Berhari – hari bayangan wajahnya terus ada di pikiran ku. Itu membuat kegundahan dalam hati ku semakin besar. Aku benci mengakui bahwa aku tertarik padanya. Sudah ku bilang aku tak ingin hati ku patah lagi karena cinta. Tapi aku juga sudah muak dengan perasaan yang tak ku mengerti ini. Ini mengusik ku, aku tak bisa fokus kerja dan mengerjakan tugas kuliah yang lainnya. Apakah aku harus berhenti mengelak pada diri ku sendiri? Bahwa tidak ada salahnya merasakan jatuh cinta kembali. Semoga saja ini yang terakhir dan berakhir bahagia. Tapi tak ada kata bahagia untuk perasaan sepihak bukan? Ah entahlah.
Namun sekerasnya hati ku mengelak, hati ku akan terhanyut kala mengetahui dia selalu memandang ku bahkan pada saat perkuliahan berlangsung. Ya, aku tahu tentu saja karena aku melihatnya dengan mata ku sendiri saat dia melihat ke arah ku bahkan dia tak berhenti melihat ku ketika aku membalas melihatnya. Hingga akhirnya aku sendiri yang malu dan memutuskan pandangan ku darinya. Kejadian seperti ini bukan hanya sekali dua kali bisa dikatakan sering aku memergokinya sedang melihat ku. Jujur saja aku tak ingin ini hanya kepedean ku saja, jadi aku memutuskan untuk bercerita kepada Riana, dan menanyakan dari sisi pandangnya apakah yang dilihat Dzaqi adalah aku. Tapi saat itu rasanya perlu keberanian untuk bisa bercerita padanya, aku tak pernah cerita hal yang pribadi tentang ku padanya, meskipun kita teman.
***
Hari minggu tiba, hari dimana tak ada jadwal perkuliahan. Namun saat itu aku ada pertemuan diskusi pembuatan film dengan semua anggota termasuk Dzaqi. Kami bertemu di kampus. Meskipun tak ada perkuliahan masih ada mahasiswa yang berada di kampus, kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa yang aktif di organisasi.
Aku dan Furi sampai paling awal, kemudian disusul dengan Airin dan Anita. Sembari menunggu anggota lain, kami semua mengobrol dari mulai basa – basi sampai pada topik tentang Dzaqi. Aku tidak tahu siapa yang memulai pembicaraan tentangnya yang pasti bukan aku. Oh ya, narasumber dari cerita tentang Dzaqi ini adalah Furi. Dia ternyata teman satu SMA, SMP, bahkan SD-nya Dzaqi. Intinya mereka berteman cukup lama dan dekat. Saking dekatnya kadang Dzaqi sering curhat padanya. Aku tahu ini dari Furi juga.
“Gimana ya rasanya jadi Dzaqi anak pertama dari Pak Arif?” ujar Anita kala itu.
“Justru gue penasaran, bosan gak ya dia terus sekolah di tempat yang dikelola sama bokapnya mulu? Soalnya gue juga begitu, dari SMP sampai SMA di sekolah kakek gue mulu, benar – benar bosan” balas Airin.
“Kalau gue sih gue yang bosan ketemu si Dzaqi mulu” balas Furi.
“Pak Arif itu yang suka di kampus kan ya? Beliau dosen matkul apa?” tanyaku.
“Iya Pak Arif yang sering patroli di kampus. Dia dulu pernah ngajar juga tapi sekarang enggak. Cukup jadi pemilik, duit ngalir.” Jawab Furi.
“Pemilik? Maksudnya pemilik kampus?” tanya ku lagi.
“Heueuh”
Ini bukan cerita w*****d atau novel kan? Dimana tokoh utamanya adalah seorang laki – laki tampan yang merupakan anak dari pemilik kampus yang disukai banyak mahasiswi di kampus. Aku benar – benar baru tahu saat itu siapa dia sebenarnya.
“Eh Nis sudah pada datang?”
Si tokoh utama rupanya sudah datang, batin ku.
“Iya, lama banget lo Qi” balas Furi
Tadi Dzaqi manggil Nis ke Furi? Hm mereka juga punya nama panggilan masing – masing ternyata, oceh ku dalam batin. Sepertinya badan ku langsung lemas, sahabat jadi cinta banyak terjadi kan?
***
Saat itu aku sudah katakan aku tidak tahu apapun tentang dia, termasuk masalah yang sedang dia hadapi yang ternyata hampir sama dengan naskah cerita film yang ku buat. Furi memberitahu ku ketika pulang, hm aku merasa bersalah dia pasti tersinggung dan merasa terluka.
Seperti yang direncanakan, setiap anggota akan mempresentasikan ide naskah cerita masing – masing. Dari lima ide cerita, ide cerita dari ku dan Furi yang terpilih. Namun tidak mungkin kami menggunakan ke dua cerita, jadi untuk memutuskan mana yang akan digunakan kami melakukan voting.
Layaknya dalam film, awal voting untuk ku dan Furi seri, tinggal Dzaqi yang memilih. Jantung ku rasanya dag dig dug siapa yang dia pilih. Jujur saja aku berharap dia memilih cerita ku tapi jreng jreng dia memilih cerita Furi. Lemas, badan ku langsung lemas rasanya. Aku pikir dia akan memilih cerita ku. Hm mungkin benar Dzaqi sepertinya menyukai Furi, aku hanya kepedean.
Aku berjalan pulang dengan badan lemas. Meskipun Dzaqi sempat bertanya kepada ku rasanya tetap saja lemas. Maksud ku dia bukan bertanya kenapa aku terlihat lemas tapi dia bertanya apakah benar aku bekerja sebagai guru. Jadi, setelah selesai diskusi waktu itu kami mengobrol ngaler ngidul termasuk tentang pekerjaan. Entah siapa yang bilang kalau aku guru aku tak fokus dalam obrolan, mungkin saja Anita. Dia teman Riana yang sempat main bareng dengan ku. Hingga akhirnya keluar lah pertanyaan Dzaqi itu kepada ku.
“Di..!!” teriak Furi dari arah belakang ku.
“Ya, ada apa Ri?”
“Mau pulang ya?” tanyanya menghampiri ku.
“Iya, kenapa?”
“Bareng, sambil aku mau ngobrol sama kamu. Naik angkot ya?”
“Iya naik angkot, kamu juga?”
“Haha enggak, rumah ku di belakang kampus, deket rumah Dzaqi”
“Oh..”
Hm kayanya ada hal penting sampai bela – belain cegat aku begini, batin ku.
Kami berjalan tanpa sepatah kata pun yang keluar. Aku bingung katanya ada yang mau dibicarakan tapi kenapa dia diam saja. Apa ini menyangkut tentang Dzaqi? Apa rasa suka ku kepada Dzaqi sangat terlihat?
“Kamu nungguin angkot disini, Di?” tanyanya membuyarkan lamunan ku.
“Ah ya disini biar gampang.”
“Di, tadi ide cerita kamu bagus loh.”
“Ini bukan basa – basi karena merasa bersalah kepada ku kan?” canda ku
“Hahaha enggak lah. Beneran ide cerita kamu sebenarnya bagus tapi kebetulan saja cerita kamu mirip kaya kisah hidup Dzaqi. Jadi dia pilih cerita ku.”
“Maksudnya?” tanya ku lemas
“Ide cerita kamu kan tentang seorang anak koruptor yang ditekan oleh ayahnya untuk menjadi dokter sampai dia bunuh diri. Dzaqi juga gitu, ayahnya emang bukan koruptor tapi ayahnya sering ngatur dia termasuk ingin Dzaqi jadi dokter. Dia sudah ikut ujian kedokteran di kampus negeri tapi gak lulus, dari mulai SNMPTN, SBMPTN bahkan sampe UMPTN tapi tetap saja gak lulus karena minat Dzaqi bukan itu. Sekarang pun dia ikutan bimble biar tahun depan bisa masuk kedokteran. Makanya untuk sementara dia kuliah disini dulu.”
“...” blank, aku tidak tahu harus ngomong apa.
“Aku tahu kamu gak bermaksud menyinggung dia, kamu juga pasti baru tahu. Yang lain juga gak ada yang tahu, jadi jangan dikasih tahu ke siapa – siapa ya?” sambungnya
“Hm.. iya enggak.”
Tin tin tinn
“Pulang neng?” tanya supir angkot yang baru saja datang.
“Iya mang”
“Aku pulang duluan ya. Makasih sudah kasih tahu aku.” Ujar ku kepada Furi
“Sip” balasnya sembari tersenyum kepada ku.
Jadi, itu alasan dia tidak memilih ide cerita ku. Dia pasti terluka. Aku merasa bersalah banget sama dia, pikir ku sembari melihat jalanan yang dilewati.
***
Aku tidak tahu bagaimana hubungan ku dengan dia menjadi dekat. Mungkin karena project film yang membuat intensitas pertemuan dan interaksi kita yang semakin sering hingga tanpa sadar membuat kita dekat. Apalagi aku memiliki scene beradu akting dengannya, jadi kita sering berdiskusi berdua dan berlatih dialog. Rasanya senang sekali, bisa tertawa dengannya meskipun mungkin dia hanya menganggap ku teman. Kenangan saat itu sangat melekat di pikiran ku dan membekas di hati ku, tentu saja. Pernah satu waktu ketika kita berunding tentang improvisasi dialog dia tersenyum pada ku, itu adalah senyuman pertama dia untukku. “Kalau bagian ini ditambah kaya gini ‘Di kampus ku em.. aku adalah aktivis anti korupsi dan.. sekarang tidak mungkin aku lulus PNS karena.. suap ayah ku. Itu pasti tidak benar kan?’ Gimana bagus gak?” tanya ku padanya. “Bagus. Coba kamu tulis.” balasnya dengan nada datar.
Aku menyerah. Ya.. sebelum perasaan ini semakin dalam aku memutuskan untuk menyerah. Dari awal ini hanya perasaan sepihak dan aku tidak memiliki keinginan untuk memilikinya, maka tidak akan sulit untuk melepaskan perasaan ini. Perasaan ini hanya akan menjadi boomerang untuk hubungan ku dan Riana.Lagipula Dzaqi semakin hari semakin menjauhi ku. Itu bukan asumsi ku saja tapi memang dia melakukannya. File video hasil syuting rencananya akan kita edit bersama, mendadak dia berikan padaku lewat Furi. Dia bilang dia sedang sibuk sebaiknya menggunakan jasa pengeditan saja biar bagus juga hasilnya. Aku bisa terima alasannya itu tapi kenapa harus dia titip lewat Furi tidak diberikan langsung padaku padahal kita satu kelas. Sikapnya itu sangat kentara. Namun harus bagaimana lagi, bukankah ini hal baik agar aku mudah mengikhlaskan perasaan ku padanya.***“Gue heran kenapa banyak cewek yang suka sama Qiqi? Ganteng j
Saat ini aku sedang melihat foto bersama satu kelas yang dulu kami ambil di foto studio. Aku ingin tertawa melihat wajah ku yang tersenyum kaku haha. Hm, tak terasa momen itu sudah lama berlalu padahal rasanya baru kemarin aku merasa canggung karena harus berdekatan dengannya.Kala itu entah siapa yang mengatur posisi yang pasti tiba – tiba saja dia berdiri membelakangi ku dan berjongkok sementara photografer menginstrusikan kami untuk berpose ceria namun terlihat natural. Aku kira aku sudah berusaha untuk terlihat baik namun hasilnya malah menggelikan. Senyuman ku terlihat sekali kaku. Untung saja aku bukan model jadi tidak akan ada yang menuntut atau memarahi ku karena wajah konyol ku itu.Aku ingat sekali setelah pengambilan foto kami pergi jalan – jalan. Lalu kami pergi ke sebuah restoran makan cepat saji untuk makan bersama. Disana kami mengobrol segala hal terutama topik tentang dosen killer.S
Setelah mengantarkan ku pulang pada hari itu sikap Dzaqi kembali dingin seolah yang memberikan perhatian kala itu adalah orang yang berbeda. Untuk apa dia melarang ku berhubungan dengan Riana seolah – olah peduli pada ku jika pada akhirnya dia menjauhi ku lagi.“Masa bodo! Aku akan tetap berteman dekat dengan Riana. Ini hidup ku untuk apa dia ikut campur memangnya siapa dia.” Omel ku sendiri di kamar.Ping.!RianaLagi ngapain Di?AkuLagi rebahan. Kenapa Na?RianaKamu sudah bilang suka belum ke Dzaqi?AkuKenapa?Maksudnya apa coba tanya begitu. Aku lagi sensi kalau bahas soal Dzaqi, si cowok nyebelin bin aneh bin suka PHP*in anak orang.*PHP: Pemberi harapan palsu
Diatas kasur kamar ku, aku meringkuk kesakitan karena asam lambung ku kambuh. Orang tua ku menyarankan aku untuk beristirahat sementara waktu sesuai saran dari dokter. Kebetulan juga kala itu perkuliahan dan mengajar di PAUD sedang libur semester maka aku bisa istirahat tanpa memikirkan masalah absensi.Namun karena aku sakit, aku tidak bisa ikut pendakian ke gunung Guntur. Jujur saja aku sempat kecewa tapi aku sadar bahwa Tuhan lebih tahu batas kesehatan tubuh ku. Lagipula aku bukan tipe orang yang suka hiking ke gunung, aku lebih menyukai pantai. Alasan aku ingin ikut pendakian kala itu karena Dzaqi. Bukan karena dia mengajakku, dia tidak melakukan itu sama sekali tapi aku yang ingin bersamanya. Aku ingin tahu apa dia akan peduli pada ku saat pendakian setelah mendiamkan ku berhari – hari. Tapi rencana hanya sekedar rencana aku justru sakit dua hari sebelum pemberangkatan.Tepat di ha
Mengapa kala itu aku ingin dia menghubungi ku dan mengapa aku harus merasa sedih kala dia tidak menghubungi ku. Kami tidak pernah saling berkirim pesan sebelumnya layaknya sepasang insan yang sedang dalam tahap pendekatan ataupun hubungan spesial. Dia tidak pernah mengatakan dia tertarik pada ku ataupun menyukai ku. Dia hanya pernah berbincang berdua dengan ku karena tugas kuliah dan dia hanya pernah sekali mengantarkan ku pulang sebagai bentuk membantu teman. Dia memang pernah mengatakan agar aku tidak berhubungan dengan Riana tapi bisa saja itu hanya bentuk peduli atau mengingatkan sebagai seorang teman. Lalu mengapa aku menganggap hal itu sebagai bentuk perhatian dan menganggap bahwa kami dekat lebih dari seorang teman? Sementara apa yang dia lakukan tidak ada yang spesial.Saat itu harusnya aku sadar bahwa perlakuan dia kepada ku sama saja dengan perlakuan dia ke Furi. Furi sempat bercerita kepada ku bahwa Dzaqi pernah memarahi seorang supir mobil bak
Malam setelah aku pulang dari rumah Furi, cerita mengenai Dzaqi berlanjut antara aku dan Airin. Awalnya aku tidak berniat untuk bercerita lebih lanjut namun suasana malam itu membuat aku ingin bercerita pada Airin. Aku sebenarnya tempat curhat semua orang yang dekat dengan ku namun aku tidak punya tempat curhat untukku sendiri, dan aku menemukan Airin sebagai seorang teman yang perhatian. Apalagi dia terlalu pandai dalam membaca suasana hati ku, padahal aku bukan orang yang cukup ekspresif terhadap perasaan sendiri.Saat itu kita sedang bertelepon menceritakan tentang hidup. Dari mulai hal yang meresahkan sampai hal yang menyenangkan. Kita berdua sangat tertarik dengan ilmu psikologi, jadi kita sering membahasnya dengan kehidupan sosial kita.“Jadi, ada apa dengan Dzaqi?”“Haha tiba – tiba. Ada apa dengan Rangga kali Rin.”“Lo dong Cinta-nya.”
“Gue salah gak sih Rin jawab kek gitu? Abisnya gue bingung maksud dia tiba – tiba bahas kecuekannya. Maksudnya itu dia tolak gue secara halus makanya dia minta maaf atau dia mau bilang dia benar perduli sama gue tapi maaf kalau keliatannya cuek karena itu sifatnya, begitu? Gimana menurut lo?”“Hm jawaban dia klise banget ya. Pas lo sindir soal ceweknya yang banyak saja dia gak jawab malah nanya balik.”“Itulah, apa gue minta saran saja ke Chandra ya? Mungkin sama – sama cowok akan lebih paham.”“Iya coba saja.”***Singkat cerita, aku melakukan niat ku untuk meminta saran Chandra. Kebetulan kala itu kami berdua sedang menunggu yang lain di kantin. Dengan hati – hati tanpa menyebutkan nama aku bercerita kepadanya.“Chan, kalau cowok bilang ‘maaf kalau aku keliatan cuek dan gak