Share

Chapter 3 Mendekat VS Menjauh

Aku tidak tahu bagaimana hubungan ku dengan dia menjadi dekat. Mungkin karena project film yang membuat intensitas pertemuan dan interaksi kita yang semakin sering hingga tanpa sadar membuat kita dekat. Apalagi aku memiliki scene beradu akting dengannya, jadi kita sering berdiskusi berdua dan berlatih dialog. Rasanya senang sekali, bisa tertawa dengannya meskipun mungkin dia hanya menganggap ku teman.

Kenangan saat itu sangat melekat di pikiran ku dan membekas di hati ku, tentu saja. Pernah satu waktu ketika kita berunding tentang improvisasi dialog dia tersenyum pada ku, itu adalah senyuman pertama dia untukku.

“Kalau bagian ini ditambah kaya gini ‘Di kampus ku em.. aku adalah aktivis anti korupsi dan.. sekarang tidak mungkin aku lulus PNS karena.. suap ayah ku. Itu pasti tidak benar kan?’ Gimana bagus gak?” tanya ku padanya.

“Bagus. Coba kamu tulis.” balasnya dengan nada datar.

“Ok.. Eh barusan kata – katanya gimana ya, Dza? Hehe aku lupa lagi” tanya ku dengan wajah bloon karena sifat pelupa ku.

Dari wajah datar, wajah Dzaqi menjadi terkejut keheranan lalu tersenyum karena tingkah ku.

“Masih muda kan?”

Mendengar pertanyaan dia saat itu aku malu sekali tapi rasanya manis bila diingat seperti ini. Hm, aku jadi merindukannya.

Waktu itu kita juga berakting dibawah gerimis hujan. Entah karena kedinginan entah gugup aku salah dialog terus saat itu kadang mulut ku belibet mengucapkan kata – kata dialognya. Aku malu sama dia, disisi lain aku juga kasihan dia pasti kedinginan karena air hujan. Tapi dengan wajah datar dia mengatakan agar aku tenang, jangan tergesa – gesa, dan perlahan ingat – ingat lagi dialognya bagaimana. Sementara yang lain hanya melihat kita dari teras bangunan. Seolah – olah film romansa yang sudah diatur.

Kedekatan kita itu membuat aku tidak lagi malu kala dia memandang ku di kelas. Ya, kebiasaannya yang suka memandang ku saat jam perkuliahan masih saja tidak berhenti. Meskipun tatapannya masih saja tanpa senyum. Bahkan terkadang aku juga membalas memandangnya, itu juga tergantung dosennya siapa hehe.

Ah ya masalah rasa bersalah ku padanya, pada akhirnya terlupakan karena hubungan kita yang semakin dekat. Ku pikir dia baik – baik saja pada ku meskipun aku telah menyinggung perasaannya. Lagipula dia pasti tahu kalau ini hanya kebetulan saja dan tidak disengaja.

***

Kalian ingat Riana? Teman pertama ku di kampus. Dia menghubungi ku, menanyakan apakah ada laki – laki yang ku suka di kampus. Padahal dia bukan tipe orang yang ingin tahu tentang masalah pribadi ku. Saat itu aku berpikir mungkin ini saatnya aku membuka diri pada Riana. Kita berteman maka keterbukaan dan kepercayaan adalah hal utama yang diperlukan. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku menyukai Dzaqi dan aku memintanya untuk tidak mengatakannya ke siapapun. Dia tentu saja menyetujuinya dan mendukung ku.

Namun, aku rasa keputusan ku memberitahunya adalah keputusan yang salah. Semenjak aku jujur kepadanya, dia bertingkah menyebalkan pada ku. Di kampus ketika Dzaqi melewati kami, Riana sering menyenggol – nyenggol badan ku dengan lirikan matanya dari ku ke arah Dzaqi. Dia juga pernah memanggil – manggil nama Dzaqi tidak jelas di kelas dengan suara lantang, kemudian mengejekku karena aku duduk bersampingan dengan Dzaqi. Untungnya Dzaqi cuek tidak memperdulikan dia. Perlakuannya ini awalnya aku anggap hanya becanda tapi lama kelamaan aku merasa seolah – olah dia sedang mengolok – ngolok ku.

“Aku sangat tidak menyukai perlakuan Riana. Aku pikir dia teman yang cukup pengertian. Tapi aku juga tidak bisa begitu saja memutuskan pertemanan karena masalah sepele, apalagi hanya karena perasaan remeh yang bernama cinta.” Oceh ku sendirian.

Ping..

Notifikasi pesan membuyarkan lamunan ku malam itu. Ku lihat nama Riana yang mengirimi ku pesan. Hm panjang umur.

Riana

Di, aku mau jujur sama kamu. Aku tidak bermaksud apa – apa tapi aku beritahu kamu satu hal tentang Dzaqi, dan kamu wajib tahu.

Aku

Apa itu?

Riana

Sebenarnya Dzaqi sempat mendekati ku. Dia bilang menyukai ku bahkan dia sering mengirimi ku pesan. Tapi kamu tahu kan sifat dia cuek banget jadinya aku gak terima dia, apalagi saat itu Chandra tembak aku juga. Jadi aku pilih Chandra yang sudah jelas – jelas ganteng dan perhatian.

Riana

Eh ini gak ada maksud apa – apa loh ya Di..

Aku

Oh iya gak apa – apa kok Na, thanks ya.

Hancur, itu merupakan kata yang tepat yang menggambarkan perasaan ku saat itu. Mungkin karena alasan itu Riana bersikap menyebalkan, dia menyukai Dzaqi tapi Dzaqi tidak cukup perhatian. Sehingga ketika dia tahu aku menyukainya dia merasa cemburu.

Tentu saja Dzaqi menyukai Riana yang cantik dan populer dari angkatan kami. Apalah aku yang hanya gadis biasa, badan ku saja mungil tidak memiliki badan ideal seperti gadis lain. Tidak heran Dzaqi menghindari ku. Setelah kejadian Riana memanggil – manggil Dzaqi di kelas waktu itu, Dzaqi seperti berusaha menjauhi ku. Awalnya aku tidak menyadarinya tapi setelah dipikir – dipikir lagi sudah beberapa hari dia menghindari berpapasan dengan ku, dan tidak duduk disamping ku, dia memilih duduk di kursi paling belakang. Ku pikir Riana yang menjadi alasannya.

“Ya ampun Diza kan sudah dibilangin jangan jatuh cinta lagi, sudah sakit kayak gini baru tahu rasa.” Omel ku malam itu.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status