"Kamu pikir, Ibu mau ikut campur? Enggak, Dena, Ibu cuma mau ajarin kamu. Kalau masak balado terong caranya kayak gitu. Tinggal ikutin aja susah banget. Ibu kesal ke kamu sampai nggak mau makan?!" omel Tara yang hanya bisa direspon helaan napas Dena yang menunduk, mengaduk makanannya yang belum ia suap ke dalam mulut.
"Aku kan cuma mau masak pakai cara yang biasa Ibuku ajarin, Mas, bukan maksud mau lawan atau nyanggah Ibu kamu." Akhirnya Dena bersuara. Tara berdecak, ia buru-buru menghabiskan makanannya lalu menyusul ibu ke kamar, meninggalkan Dena yang akhirnya menikmati makanannya seorang diri, di rumah orang tua Tara.
Mereka sudah menikah satu tahun, belum dikaruniai anak, dan Tara juga tak mau meninggalkan rumah tersebut karena Tara anak ke empat dari lima bersaudara. Ketiga kakaknya perempuan, dan adiknya laki-laki, masih kuliah tingkat akhir.
Tara bekerja diperusahaan besar, menjabat sebagak kepala bagian walau masih muda, 34 tahun. Tara pintar, insinyur.
Sedangkan Dena, ia tak bekerja, hanya saja ia suka menjahit, dan akhirnya menerima jahitan untuk membuat sarung bantal, selimut bayi, taplak meja, kerudung, dan kadang baju bayi, yang rata-rata semua custom atau sesuai keinginan pelanggan.
Dena membawa piring kotor ke dapur, ia mencucinya hingga bersih, lalu menutup meja makan dengan tudung saji. Terdengar suara motor, Argi - adik iparnya - baru pulang.
"Kok malam, Gi, tumben," tanya Dena yang kembali masuk ke ruang kerjanya, berkutat dengan pola dan bahan.
"Biasa, Mbak, bahas skripsi. Mas Tara mana sama Ibu?" tanya Argi celingukan.
"Di kamar, lagi bujuk Ibu. Aku ke ruang kerjaku, ya, makanan masih di meja, aku masak balado terong sama dadar telur." Lalu Dena menutup pintu. Argi menoleh, ia tahu, kembali ada masalah dengan ibu dan kakak iparnya.
Argi bergegas ke kamar lebih dulu, lalu ke kamar mandi dengan membawa handuk. Tak lama, terdengar suara bapak yang baru kembali dari kegiatan pengajian di masjid.
"Ibu di kamar, paling ngambek lagi sama Mbak Dena. Pak, bilang Ibu, jangan suka kebayakan ngatur Mbak Dena, masih untung Mbak Dena nggak minta Mas Tara pindah dari sini. Masih mau nurut Mas Tara." Tukas Argi. Bapak hanya bisa menghela napas.
Argi masuk ke kamar mandi, sementara bapak membuka pintu kamar. Tampak Tara sedang membujuk ibu yang tiduran membelakangi putranya.
"Didik istrimu yang benar, Tara, Ibu cuma mau kasih tahu kalau masak terong caranya begitu. Kok Dena nggak mau, malah sok tau katanya kalau di rumah dia masak terong begitu caranya. Heran Ibu, punya menantu perempuan, satu, kok lagaknya begitu." Judes ibu.
"Iya, Bu, nanti Tara kasih tahu Dena lagi. Sekarang Ibu makan, ya, Bapak juga udah dari masjid," ujar Tara sembari menunjuk ke arah bapaknya yang sedang menggantung baju koko di balik pintu.
"Bu, kenapa sih, nggak Ibu biarin Dena masak dengan cara dia. Nggak ada salahnya juga lho." Tegur bapak. Ibu beranjak, menatap bergantian ke suami dan putranya.
"Apa prinsip..., di mana bumi di pijak, di situ langit di junjung udah nggak berlaku? Pak, harusnya Dena bisa bawa diri. Bukannya melawan."
Ibu menatap Tara dan suaminya bergantian. Suaminya sudah berganti baju tidur dengan bawahan masih kain sarung.
"Tara, pindah sana, jangan tinggal di sini, kasihan Ibumu, tensinya bisa naik terus, dan Dena bisa makan hati terus." Celetuk bapak. Ibu beranjak.
"Eh... nggak bisa, Pak. Tara walaupun udah nikah, tetap harus urus Ibunya, ingat, kan, surga anak laki-laki di kaki Ibunya?!" Kedua mata wanita itu mendelik. Bapak hanya berdecak sembari menggelengkan kepala lalu berjalan keluar kamar, menuju meja makan dan tersenyum melihat masakan menantunya yang sederhana tapi enak.
"Gi, udah makan kamu?" tanya bapak ke Argi yang sedang nonton TV.
"Udah. Terong baladonya enak, deh, Pak. Argi sisain buat Bapak." Sahut pria itu lagi. Bapak mengacungkan ibu jari, lalu mengambil piring dan menyendokan nasi. Tara keluar dari kamar ibu, meminjam kunci motor Argi, Tara hendak keluar rumah.
"Mau ke mana kamu?" tanya bapak.
"Beli soto ayam, Ibu mau makan pakai soto, nggak mau makan masakan Dena." Begitu enteng kalimat Tara keluar dari mulutnya. Sementara, Dena baru saja keluar ruang jahitnya dan mendengar ucapan suaminya. Dena bergeming, Argi dan bapak menatap kompak ke arah Dena, yang sedetik kemudian tersenyum.
"Maaf kalau masakan Dena nggak seenak masakan Ibu, ya, Pak," ucap Dena seraya menuangkan air putih ke gelas bapak mertuanya.
"Ini enak, Dena, Bapak dan Argi, kita cocok sama masakan kamu, jempolan, dari pada beli. Kamu udah makan, Nak?" tanya bapak.
"Udah, Pak. Dena mau ke kamar Ibu, mau minta maaf," ucapnya.
"Den...," panggil bapak. Dena menoleh.
"Nggak usah. Kamu nggak salah, udah malam, istirahat kamu, pesanan sarung bantalnya udah selesai di jahit?" tanya bapak kemudian.
"Udah, Pak. Dena ke Ibu ya, Dena juga salah kok, nggak nurutin Ibu." Dena tersenyum, ia au berjalan masuk ke kamar setelah mengetuk pintu.
"Bu..., lagi apa?" tanya Dena yang langsung duduk di lantai sementara ibunya duduk di tepi ranjang. Tak menjawab, hanya membuang muka.
"Dena, salah. Dena minta maaf ya, Bu, Ibu nggak mau makan masakan Dena? Besok Dena masak sesuai arahan Ibu, ya, maafin Dena." Jemari tangannya meraih jemari tangan ibu mertuanya. Bukannya di sambut, ibu justru beranjak, berjalan keluar kamar, meninggalkan Dena yang masih duduk bersimpuh di lantai. Argi dan bapak melihat hal itu hanya bisa menghela napas pelan. Kemudian Dena beranjak, ia tersenyum kikuk sembari masuk ke dalam kamarnya.
Bersambung,
Dena mengantar pesanan sarung bantal sebanyak dua lusin ke temannya. Dengan menggunakan motor matic andalan yang sudah ia gunakan selama 4 tahun, motor hadiah dari Papanya saat ia berulang tahun.Motor itu juga pernah menjadi sasaran kecurigaan mertua dan saudara kandung suaminya. Di bilang jika Dena meminta dibelikan oleh Tara. Suaminya akhirnya buka suara karena saat itu mereka masih pacaran, dan barulah keluarga Tara diam saat orang tua Dena yang akhirnya menjawab pertanyaan itu juga.Laju motor itu hanya berkecepatan 40km/jam, Dena melirik ke lampu merah yang menyala, ia menekan rem di tangannya, melihat ke kanan dan kiri, lampu sen kanan juga sudah ia nyalakan. Temannya warga komplek yang cukup jauh dari rumah mertua Dena, butuh waktu setengah jam untuk menuju ke sana.
"Selamat ulang tahun Dena is--" belum sempat Tara selesai bicara. Ia mendapati Dena sedang di marahi oleh kakak perempuannya yang datang berkunjung. Dena duduk tertunduk di lantai, sementara kakak perempuan dan ibunya terus berbicara."Mikir sedikit nggak bisa, Den? Masa iya cuma karena masalah cara masak beda, kamu lawan Ibu? Kamu tinggal di sini, kan? Harus ikutin cara di sini. Bisa bawa diri, bukan ngatur!" Nada bicara Sofia meninggi. Tara menatap dari ambang pintu.Masih dibahas juga, ucap Tara dalam hati. Ia meletakkan kotak berisi kue yang lilinnya dimatikan dahulu oleh Tara, takut meleleh dan mengotori kue."Assalamualaikum," ucap Tara lalu meraih tangan ibu dan kakaknya, lalu beralih ke Dena yang beranjak, meraih tangan suaminya dan ia
"Aku manut Mas Tara." Satu kalimat yang terlontar dari bibir Dena membuat Tara tersenyum namun juga nyeri di hati. Ia tahu perilakunya tak jarang bisa melukai hati Dena, tetapi wanita itu sepertinya memilih melupakan dan tersenyum kembali.Tara dan Dena bergumul, mereka berharap akan segera mendapat momongan setelah setahun lamanya mereka menikah tetapi belum dikaruniai momongan. Keduanya jelas sehat, hanya tinggal menunggu sang khalik memberikan titipan ke rahim Dena.Suara ibu berbicara di telepon dengan Sofia terdengar sayup-sayup saat Dena berjalan ke dapur untuk mengambilkan minum suaminya. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Lampu dapur dinyalakan Dena, membuat ibu terjengat di tempatnya. "Kamu mau bikin Ibu jantungan!" Makinya. Dena segera
Tara masih di luar kota selama 3 hari 2 malam, hal itu membuat Dena bisa fokus menjahit pesanan pelanggan, bahkan, ada yang meminta dibuatkan selimut untuk kado ulang tahun anak. Dena lembur, ia sengaja supaya bisa mengejar pengerjaan pesanan lainnya.Seharian itu, Tara hanya mengirim pesan 3 kali, sebagai kepala bagian, ia jelas sibuk. Dena tak masalah, karena ia melihat foto status whatssapp suaminya beberapa kali saat sedang berbicara di forum itu. Dena tersenyum, suaminya hebat, pekerja keras walau kadang tak mau mendengarkan keluh kesahnya tentang perlakuan ibu di rumah."Kamu masih jahit?" tegur ibu yang masuk ke ruang kerja Dena."Iya, Bu," jawab Dena sembari tersenyum."Makin mahal do
"Halo... apa kabar, aku Kanti," sapanya ramah. Dena membalas jabatan tangan itu sembari menyebut namanya juga."Kanti ini mantan pacarnya suamimu yang paling deket dan baik sama kita semua di sini, Dena, jadi wajar lho, ya, kalau Ibu anggap dia anak di sini, walau nggak bisa jadi menantu. Sedih banget Ibu kalau ingat itu," tetiba wajah ibu menyiratkan kesenduan. Dena mengangguk, mencoba memahami situasi yang ada."Namanya jodoh, rezeki, maut, dan apapun itu ditangan Allah, bisa aja pacaran lama, tapi nikahnya sama orang lain. Anggap aja jagain jodoh orang." Kali ini bapak bersuara. Ia ikut duduk di sofa ruang tamu. Dena pamit mundur untuk membuat minuman di dapur. Namun, pembicaraan ibu begitu terdengar jelas di telinga Dena."Semenjak kamu putus dari T
Tara menatap langit-langit kamar, semenjak kejadian tadi, ia terus dilanda rasa khawatir, juga muncul perasaan lain saat ia bertemu tatap lagi dengan Kanti. Lima tahun mereka hilang kontak, Tara sengaja melakukan itu karena saat itu memang mau menghapus Kanti dari hati dan hidupnya, pun, ia sedang mendekati Dena.Dena yang kala itu masih mahasiswi tingkat akhir menarik perhatiannya saat tak sengaja mereka bertemu di acara pernikahan teman sejawat Tara. Sedangkan Dena menemani Papanya datang ke acara tersebut.Dena yang manis, senyuman ramah, ayu, dan berpenampilan sederhana tapi tak kuno, membuat Tara yang kala itu seperti mendapat jalan keluar dari rasa gundah di hatinya semenjak putus dengan Kanti.Ia menghela napas, beranjak perlahan untuk memadamkan
Dena duduk di kursi penumpang tengah, di barisan ketiga sudah penuh dengan bahan untuk jahitannya dan juga bahan brokat untuk kebaya. Mereka tak langsung pulang, tetapi pergi makan siang di restoran seafood langganan orang tua Dena. Papanya yang pensiunan PNS itu, tau tempat makanan enak. Sedangkan mamanya yang pensiunan dari bank swasta, tau tempat makan kelas menengah ke atas yang sering disambangi waktu Dena dan kakaknya belum berumah tangga masing-masing."Pa, ke sini? Tau aja Papa, anaknya udah lama nggak makan ikan bakar sama kepiting," goda Dena yang begitu bersemangat."Emang kamu nggak pernah di ajak makan keluar sama Tara? Makan seafood aja, bahagia banget." Papa balas menggoda."Suka lah, Pa, tapi bukan di sini. Mas Tara dan keluarganya punya langganan sendiri," sanggah Dena yang sejujurnya itu kebohongan. Tara jarang mengajaknya makan di luar, karena jika itu terjadi, maka omela
Tara asik makan siang dengan sesama rekan kerjanya di kantin kantor itu sambil bercengkrama dengan gelak tawa menggema."Besok siapa aja yang berangkat ke Malang juga?" tanyanya sembari meminum es teh manis miliknya."Kita berlima, Pak, tiket Bapak masih sama saya, nanti sayaCheck in-kan sekalian, jadi Bapak tinggal datang ke bandara aja." Sahut anak buah Tara. Pria itu mengangguk."Mobil dari dinas sana udah di siapin juga?" Kembali Tara bertanya."Sudah, Pak, mereka nanti jemput ke bandara dan kita langsung ke hotel. Jam sepuluh baru kita ke kantor dinas di sana. Bapak mau minta laporan apa saja? Biar saya hubungi orang di sana untuk siapkan," lanjut anak buah Tara yang seorang pria berusia dua puluh lima tahun."Oke." Lalu Tara beranjak, menuju kasir, membayarkan makanan pesanannya juga teman-temannya. Tara memang suka