Share

bab. 3 daging asap

“Mas Zulkifli,” terdengar teriakan dari dalam toko tersebut.

Aku membalikkan tubuhku, melihat ke sumber suara, seorang wanita memakai gamis berwarna merah muda dengan jilbab yang menjuntai ke bawah. Istri sah nya Mas Zul kah?

“Karisa?”

Wanita cantik tersebut menunduk seolah memberikan salam.

“Assalamualaikum, Ustad.”

“Waalaikumsalam, Karisa.”

“Saya kira ini Mbak Zahra, mohon maaf Ustad, wanita ini siapa?” ucap wanita tersebut ke arahku. Matanya penuh selidik seakan aku adalah tersangka dalam sebuah kasus. Dari salam dan pembicaraan mereka aku yakin, ia bukan istri Mas Zul. Istri Mas Zul bernama Zahra, nama yang cantik. 

“Umi, cepetan!” 

“Baik, Abi.”

“Maaf, Mas Zul. Saya permisi dulu. Titip salam buat Mbah Zahra.” 

Wanita itu bergegas pergi menghampiri lelaki yang sudah siap siaga di mobilnya, sepertinya ia adalah suami dari Mbak Karisa itu.

Aku kembali duduk di kursi panas ini, ya kursi panas yang mampu membuat jantungku berdegup lebih kencang Aku masih belum bisa membayangkan bagaimana ekspresi keluarga Mas Zul kala melihatku. Apakah benar Mbak Zahra yang meminta Mas Zul untuk menikah kembali? Lantas untuk apa? Bukankah semua wanita selalu tak rela jika cintanya terbagi. 

“Kamu cantik,” ucapan itu terdengar jelas di indraku.

Aku melayangkan pandangan ke arah lelaki di sampingku, tetap di posisi yang sama dengan wajah fokus menghadap ke jalan.

Aku tersenyum malu, pujian ini benar-benar membuatku seakan terbang.

Tiba-tiba mobil Mas Zul kembali berhenti, kulihat dari balik jendela kaca, tampak bangunan besar begambar sepatu, terlihat dari dinding kaca tersebut, beberapa sepatu terjejer di rak-rak tersebut.

“Ayo turun,” 

Aku terkejut ketika pintu ini terbuka. Aku keluar dan menurut kepada calon imamku.

Seperti tadi, Mas Zul memintaku memilih beberapa sandal dan sepatu yang pas untuk kakiku. Kulihat sandal yang ku kenakan. Sandal jepit lusuh yang tampak telah menipis karena usia.

Mas Zul memilihkan sebuah sandal dengan model Sederhana namun terlihat elegan.

“Alhamdulillah pas. Sesuai perkiraan ku, ukuran kakimu dan Zahra sama.”

Kaki Zahra? Baru mendengar nama Mbah Zahra saja nyaliku langsung menciut. Apalagi setelah aku bertemu dengannya. Apakah jalan yang aku pilih ini benar ya Allah? 

“Kamu suka?” Mas Zul mengarahkan pertanyaan ke arahku, kupandang kaki yang terbalut kaos kaki ini di hiasi sandal mewah, tak sengaja tadi kuintip bandrolnya mencapai ratusan ribu. Harga sebanyak  itu amat sangat berarti untuk makanku beberapa hari ke depan.

“Kamu suka gak, Dek? Atau mau pilih model lain?”

“E-enggak usah, Mas. Aku suka, aku suka sandal ini.”

Setelah melewati meja kasir,  Mas Zul membopong 3 kardus bergambar sepatu itu. Aku baru tau kalau ia memberikan aku banyak sandal. Kami kembali masuk ke dalam mobilnya, aku hanya menunduk tak berani berucap. 

‘Ya Allah, inikah jawabn atas segala doa-doaku? Pantaskah aku menikah dengan lelaki yang begitu sempurna seperti Mas Zul?’ Hatiku kembali di liputi keresahan dan tidak percayaan diri. 

“Terima kasih ya, Mas!” ucapku ragu.

Mas Zul hanya tersenyum, kembali menyunggingkan lesung pipitnya yang begitu indah. 

Netranya terus menjelajahi jalan yang nampak tak berujung, acap kali kudengar bacaan basmalah dan solawatan lirih dari mulutnya, lagi-lagi semua itu membuat aku insecure, aku bagaikan noda di atas kertas putih, begitu nampak. Dan hanya sebagai perusak.

Bayangan Mbak Zahra dan ibu Mas Zul kembali terlintas, jika mereka tidak menerimaku, setidaknya aku ingin menumpang hidup di sana sebagai asisten rumah tangga, hingga aku dapat pekerjaan lain dan bisa keluar dari rumahnya. Hanya dibayar sesuap nasilun insyaAllah aku sudah ikhlas, Mas Zul terlalu baik kepadaku.

“Kenapa mobilnya berhenti, Mas?” tanyaku ragu.

Aku takut melihat sekitar, aku masih belum siap jika saat ini kami sudah mencapai alamat yang kita tuju.

“Kita makan dulu ya, Dek? Sekalian bungkusin steak kesukaan Zahra!”

‘Nama Mbak Zahra kembali terucap, aku  di hati Mas Zul hanya ada nama itu ? Lantas aku? Aku hanyalah wanita hina yang ia selamatkan dari massa. Kenapa aku berharap lebih dari lelaki sempurna?’ Aku terus mertutuk diriku sendiri. 

“Ayo turun, Dek!”

Aku kembali dikejutkan dengan tubuh Mas Zul yang kini berdiri sempurna di depan pintu mobil, seperti biasanya ia membukakan pintu mobil itu. Aku kembali di buat takjub dengan Mas Zul memperlakukan wanita.

Aku memasuki sebuah bangunan besar dengan bangku sofa yang terjejer rapi melingkari meja, ada di ujung, di sudut ruangan, juga ada di tengah. Semua dindingnya dihiasi dengan ornamen yang indah dan beberapa gambar menu restoran ini tertampang di beberapa bagian. Aku menelan ludah ketika melihat gambar itu begitu lezat, sebuah gambar daging yang dibakar dan di oles beberapa bumbu, tercium juga bau wangi dari masakan tersebut. Ruang ini memang tak jauh dari dapur. Hingga wangi khas bakaran daging itu begitu tercium di indraku.  Rasa daging seakan terasa di lidahku, makanan yang hanya kunikmati saat hari Qurban saja, menunggu datangnya warga yang membagi hasil sedekah Qurban. Uangku terlalu sayang untuk membeli lauk semahal itu.

“Pesan apa, Pak?” Seorang wanita cantik berseragam itu menghampiri tempat duduk kami, di tangannya membawa sebuah daftar menu dan di tangan satunya lagi memegan buku kecil dan pulpen.

“Seperti biasanya,” ucap Mas Zul.

Ia tak menawariku. Tapi aku yakin menu yang ia pilih adalah menu andalan di restoran ini..

Terlihat dari wajah pramusaji itu nampak puas dengan pilihan Mas Zul. 

K R U C U K

Kurasakan ada suara nyaring dari perutku, Mas Zul tampak tersenyum melihatku, sepertinya ia menyadari cacing di perutku sudah meminta jatah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status