar. Keenan mendengus pelan. "aneh" gumamnya hampir tak terdengar. Alea menoleh cepat. "Apa?" Keenan menatapnya lurus. "Kau. Biasanya diam saja, tapi tiba-tiba berani melempar sepatu dan memerintahku seperti seorang majikan. Apa kau lupa siapa aku?" Alea menahan tatapannya, tak mau terlihat gentar. "Kalau aku diam terus, aku yang hancur. Jadi… untuk sekali ini saja, biarkan aku memerintah." Kalimat itu membuat Keenan terdiam sejenak. Ada kejujuran pahit di dalamnya, sesuatu yang jarang ia dengar dari orang-orang di sekelilingnya apalagi dari seorang wanita yang dipaksa menjadi tunangannya. Hening me
*** Novel ini harusnya hanya fiksi. Kisah klasik tentang pria kaya yang dingin dan wanita yang tak diinginkan siapa pun. Aku pernah membacanya berkali-kali, bahkan hafal dialog beberapa tokohnya. Tapi sekarang, entah bagaimana, aku berada di dalamnya. Bukan sebagai pemeran utama wanita yang akan mencuri hati sang tokoh pria. tapi sebagai Alea, Figuran yang akan dibuang di akhir cerita. Alea. Seorang gadis pendiam yang dibesarkan dalam dinginnya rumah keluarga angkat. Sejak kecil, dia tahu bahwa keberadaannya tidak diinginkan. Dia bukan anak. Dia bukan saudara. Dia hanya "investasi" untuk suatu hari nanti dijual demi membangun koneksi bisnis dengan keluarga Keenan, pewaris perusahaan terbesar dalam cerita ini, sekaligus tokoh utama cerita ini. Dan k