"Selamat ulang tahun Dena is--" belum sempat Tara selesai bicara. Ia mendapati Dena sedang di marahi oleh kakak perempuannya yang datang berkunjung. Dena duduk tertunduk di lantai, sementara kakak perempuan dan ibunya terus berbicara.
"Mikir sedikit nggak bisa, Den? Masa iya cuma karena masalah cara masak beda, kamu lawan Ibu? Kamu tinggal di sini, kan? Harus ikutin cara di sini. Bisa bawa diri, bukan ngatur!" Nada bicara Sofia meninggi. Tara menatap dari ambang pintu.
Masih dibahas juga, ucap Tara dalam hati. Ia meletakkan kotak berisi kue yang lilinnya dimatikan dahulu oleh Tara, takut meleleh dan mengotori kue.
"Assalamualaikum," ucap Tara lalu meraih tangan ibu dan kakaknya, lalu beralih ke Dena yang beranjak, meraih tangan suaminya dan ia cium punggung tangannya. Tara juga mengecup pelipis istrinya itu.
"Sini duduk di kursi," ajak Tara yang mengarahkan Dena duduk di sofa, berderetan dengan ibu dan kakaknya. "Kak Sofia ke sini sendiri? Ada apa?" tanya Tara sembari menatap.
"Ini, Ibi telpon, katanya kemarin berantem sama Dena. Kamu tuh, Tar, susah emangnya ajarin istrimu supaya nurut Ibu?" tanya Sofia dengan wajah kesal.
"Aku udah bahas semalam. Dan kasih tau Ibu kalau Dena cuma komentar aja, kalau cara masak dia di rumah orang tuanya beda sama di sini, itu aja, Kak, tapi kayaknya Ibu salah tanggap." Tara mencoba membela Dena juga. Ia semalam sudah berpikir, memang terkadang ibunya salah tanggap dan terlalu baper.
"Ya tapi ini Ibu kamu, mertua Dena. Baru setahun kalian tinggal di sini udah bolak-balik ribut. Gimana sih! Apa susahnya manut. Belum lagi Ibu juga bilang kalau kamu sibuk, sampai Ibu yang beberes rumah! Ibu udah tua, kamu emang nggak bisa beberes dulu baru urus pesanan jahitan kamu! Sebagus apa sih?! Sampai dibela-belain terima pesanan!" Sofia mendelik. Dena diam menatap ibu lalu berganti ke suaminya yang hanya bisa melirik nanar menatap istrinya.
"Halah... emang Ibu aja yang baperan, Kak Sofia emang lihat Mbak Dena tiap pagi bangun jam berapa dan ngapain aja. Jangan suka denger cerita cuma sepihak, Kak? Malu, udah tua." Mendadak Argi muncul, di susul bapak yang hanya bisa melirik sebal ke putrinya itu.
"Kamu pulang aja, Sof, jangan apa-apa gampang emosi kalau Ibu cerita. Kamu nggak tanya ke Bapak sama Argi, yang juga lihat keseharian Dena di sini? Masakan Dena juga enak, kita berdua cocok, ya, Gi," senggol bapak ke bahu Argi yang mengangguk. "Lagian, Ibu ngapain... ngadu-ngadu ke anak, udah tau Sofia gampang meledak." Tegur bapak.
"Emang kenapa? Nggak boleh? Pak, Ibu butuh cerita, nggak mau dipendam terus. Lagian Bapak harusnya jangan bilang begitu ke Sofia, ingat, Pak, kalau bukan karena Sofia dan Syifa, kita belum tentu punya rumah bagus yang di renov mereka, dan kita bisa berangkat haji, ingat, Pak. Setiap bulan juga Sofia dan Syifa yang kasih uang bulanan ke kita. Semenjak Bapak pensiun. Uang pensiunan nggak seberapa juga, mana cukup untuk makan sebulan."
"Kok ngelantur omongannya? Ibu keterlaluan," lalu bapak masuk kamar. Argi diam, ia hanya bisa merasa heran dengan ibunya. Begitu tega merendahkan suami sendiri. Argi menatap kue di atas meja tamu. Ia medekat, membaca lalu tersenyum.
"Selamat ulang tahun, Mbak Dena, panjang umur, sehat dan semakin jadi istri juga menantu sholeha, yaa..." lirik Argi menyindir ibu dan kakak perempuannya. Dena bergeming, ia terkejut Argi mengucapkan itu.
"Mm... maaf, Mas Tara, Kak Sofia, Ibu. Dena minta maaf kalau salah, Dena semalam udah bilang ke Ibu, mau nurutin semua yang Ibu bilang. Mas Tara, terima kasih kuenya, aku bawa ke dapur, biar di makan sama-sama." Dena beranjak, berjalan membawa kotak kue tart ke dapur, kedua bahunya merosot, ia menyiapkan beberapa piring kecil, lalu memotong kue. Senyumnya merekah mana kala ia ingat, suaminya tak lupa hari ulang tahunnya.
Tak lama terdengar suara klakson mobil dan beberapa orang yang turun dari dalamnya. Dena meletakkan nampan, menyajikan potongan kue untuk ibu, Sofia dan Tara yang masih memakai seragam kerjanya. Sedangkan Argi ke lantai atas, di kamarnya.
"Assalamualaikum..." suara wanita yang melahirkan Dena terdengar.
"Mama!" Pekik Dena yang segera menyalim tangan mamanya. Lalu berganti ke papa yang memeluk erat putrinya itu. Di belakangnya, kakak laki-laki beserta istri dan anaknya juga muncul. Mereka berpelukan erat.
Di dalam rumah, ibu dan Sofia panik, takut Dena mengadukan hal yang tadi ia bicarakan ke Dena.
"Masuk, yuk," ajak Dena. Sambutan hangat mendadak muncul dari ibu mertua dan kakak iparnya. Semua berjabat tangan, Dena ke kamar bapak, memberi tahu jika kedua orang tua dan kakaknya datang. Bapak mengangguk, lalu berjalan keluar kamar.
Suasana rumah mendadak ramai karena kakak ipar Dena membawa kue black forest dari toko kue mahal. Lalu kedua orang tua Dena yang membawa banyak makanan matang. Kebiasaan keluarga Dena, jika ada yang ulang tahun, mereka akan merayakan dengan makan bersama.
Dena menggendong keponakannya yang berumur satu tahun itu sambil meniup lilin. Acara perayaan ulang tahun mendadak Dena itu membuat hati Argi dan Bapak mencelos, Dena sama sekali tak menyindir atau berwajah masam ke pada Sofia dan ibu, bahkan, Dena justru melayani semua anggota keluarganya makan bersama. Menu seafood itu tampak mewah, belum lagi kue yang rasanya luar biasa enak. Dena tertawa, tersenyum, melupakan drama yang terjadi sebelumnya.
***
Malam tiba. Keluarga Dena sudah pulang, makanan tersisa banyak, di dapur, Dena merapikan sisa makanan dan ia taruh di kulkas.
"Mbak, tadi..., kenapa Mbak Dena nggak cerita tentang--" Argi yang ingin membuat kopi, menyempatkan diri bertanya.
Dena tersenyum. "Nggak perlu, Gi. Eh kamu mau kopi? Sini, aku buatin," tangan Dena sudah terulur meraih cangkir, namun Argi menggeleng. Dena mengangguk, ia beralih mencuci peralatan makan, tak lama Tara datang. Ia meminta Argi membuatkan kopi untuknya lagi.
"Aku mau bicara, bisa?" bisik Tara ke telinga Dena.
"Bisa. Aku selesai beresin ini dulu, ya," ucap Dena yang mendapat usapan di kepalanya dari Tara. Suaminya itu kembali ke kamar, Dena buru-buru menyelesaikan cucian lalu menyusul Tara.
"Ada apa, Mas?" tanya Dena yang duduk di kursi meja rias. Tara menatapnya. Ia meminta Dena duduk di sebelahnya, di tepi ranjang.
"Hm?" tatap Dena bingung. Tara mendadak mencium kening Dena, lalu berakhir di bibir.
"Selamat ulang tahun sayang, mau kado apa?" tanya Tara lembut. Dena tersenyum, ia menggeleng, lalu memeluk suaminya itu.
"Nggak mau apa-apa, udah punya kamu, kan? Hadiah seumur hidup aku." Jawab Dena yang mendapat usapan di punggung Dena dari suaminya. Keduanya mengurai pelukan, Tara meraih jemari istrinya.
"Tadi, kamu kenapa nggak cerita tentang teguran Ibu dan Kak Sofia, malah ceria dan seolah nggak ada apa-apa?" tanya Tara yang kemudian mengecup bibir istrinya lagi.
"Jangan diceritain, dong, aku nggak mau Papa dan Mama mikir aku kenapa-kenapa, apalagi Papa, bisa uring-uringan pasti. Biar itu jadi konsumsi kita di sini aja."
Tara menghela napas, ia menunduk. "Tapi kamu suka cerita ke Tya, kan?" Kini tatapan Tara sendu.
"Wajar. Aku kan juga butuh curhat, lagian nggak detail, cuma hal-hal sepele, Tya aja yang selalu ingetin aku untuk kita pindah dari sini, Tya juga kasih tau ada rum--"
"Kita nggak akan pindah sampai kapan pun, Dena, kasihan Ibu, kamu yang sabar aja ya, hadapin sikap Ibu." Jujur saja, mendengar hal itu, membuat ia pupus harapan untuk hidup berdua di rumah mereka sendiri. Tak mau membuat semakin rumit, Dena hanya mengangguk.
"Aku manut kamu, Mas Tara."
Bersambung,
"Aku manut Mas Tara." Satu kalimat yang terlontar dari bibir Dena membuat Tara tersenyum namun juga nyeri di hati. Ia tahu perilakunya tak jarang bisa melukai hati Dena, tetapi wanita itu sepertinya memilih melupakan dan tersenyum kembali.Tara dan Dena bergumul, mereka berharap akan segera mendapat momongan setelah setahun lamanya mereka menikah tetapi belum dikaruniai momongan. Keduanya jelas sehat, hanya tinggal menunggu sang khalik memberikan titipan ke rahim Dena.Suara ibu berbicara di telepon dengan Sofia terdengar sayup-sayup saat Dena berjalan ke dapur untuk mengambilkan minum suaminya. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Lampu dapur dinyalakan Dena, membuat ibu terjengat di tempatnya. "Kamu mau bikin Ibu jantungan!" Makinya. Dena segera
Tara masih di luar kota selama 3 hari 2 malam, hal itu membuat Dena bisa fokus menjahit pesanan pelanggan, bahkan, ada yang meminta dibuatkan selimut untuk kado ulang tahun anak. Dena lembur, ia sengaja supaya bisa mengejar pengerjaan pesanan lainnya.Seharian itu, Tara hanya mengirim pesan 3 kali, sebagai kepala bagian, ia jelas sibuk. Dena tak masalah, karena ia melihat foto status whatssapp suaminya beberapa kali saat sedang berbicara di forum itu. Dena tersenyum, suaminya hebat, pekerja keras walau kadang tak mau mendengarkan keluh kesahnya tentang perlakuan ibu di rumah."Kamu masih jahit?" tegur ibu yang masuk ke ruang kerja Dena."Iya, Bu," jawab Dena sembari tersenyum."Makin mahal do
"Halo... apa kabar, aku Kanti," sapanya ramah. Dena membalas jabatan tangan itu sembari menyebut namanya juga."Kanti ini mantan pacarnya suamimu yang paling deket dan baik sama kita semua di sini, Dena, jadi wajar lho, ya, kalau Ibu anggap dia anak di sini, walau nggak bisa jadi menantu. Sedih banget Ibu kalau ingat itu," tetiba wajah ibu menyiratkan kesenduan. Dena mengangguk, mencoba memahami situasi yang ada."Namanya jodoh, rezeki, maut, dan apapun itu ditangan Allah, bisa aja pacaran lama, tapi nikahnya sama orang lain. Anggap aja jagain jodoh orang." Kali ini bapak bersuara. Ia ikut duduk di sofa ruang tamu. Dena pamit mundur untuk membuat minuman di dapur. Namun, pembicaraan ibu begitu terdengar jelas di telinga Dena."Semenjak kamu putus dari T
Tara menatap langit-langit kamar, semenjak kejadian tadi, ia terus dilanda rasa khawatir, juga muncul perasaan lain saat ia bertemu tatap lagi dengan Kanti. Lima tahun mereka hilang kontak, Tara sengaja melakukan itu karena saat itu memang mau menghapus Kanti dari hati dan hidupnya, pun, ia sedang mendekati Dena.Dena yang kala itu masih mahasiswi tingkat akhir menarik perhatiannya saat tak sengaja mereka bertemu di acara pernikahan teman sejawat Tara. Sedangkan Dena menemani Papanya datang ke acara tersebut.Dena yang manis, senyuman ramah, ayu, dan berpenampilan sederhana tapi tak kuno, membuat Tara yang kala itu seperti mendapat jalan keluar dari rasa gundah di hatinya semenjak putus dengan Kanti.Ia menghela napas, beranjak perlahan untuk memadamkan
Dena duduk di kursi penumpang tengah, di barisan ketiga sudah penuh dengan bahan untuk jahitannya dan juga bahan brokat untuk kebaya. Mereka tak langsung pulang, tetapi pergi makan siang di restoran seafood langganan orang tua Dena. Papanya yang pensiunan PNS itu, tau tempat makanan enak. Sedangkan mamanya yang pensiunan dari bank swasta, tau tempat makan kelas menengah ke atas yang sering disambangi waktu Dena dan kakaknya belum berumah tangga masing-masing."Pa, ke sini? Tau aja Papa, anaknya udah lama nggak makan ikan bakar sama kepiting," goda Dena yang begitu bersemangat."Emang kamu nggak pernah di ajak makan keluar sama Tara? Makan seafood aja, bahagia banget." Papa balas menggoda."Suka lah, Pa, tapi bukan di sini. Mas Tara dan keluarganya punya langganan sendiri," sanggah Dena yang sejujurnya itu kebohongan. Tara jarang mengajaknya makan di luar, karena jika itu terjadi, maka omela
Tara asik makan siang dengan sesama rekan kerjanya di kantin kantor itu sambil bercengkrama dengan gelak tawa menggema."Besok siapa aja yang berangkat ke Malang juga?" tanyanya sembari meminum es teh manis miliknya."Kita berlima, Pak, tiket Bapak masih sama saya, nanti sayaCheck in-kan sekalian, jadi Bapak tinggal datang ke bandara aja." Sahut anak buah Tara. Pria itu mengangguk."Mobil dari dinas sana udah di siapin juga?" Kembali Tara bertanya."Sudah, Pak, mereka nanti jemput ke bandara dan kita langsung ke hotel. Jam sepuluh baru kita ke kantor dinas di sana. Bapak mau minta laporan apa saja? Biar saya hubungi orang di sana untuk siapkan," lanjut anak buah Tara yang seorang pria berusia dua puluh lima tahun."Oke." Lalu Tara beranjak, menuju kasir, membayarkan makanan pesanannya juga teman-temannya. Tara memang suka
Dena tak bisa tidur, hatinya merasa tak nyaman karena sikap ibu mertuanya yang jelas tak suka kepadanya. Bapak bahkan sampai meminta Dena membahas dengan Tara, namun, sepertinya Tara justru marah kepadanya. Dena menoleh ke arah kiri, Tara tidur memunggunginya. Semalam keduanya bertengkar, oh bukan, lebih tepatnya Tara yang memberi tahu Dena supaya tidak membuat ibunya kesal dan marah. Meminta Dena terus bersabar tanpa Tara memberikan kesempatan Dena bicara untuk sekedar membela dirinya.Waktu subuh tiba, Dena membangunkan suaminya yang segera membuka mata, lalu beranjak untuk mandi, bersiap sholat subuh lalu berangkat ke bandara dengan taksi. Dena menyiapkan sarapan berupa mie instan dengan telor rebus dan teh manis hangat. Masih pukul lima. Pesawat akan berangkat pukul sembilan pagi. Jarak dari rumah ke bandara cukup jauh, jadi Tara harus berangkat beberapa jam lebih cepat.Tara sudah tampak rapi, ia berjalan keluar kamar, menyeret tas koper yang ia dirikan di dekat m
Tara pulang dari perjalanan dinasnya di Kota Malang, Dena berjalan menghampiri dengan cepat karena ia baru selesai mandi. Kala itu, jam menunjukkan pukul tiga sore. Suara ibu yang senang menyambut putranya pulang terdengar riang. Dena segera berjalan keluar dari kamarnya, ia lalu menghampiri Tara.“Mas,” sapanya sembari meraih tangan pria itu. Tara diam, ia hanya melirik lalu mengabaikan Dena. Ia diam, berpikir jika mungkin suaminya lelah.“Aku siapin air hangat untuk mandi, ya, sebentar, Mas,” ucapnya sembari beranjak. Ia bergegas kembali ke dalam kamarnya, menuju ke kamar mandi lalu menyiapkan air hangat di dalam bak dengan air yang mengcur dari keran. Ia juga menyiapkan handuk baru, juga pakaian tidur Tara.Derit pintu kamar terdengar. Tara mas