"Aku manut Mas Tara." Satu kalimat yang terlontar dari bibir Dena membuat Tara tersenyum namun juga nyeri di hati. Ia tahu perilakunya tak jarang bisa melukai hati Dena, tetapi wanita itu sepertinya memilih melupakan dan tersenyum kembali.
Tara dan Dena bergumul, mereka berharap akan segera mendapat momongan setelah setahun lamanya mereka menikah tetapi belum dikaruniai momongan. Keduanya jelas sehat, hanya tinggal menunggu sang khalik memberikan titipan ke rahim Dena.
Suara ibu berbicara di telepon dengan Sofia terdengar sayup-sayup saat Dena berjalan ke dapur untuk mengambilkan minum suaminya. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Lampu dapur dinyalakan Dena, membuat ibu terjengat di tempatnya. "Kamu mau bikin Ibu jantungan!" Makinya. Dena segera meminta maaf. Ia berjalan ke lemari, mengambil gelas bersih yang ia isi air minum untuk suaminya.
Tatapan wanita itu sinis, ia masih berbicara dengan Sofia di telepon. "Iya, Ibu mau ketemu Kanti, kalau bisa, Ibu kangen sama mantan pacar adekmu itu, dia masih di Belanda? Kapan pulang, sih?"
Dena diam, nama Kanti kembali terdengar. Kanti merupakan mantan pacar Tara yang sudah sangat amat dekat hubungannya dengan keluarga Tara. Sayang, karena seringnya percecokan dan Tara yang tak suka Kantin meneruskan karir menjadi fashio designer, membuat mereka memilih putus.
"Iya, Sof, kalau kamu komunikasi sama Kanti, kasih tau ya, Ibu kangen, mau ketemu. Mau cerita banyak. Terutama ya tentang Tara yang nggak bahagia semenjak nikah sama Dena."
Semudah itu ucapan meluncur dari mulut mertua Dena, padahal dirinya masih ada di sana. Dena diam, ia pamit ke dalam kamar lagi. Hatinya nyeri, ia lalu duduk di tepi ranjang sembari memberikan gelas berisi air minum untuk suaminya.
"Mas Tara, aku mau tanya," tatapan Dena menunjukkan keseriusannya.
"Hm? Apa?" Tara menyerahkan gelas lagi ke tangan Dena lalu meraih jemari tangan istrinya, ia letakkan di wajahnya.
"Apa kamu nggak bahagia semenjak nikah sama aku?" Pertanyaan Dena membuat Tara bingung.
"Bahagia. Kenapa kamu bisa tanya hal itu?"
"Aku, dengar omongan Ibu barusan, Ibu lagi telponan sama Kak Sofia, dan sebut nama Kanti juga. Ibu bilang kalau kamu nggak bahagia selama kita nikah, juga, Ibu bilang kalau Ibu kangen Kanti, mantan pacar kamu itu, Mas. Apa... sebegitu nggak sukanya keluarga kamu ke aku? Dan apa... emang seharusnya kita nggak meni-kah...?" Dena menunduk. Tara membawa Dena ke dalam pelukannya. Dikecupi puncak kepala istrinya berkali-kali.
"Aku sayang kamu, aku butuh kamu, aku cinta kamu, makanya aku mau kita nikah. Kamu lihat sendiri, kan, perjuangan aku sampai dapat restu Papa Mama?" tanya Tara. Dena mengangguk.
"Dena, aku mohon kamu sabar, seluas-luasnya untuk menghadapi keluargaku, terutama Ibu, Kak Sofia, Kak Syifa, mereka memang dekat dengan Ibu, kecuali Kak Sera yang emang cuek dan lihat kan, milih jadi polwan. Mana mau dia ada drama." Tara mengurai pelukan. Menatap lekat Dena yang dikecupi kening istrinya berkali-kali.
"Tapi, Mas, kalau perkataan Ibu sakitin aku, apa aku harus--"
"Sabar, diam, dan mengalah ya, gimana juga itu Ibuku, wanita yang melahirkanku. Kamu yang harus banyak ngalah ya," pinta Tara. Dena beranjak, duduk tegak menatap suaminya.
"Mas ... kalau Kanti mendadak muncul, apa kamu bisa bersikap tegas? Aku takut, Ibu ada usaha untuk bikin kamu dan Kanti dekat lagi, Ibu bilang tadi, kan, kalau Ibu kangen sama Kanti," ujar Dena lagi.
Tara diam, ia menggelengkan kepala dengan cepat, lalu meminta Dena tiduran di sebelahnya. Dena menyamankan posisi, membayangkan suaminya dekat dengan wanita lain jelas akan membuatnya tersiksa lahir batin, ia tak mau juga tak siap.
"Kanti masa lalu aku, kamu masa depan aku, Dena, udah ya... jangan dipikirin. Ayo tidur, besok aku ada pertemuan di Bogor, nginap di sana dua malam." Tara memeluk istrinya yang menelusupkan wajah di dada Tara.
"Iya, Mas," jawab Dena.
***
PRANG!
Pecahan piring terpental hingga membuat goresan tipis di kaki Dena. Masakan yang baru ia masak tumpah dan berantakan di dapur, ia tak sengaja tersandung keset. Bapak berlari dari ruang TV, terkejut dan langsung membantu Dena membersihkan ke kacauan itu.
"Dena aja, Pak, nggak pa-pa," ucapnya.
"Bapak bantu, kaki kamu kesiram kuah panas juga, nggak, Dena?" Wajah bapak panik. Dena menggeleng.
"Ya ampun! Piringku! Dena! Kamu apa-apaan sih! Jalan nggak pake mata!" Bentaknya.
"Maaf, Bu," ucap Dena. Ibu bergegas kembali ke kamar, malas merapikan kekacauan itu.
"Beli aja makan siangnya, ya," ujar Bapak.
"Iya, Pak. Maaf ya, Pak, Dena nggak sengaja, nggak lihat ada keset di situ, jadi keserimpet sendiri." ucapnya. Bapak hanya tersenyum.
"Nah, udah, sini Bapak uang belingnya, kamu beresin sisanya, hati-hati sama serpihan beling yang kecil-kecil, pakai tisu aja bersihinnya, ya," ucap bapak lagi. Dena mengangguk cepat. Ia beranjak, mengambil tisu dapur lalu merapikan sisanya. Ia juga mengepel lantai hingga sudah bersih sempurna.
Dena berjalan ke kamar, tampak ibu sedang menonton acara gosip di TV yang menayangkan kehidupan mewah para artis.
"Bu, Dena mau beli lauk, Ibu mau makan apa?" tawarnya.
"Beli melulu. Boros! Sana keluar. Ibu pusing lihat kamu." Usirnya. Dena diam, ia menutup pintu kamar. Bapak berdiri di dekat sana. Memberikan uang ke tangan Dena.
"Beli pakai uang Bapak, beli soto ayam aja, ya," ujarnya. Dena menggelengkan kepala.
"Simpan uang Bapak, Mas Tara udah kasih uang kok, Pak. Dena ke warung soto, ya." Lalu Dena menganbil kunci motor, ia bergegas pergi membeli makan. Bapak hanya bisa menghela napas, kembali memasukan uang lima pulih ribu ke saku celana.
Semoga selalu sabar ya menantuku. ucap bapak dalam hati.
Dena mampir ke warung, ia membeli plester untuk memutupi luka gores di kaki sebelum menuju ke warung soto. Laju motor ia hentikan sejenak, dilihatnya ada rumah dengan tulisan dijual. Ia menyimpan nomor ponsel yang tertera di iklan, lalu kembali pergi ke warung soto.
Semenjak menikah dan tinggal bersama mertuanya, Dena menjadi sosok mandiri dan juga kenal beberapa orang yang sering tak sengaja berada satu tempat yang sama dengannya. Dena di sapa ramah, dan ia juga membalas. Dena dikenal dengan menantu kesayangan Pak Budi, yang Dena ketahui dari cerita orang yang bertemu dengannya, saat bapak ke masjid atau sedang berkumpul dengan warga. Dena senang, karena bapak baik dan juga menunjukkan sikap sabarnya menghadapi ibu.
Ia kembali ke rumah, segera merapikan soto di dalam panci. Emlat porsi soto dirasa cukup untuk makan hingga malam. Dena menyiapkan nasi untuk bapak, juga ibu. Wanita itu keluar kamar, menatap meja makan dengan dua mangkok soto ayam.
"Bu, ayo makan dulu, udah jam setengah satu siang," ucap Dena.
"Soto? Kenapa nggak beli ayam bakar?!" Nada bicara ibu meninggi.
"Dena beli empat porsi, kok, Bu, bisa sampai sore. Untuk Ibu dan Bapak," jawabnya lagi.
"Ya enggak gitu juga, Dena... kalau udah sore mana enak...! Emang nggak bisa diandalkan kamu ya, heran Ibu." Kembali judes. Ibu kembali masuk ke kamar, tak mau makan siang. Bapak mengajak Dena duduk. Ia mengusap bahu menantunya.
"Maafin Ibu, ya, ayo kita makan, Dena, kamu masih harus jahit pesanan taplak meja, kan?" tanya bapak. Dena mengangguk. Bagaimana bisa ia menelan makanan jika ibu tidak makan, ia takut, ibu akan mengadu ke Tara atau Kak Sofia yang bukan-bukan, lalu ia di tegur lagi.
Bersambung,
Apakah mereka sudah saling mencintai? Jawabannya, belum. Dena dan Argi menjalankan hak dan kewajiban, mereka juga sudah sah menjadi suami istri. Keduanya yakin, cinta akan datang seiring dengan waktu, tak perlu khawatir dengan hal itu. “Dena,” panggil Argi yang tak mendapati istrinya di dalam kamar saat ia baru selesai mandi besar setelah mereka bersetubuh. Argi duduk di tepi ranjang, masih tak percaya dengan apa yang sudah terjadi semalam dan hal itu membuat jantungnya berdebar begitu keras. Ia meraba dadanya, lalu menatap ke foto Saski yang masih terpajang di kamarnya. “Kamu nggak marah, ‘kan, Sas?” lirihnya diakhiri tawa dan wajah berseri-seri. Argi beranjak setelah mendengar bel pintu kamar hotel. “Udah bangun?” tanya Dena sambil membawa dua bungkus yang dari wanginya menggugah selera Argi yang lapar. “Kamu ke mana?” Ia mengekor Dena yang meletakkan bungkusan itu di atas meja. “Beli sarapan. Nggak sengaja sebenarnya, karena mau ke tempat Ariq, ternyata mereka udah ke Legoland
Argi menepati janji, hari jumat sore pukul 4.30 waktu KL, mereka berangkat ke Johor, menuju Legoland. Argi meminta Dena memesan hotel untuk menginap dua malam di sana, tak lupa ia mengajak Dena dan Ariq membeli beberapa pakaian baru juga di salah satu mal yang ada di KL. Satu koper ukuran besar menjadi pilihan Dena untuk mengemas pakaian mereka bertiga. Perjalanan yang akan memakan waktu tempat kurang lebih empat jam, ia siapkan sedemikian rupa juga dengan membawa makanan dan beberapa minuman. “Riq, kamu tidur aja kalau ngantuk, ya,” ucap Argi sambil menoleh ke arah belakang sebelum kembali menatap jalan bebas hambatan. “Iya, Pa,” jawabnya. Ariq tampak senang, pun Dena yang kali pertama plesir ke negara orang yang tak asing baginya karena suasana mirip dengan tanah air juga. “Betah tinggal di sini nggak kira-kira?” Argi membuka percakapan setelah mereka menempuh perjalanan satu jam. “Lumayan, aku masih haru keliling dan pingin tau transportasi umumnya. Nggak mau naik taksi atau re
Dena tiba di Kuala lumpur, Malaysia siang hari pukul satu. Ia dan Ariq duduk di lobi menunggu Argi menjemput. Hanya satu koper yang Dena bawa, ia memang bukan tipikal perempuan yang suka membawa banyak barang saat pergi yang menginap hingga beberapa hari. Ia lebih senang mencuci bajunya, cukup bawa baju seperlunya yang nanti di mix and match sendiri. Ariq menikmati burger yang Dena baru saja belikan sambil menunggu Argi menjemput. Kala itu, Ariq dan Dena kompak memakai warna baju senada, atasan putih dan celana jeans, juga sepatu kets warna hitam. Karena Dena memakai hijab, ia memilih kemeja putih dua ukuran lebih besar darinya supaya tak ketat membentuk lekuk tubuhnya. Bibirnya juga hanya ia olesi lipstik warna pink natural begitu tipis, hijab warna krem semakin membuat wajahnya bersinar. “Bun, kita di sini satu minggu? Itu lama, ya, Bun?” Ariq kembali menggigit burgernya setelah bicara.“Sebentar, kok. Kenapa? Ariq nggak mau lama-lama di sini?” Dena merapikan tatanan rambut putran
Syifa dan Tara duduk di teras rumah orang tua mereka. Sekarang, hanya tinggal Tara yang tinggal di rumah itu karena bapak meminta Argi baiknya keluar dari rumah setelah menikah dengan Dena. Lagi pula Argi di kuala lumpur dan jarang pulang, jadi baiknya saat Argi sedang di Jakarta, tinggal bersama Dena di rumah orang tua Dena. Meminimalisir resiko keributan juga rasa canggung karena Argi dan Dena sudah menikah. “Menikah lah lagi, Tara. Kakak nggak mau lihat kamu kayak gini,” tutur Syifa yang direspon tawa sinis Tara. “Kak Syifa, nggak semudah itu juga. Tara masih harus cerna semua ini. Merasa dicurangi adik sendiri itu nggak enak. Sakit hati.” ketusnya dengan tatapan dingin. “Gimana juga kalian saudara kandung, akan seperti itu sepanjang usia. Kamu harusnya pahami dan lihat hal ini wajar karena kita juga yang salah, kan? Kak Syifa ambil andil rusaknya hubungan kamu dan Dena di masa lalu.” Syifa menundukkan kepala. Tara beranjak, ia meninggalkan Syifa seorang diri di teras. Membuka
Hati Dena tak karuan, ia dan Argi saling menatap. Suaminya tersenyum begitu manis lalu berbisik lagi di telinga Dena saat keduanya duduk bersisian di restoran yang dipesan Argi untuk acara syukuran sederhana pernikahan mereka. “Semua akan aman dan baik-baik aja, Mbak Dena. Aku udah selamatkan kamu dari Mas Tara.” Argi memundurkan wajahnya, Dena tersenyum begitu tipis. Masih seperti mimpi yang aneh, karena mereka berdua kini pasangan suami istri. Pintu restoran terbuka, muncul Tara sambil membawa buket bunga. Tak ada senyuman, yang ada tatapan tajam menusuk dengan kemarahan yang membuat Dena segera menggenggam jemari tangan Argi di bawah meja. Argi menoleh, ia merasakan dinginnya jemari Dena. Kedua mata Argi juga menatap genggaman erat pada tangannya. Ia menatap Tara yang semakin berjalan mendekat lalu memberikan buket bunga mawar putih. “Selamat atas pernikahan kalian… adik ipar,” ucapnya dengan nada begitu dingin. Dena mencoba untuk tersenyum, walau ketakutan juga ragu terpancar pa
Tak kunjung berakhir rasa sesal yang dirasakan Tara, ia kini duduk sendirian di depan makam ibundanya. Wajahnya tampak gusar karena sejak tiba, ia terus merasakan hatinya sakit jika memikirkan Dena yang terang-terangan menolaknya. “Bu, Tara sekarang diambang kebimbangan. Argi mau menikah dengan Dena. Tara mau memperbaiki hubungan dengan Dena tapi… dia sama sekali nggak mau kasih kesempatan sedikit pun. Tara sendirian, dijauhkan dari orang yang Tara sayang bahkan Ibnu juga tinggal dengan Kanti dan suaminya sekarang.” Tara memainkan rerumputan yang menutupi gundukan tanah makam. Jarinya mencabuti pucuk rumput dengan pelan, layaknya anak kecil yang bermain atas lapangan penuh rerumputan. Gelapnya malam tak membuat ia ingin lekas beranjak, ia masih betah di sana walau tak lagi bicara. Fokusnya kini, bagaimana ia menata hati juga menghadapi pernikahan Dena dengan Argi. Tak kan mudah ia mengontrol semuanya. Tara seperti tenggelam dengan rasa sesal mendalam. Di lain tempat, Argi tampak bar